Label

Jumat, 25 Oktober 2013

DANGDUT WAS DEATH


Musik Dangdut, sebagi musik asli Indonesia mengalamai pasang surut dalam lembaran sejarah Budaya Indonesia. Di era 70an, mereka yang kurang menyenangi musik Dangdut sering  menyebut musik Dangdut sebagai musik kampungan. Musik dangdut yang pada era itu kedengaran sederhana dianggap musik yang hanya digemari oleh orang-orang pedesaan. Tapi, tak dapat dipungkiri, para penikmat dan penyuka musik dangdut menyebar diseluruh pelosok negeri. Sebutan musik Dangdut tadinya sebagai olok-olok kalau musik dangdut itu didominasi suara gendang dengan bunyi ‘dang dut’ dan dianggap sebagi bentuk rendah budaya popular pada era itu.
Musik Dandut juga sering disebut Musik Melayu, karena musik ini berkembang dari core musik melayu. Musiknya yang mudah dinikmati dan gampang dimainkan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan genre musik lain seperti musik jazz atau yang lainnya. Pada dasarnya, kebanyakan orang berkeinginan untuk bisa menikmati apasaja, termasuk musik dengan sederhana tetapi dapat menghibur dan memberi kepuasan batin. Sifat menghibur ini yang membuat musik Dangdut menjadi gampang diterima dan menjadi musik yang begitu banyak penyukanya di seluruh pelosok Nusantara dan di segala lapisan masyarakat.
Rhoma Irama adalah orang yang ‘mengangkat’ musik Dangdut yang tadinya di katakan musik kampungan, menjadi musik yang penuh gairah dan menjadi punya greget. Lewat album Begadang, Rhoma Irama memulai memoles musik Dangdut menjadi semakin menarik dan melewati masa ‘musik kampungan’ dan mematahkan anggapan sebagian orang yang menilai sebagai musik kampungan. Rhoma Irama pun di baiat oleh pecinta musik Dangdut sebagai Si Raja Dangdut mendampingi Elvi Sukaesih yanglebih dulu menyandang Ratu Dangdut.
Musik dangdut mengalami perkembangan dengan kontaminasi jenis musik lain atau juga kolaburasi dari satu dua jenis musik. Perkembangan ini semakin menambah kegairahan musik Dangdut. Penyanyi-penyanyi Dangdut menjadi publik figur dan artis papan atas. Sampai di pelosok pun banyak grup Dangdut yang mendapatkan rejeki yang lumayan dengan mengadakan pentas dari panggung ke panggung. Musik dangdut menjadi lahan mencari rejeki yang begitu luas dan besar karena penggemar musik ini begitu banyak di setiap tempat. Musik Dangdut kemudian berkembang menyatu dengan musik-musik tradisonal. Di jawa Musik Dangdut melahirkan Musik Campur Sari dengan khas budaya Jawa-nya. Di panggung-panggung modern, seperti di gedung kesenian dan di studio televisi, musik dangdut dimainkan dengan iringan orkestra yang menakjubkan. Musik Dangdut menjadi tak lagi menjadi musik kaum pinggiran.
Suara khas ‘dang dut’nya dan rancak permainan gendang, yang selalu mengoda orang untuk bergoyang membuat banyak penyanyi Dangdut menciptakan goyangan-goyangan yang unik dan khas. Maka terciptalah image, Dangdut tanpa bergoyang tak sempurna, seperti sayur tanpa garam. Berkembanglah kemudian model goyang dangdut di panggung-panggung. Pentas di lapangan terbuka, di gedung, di rumah orang hajatan, musik Dangdut menjadi pengiring goyangan para penyanyi. Kemajuan teknologi informasi dan teknologi audio visual, dan keberanian dan kejelian orang memanfaatkan kebebasan, mendukung perkembangan model goyang dangdut.
