Label

Jumat, 16 September 2016

puisi anakku

Pagi hari.

Aku melihat

Dari jendela dapur

Bunga warna ungu, indah sekali.

Seperti peri.

Saya sebut tulisan di atas sebuah puisi. Kali ini saya baca lagi. Ya, sebuah puisi dari anakku di bulan Agustus 2013 pas saya ulang tahun, tiga tahun lalu. Sambil berlatih menulis dengan menggunakan laptop, Ia eja satu satu dan sibuk mencari posisi huruf di keyboard. Maklum saja, anakku belum hafal dan belum terbiasa menulis pakai keyboard. Ia masih baru masuk TK. Saya menjadi merasa perlu untuk menyimpan tulisannya yang hanya lima baris itu. Ia menulis tanpa ada pengarahan dariku. Saya terkesima dengan ide sederhananya.

Saya tidak tahu kenapa Ia memilih kata ‘jendela dapur’ yang di dalam rumah tidak ada jendela di dapur yang dapat untuk melongok melihat bunga. Jika kata; bunga warna ungu, mungkin yang Ia maksud, bunga senggani yang memang ada di halaman rumah belakang. Dan yang lebih saya terkaget dan bingung adalah kata indah seperti peri. Waktu saya tanya peri itu seperti apa, Ia hanya tersenyum disambung dengan tawa yang tak kumengerti. Dan saya berusaha menjawab pertanyaanku sendiri, apakah menurut anakku peri itu indah, atau menurutnya peri itu seperti bunga yang berwarna ungu. Jika Ia memiih kata; pagi hari, mungkin karena saat menulis pas pagi hari, karena saya pikir imajinasi anakku masih sederhana dan tak menciptakan sebuah kalimat bertafsir yang ke banyak penjuru ide.

Kadang saya berprasangka baik jika anakku itu menulis dengan naluri benih kesastrawanannya. Kemudian saya berangan-angan kelak Ia menjadi seorang penulis kesohor. Puisi yang Ia tulis memang sederhana, sangat sederhana. Itu jika kita menafsirkannya secara sederhana dan menganggap itu sebuah tulisan seorang anak kecil yang sedang latihan menulis.

Coba saja jika tulisan sederhana itu di tulis oleh seorang sastrawan besar seperti Sapardi Djaka Damono, WS Rendra, Khairil Anwar, Gunawan Muhammad, Pramoedya Ananta Toer atau Kahlil Gibran, pasti para pengamat dan kritikus sastra akan menafsirkan tulisan sederhana itu dengan berhalaman-halaman penafsiran yang dikait-kaitkan dengan kondisi pada saat di tulis, keadaan penulis, kecenderungan idealis penulis, kondisi sosial politik dsb dsb. Berbagai perdebatan di media pun silih berganti bermunculan, sampai kemudian subyektifitas pengamat saling beradu argumen.

Subyektifitas dalam sastra (puisi) memang menjadi sesuatu yang menarik, baik pada si penulis maupun pada pengamat ataupun kritikus. Sebuah subyektifitas yang diolah dan diramu dengan obyektifitas sedemikian rupa oleh si penulis sehingga menghasilkan tulisan yang menarik dan melahirkan penafsiran yang berbeda-beda pada setiap pembaca. Dan saya secara subyektif menganggap tulisan anak saya menarik dan saya sering menafsirkan dengan berbeda-beda.

Kamis, 15 September 2016

Bruno Birahi

djayim.com
Saya begitu yakin sebelumnya, jika kucingku, kucing kesayangan sekeluarga berjenis kelamin laki-laki, jantan, karena sewaktu saya membawanya dari rumah sang pemberi, ia menyebutnya kucing jantan. Sampai kemudian saya menyempatkan untuk lebih meneliti jenis kelaminnya. Tentu dengan mengamati detail lokasi yang menentukan apakah kucingku cewek atau cowok. Dan, aku berkesimpulan ia perempuan, cewek, wanita. Wanita? Kayaknya ‘wanita’ hanya pas untuk orang. Masak ada kucing wanita. Terus, apa sebab saya harus meneliti jenis kelamin kucingku itu? Karena ia mengalami masa birahi yang nampaknya sangat menyiksa.

