Label

Kamis, 30 April 2020

TENANG DALAM TAKUT


Perasaan takut dipunyai semua orang normal. Takut itu perasaan ngeri atau gentar terhadap sesuatu yang dianggap mendatangkan bahaya bagi dirinya atau yang berkaitan dengan dirinya. Takut juga bisa karena merasa jijik atau geli terhadap sesuatu. Perasaan takut ini membuat orang menjadi gelisah, berusaha menjauhi, menghindari dan atau timbul rasa ingin melenyapkan obyek penyebab rasa takut itu. Rasa gelisah dalam hati  ini menyebabkan jiwanya tidak tenang dan mempengaruhi fisik raganya mengekspresikan kegelisahan. Rasa takut menyebabkan ketidaktenangan pada jiwa raga.

Jika kita mendengar atau membaca sebuah ungkapan ‘tetap tenang nggak perlu takut’ pada sesuatu kondisi yang membuat ketakutan, dapatkah kita melakukannya? Ungkapan itu sejatinya hanya setetes embun untuk menghilangkan dahaga. Sadar setetes embun tidak mungkin menghilangkan dahaga, tetapi tetap saja diterima karena tidak merugikan, terasa sedikit bikin adem dan menolaknya pun hanya buang-buang energi, juga membuang sebuah kesegaran meski sedikit sekali.

Dalam menghadapi pandemi virus corona atau covid-19 yang sampai sekarang belum ditemukan obat yang secara medis bisa dipertanggungjawabkan fungsinya, membangun rasa tenang pada semua orang menjadi sebuah dilematis. Rasa tenang membuat orang menjadi hilang rasa takutnya. Kehilangan rasa takut menjadikan sebuah keadaan dengan tidak ada lagi sesuatu yang membahayakan. Pada kondisi seperti ini, orang akan merasa tidak perlu berbuat apa-apa pada sesuatu yang sebenarnya bisa saja menyerang kapan pun. Menghimbau orang agar tetap tenang seolah bisa diartikan mengarahkan orang agar tidak perlu melakukan ‘perlawanan’ atau berbuat apapun terhadap penyebaran virus corona yang menyerang hampir seluruh negara.

Memberi himbaun agar tetap waspada secara terus menerus juga bisa membuat orang menjadi paranoid. Himbauan atau peringatan secara halus yang dilakukan sering dan terus menerus, telah dengan sendirinya membawa kita pada alam pikir bahwa ada sesuatu yang harus diwaspadai, ada sesuatu yang berbahaya yang jika kita tidak tenang dalam menghadapinya menjadi lebih parah. Himbauan  semacam ini tetap saja tak membuat rasa takut hilang.

Hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita harus memahami segala seluk beluk obyek yang menumbuhkan rasa takut tersebut. Dengan memahami detail ‘penyerang’ kita bisa menghadapinya dengan benar dan membuat penyerang senjatanya menjadi tidak berfungsi. Senjatanya dipatahkan dan kelemahnnya diserang. Meremehkan penyerang bisa menjadi penyebab kefatalan.

Tenang sampai terlena itu membahayakan dan bersikap paranoid bisa berpengaruh negatif ke fisik. Berlaku waspada, menyikapi dengan benar petunjuk para ahli dibidangnya dan yakin kita mampu, mungkin bisa membuat kita selamat melewati masa kritis.

21:17_30042020

Minggu, 26 April 2020

MEMBUNUH KARAKTER.

Kalimat pembunuhan sudah sangat sering di dengar. Pembunuhan itu membuat sesuatu menjadi mati. Membunuh itu melakukan kegiatan pembunuhan yang menjadikan obyek yang dibunuh mati. Menghabisi nyawa secara sengaja. Membunuh biasanya diterapkan pada makhluk hidup yang bergerak. Jika diterapkan pada makhluk hidup yang tidak bergerak menjadi janggal atau dirasa tidak pas. Membunuh pohon, misalnya, ini akan terasa janggal meskipun jika diperdebatkan bisa saja diterapkan. Mematikan pohon, di tebang atau di teres, terasa lebih enak dirasa dibandingkan dengan membunuh pohon.

Pembunuhan karakter itu usaha secara sengaja membunuh karakter seseorang dengan menghabisi atau mengikis karakter yang dipunyai seseorang supaya karakternya mati atau berubah, sesuai dengan keinginan si pembunuh. Ada karakter korban yang tidak disukai oleh si pembunuh. Suka atau tidak suka itu subyektif, jadi kenapa si pelaku melakukan pembunuhan itu, alasannya bersumber dari persepsi yang subyektif dan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya supaya hegemoninya selalu terjaga dan terus semakin perkasa dimana pun.

Karakter seseorang yang kuat, berpengaruh dan punya daya untuk mempengaruhi publik, bisa membahayakan orang atau sekelompok orang yang berseberangan dengan pendapat dan pemikirannya. Untuk menghentikan pengaruh itu, sedini mungkin karakternya dibuat sedemikian rupa sehingga apa yang ungkapkannya menjadi seperti salah, tidak berguna dan membahayakan bagi kebanyakan orang.

Ada senjata ampuh di setiap masa untuk membunuh karakter seseorang jika ada yang berpikiran tidak sependapat dengan penguasa. Di masa Orde Baru dengan pemimpin besar Soeharto yang begitu digdaya selama 32 tahun, tuduhan ‘komunis’ bagi siapa saja yang berseberangan dengannya, akan membuat si tertuduh menjadi tidak laku di pemerintahan, terabaikan di birokrasi, terkucilkan di segala organisasi resmi dan dipinggirkan dari pergaulan sosial keagamaan. Men-cap komunis menjadi begitu ampuh dan menakutkan sehingga semua orang berusaha menghindar dari tuduhan itu. Ia akan serta merta nurut sama segala program pemerintah meskipun dirugikan karena resikonya akan lebih berat jika tak nurut dan dicap komunis.

Ketika kejayaan Orde Baru tumbang dan tutup kebebasan berpendapat terbuka lebar, semua orang bisa bebas bersuara, bebas menulis, bebas berpendapat. Saking bebasnya bersuara, caci maki sebuah hal yang lumrah menjadi konsumsi setiap hari. Semua orang bebas berpendapat dan berargumen sesuai kepentingannya. Sehingga sampai orang menjadi muak terhadap caci maki, argumen dan pendapat yang saling menyerang. Dari sinilah kemudian timbul rasa empati pada orang yang diserang. Semakin seseorang, terutama tokoh publik, diserang dan dicaci maki dan Ia menerima dengan sabar, Ia akan mendapat berkah empati sehingga mendapat banyak dukungan di panggung politik. SBY mendapat berkah di era ini karena mendapat cemoohan seorang tokoh besar. Kemudian beliau memanfaatkan kekecewaan publik yang tidak juga segera lebih baik dari Orde Baru dan berhasil.

Caci maki dan argumen yang meyerang itu juga sebuah upaya pembunuhan karakter. Upaya agar lawannya tidak lagi mampu untuk menghalangi jalannya. Tuduhan nyinyir menjadi senjata baru bagi yang menyampaikan pendapat tidak sesuai arus penguasa. Jika yang beragama islam, tuduhan kilafah menjadi kata yang serangan yang membuat si  tertuduh nggak nyaman dan memilih diam.

Saling serang di media massa, terutama di media sosial, sangat mempengaruhi opini publik. Kelompok yang mampu mengarahkan alur pemikiran rakyat bisa mendapat dukungan sehingga bisa mempertahankan hegemoni untuk dimanfaatkan, juga membuka kesempatan baru. Pengalihan berita yang menjadi trending topik sesuai dengan keinginan si pembuat berita, menjadi sebuah ajang perang kalimat di dunia maya. Semakin banyak sebuah topik terus menerus dibahas dan dimunculkan dalam waktu tertentu yang dibutuhkan, akan semakin menggiring opini kebanyakan orang pada berita atau kabar yang menang ‘perang’. Buzer berpengaruh penting dalam penggiringan opini, baik buzzer yang terorganisir maupun buzzer yang muncul karena merasa harus ikut medukung dan membantu sebuah opini lain. Perang opini tak menimbulkan korban fisik, tapi akan terus berlanjut dengan bahasan lain.

