djayim.com cerpen
Ketika Goldi menyimpan tasnya di lemari, di hati Pak Bagyo tak timbul perasaan untuk tahu apa isinya, karena Ia sedang melayani seseorang pembeli rokok. Ia hanya mendengar kata-kata Goldi yang sambil berlalu, “Tolong Pak, titip tas ini. Jangan boleh ada yang ngambil kecuali saya.”
Ketika Goldi menyimpan tasnya di lemari, di hati Pak Bagyo tak timbul perasaan untuk tahu apa isinya, karena Ia sedang melayani seseorang pembeli rokok. Ia hanya mendengar kata-kata Goldi yang sambil berlalu, “Tolong Pak, titip tas ini. Jangan boleh ada yang ngambil kecuali saya.”
Saat sepi tak ada pembeli. Pak Bagyo teringat kata-kata Goldi setiap kali
menitipkan tasnya. Tentu tak ada yang boleh mengambil tasnya kalau bukan dia,
tapi kenapa Ia selalu berpesan ‘jangan boleh ada yang ngambil kecuali saya’,
padahal sudah sangat sering Ia menitipkan tasnya. Kadang beberapa hari tak
diambil, kadang sampai seminggu, tapi Goldi tak pernah lupa pada tas yang
dititipkannya. Pak Bagyo tak tahu apa ada tempat lain yang bisa dititipi tas
selain di warung kecilnya. Rasa penasaranya tergugah juga untuk melihat apa
isinya. Ia mesti yakin dulu kalau Goldi benar-benar tak memergokinya kalau mau
melihat isinya.
Ia tutup dulu pintu di sebelah kanannya. Berjongkok, sebentar bangkit
lagi untuk meyakinkan kalau Goldi benar-benar tak melihat apa yang
dilakukannya, karena kalau hal itu tak disukai Goldi, bisa berabe urusanya.
Ketika menarik tangkai resleting, dari dalam tas tampak gagang golok
hitam mengkilat dari tanduk kerbau. Perlahan Ia membuka seluruhnya setelah
yakin tak ada orang lain yang melihat. Selain golok ada lagi satu celana
panjang, satu celana dalam, dua buah kaos berwarna krem dan coklat tua dan
sebuah sikat gigi berwarna biru. Golok menjadi perhatian utama bagi pak tua
itu. Ia merasa kenal betul dengan golok dalam tas Goldi. Apa Goldi selalu
selalu menyimpan golok ini dalam tas jika Ia menitipkannya di warungku?
pikirnya. Ia menilitinya lebih cermat. Golok yang pernah Ia pegang
bertahun-tahun puluhan tahun yang lalu, punya tanda yang tak orang lain tahu
jika tak menelitinya dengan cermat. Pada gagang bagian dekat dengan pangkal
golok dan di bagian pucuk golok ada cacat kecil yang tak kentara dan tak mudah
hilang. Meski bentuknya sama persis dengan goloknya dulu, Ia merasa perlu
meyakinkan lebih mantap dengan tanda di golok itu. Sebelum sempat lebih cermat
menelitinya, ada seorang calon pembeli datang membeli. Ia segera merapikan tas,
menyimpannya kembali seperti semula.
Puluan tahun yang lalu Pak Bagyo memang orang jalanan, malang melintang
di sembarang tempat keramaian, di terminal atau di pasar. Ia lebih dikenal
dengan nama Sargao, karena memang nama aslinya. Di manapun di sekitaran kotanya
Ia begitu dikenal, terutama bagi orang-orang yang sering beraktivitas di
terminal dan di pasar. Badannya yang tinggi tegap seakan tak pernah akan lapuk
dimakan usia. Ia begitu tangguh untuk sekedar menjadi petarung di jalanan.
Nyalinya hebat, pantang menyerah, pintar dan selalu bisa mengatasi keadaan yang
mengancam dirinya walau kadang dengan cara-cara licik.
Sargao perkasa adalah sosok orang yang bisa masuk ke setiap lapisan
sosial. Ia bisa begitu garang, bisa begitu lembut dan santun, bisa ramah dan
menyenangkan. Ia bisa jadi dewa penolong dan di saat lain bisa jadi manusia
perusak yang mengamuk mengobrak abrik semua benda yang ada di sekelilingnya.
Memusuhinya bisa menjadi awal malapetaka bagi sapa saja. Maka jangan heran jika
banyak orang memilih mengalah kalau ada urusan dengannya meski dengan hati
dongkol.
Sejak kecil Sargao memang menyukai olah raga bela diri dan olah raga
keras lainnya. Ia juga rajin mengaji seperti anak-anak lain seusianya disekitar
tempat Ia tinggal. Di sekolah Sargao termasuk anak pintar meski tak pernah
ranking satu di kelasnya. Pernah Ia mendapat ranking kedua saat kelas empat di
dua catur wulan pertama, -itu prestasi tertingginya di sekolah- sayang saat kenaikan kelas Ia hanya urutan ke lima.
Jadi orang jalanan yang mengandalkan kekerasaan tak pernah terlintas dalam
benaknya apalagi jadi cita-citanya. Entah waktu dan pintu mana yang telah
mengantarnya jadi seorang jagoan jalanan. Semua mengalir tak pernah berhenti
seperti lajunya usia.
Keadan ekonomi selalu saja dijadikan alasan orang untuk berbuat apa saja.
Mungkin itu juga yang secara tak sengaja mengantarkan Sargao remaja harus
berebut rejeki di sepanjang jalan tempat melintas orang-orang berpergipulang.