Kucing yang sebelunya jarang sekali bersuara itu menjadi mengeong-ngeong agak keras berulang-ulang meski tidak seperti kucing ras jawa. Ia sangat memerlukan pelepasan rasa birahi yang datangnya pada masa tertentu dan nampaknya menjadi sebuah keharusan. Jika ia di elus-elus punggungnya, ia memperlihatkan gerak menata diri untuk siap ‘menerima’ dengan gerakan-gerakan erotis ala kucing. Dengan niat ingin membantu dan kasihan melihat raut mukanya, saya bawa ia ke rumah tetangga agak jauh yang punya kucing sejenis.

Kucing punya tetanggaku ternyata lebih besar, mungkin beda ras atau karena lebih gemuk. Mungkin kucing saya ras Angora, yang punya tetangga ras Persia. Saya dekatkan dengan kucing tetanggaku itu, tapi keduanya menebar sikap tak bersahabat. Seperti menemui musuh yang harus dikalahkan satu sama lain. Sepertinya rasa birahi di kucingku sementara hilang. Perlu pendekatan dan pengenalan dalam dua tiga hari mungkin, pikirku. Setengah jam saya coba memulai untuk mengakrabkan. Misiku gagal, saya bawa pulang ia dan sampai di rumah, si Bruno, kembali mengeong-ngeong ‘kegatelan’. Kasihan sekali ia, sampai anak saya yang kelas tiga es-de berkali-kali menanyakan sambil mengelus-ngelus bulunya yang menggemaskan, “Kamu kenapa Brun, sakit yah?”

Saya namai kucing saya Bruno, kalau tidak salah Bruno III. Itu karena setiap saya punya kucing saya namai Bruno. Tentu tidak ada kaitannya denga Frank Bruno petinju legendaris Inggris itu. Bruno I saya namai pas ketika Frank Bruno masih malang melintang di dunia adu jotos itu, sekira akhir tahun 80an. Kucing yang saya namai Bruno ketika itu berjenis kelamin laki-laki. Bruno II juga laki-laki, pejantan. Keduanya kucing ras jawa. Untuk Bruno III, saya ragu apakah ia jantan atau betina. Waktu saya amati seperti betina, tapi waktu saya perbandingkan dengan gambar yang mbah google punya, yang jantan pun posisi kelaminnya mirip dengan kucing saya. Saya tinggal nunggu apakah ia hamil atau tidak, karena setelah tiga hari saya biarkan berkeliaran mencari pasangan, ia kemudian tenang lagi dan tidak goranggantĂ©ngan. Jika tak hamil, berarti kucingku jantan atau ia betina tapi tak ada kucing jawa yang ‘sudi’ melepas birahinya.

Nama Bruno akan tetap saya pakai untuk menyebutnya, toh kucing tak akan protes apakah itu nama untuk betina atau jantan. Atau barangkali sebenarnya ia protes, karena sering kali ketika saya panggil Bruno, ia hanya melirik sedikit sinis. Kelak jika kucingku yang sekarang hilang atau mati, saya akan tetap menamainya Bruno untuk kucing penggantinya, dengan tidak memperdulikan jenis kelamin.


15 September 2016

Sabtu, 10 September 2016

Berinternet yang menjengkelkan

Saya sering merasa kesal jika membuka web di laptop atau pc yang memakai OS Windows. Ketika saya klik atau saya buka di tab baru selalu diarahkan ke situs belanjaan. Juga selalu di tutupi oleh iklan yang saya sama sekali tak ingin melihatnya. Otomatis saya close dan buka lagi, tapi selalu muncul begitu. Sudah berulang kali mencoba setting browser atau uninstall program yang dengan pe-denya masuk lewat jalur internet dan tanpa sepengetahuan memasangkan diri. Tapi hanya sebentar dan kembali muncul maslah dalam berselancar di dunia maya. Tool jebakan juga sering mengantar saya pada situs game atau situs belanjaan yang tidak sedang diperlukan. Bahkan simbol close (X) dan tulisan close pun kalau di klik akan langsung mengarahkan pada laman yang tak di tuju.

