Musik Dangdut,
sebagi musik asli Indonesia mengalamai pasang surut dalam lembaran sejarah
Budaya Indonesia. Di era 70an, mereka yang kurang menyenangi musik Dangdut
sering menyebut musik Dangdut sebagai
musik kampungan. Musik dangdut yang pada era itu kedengaran sederhana dianggap
musik yang hanya digemari oleh orang-orang pedesaan. Tapi, tak dapat
dipungkiri, para penikmat dan penyuka musik dangdut menyebar diseluruh pelosok
negeri. Sebutan musik Dangdut tadinya sebagai olok-olok kalau musik dangdut itu
didominasi suara gendang dengan bunyi ‘dang dut’ dan dianggap sebagi bentuk
rendah budaya popular pada era itu.
Musik Dandut
juga sering disebut Musik Melayu, karena musik ini berkembang dari core musik melayu. Musiknya yang mudah
dinikmati dan gampang dimainkan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan
genre musik lain seperti musik jazz atau yang lainnya. Pada dasarnya,
kebanyakan orang berkeinginan untuk bisa menikmati apasaja, termasuk musik
dengan sederhana tetapi dapat menghibur dan memberi kepuasan batin. Sifat
menghibur ini yang membuat musik Dangdut menjadi gampang diterima dan menjadi
musik yang begitu banyak penyukanya di seluruh pelosok Nusantara dan di segala
lapisan masyarakat.
Rhoma Irama
adalah orang yang ‘mengangkat’ musik Dangdut yang tadinya di katakan musik
kampungan, menjadi musik yang penuh gairah dan menjadi punya greget. Lewat
album Begadang, Rhoma Irama memulai memoles musik Dangdut menjadi semakin
menarik dan melewati masa ‘musik kampungan’ dan mematahkan anggapan sebagian
orang yang menilai sebagai musik kampungan. Rhoma Irama pun di baiat oleh
pecinta musik Dangdut sebagai Si Raja Dangdut mendampingi Elvi Sukaesih
yanglebih dulu menyandang Ratu Dangdut.
Musik dangdut
mengalami perkembangan dengan kontaminasi jenis musik lain atau juga kolaburasi
dari satu dua jenis musik. Perkembangan ini semakin menambah kegairahan musik
Dangdut. Penyanyi-penyanyi Dangdut menjadi publik figur dan artis papan atas.
Sampai di pelosok pun banyak grup Dangdut yang mendapatkan rejeki yang lumayan
dengan mengadakan pentas dari panggung ke panggung. Musik dangdut menjadi lahan
mencari rejeki yang begitu luas dan besar karena penggemar musik ini begitu
banyak di setiap tempat. Musik Dangdut kemudian berkembang menyatu dengan
musik-musik tradisonal. Di jawa Musik Dangdut melahirkan Musik Campur Sari
dengan khas budaya Jawa-nya. Di panggung-panggung modern, seperti di gedung
kesenian dan di studio televisi, musik dangdut dimainkan dengan iringan
orkestra yang menakjubkan. Musik Dangdut menjadi tak lagi menjadi musik kaum
pinggiran.
Suara khas
‘dang dut’nya dan rancak permainan gendang, yang selalu mengoda orang untuk
bergoyang membuat banyak penyanyi Dangdut menciptakan goyangan-goyangan yang
unik dan khas. Maka terciptalah image, Dangdut
tanpa bergoyang tak sempurna, seperti sayur tanpa garam. Berkembanglah kemudian
model goyang dangdut di panggung-panggung. Pentas di lapangan terbuka, di
gedung, di rumah orang hajatan, musik Dangdut menjadi pengiring goyangan para
penyanyi. Kemajuan teknologi informasi dan teknologi audio visual, dan
keberanian dan kejelian orang memanfaatkan kebebasan, mendukung perkembangan
model goyang dangdut.
Goyang
dangdut terus berkembang dengan ciri khas dari masing-masing ‘penggoyang’. Ia
berkembang dan tanpa tolah toleh tentang kepatutan, kepantasan, norma sosial,
budaya, malu, agama, dan pengaruh mental. Mereka berlari mengejar uang,
melupakan estetika budaya lokal dan agama. Apa yang disebut kebebasan
berpendapat dan berkesenian di manfaatkan seluas-luasnya. Berlindung di bawah
payung seni dan kesenian, lahirlah goyangan-goyang seronok. Ketika ada sebagian
orang yang merasa peduli dengan musik dangdut, merasa perlu menjaga norma-norma
yang ada di masyarakat menyatakan keberatan dengan goyangan seronok, media
massa yang sedang gagah-gagahnya menggusung kebebasan pers, memblow up-nya dan meboyong ke panggungnya,
menyuguhkan ke rumah di seluruh pelosok negeri. Goyangan seronok itu sengaja di
kontroversikan, dan kontroversi hasil ‘masakan’ media massa menyedot begitu
banyak orang untuk melihat. Apa yang diharapkan tercapai, mengalirlah uang dari
hasil itu kepada para pelakunya.
Pertengahan tahun duaribuan perkembangan musik
Dangdut berhenti, bahkan jalan di tempat pun tidak. Yang berkembang adalah
model-model goyangan yang berlomba-lomba untuk seronok dan di unik-unik-kan. Penyanyi dangdut
dipanggung hanya menutur lagu-lagu yang ada atau lagu-lagu dari genre lain
dengan di dangdutkan. Kreativitasnya jauh tertinggal oleh musik campur sari
yang lahir di Jawa Timur. Cd-cd hasil rekaman di panggung-panggung pentas
Dangdut, bertebaran di seluruh kota dan pelosok-pelosok negeri. Akses internet
yang semakin mudah dan kanal Youtube menjadi wadah yang efektif menampung ego
mereka. Mereka para penggoyang Dangdut berlomba membuat model goyangan
se-seronok mungkin. Semakin seronok seolah mereka semakin bangga dan tak
terpikirkan hal lain kecuali uang dan ketenaran.
Musik Dangdut
tak lagi mengiring penyanyi bernyanyi. Musik Dangdut muncul dengan suara
gendangnya dan lontaran-lontaran kata-kata dari para pemusik dan penyanyi,
telah beralih menjadi pengiring orang untuk berjoget. Sangat sering lontaran kata-kata
(senggakan) bernada dan bersuara
porno, dengan gerakan goyangan yang mendukung itu. Suara si penyanyi menjadi
tak penting dan dikesampingkan. Mereka sibuk membuat sensasi-sensasi porno
mengiringi orang bergoyang, menggiring orang berfantasi seksual. Penyanyi-penyanyi
Dangdut perempuan itu memamerkan porno aksi sambil menunggu ada pihak yang
mempermasalahkan untuk mengambil kesempatan, bersenggugukan menangis merasa tak
bersalah dan merasa tak mengerti di televisi, dan berharap memperoleh simpati
seperti yang sudah beruntung berhasil.
Musik Dangdut
menggelepar-menggelepar di panggung dipaksa mengiringi penggoyang seronok
(bukan penyanyi dangdut). Atas nama kebebasan berkreasi dalam berkesenian,
mereka pongah memporak-porandakan Musik Dangdut. Menginjak-injak, mengubur
dalam lumpur terus menerus. Musik Dangdut sudah mati di tangan mereka. Beruntunglah,
musik dangdut masih hidup pada pemusik lain.