Goyang dangdut terus berkembang dengan ciri khas dari masing-masing ‘penggoyang’. Ia berkembang dan tanpa tolah toleh tentang kepatutan, kepantasan, norma sosial, budaya, malu, agama, dan pengaruh mental. Mereka berlari mengejar uang, melupakan estetika budaya lokal dan agama. Apa yang disebut kebebasan berpendapat dan berkesenian di manfaatkan seluas-luasnya. Berlindung di bawah payung seni dan kesenian, lahirlah goyangan-goyang seronok. Ketika ada sebagian orang yang merasa peduli dengan musik dangdut, merasa perlu menjaga norma-norma yang ada di masyarakat menyatakan keberatan dengan goyangan seronok, media massa yang sedang gagah-gagahnya menggusung kebebasan pers, memblow up-nya dan meboyong ke panggungnya, menyuguhkan ke rumah di seluruh pelosok negeri. Goyangan seronok itu sengaja di kontroversikan, dan kontroversi hasil ‘masakan’ media massa menyedot begitu banyak orang untuk melihat. Apa yang diharapkan tercapai, mengalirlah uang dari hasil itu kepada para pelakunya.
 Pertengahan tahun duaribuan perkembangan musik Dangdut berhenti, bahkan jalan di tempat pun tidak. Yang berkembang adalah model-model goyangan yang berlomba-lomba untuk seronok dan di unik-unik-kan. Penyanyi dangdut dipanggung hanya menutur lagu-lagu yang ada atau lagu-lagu dari genre lain dengan di dangdutkan. Kreativitasnya jauh tertinggal oleh musik campur sari yang lahir di Jawa Timur. Cd-cd hasil rekaman di panggung-panggung pentas Dangdut, bertebaran di seluruh kota dan pelosok-pelosok negeri. Akses internet yang semakin mudah dan kanal Youtube menjadi wadah yang efektif menampung ego mereka. Mereka para penggoyang Dangdut berlomba membuat model goyangan se-seronok mungkin. Semakin seronok seolah mereka semakin bangga dan tak terpikirkan hal lain kecuali uang dan ketenaran.
Musik Dangdut tak lagi mengiring penyanyi bernyanyi. Musik Dangdut muncul dengan suara gendangnya dan lontaran-lontaran kata-kata dari para pemusik dan penyanyi, telah beralih menjadi pengiring orang untuk berjoget. Sangat sering lontaran kata-kata (senggakan) bernada dan bersuara porno, dengan gerakan goyangan yang mendukung itu. Suara si penyanyi menjadi tak penting dan dikesampingkan. Mereka sibuk membuat sensasi-sensasi porno mengiringi orang bergoyang, menggiring orang berfantasi seksual. Penyanyi-penyanyi Dangdut perempuan itu memamerkan porno aksi sambil menunggu ada pihak yang mempermasalahkan untuk mengambil kesempatan, bersenggugukan menangis merasa tak bersalah dan merasa tak mengerti di televisi, dan berharap memperoleh simpati seperti yang sudah beruntung berhasil.
Musik Dangdut menggelepar-menggelepar di panggung dipaksa mengiringi penggoyang seronok (bukan penyanyi dangdut). Atas nama kebebasan berkreasi dalam berkesenian, mereka pongah memporak-porandakan Musik Dangdut. Menginjak-injak, mengubur dalam lumpur terus menerus. Musik Dangdut sudah mati di tangan mereka. Beruntunglah, musik dangdut masih hidup pada pemusik lain.