Saat browsing pada laptop atau pc yang memakai OS Windows, seolah bayak sekali aplikasi yang menjengkelkan masuk dan susah untuk di usir. Malware hampir ada dan bersembunyi di setiap tempat yang kita sering tak menduganya. Lain halnya jika kita browsing dengan OS android jika di HP atau pakai Ubuntu jika di PC. Dengan aplikasi android atau Ubuntu, jika pun ada iklan, bisa di close dan tidak langsung mengarahkan pada situs yang tak diundang. Yang bikin malware mungkin orang yang ingin barang bikinannya dilihat dan dan diminati orang tapi dengan cara menyusup dan tak perlu bayar ruang iklan. Atau sekedar iseng untuk membobol ‘ketahanan’ sistem operasi. Dan hal yang tak bisa kita hindari saat masuk dalam dunia maya adalah banyak sekali orang yang berkepentingan, orang yang iseng, orang yang berperang dalam dagang, orang yang berlomba menjatuhkan lawan, orang yang bereksperimen, orang yang berkepentingan dengan idealismenya.

Semua punya kepentingan terhadap uang pada jaringan informasi dan komunikasi. Membuat sebuah situs berita, tentu perlu biaya yang tidak sedikit untuk membiayainya dan untuk tetap eksis dalam persaingan kejam di dunia media. Media baca, seperti koran, tabloid dan majalah yang kita bisa memilih iklan apa yang perlu kita lihat, sudah semakin terasa ribet. Perasaan ribet ini karena muncul media baru, smart phone, tab, laptop dan sejenisnya, yang dala satu wadah bisa menyimpan jutaan informasi. Dan pembiayaan dari semua informasi dan berita pada teknologi digital itu sebagian besar dari iklan.

Para produsen berlomba-lomba menjual barang produksinya untuk membiayai seluruh kegiatannya agar tetap eksis, karyawannya sejahtera, perusahaan selalu untung dan semakin bertambah besar. Pengenalan produk pada calon pembeli inilah yang harus dibiayai oleh produsen. Produsen barang atau jasa meminta jasa pada produsen berita dan informasi untuk mengenalkan produknya. Produsen jasa berita dan informasi akan bangkrut jika tidak ada produsen barang atau jasa yang membiayai kegiatannya dengan memasang iklan. Harganya tentu ada kesepatan antara kedua belah pihak. Semakin besar, terkenal, terpercaya, sebuah perusahaan media massa, sewa ruang iklan akan semakin mahal.


Sebuah situs terkenal semacam detik.com, tribunnews.com, kompas.com, babe, yang menawarkan dan memasang aplikasinya di google play, biaya sewa ruang iklannya tentu berbeda dengan sebuah website atau blog yang viewer tidak banyak. Jumlah pemirsa menjadi pertimbangan bagi pemasang iklan dalam memilih media yang akan di sewa.