Keberagaman dengan kekuatan egoistis yang menyebabkan orang saling ‘membunuh’. Dengan merasa menjadi penguasa adalah kenikmatan yang harus dipertahankan dengan berbagai cara, maka perebutan untuk berkuasa menimbulkan korban. Sampai kemudian semua orang sadar, menyingkir orang lain, akan menumbuhkan perlawanan baru yang berpotensi menyingkirkan balik. Sebuah ‘sadar’ yang mustahil.

21:33_26042020




Kamis, 02 April 2020

TAKUT MATI


Meski kita sadar pada akhirnya semua manusia, bahkan semua makhluk hidup akan mati, tapi kita diberi rasa takut tentang kematian. Berbagai cara dilakukan untuk mempertahankann hidup dan menghindari kematian. Sepertinya umur dan waktu mati kita yang menentukan, sesuai dengan kesiapan dan keinginan, sesuai dengan schedule yang telah diatur sesuai selera pelaku hidup. Mayoritas manusia sadar, tak mengerti kapan dan dimana saat tiba waktunya mati. Sadar nggak bisa nawar dan nggak bisa sesuai permintaan, kecuali jika dengan cara bunuh diri. Tapi, mempertahankan diri dari kematian adalah sebuah keharusan, setidaknya mempertahankan diri sebelum waktunya tiba yang bisa tidak lagi bisa mengelak. Mempertahankan diri untuk tetap hidup adalah sebuah perjuangan terus menerus sampai pada titik waktu ‘kekalahan’ dan menerimanya.

Begitu berharganya hidup sampai kadang lupa cara kita bertahan untuk hidup bersinggungan dengan orang lain yang juga sedang bertahan hidup. Tak jarang cara bertahan untuk hidup, dilakukan dengan sadar, tidak sadar atau dengan tidak sengaja apa yang dilakukan nya, bisa berakibat fatal pada orang lain atau bisa menyinggung perasaan orang lain. Keegoisannya muncul saat bertahan, ‘aku harus belakangan matinya sesuai dengan keinginan’, saat sudah tak bisa lagi nawar.

Maka, ketika sebuah pandemi viru Corona yang menggemparkan dunia muncul, sebagian besar orang berupaya keras agar tubuhnya tak tersentuh virus tersebut dan selamat dari kematian. Semua hal yang menurutnya bisa membuatnya terserang virus dan menjadikannya kalah, disingkirkan jauh-jauh dan tak ada tawar menawar untuk hal sekecil apapun yang bisa membuat penularan. Paranoid itu muncul dan melepaskan sebuah rasa empati. Maka ketika seorang yang mati karena korban virus Corona, pemakamannya pun banyak yang menolak. Tak ingat jika semua orang tak ada yang mau menjadi korban. Tak seorang pun yang mau salah satu anggota keluarganya mati karena serangan virus itu.

Ketakutan itu telah membutakan dan menganggap menolak pemakaman jenazah korban virus Corona di wilayahnya adalah sebuah upaya dan perjuangan untuk tetap bertahan hidup. Melupakan bagaimana perasaan pedih dan sedihnya keluarga korban ditinggal mati dengan cara tragis dan ‘belum saatnya’ ditambah lagi dengan penolakan pemakaman dengan emosional. Mereka lupa sendainya pada posisi menjadi pesakitan. Hidup dan kelangsungan hidupnya lebih berharga dari hidup dan perasaan orang  lain. Orang lain bukan urusanku, karena hidupku harus terus berlanjut. Empati yang ( dirasa ) membuat terancam hidupnya, adalah romantisme cengeng yang harus dibuang.

00:08.02042020




Selasa, 31 Maret 2020

netral


Netral itu tidak ikut sana sini. Tidak memihak, tidak mendukung, tidak membantu salah satu pihak, tidak menolak salah satu. Dan, sepertinya itu bisa disebut apatis. Netral senetral-netralnya adalah saat sama sekali tak berpendapat pada sesuatu yang sedang diperdebatkan atau sedang diperebutkan. Bisa karena memang tak tahu yang dibahas, sengaja tidak mau tahu atau karena memang tidak tahu pembahasannya. Netral dalam posisi ini mudah dan tidak perlu mengendalikan diri untuk selalu mengingatkan diri agar tetap netral.

Pada posisi kita tahu masalah apa yang sedang diperdebatkan atau diperebutkan, memposisikan diri pada kondisi netral memerlukan energi yang terus menerus agar tak mendekat pada salah satu kubu. Berpendapat cukup di alam pikiran dan membuangnya jauh-jauh. Dalam masalah perdebatan yang kita tidak diharuskan memilih, demi untuk netral, pendapat yang dipikiran bisa kita endapkan untuk menjadi catatan pribadi yang bisa saja menguap dalam beberapa waktu kedepan atau menjadi bahan pertimbangan dalam pemikiran saat berkeputusan di kemudian hari.

Memposisikan diri netral pada saat kita diharuskan untuk punya pilihan, ini akan lebih menguras energi psikologis yang banyak, jauh lebih banyak dibanding dengan netral pada sebuah perdebatan. Pada pemilu misalnya, kita diharuskan memilih salah satu dengan argumennya sendiri tapi harus netral. Netral disini menuntut rasa hati dan pemikiran yang benar-benar obyektif.

Obyektif kemudian menjadi perdebatan juga keobyektifannya, bagi yang tidak sependat pilihannya. Obyektifitas terasa sangat obyektif bagi yang sekubu dan menjadi terasa tidak obyektif bagi kubu lawan. Disinilah timbul perdebatan lagi tentang sebuah kenetralan jika dikaitkan dengan obyektifitas. Jadi, netral yang pure  adalah netral yang tidak punya pilihan dan tidak memilih meskipun tahu apa yang diperdebatkan atau tahu harus memilih. Sedangkan netral yang karena tidak tahu, berada pada dunia netral lain yang lepas dari obyektifitas.

Netral itu lepas semua beban. Tak terpikirkan dan tak memikirkan. Sebodo teuing.

22:25 31032020

Minggu, 29 Maret 2020

OPOSISI KETIGA

djayim.com

Dalam permainan sepakbola yang normal, saat pertandingan di lapangan akan saling menyerang supaya gol yang diperoleh lebih banyak daripada lawan. Dalam pertandingan memperebutkan kekuasaan, menyerang lawan terus menerus belum tentu menjadikan menang. Rasa empati terhadap orang yang terus menerus diserang akan memunculkan pembelaan yang berakibatkan lawan menjadi menang. Kondisi ini disadari betul oleh masing-masing pihak  yang menjadikan selalu berusaha terukur dan tepat sasaran dalam menyerang lawan.

Tak ada kawan dan lawan yang sempurna. Semua punya sisi lemah. Sisi lemah itulah yang oleh lawan akan diekspos terus menerus sampai lawan benar-benar dalam posisi kalah. Dalam saling menyerang itu ada pemenang yang menjadi penguasa yang kemudian memperoleh fasilitas dan perangkat yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan yang salah satu caranya dengan menyerang lawan. Yang kalah juga terus menyerang dan menunjukkan keberadaannya. Media massa menjadi alat yang paling efektif untuk bertahan atau menyerang. Ketika semua media massa di manfaatkan untuk saling menjatuhkan, berita lahir dan tersaji setiap saat dengan begitu cepat. Pihak yang merasa terserang segera balik menyerang atau bertahan sambil sekalian menyerang dengan berbagai cara, keduanya dengan berbagai cara. Akibatnya, terjadi kesimpangsiuran arah berita. Tak tahu mana yang benar, mana hoax. Tak tahu mana produk buzzer, mana yang produk asli, mana yang benar, mana yang dipelintir, mana produk buzzer pemenang, mana produk buzzer pecundang. Semua simpang siur, akibatnya pembaca berita apatis dan pasif. Ini akan terjadi terus menerus jika hanya dua kubu, pemenang dan pecundang. Jika pun kemudian yang sekarang pecundang kemudian menjadi pemenang, permainan itu akan terus berlanjut turun temurun.

Diperlukan oposisi ketiga yang benar-benar berdiri diantara keduanya yang memandang dengan jernih dan obyektif setiap permasalan yang ada. Oposisi ketiga ini, harus menyatakan keadaan sesungguhnya dan sanggup memberi ‘teguran’ atau pelurusan masalah di kedua kubu. Jika ada yang perlu dibela, Ia harus tidak terpengaruh dan tidak mengambil keuntungan untuk dirinya terhadap kejadian yang menjadi perdebatan. Tidak bisa diiming-imingi apapun oleh si pemenang atau pun si pecundang.

Oposisi ketiga terdiri dari sekelompok orang yang tak silau oleh kekuasaan, fasilitas dan uang. Mereka sekelompok orang yang menikmati sebuah kejujuran dan juga menikmati setiap perjuangan yang tak berpamrih. Lantas, siapa, atau adakah orang yang bersusah payah menjadi oposisi ketiga dengan sama sekali tak berpamrih terhadap kekuasaan dan uang?

Oposisi ketiga harus tetap ada, siapapun pemenangnya. Oposisi ketiga bisa dilahirkan di diri kita sendiri denga berpendapat dengan obyektif tanpa tendensi apapun. Membuang semua kebencian, membuang rasa kekuasaan, melupakan pamrih dan menikmati kebersaman yang damai.

23:12.29.03.2020

Sabtu, 28 Maret 2020

BANGGA


Merasa bahagia, senang, gembira atas sesuatu yang diraih, yang dipunya; itulah bangga. Bangga bisa membuat melayang pada dunia lain dan akan terus menerus dihidupkan kembali itu di setiap saat. Mempertahankan bangga tetap berada pada hati dan pikiran menjadi kegiatan yang mengasyikan. Bercerita kembali tentang apa yang dibanggakan, menulisnya, mengingatnya dengan cara menghadirkan benda-benda atas sesuatu yang berkaitan; menjadi cara agar bangga itu tetap dingat, tetap hidup dan menghadirkan sensasi kebanggaan.

Bercerita dengan sering tentang sesuatu yang dibanggakan, akan menjadi benih kesombongan yang jika dilakukan terus menerus menjadi terasa menyebalkan bagi orang yang mendengarnya. Dan muncullah kemudian komentar, pamer, yang lebih lanjut melahirkan sebutan sombong.

Kegembiraan itu tidak mudah untuk didapat, dan jika dengan bercerita tentang apa yang dibanggakan bisa menghadirkan bahagia, kenapa harus di hindari? Bisa saja jawaban itu muncul dari orang yang berbangga dengan ceritanya. Dia bisa tak peduli dengan tanggapan dan komentar orang-orang yang mendengarnya. Padahal ada banyak cara lain untuk menghadirkan kebahagiaan. Akibat cara lain yang tak tertemukan yang tingkat kebahagiaannya setara, menjadikan berkabar dengan kebanggaannya itu menjadi sering berlanjut.  

Tidak mudah meredam rasa bangga, apalagi membuangnya sama sekali. Seseorang berbuat sesuatu untuk meraih prestasi, diantaranya karena ingin mendapatkan kebahagian dari rasa bangga itu. Menghilangkan rasa bangga sama sekali, sepertinya mustahil. Hal yang paling bijak adalah mengendalikan rasa bangga itu agar hilang kesan pamernya. Dalam mengendalikan, membutuhkan energi psikologis sekaligus juga akan kehilangan kebahagiaan. Menjadi kontradiktif ketika seseorang berbuat sesuatau karena ingin berbangga yang melahirkan bahagia, kembali harus mengeluarkan energi untuk mengendalikan rasa bangganya.

Dari bangga, akan lahir sebuah ‘aku’. “Aku yang bisa”, “aku yang lebih baik”, “aku yang tak ada orang lain yang bisa menyamai”, dan seterusnya. Perkembangan “Aku” pada kasus lain, menjadi: kalau nggak saya, pasti nggak akan begini, untung ada saya, coba kalau nggak ada saya, saya yang membuat jadi begitu, itu karena saya.  Perasaan “Aku” menjadi tumbuh berkembang dan menjadi bagian dari bangga. Bangga yang melahirkan kebahagiaan. Dan, jika sudah melekat dihati, ‘bangga’ dan ‘aku’, sulit sekali dilepas dari hati.

Menghilangkan rasa ‘aku’ memerlukan energi psikologis yang terus menerus. Jika ‘bangga’ dan ‘aku’ ; menghadirkan kebahagiaan, kenapa harus di buang atau diredam. Bukankah kita selalu mencari kebahagiaan? Itu bisa ditempuh jika kita bertutup telinga dan abai hubungan sosial.

Cara yang bisa ditempuh agar bahagia dengan meredam ‘bangga’ dan ‘aku’ adalah dengan meyakinkan diri jika tidak berkabar tentang kebanggan dan melepas ‘aku’ atau mengendalikannya merupakan sebuah kebahagiaan yang lebih nikmat ketimbang berbangga dan ber’aku’.

Mengendalikan, karena membunuh ‘bangga’ dan ‘aku’ sepertinya tidak mungkin.

22:55.28.03.2020

Jumat, 24 Januari 2020

berhalusinasi


Halusinasi berbeda dengan khayalan. Atau sebagian orang menyamakan antara halusinasi dengan khayalan, dan menurut saya itu berbeda. Halusinasi itu sebuah bangunan rekaan peristiwa pada ruang dan waktu yang disediakan oleh pelaku dengan sesukanya. Sedangkan khayalan adalah membangun dan menciptakan sendiri harapan-harapan yang dirasa tak mungkin dicapai, belum tercapai atau bahkan sama sekali jauh jangkaunnya dari hal sebenarnya. Halusinasi dan khayalan dibangun dalam alam pikirannya untuk memenuhi hasrat, menghibur diri, melepaskan tekanan batin karena keinginan tak tercapai dan keinginan untuk menciptakan suasana yang bangunan dan tatanan yang ada didalamnya sesuai dengan keinginannya.
Jika halusinasi yang muncul bisa dikendalikan, disampaikan dengan lisan atau tulisan yang menarik, bisa menjadi cerita atau novel yang mengasyikan. Akan timbul masalah jika halusinasi itu di kaitkan dengan sejarah, adat budaya yang tidak sesuai dengan yang telah dipercayai banyak orang, dan halusinasi itu di sampaikan ke publik. Halusinasi sekontroversial apapun, jika dikonsumsi sendiri tak akan enjadi masalah di masyarakat. Seseorang yang merasa jadi raja diraja dari sebuah kerajaan yang dibangun diwilayah istana halusinasinya, tak akan dipersoalkan jika tak ada yang merasa dirugikan.  
Halusinasi dan khayalan bisa dikolaburasikan untuk menghibur diri karena lelah harapan-harapannya datang tak sesuai harapan. Ini akan menjadi pintu solusi lain dari harapan yang tak sampai dan tak kunjung datang. Jika berhalusinasi dan berkhayal bisa menghibur diri dengan hanya meluangkan waktu, kenapa tidak dimanfaatkan? 24012020

Senin, 30 September 2019

KEGELISAHAN


berharap itu lumrah, manusiawi, wajar tanpa pengecualian. Berbuat sesuatu tanpa punya harapan itu sebuah keistimewaan yang lebih ke arah anomali. Bahkan berbuat sesuatu dengan sangat ikhlas pun, masih berharap kepada Alloh SWT yang akan membalasnya. Berharap kepada Alloh SWT dalam kontek ikhlas pun, masih berharap lagi, semoga Alloh memberikan seperti yang diharapkannya.

Ketika harapan tidak sesuai dengan keinginan, akan lahir sebuah kegelisahan. Kegelisahan akan membuat siksaan baru jika harapan yang tidak sesuai dianggap sebagai kesialan. Lebih parah lagi ditambah dengan diingatnya kesialan-kesialan lain di masa lalu yang sengaja di hadirkan agar anggapan dirinya itu “sial” itu benar-benar sial.