Senin, 21 Oktober 2013

MEREKA TERUS BERCERITA TENTANG KEUNGGULAN NEGARA LAIN.



Tidak semua yang di negara lain baik. Tidak juga banyak hal jelek di negara kita. Kenapa saya sering sekali mendengar orang berbicara keunggulan negara lain saat berbicara tentang sebuah kemajuan. Sepertinya mereka hanya mau mendengar keunggulan negara lain dan menutup telinga ketidakbaikannya dan hanya mau mendengar kejelekan negara sendiri dan menutup telinga untuk keunggulan negara sendiri. Sering kali saya merasa tak nyaman jika ada orang yang menggebu-gebu memperolok negara sendiri dan begitu semangat membandingkan dengan negara lain yang katanya jauh lebih baik, padahal ia tak pernah berkunjung ke negara lain. Ia sepertinya merasa berpengalaman dan merasa pintar dengan mencari kelemahan negara sendiri sedang ia sendiri tak pernah memulai untuk berbuat baik seperti yang Ia ceritakan tentang negara lain.

Sewaktu kebebasan pers masih terkungkung dan hanya mendengar cerita baik tentang negara kita dari media massa, hal yang dapat kita peroleh dari itu adalah kecintaan dan kebanggaan  kita terhadap bangsa. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara menjadikan kita tak merasa menjadi bangsa yang underdog dan selalu yakin untuk terus maju bersanding dengan negara lain. Semua komponen bangsa bersatu padu membuat suasana bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dan baik. Semua berita yang miring tentang negara kita, di sensor dan dipermasalahkan. Di situlah sebenarnya saat yang tepat untuk membangun rasa kebanggaan terhadap negara dan bangsa agar tertanam kuat di dada setiap penduduk Indonesia. Sisi baik pers dengan satu corong adalah kita bisa mengkondisikan keadaan menjadi satu pandangan. Sisi lain, adalah banyak hal lain yang tak terungkap dan dibuang untuk kepentingan penguasa dan pihak-pihak tertentu. Masyarakat terbodohi dan merasa semua berjalan baik-baik dan jauh dari hal sebenarnya terjadi.

Ketika reformasi lahir yang dibidani oleh mahasiswa yang karena kondisi dan situasi demokrasi monoton, kekuasaan yang begitu lama, pengawasan dan perlakuan ketat terhadap kebebasan berpendapat, kebijakan satu arah, dan tanpa ada gejolak yang menantang adrenalin bagi penikmat demokrasi, maka terbukalah ruang untuk mengumpat semua ketidaksukaan yang terpendam selam rezim orde baru berkuasa. Euforia ini berlanjut dan tak sadar terus menerus mengumpat rezim pemerintahan orde baru, seolah semua produknya tidak baik dan ketinggalan dengan negara lain. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi dan kebebasan menilai sesuatu menjadi ladang baru untuk memperoleh uang. Penemuan-penemuan baru, tentang kesemrawutan, memperolok-olok atau pendapat apapun bisa di keluarkan tanpa harus ketakutan ditangkap  oleh pemerintah dan hanya berhadapan langsung dengan institusi terkait atau person, apakah akan menuntut, memanfaatkan hak jawab atau bersikap diam.

Kita menjadi gampang terpana oleh informasi tentang kemajuan negara lain tanpa terpikir kalau di sana pun banyak kekurangan. Hanya tentang yang baik-baik yang diterima untuk dikabarkan. Seolah semua berita tentang negara lain adalah kebaikan, kemajuan yang lebih baik dari negera kita. Dari negara serumpun pun, banyak orang selalu memeperolok bangsa sendiri, kalau kita ketinggalan jauh. Di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara terbesar. Jika kota-kota besar luasnya kita gabung menjadi satu dengan segala fasilitas dan infrastruktur yang tersedia, tentu akan jauh lebih luas dari seluruh luas negara Malaysia pun. Apalagi jika hanya dibandingkan dengan Singapura dan Brunai. Artinya, jika hanya untuk membangun negara seluas Malaysia, Brunai, Singapura atau negara tetangga lainnya, orang Indonesia pasti sudah lebih maju dan lebih baik dari keadannya sekarang. Ruas jalan di Indonesia pasti berkali lipat panjangnya dengan negara tetangga. Untuk membangun dan merawatnya, tentu biayanya berkali lipat. Saya tidak yakin orang-orang negeri tetangga bisa membangun Indonesia lebih dari sekarang dengan keluasan negara dan ribuan pulau.

