Label

Rabu, 24 Januari 2018

JIKA VIDEO ILC DIDENGAR PERPOTONGAN

djayim.com
Indonesia Lawyer Club ( ILC ) masih menjadi tontonan favorit bagi saya di tengah masih bertahannya sinetron yang begitu-begitu saja dan acara-acara yang sengaja memperpanjang waktu dengan cara mengaduk-aduk empati dan simpati yang meluruhkan hati dan melelehkan air mata. Host, Karni Ilyas, yang seperti sangat hati-hati dalam menyampaikan kata-kata dan mengawal arah pembicaraan agar tetap dalam koridor bahasan, sangat mumpuni dalam mengolah suasana dan menaik-turunkan emosi para penonton dan para peserta diskusi, meski kadang membuat tak sabar mendengarnya karena ucapannya yang agak terbata-bata. Kehadiran Prof. Mahfud MD, menjadi daya tarik tersendiri bagi saya  dan saya selalu menunggu pendapatnya yang cerdas dan mengejutkan
Pilihan tema dan narasumber menjadi kunci kesuksesan acara. Sepanjang yang saya lihat, hampir semua narasumber menarik untuk diikuti pembicaraannya, meski kadang ada juga narasuber yang kurang menguasai data, over pede  dan kebingungan ketika di serang balik pada beberapa episode.
Ketika ILC bertema RUU LGBT: dipidana atau dilegalkan, tiba-tiba saya berandai-andai; video pembicaraan setiap nara sumber di potong-potong  dan di edarkan secara terpisah, dan tidak hanya pada satu atau dua acara ILC saja yang pernah tayang . ‘Seandainya’ yang muncul pada pemikiran saya ketika dalam hampir setiap narasumber menyampaikan pendapatnya dengan meyakinkan dan penuh percaya diri. Keyakinan akan data dan pendapat yang disampaikan seolah tak ada yang bisa menyalahkan dan mengalahkan argumen lain yang menangkalnya.

Akan sangat menyesatkan jika yang dipotong videonya dan diedarkan secara tersendiri itu video yang tidak sesuai dengan keyakinan dan kebenaran menurut norma agama dan norma susila yang ada di negara kita. Karena narasumber yang membela LGBT dilegalkan, seperti begitu yakin dengan kebenaran ( menurut mereka ) yang disampaikan. Mereka tak merasa ‘sakit’ dan tak perlu disembuhkan. Mereka merasa harus di bela hak azasinya dan harus diakui secara hukum perilakunya sehingga tidak harus takut jika melakukan aktivitas LGBT-nya. Merasa tak mengganggu orang lain, maka mengapa keberadaanya harus dipersalahkan, begitu mereka bertanya.

Hak untuk hidup normal bagi pengidap penyakit LGBT tentu seratus persen tidak dipermasalahkan, karena mereka juga manusia yang punya hak hidup sepenuhnya. Tetapi perilaku menyimpang adalah perilaku yang harus disembuhkan dan tidak dibiarkan berkembang begitu saja. Jika tidak dibatasi dengan Undang-Undang, maka akan sangat terbuka lebar pengembangan penyakit LGBT. Ini hal yang harus menjadi sebuah perhatian besar agar penyakit tersebut tidak menjadi terus berkembang dan lebih parah lagi menjadi sebuah tren.

Ketua MPR, Zulkifli Hasan, menjadi pemicu perhatian publik dengan pernyataannya, “ada lima partai yang setuju LGBT”, membuka perhatian publik dan menjadi tersadar untuk ikut mengawal proses pembuatan Undang-Undang yang menyangkut LGBT. Media yang memblow-up berita tersebut dengan berbagai judul untuk mencuri perhatian pembaca, sangat produktif untuk menggugah publik yang kadang terlelap dan merasa sudah terwakili oleh DPR. Kadang pernyataan yang kontroversial menyadarkan kita tentang apa yang seperti terlewat begitu saja.

Kita tidak sedang tidak menerima keberadaan ‘person’ pengidap LGBT, tapi kita perlu menyembuhkan mereka dan menangkal penyakitnya agar tidak menular dan menyebar menjadi besar dan tak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar