Budaya menonton dari masysarakat
Indonesia dimanfaatkan betul oleh pelaku politik untuk mempengaruhi opini
rakyat. Saya sebut saja TVOne dan Metro TV, tadinya saya mengira mereka memihak
kepada salah satu pasangan capres hanya ketika masa kampanye saja. TVOne sebagai corongnya pasangan
Prabowo-Hatta dan metro TV sebagai corongnya pasangan Jokowi-JK. Keberpihakan
mereka dikarenakan para pemilik televisi itu berada dan mendukung calon yang
diusungnya. Maka penonton pun terbagi menjadi dua, yang mendukung Prabowo-Hatta
cenderung lebih memilih menonton TVOne dan yang mendukung Jokowi-JK cenderung
lebih memilih Metro TV. Keterbelahan penonton menciptakan proses pemikiran yang
menghasilkan pendapat yang berbeda. Mereka saling menyalahkan berita dan
pendapat yang dikabarkan oleh televisi yang tidak seide dengannya.
Untuk meykinkan para pemirsa,
narasumber yang diundang oleha stasiun televisi pun di pilih bagi mereka yang
sesuai dengan pendapatnya. Keberpihakan pun merasuk juga pada pembawa acara
yang berpura-pura netral tapi jelas sekali pertanyaan dan ungkapan pengantarnya
berpihak pada pasangan Capres yang didukungnya. Mereka menjadi bagian dari
permainan politik itu dan ikut bermain aktif. Ungkapan-ungkapan menyindir dan
menyalahkan lawan politik dengan nada suara yang nyinyir dipoles untuk membangkitkan emosi
penontonnya. Televisi alat politik itu menjadi provokator yang efektif.
Untuk mendukung pendapat dalam
acara yang tayangankan, produser acara tersebut mencari atau mewawancarai
orang-orang yang sependapat dengannya dengan latar belakang yang membuat para
penonton tersentuh dan berempati. Dalam tanyang wawancara tersebut biasanya
ditayangkan lebih banyak sekali pendapat yang pro sedangkan yang kontra hanya
sekali, hanya sebagai ‘penyeimbang’ imitasi untuk mengelabui penonton. Mereka
tak lagi mempedulikan fungsi media massa sebagai pemberi kabar kebenaran dan
tak terpengaruhi oleh siapa pun. Uang yang diperlukan untuk biaya operasional
dan target laba yang dibebankan oleh pemilik modal, telah melupakan idealisme
jurnalistik.
Sebisa mungkin, mereka akan
mengabarkan tentang ketidakbaikan seseorang yang berada dalam kelompoknya
dengan nada dan pilihan kalimat yang mengarahkan penonton untuk tidak
memvonisnya sebagai seorang yang salah. Sebaliknya jika ada kabar tidak baik
dari salah seorang kelompok sebelah, mereka membumbuinya dengan berbagai cara
dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan yang menjadi tidak baik.
Dengan visualisai yang membuat
para penonton terkesima, berkampanye lewat televisi menjadi efektif, setidaknya
untuk masa sekarang, ketika sebagian masyarakat masih gampang percaya dengan
berita pertama yang didengar dan tak merasa perlu mencari informasi lain yang
kemungkinan berbeda sebagai referensi.