Pagi hari.
Aku melihat
Dari jendela dapur
Bunga warna ungu, indah
sekali.
Seperti peri.
Saya sebut tulisan di
atas sebuah puisi. Kali ini saya baca lagi. Ya, sebuah puisi dari anakku di
bulan Agustus 2013 pas saya ulang tahun, tiga tahun lalu. Sambil berlatih
menulis dengan menggunakan laptop, Ia eja satu satu dan sibuk mencari posisi
huruf di keyboard. Maklum saja, anakku belum hafal dan belum terbiasa menulis
pakai keyboard. Ia masih baru masuk TK. Saya menjadi merasa perlu untuk
menyimpan tulisannya yang hanya lima baris itu. Ia menulis tanpa ada pengarahan
dariku. Saya terkesima dengan ide sederhananya.
Saya tidak tahu kenapa
Ia memilih kata ‘jendela dapur’ yang di dalam rumah tidak ada jendela di dapur
yang dapat untuk melongok melihat bunga. Jika kata; bunga warna ungu, mungkin
yang Ia maksud, bunga senggani yang memang ada di halaman rumah belakang. Dan
yang lebih saya terkaget dan bingung adalah kata indah seperti peri. Waktu saya
tanya peri itu seperti apa, Ia hanya tersenyum disambung dengan tawa yang tak
kumengerti. Dan saya berusaha menjawab pertanyaanku sendiri, apakah menurut
anakku peri itu indah, atau menurutnya peri itu seperti bunga yang berwarna
ungu. Jika Ia memiih kata; pagi hari, mungkin karena saat menulis pas pagi
hari, karena saya pikir imajinasi anakku masih sederhana dan tak menciptakan
sebuah kalimat bertafsir yang ke banyak penjuru ide.
Kadang saya
berprasangka baik jika anakku itu menulis dengan naluri benih kesastrawanannya.
Kemudian saya berangan-angan kelak Ia menjadi seorang penulis kesohor. Puisi
yang Ia tulis memang sederhana, sangat sederhana. Itu jika kita menafsirkannya
secara sederhana dan menganggap itu sebuah tulisan seorang anak kecil yang
sedang latihan menulis.
Coba saja jika tulisan
sederhana itu di tulis oleh seorang sastrawan besar seperti Sapardi Djaka
Damono, WS Rendra, Khairil Anwar, Gunawan Muhammad, Pramoedya Ananta Toer atau
Kahlil Gibran, pasti para pengamat dan kritikus sastra akan menafsirkan tulisan
sederhana itu dengan berhalaman-halaman penafsiran yang dikait-kaitkan dengan
kondisi pada saat di tulis, keadaan penulis, kecenderungan idealis penulis,
kondisi sosial politik dsb dsb. Berbagai perdebatan di media pun silih berganti
bermunculan, sampai kemudian subyektifitas pengamat saling beradu argumen.