Senin, 05 September 2016

Motor GP, Bahasa Inggris Aksyen Spanyol

“Kun, apa yang kau suka dari GP Inggris di sirkuit Silverstone, semalam?”
“Pas wawancara Maverick Vinales, Rossi.”
“Lho..”
“Iya. Bener, saya sangat suka mereka, Vinales, Marques, Lorenzo, kalau di wawancarai wartawan tetap pe-de dengan bahasa Inggris ber aksen Spanyol. Atau kalau Rossi tetap beraksen Itali saat ngomong.”
“Terus, maksudmu?” Jawir tidak tahu arah pembicaraan Raskun.
“Lha, kamu pernah nonton nggak. Di tivi yang judulnya lagi lomba nyanyi, lafal bahasa inggris yang dinyanyikan peserta di tertawakan oleh juri. Nyanyi kan soal, seni tarik suara, soal kesusaian nada musik yang menjadi kesatuan lagu. Kalau soal lafal, tak perlu menjadi hal yang di tertawai.”
“Oh.. gitu yah Kun.”
“Iya!”
“Itu kan haknya para yuri. Makanya kamu jadi jurinya.”
“Coba, berani nggak, mereka menertawai Arkarna yang nyanyi Kebyar-kebyar dengan aksen Inggris, nggak pakai aksen Indonesia.”
“Nggak nasionalis yah Kun?”
“Yoi..”
“Ya sudah, saya juga prihatin dengan generasi kita,” ujar Jawir ingin segera menyudahi.

Beberapa saat lengang, Kasrap dan Gondrong hanya diam. Menunggu cerita kembali lagi ke soal motor GP.
Dan jawir memulai lagi.
“Ketika Rossi dan Marques saling salip berhimpitan. Idiih... mantap dan bikin jantungan.”
“Kalau Marques dan Cruthlow saling salip, kamu nggak jantungan?”
“Ya jantungan dong. Kalau nggak jantungan ya mati dong.”
“Terus, kenapa hanya Rossi dan Marques saja yang bikin kamu deg-degan.”
“Saya mengidolakan Rossi. Mungkin kalau Rossi sudah pensiun saya nggak nonton GP lagi.”
“Kan, akan muncul lagi pembalap yang lebih menghibur lagi nanti. Marques, Vinales, Cruthlow, Jack Miller.”
....

...

Sabtu, 03 September 2016

Sianida Jessica

Dini hari jam setengah tiga 2 September 2016, ketika saya terjaga dari tidur di depan tivi yang lupa saya matikan, saya sempat menyimak sebuah siaran tunda di TVone. Saya menduga siaran tunda karena sebuah sidang tidak mungkin dilakukan jam setengah tiga malam. Sidang tentang kematian Mirna yang di duga di racun oleh Jessica. Sebuah sidang yang disiarkan langsung dan menyita perhatian banyak orang. Sebuah kemisteriusan telah membangun rasa penasaran yang terus bertambah dalam perkara kematian Mirna.

Setiap penayangan acara di tivi pasti melalui sebuah pertimbangan ekonomis. Dengan segala pertimbangan lainnya, produser yang menayangkan ulang sidang kematian Mirna, berharap banyak penonton yang menahan rasa kantuk untuk menyimak semua kejadian dalam sidang. Perdebatan-perdebatan dari disiplin ilmu yang berbeda sering menjadi hal yang menarik dan menambah waawasan bagi orang yang tak pernah menonton sidang di pengadilan. Saksi ahli, ahli IT dan ahli psikologi dan sejenisnya, bersaksi menurut disipli ilmu yang mereka dalami. Harus menerima cecaran pertanyaan dari pengacaranya Jessica, Oto Hasibuan dkk. Tak jarang pertanyaan mereka seperti sengaja menggugah emosi saksi ahli untuk mengganggu konsentrasinya. Pertanyaan dari sisi hukum dan cara bertanya orang yang mau celah kelemahan jawaban untuk membackup tuduhan terhadap kliennya dan juga untuk menyanggah secara kehukuman ( dunia hukum ).

Sebuah misteri memang selalu mengundang penasaran yang pasti mengundang keingintahuan. Produser tivi pasti berebut mencari tempat untuk menyajikan pelepas dahaga penasaran dengan menyajikan secara runtut, terkini sambil terus menyajikan ruang penasaran baru pada pemirsa. Jika acara yang disiarkan ratingnya tinggi, pemasang iklan akan berbondong-bondong dan uang akan mengalir.