Berpasrah diri sebagai cara untuk membuang kegelisahan. Pasrah dengan tidak melakukan apa-apa adalah sebutan yang tidak tepat untuk disebut ‘pasrah’. Melakukan sesuatu dengan maksimal dan terus berusaha dengan menikmati proses usaha, menjadikan setiap waktu yang dilalui menjadi terasa berguna dan nikmat. Berdoa sebagai arah harapan yang kita inginkan, sebagai peyakin diri, karena sesungguhnya subyek yang kita mintai, sudah tahu apa yang kita harapkan.

Itu kegelisahan berkesinambungan dengan harapan pada individu.

Lebih melebar, harapan beberapa orang, sekelompok orang atau orang-orang yang berkelompok karena ada kesamaan keinginan pada suatu tatanan sosial masyarakat atau lebih luasnya dalam cakupan negara dan bangsa, menjadi sebuah tarik menarik kepentingan dalam menentukan arah kebersamaan dalam sebuah wadah negara dan bangsa. Dalam kebersamaan itu diperlukan pengorbanan banyak pihak karena tidak semua harapan dan keinginannya terpenuhi secara utuh. Ambil jalan tengah, menjadi solutif yang tak memberi kepuasan semua pihak dan masih berpotensi lahir kegelisahan.

Sebuah kegelisahan yang di rasa bagi sekelompok orang yang berpandangan dan berkeinginan sama atau setidaknya mirip, akan muncul aksi protes agar apa yang menjadikannya gelisah diperbarui seperti apa yang diinginkan. Dan, tidak semua keinginan akan terpenuhi, karena banyak pihak yang berkeinginan dan berkepentingan dengan argumen yang berbeda-beda.

Akan tetap ada kegelisahan sosial, ketika masih ada perbedaan dalam suatu wadah bernegara dan kemungkinan unjuk kegelisahan dengan berdemontrasi menjadi hal yang bukan mustahil jika cara dialog berakhir buntu.

Selama masih ada perasaan harapan akan diiringi pula sebuah kemungkinan kegelisahan.

Kamis, 26 September 2019

TOLERANSI PADA INTOLERAN


Belakangan ini, ‘toleransi’ menjadi sebuah kata yang sensitif dalam pembahasan. Orang tidak boleh berkata, menulis atau mengungkapkan kata, berbuat atau bergerak yang dianggap intoleran oleh orang yang tidak seide, sekeinginan, sekeyakinan dan berseberangan. Berbuat sedikit saja yang dianggap intoleran akan menjadi masalah besar jika ingin dibesar-besarkan oleh pihak yang tidak senang. Perebutan kekuasaan, Pipres, Pileg dan pertarungan politik, menambah bergairahnya penggorengan isyu atau bukan isyu tentang intoleran.


Media sosial menjadi tempat yang subur dan amat sangat cepat berpengaruh untuk membuat suasana yang diinginkan, jika seseorang menuduh seseorang atau kelompok tertentu intoleran. Ketokohannya juga iku berpengaruh untuk menggoreng langit pendapat. Menjadi simpang siur atau kemudan saling bertabrakan, sangat mungkin untuk diskenariokan.


Kita menjadi pada posisi harus maklum dan mengerti apapun yang ada di depan kita, di lingkungan kami bahkan di semua bawah langit. Harus senang dan maklum meskipun kita tidak suka atau bahkan merasa keyakinannnya terlecehkan.


Anehnya, yang menuduh orang lain atau kelompok lain itu intoleran, sepertinya tidak menyadari kalau Ia juga telah berlaku intoleran. Jika Ia orang yang benar-benar punya toleransi, Ia juga harus mau menerima dan mengerti orang lain yang berlaku (menurutnya) intoleran. Jika Ia merasa terganggu, orang lain yang dianggapnya menganggu, bisa saja merasa si penuduh telah berlaku intoleran.


Sebuah keyakinan, apalagi menyangkut agama, akan sangat susah untuk mengikuti semua kemauan orang yang ada di sekitar demi apa yang di sebut toleransi. jika ada seseorang yang merasa apa yang diinginkan atau diangankan harus sesuai keinginannya, dan menganggap intoleransi jika tidak sesuai, ia telah berlaku egois dan intoleransi. Diperparah lagi dengan membesar-besarkannya di media sosial seolah Ia-lah yang paling toleran. Toleransi itu juga harus toleran terhadap orang yang (dianggap) intoleran.


Merasa paling toleran adalah intoleransi. Toleransi itu juga bertoleran terhadap yang intoleran.

Rabu, 29 Mei 2019

NONET (*)