Perlu pemikiran dan tindakan yang nyata untuk membuat bangsa kita tidak terus menerus merasa di bawah. Mereka yang selalu membawa berita baik tentang kebaikan untuk memperolok negara kita, harusnya juga berpikir dengan perbandingan yang adil, dan langkah yang diperlukan, bukan kritik searah hanya berkoar tentang kebaikan negara lain, kejelekan negara lain di sembunyikan dan dibela, sedangkan kejelekan negara sendiri di koarkan dan kebaikannya disembunyikan. Anehnya lagi, mereka merasa bangga seolah dirinya bukan bagian dari bangsa ini.

Saya sempat heran juga ketika ada seorang yang mengatakan tensis dalam bahasa Inggris ada enam belas adalah keunggulan dalam berbahasa dan menganalogikan kalau itu menunjukan sebuah cara berpikir dibanding tata bahasa kita. Menurut saya, tensis yang begitu banyak itu bisa diringkas menjadi enam atau empat, dan tidak seribet itu yang penggunaanya juga tidak terspesifik seperti dalam tensis ketika berkomunikasi. Karena dalam berkomunikasi hal yang terpenting adalah bahwa hal apa yang ingin disampaikan bisa diterima dengan jelas tanpa terjadi miskomunikasi. Kenapa juga harus mencari sebuah ‘penemuan baru’ untuk memperolok diri dengan tanpa mengemukakan keungulan Bahasa Indonesia yang mudah diterima di seantero Nusantara dengan berbagai latar belakang etnis dan bahasa ibu sendiri-sendiri. Bahasa Indonesia lebih simpel dalam berkomunikasi mampu menerjemahkan ungkapan yang spesifik dari kosa kata yang berasal dari bahasa lain. Dan bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional karena jejaknya sebagai negara penjajah di masa lalu. Itu adalah sejarah hitam tentang penjajahan negara terhadap negara lain. Perlu juga diingat, negara Amerika tak punya bahasa sendiri. Amerika nunut bahasa nasionalnya pada Bahasa Inggris.   

Jika kita terus menerus memperolok diri dan tidak memulai merasa bangga dengan bangsa sendiri dan sibuk terus menerus merasa rendah diri, kapan kita bisa mencintai bangsa sendiri, mencintai produk negara sendiri. Banyak produksi dari negara kita lebih unggul dari negara lain, tapi kita menjadi lupa dengan keunggulan itu karena kita begitu asyik dan sangat terbuka menerima propaganda dan iklan dari produk negara lain. Bahkan kita telah dulu siap menerima propaganda (iklan) negara lain, sebelum produk itu berada di depan kita. Kita sengaja menjadi lupa dengan produk kita dan apriori terhadap apa yang ada pada bangsa kita sendiri.

Saya yakin, ada kalanya nanti Bangsa Indonesia sangat berbangga dengan bangsanya sendiri dan sangat bangga memakai produk kita sendiri. Jika setiap penduduk Indonesia bangga dengan Bangsa Indonesia dengan segala produk dan budayanya, tentu itu menjadi keunggulan tersendiri bagi Bangsa Indonesia. Dengan berhenti memperolok diri dengan berkreasi dan berinovasi, kita bisa memulai untuk menjadi yang terbaik. Memperolok bangsa sendiri dengan tidak berbuat sesuatu untuk memulai memperbaiki bukanlah sebuah tindakan bijaksana.