Sebuah bukti tentang kematian Mirna yang kata para dokter yang memeriksa karena keracunan sianida, bagi hakim, diperlukan bukti-bukti untuk memutuskan siapa yang melakukannya dan siapa juga yang terlibat, baik yang disengaja atau pun karena lalai.

Begitulah pengadilan dunia. Diperlukan bukti fisik dan bukti lain yang dianggap nalar dan wajar atau tidak wajar menurut ukuran pemikiran manusia yang terbatas. Bagi orang yang percaya agama, pasti akan berguman, “Di akherat nanti, kamu tidak bisa berkilah, tidak bisa mengelak.” Pengadilan yang adil dengan bukti yang tak terbantahkan. karena semua terekam dengan jelas.

Jika kita percaya tentag pengadilan di akherat nanti, maka kita tidak akan berani berbuat sesuatu yang membuat kita akan di hukum di neraka. Jika kita berbuat baik atau tidak baik, semua akan tercatat dengan jelas. Rasa iman kita yang menentukan arah jalan yang dilakoni.

September 2016   

Kamis, 01 September 2016

sambel

Saya sering melihat rumah makan yang menawarkan menu pedas. Lombok ijo, Sambel Ijo, Sambelayah, Tahu mercon, mie setan, lombok setan, atau kalimat lain yang merujuk pada rasa pedas. Ketika membaca penawaran lewat ‘iklan’untuk makan di rumah makan yang membanggakan sebuah kepedasan, saya merasa terdiskriminasi. Saya belum pernah membaca sebuah hasil survey yang mebandingkan prosentase orang yang suka pedas dan orang yang tidak suka pedas. Sebagai orang yang sama sekali tidak suka pedas, saya langsung menuduh kalau menu pedas yang ditawarkan rumah makan pasti karena pemilik atau pengelolanya suka rasa pedas. Mungkin saya keliru, tapi itu hal yang muncul tiap kali saya membaca sebuah tulisan yang membanggakan rasa pedas.

Tersadari juga, banyaknya rumah atau tempat makan yang membanggakan rasa super pedas dan banyak yang sukses, itu menjadi acuan untuk menawarkan menu pedas sebagai andalan untuk menarik calon pembeli. Atau bisa juga, orang yang suka pedas itu kebanyakan orang yang suka berwisata kuliner. Terbukti juga tak ada satu pun rumah makan yang berani menonjolkan menu tidak pedas sebagai menu andalannya pada papan nama rumah makan.

Sebuah penelitian di prancis yang di pimpin oleh Prof. Laurent Begue, seperti dilansir Daily Mail, menemukan bahwa pria yang menyukai makanan pedas cenderung memiliki kadar hormon testosteron yang tinggi cenderung lebih dominan. Seperti diketahui, hormon tersebut berfungsi membentuk sekaligus menjaga organ seks. Bagi sebagian orang mungkin, mungkin benar, tapi juga tidak tertutup kemungkinan jika yang tidak suka pedas pun punya hormon testosteron yang tinggi. Dari penelitian itu pun tidak disebutkan jika memakan makanan pedas bisa meningkatkan hormon testosteron.

Kenyataannya, para pemilik rumah makan berhasil mengikat para calon pemakan dengan mengunggulkan ‘rasa pedas’ dan mengunggulkan ‘rasa tidak pedas’ suatu hal yang tidak mungkin untuk diunggulkan dalam beriklan. Di masyarakat juga sudah begitu menganggap jika penyuka pedas dipandang sebagai orang yang sehat, gagah, maskulin, kuat dan hebat. Dan, saya orang yang menganggap itu sebagai hal yang keliru.


Hal lain yang sering bikin saya kesal, setiap kali saya makan di warung padang dan memesan jangan di kasih sambel, tetap saja sajian yang diantar ada sambelnya di tepi nasi. Seolah si pelayan yakin sekali kalau orang yang masuk ke warung makan padang pasti orang yang suka sambel.

1 Sept 2016