soleh djayim

            Seluruh isi tasnya kembali Ia periksa. Buku catatan harian, agenda, ballpoin, ringkasan laporan, kalkulator, arsip, pensil, pengaris, penghapus, staples dan isinya, semua diperiksa. Ia kembali duduk mengingat-ingat kalau-kalau ada yang ketinggalan sambil memakai sepatu. Ternyata sepatunya sudah lusuh perlu penyemiran kembali, waktu persiapan lembali bertambah; Apa lagi yang belum ku masukkan dalam tas, jangan-jangan nanti aku harus kembali pulang mengambil berkas yang ketinggalan. Rambutku belum rapi, perlu menyisir rambut dulu. Aku harus meyakinkan diri kalau pakaianku rapi, sopan dan menambah nilai plus bagi penampilanku.     
            “Herta, tadi pesannya Pak Nandar bagaimana?”
            “Tadi kan sudah saya katakan Kak, apa perlu di ulangi lagi?”
            “Tadi kamu nggak nanya dari siapa?”
            “Saya lupa Kak, tadi kan sudah saya katakan, lupa!”
            “Ya sudah. Apa saja yang perlu dibawa katanya.”
            “Dia nggak bilang supaya bawa apa, bawa apa.”
            “Kamu yakin itu suaranya Pak Nandar?”
            “Dengar suaranya saja baru kali ini, mana saya tahu. Dia Cuma bilang Kakak harus segera menemuinya segera, penting katanya.”
            “Orangnya suaranya kayak apa, berat atau sedikit cempreng.”
            “Agak berat Kak.”  
            Banyak sekali atasanku yang suaranya berat, pikirnya. Kalau yang suaranya cempreng bisa ditebak-tebak, tak banyak. Kenapa pas aku lagi ambil cuti begini. Apa tidak bisa ditunda sampai besok. Apa ada kemungkinan supaya aku beralasan ini itu agar aku bisa tak usah berangkat. Jangan-jangan ini akan bermanfat baik untukku, jika nanti aku tak memenuhi panggilannya aku bisa rugi dan tak bisa lagi mendapatkan kesempatan emas itu.
            “Herta! Tadi Bapak itu ngomong apa di telepon?” 
“Kakak disuruh menemuinya sekarang! Tanpa alasan. Sekarang juga. Lho, Kakak kok masih di sini, belum berangkat. Kenapa Kakak lama sekali?”
“Kakak lagi menyiapkan semua yang perlu dibawa.”
“Nggak usah bawa apa-apa saja Kak, bilang saja nggak tahu harus ada yang dibawa.”
Entar malah disuruh balik lagi. Repot. Memang Kakak sudah lama Ta, saya pikir belum lima menit.”
“Uh, lima menit apaan, sudah hampir satu jam  tahu!”
“Ah yang benar.”
Ia pandangi seluruh ruangan, lupa di mana tempat jam dinding menempel. “Ta, nanti kalau ada yang ketinggalan, Kakak telepon, kamu antarkan, oke! Oh ya, bilang sama istriku aku ke kantor.”
Ia kembali ingin menenangkan pikiran, menata emosi, mengatur degup jantung; Kenapa aku nervous begini. Aku kan sudah biasa menghadapi pimpinan. Apa  yang membuat  hal ini menjadi menekanku.
“Lho Kak, kenapa kakak belum berangkat. Sudah jam tiga kurang seperempat Kak. Kantor sudah tutup!”
“Ah yang benar. Kamu bikin Kakak gugup saja.”  Ia yakinkan waktu; jam sembilan seperempat. Sudah cukup siang, belum tentu perjalanan lancar. Bisa saja motornya tidak langsung hidup, belum tentu bensinnya cukup sampai ke kantor atau tahu-tahu bannya kempes dan perlu ke bengkel motor.
Ia sambar jaket, helm. Aduh, ini kontak di mana lagi. Biasanya di atas tivi. Tadi pagi Ayir main-main di sini, jangan-jangan dibawa-bawa dan lupa naruhnya. Semua jadi tak nyaman, ada saja yang kurang dan bikin menghambat. Ia cari kunci serep di lemari pakaian. Alhamdulillah ketemu, semoga tak ada lagi kerikil-kerikill kecil yang mengganjal di hati, bikin kaki terantuk.
“Mas Kobar, mau ke mana nih. Sepertinya buru-buru.”
“Ke kantor.”
“Hlo, katanya cuti.”
“Iya. Tapi, tadi bos menelpon agar aku menemuinya. Mas Kasdut mau ke mana?” Buru-buru kobar mengakhiri pembicaraan dengan pertanyaan sambil mendorong motor keluar halaman rumah.
Matahari tak tampak. Angin bertiup lambat. Ia pandangi langit; di mana posisi matahari. Apa benar kata Herta sekarang sudah jam tiga sore? Ia kembali masuk rumah.
“Herta, tadi bos telepon jam berapa?”
“Jam setengah sembilan. Lho Kakak belum berangkat juga. Nanti kena marah lho Kak, bisa mampus!”
Kenapa kita harus terikat oleh batasan-batasan waktu yang kita bikin sendiri. Kenapa kalau  ke kantor tengah hari kita di vonis terlambat. Bukankah kalau kita sepakat bertemu, kapanpun, di manapun; jadi! Bisa! Ini, kita sendiri yang terjebak oleh kesepakatan turun temurun tentang jam kantor, jam istirahat, jam makan, jam tidur, hari libur, saat harus berlaku sopan, saat boleh santai rilek, saat harus buru-buru. Semua. Semua harus menerima kesepakatan warisan dan mengingkarinya adalah tindakan konyol. Apalagi ini bersangkutan dengan bos. Orang yang dengan segala kebijaksanaannya bisa sangat berpengaruh dengan ekonomi rumah tangga. Ya, karena uangnya, ia punya kekuasaan dan aku adalah salah seorang yang tunduk pada setiap keputusannya, pada perkataannya, selagi aku masih perlu uangnya. Kalau aku tak lagi butuh uangnya, aku bisa saja bantah perintahnya; malas, cuti kan waktunya istirahat, waktunya tak perlu ke kantor, waktunya tak perlu mikir segala tetek bengek pekerjaan menjemukan, emang lu siapanya gue.
Kobar menghidupkan motornya. Tak perlu dipanasi seperti biasanya. Kaki waktu berlari cepat sekali, Kobar terpontang panting mengejarnya. Kobar memburu waktu dan waktu berjalan di tempat menertawainya. Jalanan begitu sempit untuk menampung motornya yang berlari mencari celah diantara ribuan kendaraan yang diperkosa majikannya mengantar keinginan manusia.
Aku harus bisa menemui bos pada waktu yang berkenan baginya. Aku sudah terus memaksa laju kendaraan dan ia tak mampu memenuhi keinginanku. Manusia perlu mememukan alat yang bisa melontarkan orang tepat ke sasaran yang diinginkan dengan sekali pencet, seperti remote control, tanpa terjadi benturan di udara. Dengan begitu tak perlu membikin jalan yang lebar-lebar yang makan tempat dan biaya. Cukup untuk orang berjalan kaki jika ingin berolah raga atau keperluan kecil.
Lampu merah di traficlight lama sekali. Masa nyala sampai sudah hampir setengah jam belum juga berganti hijau! Ini harus diprotes, diadukan pada pihak yang berkepentingan. Mereka merasa perlu mementingkan ini nggak yah? Mungkin saja mereka tak peduli dengan lampu merah yang nyala lama sekali, toh jika normal pun orang-orang seenaknya melanggar sambil berlari mencemooh. Daripada terus-terusan dicemooh mendingan dibiarkan, agar mereka lebih leluasa melanggar lampu merah.
Thii….tt. Thiiithiii…..th.. Klakson menjerit . Kobar kaget. Di depannya puluhan motor melesat memburu arah. Ia tarik handle gas pol. Hampir menabrak motor di depannya. Di belakangnya sebuah mobil direm hentak, “Hey, mau mampus ya!!” Kobar pura-pura tak dengar. Lari, zig zag, mengacak jalan. Sirene mobil polisi meraung di belakangnya. Kobar berlari dengan kecepatan maksimal tenaga motornya. Angin menamparnya keras mengingatkan tentang keselamatannya. Jaketnya berkibar berkelebat-kelebat, helmnya hampir terlontar, tasnya bersembunyi tenang di balik punggung. Jalan yang dilaluinya menjadi begitu panjang dari biasanya. Di tikungan tajam Kobar hampir rebah. Lututnya mengena aspal. Dengan segala ketrampilannya Ia menguasai keadaan motornya. Ia tinggalkan kengerian orang-orang di sekitarnya. Lari melaju memburu. Waktu tak mungkin kembali meski sedetik pun untuk dihadiahkan padanya.
Ia memarkir kendaraannya seperti biasanya. Oh, masih banyak motor, berarti jam kantor belum usai. Tapi, motor yang diparkir kok beda dari biasanya. Apa teman-temanku telah ganti motor baru semua. Baru tiga hari aku cuti, mereka ganti motor baru, dapat tambahan dari mana? Wah, cair! Mungkin aku dipanggil untuk keperluan ini. Aku bisa jual ini untuk keperluan rumah tangga dan besok aku pakai motor baru. Dan, mobil-mobil yang diparkir di sana pun bagus-bagus, ada yang nampak masih baru. Moga-moga aku dapat jatah mobil karena prestasi kerjaku dan kesetiaan terhadap perusahaan. Tuhan, kabulkan permohonanku. Atau ada tamu dari perusahaan lain untuk keperluan bisnis dan aku adalah salah satu karyawan yang sangat dibutuhkan. Aku harus tampil elegan, tenang, berwibawa dan yang pasti nggak grogi apalagi nervous.
Kobar mencari Pak Rohmat, penjaga kantor, untuk mencari tahu keadaan kantor. Tidak mungkin Ia melongok sana-sini lewat jendela, tidak sopan, kekanak-kanakan dan kalau di dalam pas ada tamu tentu ini menjadi hal yang sangat memalukan. Ini bisa merusak prestise. Di depan gudang belakang tempat biasa Pak Rohmat beristirahat, tak ditemukan, di mushola tak ada orang, di pos penjagaan sepi, di warung depan tinggal pemilik warung dan seorang pelayan.
Di dalam masih ada orang. Kobar memutuskan untuk masuk. Ada Mba Ima sekretaris perusahaan yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Mba, Bos ada?”
“Ada. Ada perlu apa Pak? Lho, Pak Kobar kan sedang cuti?”
“Iya, tapi Bos memanggilku. Aku disuruh menghadap.”
“Tapi, saya nggak disuruh Bos untuk memanggil Pak Kobar.”
“Bos sendiri yang telepon.”
“Apa katanya?”
“Nggak tahu, adikku yang menerimanya. Boleh saya masuk sekarang?”
“Silahkan.”
Di depan pintu langkahnya terhenti. Kakinya terasa berat. Degup jantung yang tak teratur menggetarkan tubuh dan memeras kantong keringat. Ruangan terasa gelap, Ia mengerjapkan mata beberapa kali dan ruangan kembali terang. Aku harus akhiri keadaan ini secepatnya. Lebih cepat lebih baik.
“Thok…thok..thok..” Tak ada jawaban. Apa kurang keras aku mengetoknya
“Permisi Pak.”
“Silahkan masuk.”
Kobar ragu; benarkah itu suara bos atau aku salah dengar? Apa aku mesti ulangi lagi. Kalau mengulangi lagi dan ternyata tadi suara bos, apa nanti tidak bikin bos dongkol. Apa harus minta tolong Mba Ima untuk menyampaikan pada bos untuk menghadap. Ah, kayak tamu perusahaan saja, nanti dikira sok.
Salah itu manusiawi. Aku harus mengulangi lebih keras lagi.
“Thok..thok..thok.. Permisi Pak!” Suara kobar menggema ke seluruh ruangan. Memekakan telinga. Aduh, suaraku terlalu keras, tentu bos aka marah dan pasti aku dicap karyawan yang tidak baik, tidak sopan, tidak menghargai pimpinan, tidak menghargai Bos. Ia tengok ke arah Mba Ima, Mba Ima masih sibuk dengan pekerjaannya.
Kobar mendengar suara dari dalam ruangan Bos. Meski Kobar kembali ragu dengan suara itu, Ia memutuskan untuk masuk.
Pintu dibuka pelan. “Permisi Pak,” suara kobar pelan dan sopan dengan anggukan kepala.
Kobar terpaku, diam dan mengawasi seluruh ruangan. Pojok kanan, ke kiri ke samping kiri, ke samping kanan, tak ada orang. Di mana Bos, apa dia sedang ke kamar kecil? Apa aku harus duduk di kursi di depan meja Bos atau aku harus terus berdiri sampai Bos datang dan memepersilahkan aku duduk. Di meja semuanya telah rapi. Ini nggak beres. Tak ada orang di sini. Tak ada. Bos pasti sudah pulang. Listrik sudah dimatikan semua. AC sudah mati, komputer sudah mati, kursi sudah rapi.
Kobar berbalik arah, keluar. Di meja sekretaris tak ada orang. Mba Ima sudah pulang. Di meja ada secarik kertas bertuliskan; ditunggu boss di rumah! Segera. Kobar blingsatan, aku harus segera ke sana, segera! Sebelum semuanya terlambat. Sebelum kesempatan itu hilang dan tak pernah kembali lagi. Sebelum berubah arah.
Kobar berlari. Berlari di jalan, saling mendahului, berpacu. Berlari.               
                                                                                    Januari, 2004