Jumat, 18 Oktober 2013

Hak Tinggi



Saya tak tertarik dengan hasil yang diinginkan dari seorang perempuan muda dengan sepatu berhak tinggi, mungkin tujuh centimeter. Mungkin ini sedikit menyakitkan jika perempuan itu tahu kalau memakai sepatu hak tinggi-nya ternyata tak membuat semua orang memperhatikan. Sebuah keinginan mesti harus mengorbankan keinginan lainnya. Berkeinginan untuk tampil modis, cantik, menawan dan anggun dengan sepatu hak tinggi pasti akan mengorbankan bagian tubuh lain yang harus bersusah payah menyesuaikan kondisi yang tak biasanya dalam keseharian. Sekujur kaki tentu tak nyaman, pinggang mungkin juga tak nyaman, dan yang lain yang saya tak tahu karena belum pernah mencobanya. Saya kira sudah setengah hari lebih perempuan muda itu, bersusah payah berjalan agar terjaga keseimbangan, menata setiap langkah agar tak ada sedikit pun benda yang bisa terantuk. Beridiri tegak agar badan tampak lurus, menjaga posisi kepala dan dagu. Karena sepasang sepatu berhak tinggi, seluruh bagian tubuh harus menyesuaikan, berkompromi dengan hal yang dalam keseharian tak dialami. Saya seperti merasakan sendiri ketidaknyamanan itu, padahal mungkin saja Ia nyaman-nyaman saja.
Sebagian besar wanita memang ingin selalu tampil anggun, cantik, mempesona dan modis. Model pakaian, model rambut, cara berlipstik, bentuk anting, model tas dan berbagai macam pernak-pernik menggiring kaum hawa untuk  memakainya. Seolah apa yang ada kurang sempurna jika tak ditambahi hiasan lain. Kadang nampak dipaksakan, karena tak semua orang pantas dengan mode tertentu yang sedang ngetren, akibatnya bukannya tampak apik malah amburadul dan tak sedap dipandang. Dan lebih parah lagi, meski tidak pas dan menyiksa tubuh, demi untuk tidak disebut ketinggalan jaman dan tak tahu mode, tetap saja dengan pe-de-nya berusaha ditampilkan dengan sekuat tenaga dan sepenuh perasaan.
Seorang wanita yang ayu, meskipun berdandan sederhana, tetap saja tampak anggun dan tak juga timbul di pikiran si pelihat untuk berandai-andai jika ditambahi aksesoris atau di dandani dengan model tertentu. Seorang model yang memamerkan mode pakaian, serba-serbi bahan dan alat kecantikan atau apapun yang ingin di tawarkan untuk agar ditiru orang lain, tentu di ukur dulu kepatutan dan kepantasan bentuk tubuh, bentuk wajah, jenis rambut, bentuk bibir, bentuk mata, segala macam yang berkaitan dengan penampilan. Orang yang memilih model pun, mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang dunianya. Jika ada orang yang bentuk badan secara umum berbeda dengan model yang ‘menawarkan’ pakaian dan segala aksesorisnya, tetap memaksa memakainya demi menjadi hal yang percuma dan sia-sia. Dan anehnya, kita sering melihatnya, sebuah pemaksaan mode yang berbuah kelucuan terbungkus rasa belas kasihan.
Tak terhitungkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjaga penampilan. Begitu banyak orang hidup dengan memanfaatkan rasa keinginan wanita untuk tampil cantik, ayu, anggun dan modis.  Berdandan semaksimal seperti hampir-hampir tak mempercayai kalau Tuhan telah memberikan yang sempurna dan tak perlu di ‘obrak-abrik’ demi sebuah penampilan agar tampak apik di mata orang lain. Dan orang-orang yang jeli, memanfaatkannya untuk sebagai tambang uang yang tak pernah berhenti mengalir.

Rabu, 16 Oktober 2013

IKLAN DI TENGAH PERTANDINGAN SEPAKBOLA.