Nonet; Bahasa lokal daerah penulis  yang berarti bergegas tergesa dengan segera menuju sesuatu tujuan.

            

Kamis, 14 Maret 2019

LANGIT-LANGIT KERTAS (sebuah cerpen)


soleh djayim

Sudah lama sekali aku tak mendengar namaku dipanggil. Bahkan seperti lupa siapa namaku. Tak ada yang mengenalku. Makan sedapatnya tak tentu, tidur dimana mata mengantuk. Berhenti selelah kaki melangkah. Nomaden, berganti-ganti jalan yang dilewati, berganti-ganti langit yang memayungi, berganti wajah tertemui. Semua tak peduli. Semua tak mengerti dan tak mau mengerti. Suara-suara asing silih berganti membawa hati dan pikiran ke alam yang tak dimengerti. Tak ada rasa jemu, tak ada rasa senang. Datar dan biasa-biasa saja. Mengalir seperti air di sebuah sungai besar ketika kemarau. Berjalan seperti angin dini hari yang lambat, dingin menusuk seluruh persendian. Belantara alam dengan segala fasilitas manusia yang terus menerus bertambah, terus menerus beragam. Selalu bising namun lengang di telingaku, selalu ramai lalu lalang tapi sepi di mataku yang kosong dimasuki sinar yang berpendar-pendar bergonta-ganti warna.
Ini sudah menjelang subuh atau masih dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama saja. Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak tentu nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut agar bisa tidur dan melepas lelah sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para pekerja keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur menjadi sebuah kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu. Tak ada tanda atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura jadi orang gila agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan hartanya. Tapi untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu agak lama untuk belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang mengasyikan menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan akan menjadi permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku telah begitu banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap kedamaian dan keindahan mendekat pada sang pencipta.
Pagi menjelang siang. Meski kabut masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti, duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas. Suara adzan subuh yang terdengar tadi telah membawaku ke masa kecil. Ketika menjelang maghrib kami berlari-lari menuju masjid untuk sholat maghrib berjamaah dan seusai shalat mengaji dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin seperti dia. Semua polah tingkahnya mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku ingin mengaji kembali. Masih ingatkah Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat maklum. Tak ada yang mengenal aku sekarang.
  Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Aku sangat kangen pada suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali pupusnya harapan untuk memilikinya. Siapa orang yang mau punya menantu seperti saya dan siapa wanita yang mampu menanggung malu punya suami sepertiku.
Tak apalah. Hidup harus tetap berjalan, dan mengakhiri hidup dengan membunuh diri adalah dosa besar yang masih saya takuti. Mungkin semacam takut para pejabat jika kehilangan kekuasaan. Dan rasa lapar yang sering saya tahan, tak membuat saya mati, bukan menjadi alasan untuk bertahan dan bermalas-malasan mencari uang. Mencari uang perlu keberanian dan kekuatan. Bahkan hanya sekedar memperoleh uang untuk makan sore pun, saya pernah hampir dibunuh. Sepertinya, menunjukkan kekuasaan menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk bertahan. Mungkin saya terlalu sederhana membacanya; ketika tidak ada orang yang menarik uang parkiran di depan sebuah toko kain dan pakaian yang tak begitu ramai, saat itu gerimis cukup tebal, saya berinisiatif meminta uang parkiran. Satu dua sampai lima pemakai motor memberikan uang parkiran setelah saya hanya mendekat, sedikit membantu dan memberi aba-aba. Saat orang ke delapan, seorang yang agak tinggi kerempeng, menendang dari belakang dan membuat saya tersungkur mencium lantai. Sebuah belati kecil terhunus dan diacungkan  di mata, “mau mati kamu!?” Ia membentak dengan nada sangat mengancam. Saya melompat lari menabrak tembok pembatas pinggir jalan, terjerembab, bangkit dan segera berlari lagi. terus berlari sampai habis nafas dan berhenti di warung kecil untuk makan seharga lima ribu.
Dunia penuh dengan prasangka dan curiga. Saya menjadi orang yang seolah semua orang patut bercuriga. Menolong seorang ibu-ibu tua yang tersiksa membawa barang belanjaan di pasar, menjadi sebuah perhatian begitu banyak orang. Bukan merasa salut dan senang dengan saya menolong, tapi mereka mengamati setiap langkah, kalau-kalau saya mau membawa kabur barangnya. Maklum saja, karena pakaian saya lusuh, tidak bagus dan tak berkulit bersih. Jadi, pikirku, kalau mau berbuat jahat, berpakaianlah yang bagus dan bertindak santun bertatakrama. Dan niatku untuk menolong setiap ada yang perlu ditolong, akan saya lakukan, jika yang ditolong curiga dan takut, tak perlu dijelaskan niat baik saya. Batal menolong menjadi pilihan karena akan mengurangi beban ketakutannya.
Kadang enak juga di anggap orang gila. Secara sadar, berperilaku seperti gila menjadi cara agar saya di maafkan berbuat sesuatu yang dianggap salah. Bisa mendengar dan melihat kecurangan dan rahasia-rahasia kecil di setiap tempat. Di pasar, para pedagang yang mengurangi timbangan, mencampur barang beda kualitas atau menjual barang bekas yang dipoles menjadi seperti baru, bersandiwara harga dengan komplotannya untuk menjebak pembeli dan begitu banyak kecurangan yang sebelumnya tak saya mengerti. Saya jadi tahu, karena saya gila mereka tak perlu berrahasia. Yang datang ke pasar adalah calon korban, dan si korbang harus tidak sadar jika ia di jadikan korban dan akan kembali lagi membawa uang dengan senyum ramah. Di pinggir jalan, di warung emper toko, di angkringan, di tempat-tempat yang jika ada orang mereka tak berani bicara kecurangan, saya di anggap tidak ada dan tidak apa-apa mendengar.
Mereka yang culas, berpakaian bersih, bergamis dan bermuka kelimis, bersenyum sejuk, pandainya berakting. Bersembunyi, bersembunyi, bernyanyi menghibur diri, bernyanyi menyembunyikan diri. Saya tahu, mereka tak tahu. Saya menertawainya, mereka tak menganggap apa-apa tertawa saya.
Sebuah rencana pembunuhan di hadapanku. Seperti sebuah obrolan biasa, tanpa emosi, tanpa amarah. Di sebuah jembatan sambil mancing dan kopi yang di pesan di warung kecil di pinngir jalan yang hanya buka di malam hari. Saya mendengar dan tahu jadwal dan caranya. Saya sampaikan ke polisi di pos pertigaan lampu merah. Sebelum tuntas bicara, mereka mengusirku. Karena saya tak bersih jadi tak layak dipercaya. Saya di usir sebagai orang gila. Esok malamnya, yang mereka rencanakan terjadi, seisi kota heboh. Saya mendatangi polisi yang lain, memberi info, mereka mengusir sebelum kalimat kedua dimulai. Saya berlari ke pasar, mencuri pakaian di toko yang mudah di jebol, saya pakai dengan tergesa. Saya datangi kerumunan di TKP, mereka percaya, menjadikan informasi saya sebagi titik awal mencari pelaku. Esoknya dua pelaku diringkus.
Malangnya, saya ikut ditahan polisi sebagai saksi katanya. Ditanya macam-macam, saya jawab-jawab hanya dengan yang saya dengar. Mereka tak puas dengan jawabanku. Saya dianggap mereka-reka dan dianggap sebagai komplotannya yang sedang pecah. Beberapa nama kelompok dengan nama seram dikaitkan. Saya jawab tak tahu, dan jawaban ketaktahuan saya berbuah sebuah pukulan, “jika kau tak juga mengaku, kau akan mendapat lebih dari ini!”. Saya berpikir keras agar bisa keluar tapi tidak mendapat tekanan dan pukulan. Berpura-puralah saya gila. Dan berhasil, karena badan saya yang kotor dan bau. Sebelum melewati pintu, saya nyomot makanan yang ada di piring di atas meja ruang tengah. Saya kantongi sambil ketawa-ketawa seperti anak kecil. Saya makan sambil senyum-senyum.
Esoknya, saya ketemu dengan dua pembunuh yang di bebaskan. Keterangan dari orang gila tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, mereka pun bebas. Mereka mencari saya, tentu saya akan dibunuhnya. Beruntunglah, saya melihat lebih dulu sebelum mereka tahu. Saya bersembunyi dan lari, berganti baju, berganti penampilan, menuju kota lain terdekat. Berjalan tak tentu arah, tak tentu perasaan. Ternyata saya merasa masih perlu mempertahankan hidup, perlu menghindari sebuah ( mungkin ) rencana pembunuhan terhadapku. Kadang juga saya berpikir, pentingkah saya sehingga saya harus dibunuh. Dan untuk merasa tak terbebani saya memilih merasa menjadi tidak penting bagi orang lain. Tak mengertilah saya, kenapa harus tahu banyak sesuatu yang bagi orang lain sebuah rahasia besar. Tak percaya aku, sebuah pembunuhan besar yang kemudian menyeret tokoh papan atas negeri ini, saya dengar di taman kecil tempat para gelandangn beristirahat. Tanpa makanan dan minuman mahal, hanya dua botol air mineral dan dengan tampang dan bicara yang sederhana. Sebuah rencana penggulingan pejabat tinggi yang penampilannya selalu mengesankan, saya dengar ketika saya melewat di depan sebuah warung kecil di pinggir yang hanya buka di malam hari. Saya berpura-pura mengorek-ngorek tempat sampah mencari sisa makan. Mereka berdua di tikar terjauh, asik mengatur cara dan jadwal semua cara dan berita apa yang akan diturunkan pada saat tertentu yang telah disiapkan lengkap dengan pelakunya. Saya dengar semua, dan esoknya, muncul berita itu sampai kemudian tokoh itu benar-benar lengser berkalung simbol orang yang culas.
Opini sudah terbentuk dan kursi sudah mulai goyang, kaki-kakinya retak-retak mulai agak patah, Jika saja orang dekatnya yang ku temui dan kuceritai percaya apa yang aku dengar dan kuceritakan padanya, tak sampai hal itu terjadi. Semua berjalan dengan cepat. Kursi empuk itu mulai miring dan si empunya sudah panas duduk diatasnya. Tak perlu waktu tujuh hari, semua sesuai rencana yang saya dengar. Dan seluruh pelosok negeri telah men-capnya sebagai orang yang tak pantas menjadi seorang pejabat pengambil keputusan besar bagi negara. Rakyat telah menjadi hakim yang telah berhasil dibentuk oleh media yang terus berpropaganda demi kepentingan sang pembayar.
Ketika orang yang saya kasih tahu tentang rencana makar dan Ia tak percaya, mencariku, bertanya tentang siapa lagi target penggulingan, saya tertawa terbahak-bahak sambil berputar-putar, menari-nari, melompat kiri kanan, berteriak-teriak seperti pujangga mabuk membacakan puisi di panggung. Orang itu tetap sabar menanti jawabanku. Saya kasih tiga nomor buntut judi togel Singapura untuk mengalihkan rasa ingin tahunya. Ia abai, tak dipasangi. Tak dinyana, tiga nomor itu tepat tembus. Saya jadi orang paling dicari di kota. Sebelum saya diburu lebih parah para penjudi togel, segeralah pindah kota. Menyusuri jalan-jalan kecil, menumpang truk terbuka, berlari-lari seperti anak kecil, tidurlah saya di pasar beralaskan kardus bekas bungkus panci. Dan tetap saja ada orang yang memburuku. Semakin banyak, dan mereka ada di sekitarku tapi tak tahu persis dan hanya meraba. Aneh, darimana mereka tahu? Untuk apa? Mungkin untuk minta angka judi togel, mungkin untuk cari tahu siapa sebenarnya aku ( yang saya sendiri tidak tahu ), mungkin untuk cari informasi agenda rahasia yang saya tahu untuk menjualnya, mungkin untuk membunuhku. Membunuhku? Mereka kira saya peduli dengan hidup atau matiku! Ada yang bertampang wartawan, ada yang bertampang kyai, ada yang bertampang intel, ada yang bertampang polisi, ada yang bertampang gila, ada yang bertampang gembel, lebih gembel dariku. Yang terakhir lebih membuat saya perhatikan. Ia bisa saja ingin lebih gampang mendekatiku untuk membunuhku. Membunuhku? Sebegitu pentingkah saya sehingga ada orang yang ingin saya tidak hidup? Mengganggukah saya?
Saya tulis semua yang dialami pada kertas-kertas saya, tersimpan rapi, seperti buku agenda pada kertas-kertas terpisah yang belum sempat dijilid dan kubawa selalu. Juga kertas-kertas kiriman teman-temanku ( teman sepertiku ) dari seantero pelosok negeri. Banyak sekali yang mereka tak tahu. Mereka?  Mereka siapa? Jika saya kasihkan kertas-kertas saya pun, apa mereka bisa membaca? Kertas-kertas saya berserakan; di langit, di tanah lapang, di gedung, di sungai, di jalan, di laut. Jika saya bacakan di hari ulang tahun kemerdekaan dan disiarkan langsung oleh seluruh televisi, apa jadinya negeri ini. Saya tak kasihkan pada siapapun dengan banyak pertimbangan.
Dan membiarkan mereka memburu saya. Mereka yang ada di sekitarku, berlari-lari menuruti perintah tuannya. Berlari-lari. Saya ada di sekitarnya.
November 2016

Jumat, 22 Februari 2019

MEMBACA LAGI SOE HOK GIE



Membaca sebuah buku yang sedang diselesaikan bacanya oleh anakku, jadi kembali teringat kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu (kalau tidak salah ingat 1994), ketika membaca sebuah buku berjudul, Soe Hok Gie Catatan seorang demonstran. Buku ini diberi judul Soe Hok Gie ...Sekali lagi, bergambar close up wajah Gie,  Diatas judul buku ada tulisan; Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Di pojok kiri atas ada tulisan; Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.

Saya baca sekilas buku tersebut, acak, tak banyak dan hanya sedikit sekali yang saya baca. Ada yang sempat saya baca tentang bagaimana sosok Soe Hok Gie dijadikan sebuah film yang diproduseri oleh Mira Lesaman dan disutradai Riri Reza. Sekilas lain tentang bagaimana kejadian ketika Soe Hok Gie Meninggal saat mendaki gunung Semeru yang katanya keracunan.