Siapapun penggemar sepakbola tentu tak suka jika dalam menonton pertandingan sepakbola secara live, secara tiba-tiba, bukan dalam jeda istirahat, nongol iklan. Ini sebuah blunder bagi si pemasang iklan. Saya langsung berkeluh kesah dan ‘bersumpah’ kecil tak akan membeli produk yang di iklan dengan cara itu. Sepertinya mereka sengaja mengganggu kesenangan orang yang khusu menikmati setiap detik kejadian yang sedang berlangsung. Tak peduli apakah di pertandingan sedang berhenti sebentar karena ada pemain yang cedera atau ada hal lian,  harus tak ada hal lain yang mengganggu. Semua harus terfokus pada pertandingan. Jika orang yang mengurusi tentang periklanan di perusahaan produk yang nongol pada saat yang tidak tepat itu temanku, pasti sudah saya ceramahi dengan nada nemaki. 
Saya tak mengerti kenapa si pemasang iklan sampai berpikiran untuk memanfaatkan momen itu untuk menawarkan produknya. Apa mungkin jika ia adalah orang yag merasa tak terganggu dan nyaman-nyaman saja jika pada saat menonton sesuatu yang di sukai, tiba-tiba ada yang datang mengganggu dengan tanpa merasa  bersalah. Sebuah kejadian yang tidak pas di hati, di pikiran,  pada satu waktu bisa merubah keputusan seseorang di kemudian hari. Image saya dengan produk tersebut tiba-tiba menjadi hilang dan bahkan menjadi samasekali tak ingin membelinya jika suatu saat membutuhkan dan akan berusaha mencari merk lain. Sebuah kekesalan memang sering menjadikan seseorang bisa tidak obyektif dan itu bisa bertahan lama di kotak ingatan.
Dalam menjajakan produknya, orang-orang sale memang punya berbagai cara. Melalui iklan di berbagia media, melalui MLM, menjadi donatur pada acara besar dan berbagai tempat yang menjadi perhatian banyak orang dan memasang banner pada tempat-tempat strategis. Mengharapkan penjualan yang besar dengan tanpa mengenalkan produknya pada khalayak ramai, sangat sulit tercapai atau bahkan bisa dianggap mustahil. Memasang iklan pada tempat dan waktu yang tidak tepat sangat tidak efektif dan tidak efisien yang berujung pada pemborosan anggaran yang percuma, bahkan bisa menjadikan blunder yang akhirnya terjadi penurunan penjualan. Kita juga sering melihat sebuah iklan yang membingungkan dan tak mengerti maksud yang ingin disampaikan. Dan tayangan iklan itu berlalu begitu saja tanpa ada kesan yang masuk di benak pelihat iklan. Iklan semacam itu masih mendingan karena hanya tidak mengena pada calon konsumen. Yang lebih parah adalah iklan yang malah membuat calon konsumen antipati dan mengambil keputusan untuk memilih merk lain saat membeli.
Kita sering mendapati iklan yang menarik, inovatif, dan kreatif. Bahkan jungle dalam iklan itu pun kadang kala menjadi tenar dan dinyanyikan di mana-mana. Ada juga iklan yang awalnya menampilkan sesuatu kejadian yang sama sekali tak ada hubungannya denga produk yang ditawarkan tapi kemudian si pelihat iklan tak sadar di sodori sebuah produk dengan image tertentu yang lebih dulu masuk. Iklan semacam ini menjadi sebuah kejutan yang menyegarkan.
Saya pernah memutuskan untuk tidak membeli merk tertentu karena bintang iklannya seorang yang terkenal dari rahim kontroversi yang dibidani media. Mungkin sedikit jumlahnya orang yang berkeputusan seperti saya, dan lebih banyak orang yang sebaliknya. Pemilihan bintang iklan tentu sudah diperhitungkan prosentase suka dan tidak sukanya pasar yang ingin disasar. Dan memang tak ada sebuah keputusan yang seratus persen sempurna tanpa resiko. Memasang iklan pada saat yang tidak tepat menurut saya, bisa jadi hanya saya yang merasa begitu, dan kebanyakan orang tak mempermasalahkan, atau merasa tidak nyaman tetapi tidak mempengaruhi dalam memutuskan memilih merk saat membeli.

Minggu, 06 Oktober 2013

NENEK YANG NGEBEL TERUS DI KERETA



Dalam sebuah perjalanan dengan kereta ekonomi, saya sebenarnya risih mendengar nenek, mungkin  lebih pasnya jika disebut setengah nenek, yang terus menerus menelpon entah siapa saja, dengan suara yang sesukanya seperti dalam rumah sendiri. Kerabat (mungkin cucu-cucunya) yang bersamanya pun tampak risi. ‘Kerelaan’ mereka yang duduk didekatnya membiarkan nenek itu tetap berkicau, sepertinya sudah hafal betul kalau si nenek tak mungkin diberi masukan agar tidak terlalu keras bicaranya. Maka menghela nafas dengan sembunyi-sembunyi yang mereka lakukan. 