Saya tak akan membahas tentang buku yang dibaca anakku, juga tentang buku yang dua puluh lima tahun yang lalu saya baca. Yang ada dalam pikiran dan angan-angan saya, jika seorang Soe Hok Gie hidup pada jaman sekarang dengan segala kecerdasan, semangat dan keberaniannya. Seorang muda yang tanpa takut melawan dan meyuarakan ketidakadilan dan kecurangan. Terus menerus bersemangat menulis dan menginspirasi orang-orang disekitarnya. Dijamannya, menurut yang saya baca, Ia begitu hebat dan kecerdasannya dimnfaatkan dengan sangat baik untuk terus menerus berjuang membangun area yang bersih dari kekotoran, kecurangan dan kelicikan.

Kita bisa membayangkan kehebatannya jika Ia bertindak dan melakukan pada jaman sekarang. Bisa saja kita menyangka kehebatannya karena Ia berkelakuan dan bertindak tepat ketika masa tahun 60an dan tidak akan sehebat itu jika diterapkan pada masa sekarang. Tetapi kehebatannya pada masa itu karena terpengaruh oleh sosial budaya dan segala gaya hidup yang tumbuh di sekitarnya. Ia disebut cerdas, tentu ada komparasi dari orang lain yang hidup di jamannya. Jika Ia hidup di masa sekarang pun, mungkin sekali Ia lebih hebat lagi karena didukung fasilitas komunikasi dan banyaknya bahan bacaan yang bisa jadi referensi dalam menulis dan bertindak. Dan tentu ada banyak resiko bagi siapapun orang yang berani terhadap sebuah rezim. Kematiannya Soe Hok Gie yang masih sangat muda, ketika sedang mendaki Gunung Semeru, pun menjadi misteri. Atau, bisa saja karena kematiannya itulah yang membuat nama Soe Hok Gie menjadi termasyhur, dan akan biasa-biasa saja jika Ia tidak mati di saat sedang menjadi perbincangan banyak orang kala itu. Keterkenalan akan menjadi lebih masyhur ketika terjadi tragedi yang mengakhiri keterkenalannya.

Diperlukan orang-orang kritis dan berani menyampaikan ketidakadilan, ketimpangan, kecurangan atau segala hal yang melanggar aturan yang telah ditetapkan, atau norma dan etika yang ada di masyarakat. Aktivis itu perlu di dalam setiap rezim, juga oposisi. Aktivis diperlukan sebagai penyeimbang dan pemberi peringatan jika rezim yang berkuasa atau pihak oposisi melakukan tindakan yang salah atau melanggar aturan yang ada. Aktivis tak berpihak pada penguasa dan juga tidak berpihak pada oposan. Oposisi diperlukan, juga agar rezim berkuasa bertindak kebablasan karena tidak ada pihak lain yang mengawasi dan memperhatikan. Oposisi ada bukan sekedar untuk menampung syahwat politik untuk mengganti kekuasaan yang sedang dinikmati oleh kubu lawan. Oposisi ada sebagai penampung dan penyeru pada hal-hal yang bisa merugikan rakyat atau bisa melemahkan negara. Siapapun rezim yang sedang berkuasa, oposisi tetap harus ada sebagai penyeimbang.

Aktivis sejati tidak akan pernah tergiur oleh kursi kekuasaan. Ia akan terus berteriak-teriak jika ada ketidakberesan. Ia tak akan mau dilemahkan dan ditundukkan oleh kenyamanan dan uang yang ditawarkan. Jika Ia berteriak teriak di jalan karena lapar, kemudian masuk arena kekuasaan dan duduk manis di kursi belakang meja dengan beraneka macam menu, gugurlah sebutan aktivis, dan sebutan aktivis yang pernah disandangnya berubah menjadi nama menjadi topeng. Bertopeng aktivis dalam berebut kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan, yang menang akan disebut pahlawan oleh penguasa, dan yang kalah akan disebut pemberontak atau disebut melakukan tindakan makar yang perlu disingkirkan.

Saya mengangankan, ada aktivis yang kritis, obyektif, cerdas dan tidak tergiur oleh uang dan kursi kekuasaan, terus menerus ada di setiap generasi. Realitas kehidupan membuat para aktivis lebih suka memilih uang, kenyamanan dan kekuasaan ketika sadar bahwa hidup berkeluarga beranak pinak memerlukan uang yang banyak dan cukup untuk biaya gaya hidup. Sangat jarang aktivis yang bertahan terus menerus tetap menjadi aktivis dengan segala idealismenya sampai akhir hayatnya. Karena aktivis yang vokal di setiap rezim akan dipinggirkan, disisihkan dan tak nyaman. Idealis versus realistis dalam jiwa aktivis akan terus berkecamuk sampai kemudian menyerah untuk menghidupi keluarga yang dibangun.  
21:29 21022019

Kamis, 31 Januari 2019

MENGAKU JUJUR, BERSIH, PINTAR DLL


Menjelang pemilu serentak tanggal 17 April 2019, kita disuguhi begitu banyak calon legislatif yang menawarkan diri untuk dipilih. Gambar-gambar dengan beraneka warna, bermacam-macam ukuran, bermacam-macam pose dan bermacam-macam tulisan menyatakan diri sebagai orang yang bersih, jujur, pintar, dan semua hal yang baik-baik, ditata sedemikian rupa sehingga menurut mereka yang terpajang, akan membuat para pemilih tertarik. Cara itu efektifkah? Saya tak pernah melakukan survey untuk menjajagi seberapa besar baner dan foto-foto yang dipasang para caleg mempengaruhi pikiran untuk memilih. Karena memperkenalkan diri bahwa, saya sedang mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPD adalah hal yang perlu sekali. Jalan dan tempat umum yang sering dilewati orang menjadi pilihan untuk memperkenalkan diri dan berupaya agar banyak orang tertarik. Tidak semua orang bisa dan terbiasa mengakses media sosial atau media massa digital lain, dan inilah yang membuat kampanye berbentuk fisik menjadi pilihan utama meskipun biayanya lebih mahal.

Dan, lihatlah begitu banyak para caleg yang mengaku-ngaku yang dituliskan pada alat peraga kampanyenya. Pernahkah kita percaya seratus persen terhadap orang yang mengatakan, “saya jujur, pintar, bersih, peduli, merakyat, .....” 

Seseorang yang asli pintar, kemudian dia dengan semangat mengaku-ngaku pintar, itu akan membuat orang yang mendengar atau membacanya menjadi kurang percaya atau bahkan bisa berbalik menjadi tidak percaya kalau ‘dia’ pintar. Mereka yang mengaku-ngaku jujur, adakah orang yang mendengar atau membacanya langsung percaya kalau mereka benar-benar jujur? Mereka yang mengaku-ngaku bersih, mengaku-ngaku amanah, mengaku-ngaku berjuang dengan hati nurani, mengaku-ngaku merakyat, mengaku-ngaku peduli. Yang lebih aneh lagi, mengaku memberi bukti bukan janji, padahal ia belum pernah sekalipun menjadi anggota DPR. Bukti yang mana kalau ia sama sekali belum pernah jadi anggota DPR. Bukankah ‘bukti’ yang baru akan dilaksanakan nanti jika ia jadi, itu baru sebuah janji. Bukti akan terrealisasi jika janjinya dilaksanakan. Terus, kapan ia bisa membuktikan, ‘memberi bukti, bukan janji’ kalau ia belum pernah jadi DPR.

Demi mendapat simpati dan mendapat suara pada hari H, mereka bersombong-sombong sebagai orang yang paling pantas dipilih dibanding dengan para caleg lain. Nggak apa-apa, karena tak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk mengimbangi caleg lain. Hubungan kekerabatan, pertemanan dan hubungan sosial, tak cukup aman untuk memperoleh batas suara yang ditetapkan. Untuk memperoleh kekuasaan, segala cara harus ditempuh meski bertentangan dengan hati nurani.

Dan para pemilih, terpengaruhkan dengan cara mereka menawarkan diri untuk menjadi wakilnya? Atau tak peduli dengan gambar-gambar yang berserakan di pinggir jalan.

Percayakah kita pada orang jujur yang mengaku jujur di setiap tempat?
22.56­_29.01.2019