Tidak ada yang penting semua yang aku dengar. Hanya seperti tegur sapa seseorang dengan yang lain pada saat berpapasan. Tapi, mungkin menjadi berbeda bagi si nenek itu. Ia nampak begitu sumringah berkabar tentang dirinya yang sudah di kereta dalam perjalanan pulang. Entah pada siapa saja yang bertempat entah di mana saja. Saya bayangkan, jika arah pembicaraan pada seseorang yang berbeda-beda tempat itu digambarkan seperti gambar trayek perjalanan kapal terbang, tentu akan banyak sekali arah, terburai seperti benang dalam gulungan yang di potong. 

Sebuah kebahagiaan yang murah dan tak perlu banyak tenaga untuk mendaptkannya. Hanya berkabar biasa, Ia merasa lebih dekat, merasa hadir di sana, merasa ada komunikasi yang terus dijaga, merasa sebagai orang tua yang penuh perhatian. Mungkin tak terpikirkan oleh si nenek jika mungkin saja ada beberapa orang yang sebenarnya sedang sibuk bekerja dan sedang tak ingin menerima telepon, dan itu menjadi hal yang tak disukainya. Tak terpikirkan dan tak terpedulikan tentang hal itu, mungkin. Nenek itu juga terus bertutur kalau nanti kereta sudah sampai tujuan, tak perlu dijemput dan akan naik becak saja, untuk bagi-bagi rejeki ke tukang becak. Ia juga selalu mengatakan kalau naik becak, atas saran si anu (saya lupa Ia menyebut nama siapa) yang kedengarannya salah satu anaknya. Ide naik becak itu kedengarannya juga seperti sebuah penemuan brilian dan perlu banyak orang di sekitarnya yang harus diberi tahu.

Dan di tempat duduk lain, anak-anak muda juga tidak mau kalah berkabar tentang hal-hal kecil bahkan sepele kepada semua jejaring sosialnya. Ada yang di facebook, di twitter, di g+, whatsApp, BBM. Bahkan anak-anak muda malah lebih ‘atraktif’ meng-Update statusnya. Hanya sedang duduk tak apa-apa pun, dikabarkan. Hanya mau naik kereta, tak lupa pintu kereta di foto untuk diunggah dengan ditambahi tulisan-tulisan. Sekedar persiapan bepergian pun tak lupa menjadi status. Apa saja yang dilakukan atau melihat apa saja, harus banyak orang tahu. Seolah update status menjadi hal yang tak boleh sedikitpun terlewatkan. Segelas minuman pun diunggah dan ditambahi tulisan tentang minuman tersebut dan kemudian bisa menjadi sebuah pembahasan yang panjang karena muncul komentar-komentar yang saling bersahutan. Kadang komentar itu sangat tidak nyambung atau beralih di tengah jalan ke pembahasan lain. Nampaknya itu menjadi sebuah kesenangan di kalangan anak muda dan tak sedikit orang tua. Menjadi sebuah kebanggan atau kesenangan jika apa yang dilakukan dirinya diketahui oleh begitu banyak orang, apalagi jika kemudian banyak orang yang berkomentar di update status-nya. Seolah mereka begitu perhatian yang menyebabkan merasa banyak teman dan banyak orang di sekitar yang peduli. Biaya murah untuk berkomunikasi ternyata telah menyita telah begitu banyak menyita waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna. Sebagian orang memanfaatkan jejaring sosial sebagi lahan untuk berbisnis dengan mengiklankan dagangannya lewat update status. Ini sebuah peluang dengan biaya murah, tinggal bagaimana para calon konsumen bisa yakin dengan barang dagangan yang ditawarkan.  


Kemudian saya teringat saat antri service sepeda motor di sebuah bengkel, Seorang kakek, saya taksir usianya 70an, begitu ia telah mendaftarkan sepeda motornya untuk diservice, Ia duduk di depan saya dan langsung mengambil buku di tas kecilnya. Selanjutnya Ia tampak asik sekali dengan lembaran-lembaran buku. Saya ngiri.