Untuk bisa sekolah di menengah atas Ia mesti membantu orang tuanya untuk
membiayai sendiri sekolahnya walau tak seluruhnya.
Di sore hari, ketika mobil angkutan pulang, ia ikut menjadi pencuci
mobil. Ia selalu bekerja sungguh-sungguh dengan hasil yang lumayan. Ia mulai
mengenal rokok, mencobanya dan kemudian membelinya adalah hal pertama setelah
mendapat uang.
Ada keputusan lain dalam pikirannya setelah merasakan nikmatnya uang dari
hasil keringatnya sendiri; untuk apa repot-repot sekolah kalau toh akhirnya
nanti harus cari kerja juga. Ia mulai jarang masuk sekolah. Jika ada kesempatan
untuk menggantikan kenek mini bis ataupun truk, Ia segera dengan sikap
menawarkan diri. Badannya yang bongsor dan mulai nampak kekar serta pekerja
keras membuat para sopir senang
memakainya. Sargao pandai berteman dan cepat menyesuaikan diri di setiap tempat
dan itu telah membawanya cepat banyak kenalan.
Belum genap setengah tahun sekolah, Sargao sudah benar-benar keluar.
Sebelumnya beberapa temannya berusaha membujuk untuk masuk kembali, tapi hanya
satu dua hari Ia masuk, itupun ketika baru tiga empat bulan awal masuk sekolah,
kemudian tak lagi masuk sekolah. Baginya berpetualang di jalanan dengan
berbagai kondisi dan cuaca lebih mengasyikan ketimbang harus bergelut dengan
berbagai disiplin ilmu yang terus dijejalkan di bangku sekolah. Sudah bikin
pusing harus bayar pula, mahal lagi!
Perlahan Ia mulai merasakan bagaimana ketat dan kerasnya berebut
mendapatkan uang. Harus benar-benar lincah, cekatan dan tak kalah gertak dengan
sesama pemburu uang.
Pertama Ia merasakan
kerasnya persaingan berebut rejeki di terminal saat Ia harus menerima dua
pukulan telak di wajah dan pelipisnya tanpa balas karena Ia menaikan tiga orang penumpang.
“Enak saja kamu, baru datang sudah main sikat! Kamu lihat, mobil saya
sudah hampir satu jam ngetem belum dapat penumpang!” hardik kenek Bis
Laju Angin. Sargao hanya bisa diam dan pasrah, padahal Ia tahu betul bis itu
datang di belakangnya. Sargao juga tak mungkin minta pada sopirnya, Pak Samaun,
untuk melawannya. Ia orang yang lebih suka mengalah dan tak mau ribut. Mungkin
Ia menyadari fisiknya yang kecil kerempeng.
Merasa telah cukup lama
sering dibodohi dan terus diinjak-injak, Sargao menyusun keberanian untuk suatu
saat yang tepat memberikan perlawanan dengan segala resikonya. Sasaran
pertamanya kenek Bis Laju Angin yang sering membikinnya kesal dan suka main
tangan padanya. “Ia orang yang cukup ditakuti. Jika aku dapat mengalahkannya
tentu banyak orang jadi segan padaku,” pikirnya, “jika kalah, aku harus
menyingkir cari aman.”
Kejengkelan Sargao yang
menggunung membentuk keberanian dan energi yang begitu dahsyat. Saat Dido,
kenek Bis Laju Angin, membentak sambil mendorong kepalanya ke belakang dengan
kasar, dengan cepat Sargao menangkap tangannya, menariknya dengan keras. Saat
Dido terhuyung ke depan, sebuah pukulan penuh tenaga diluncurkan ke mukanya.
Kepala Dido terpental ke belakang, tubuhnya terjerembab keras mencium tanah
becek. Sargao berdiri mengangkang di atasnya menunggu Dido bangkit. Tapi,
nampaknya Dido terkapar tak berdaya, maka langit di atas terminal perlahan
mendaulatnya menjadi calon jawara baru. Sargao tak tahu menahu tentang itu, Ia
hanya ingin mengalahkan orang yang selalu membikinnya kesal.
Berawal dari meng-KO Dido,
Sargao mulai mendapat ruang yang leluasa di kawasan terminal. Ia belum cukup
mengerti dan belum tersirat keinginan untuk menguasai terminal. Ia hanya ingin
saat menjadi kenek mini bis tak ada lagi orang yang usil seperti Dido. Sargao
merasa tak perlu meyakinkan pada setiap orang kalau dirinya tak berniat untuk
mengambil alih lahan rejeki orang lain. Meski begitu pun ada saja orang yang
merasa posisinya terancam. Seorang jawara terminal selalu mengawasi setiap
gerak-gerik Sargao. Apalagi setelah Sargao kembali memukul jatuh kenek Bis Laju Angin yang lain
(temannya Dido) yang mencoba membalas dendam temannya di suatu siang yang
panas.
Jaka, sang jawara terminal
yang lebih senang dipanggil Jago, mulai menebar ancaman pada Sargao lewat Pak
Samaun. “Jaga tingkah si Sargao! Jangan sampai aku berkeputusan
melenyapkannya!” Pak Samaun yang telah tahu betul karakter kasar Jaka segera
menyampaikan ancaman itu pada Sargao. Ada rasa gentar terbaca di raut wajah
Sargao.
“Jaka itu orangnya seperti
apa Pak?”
“Nanti akan aku kasih tahu.
Yang jelas kamu harus jaga emosimu. Kalau dia tak suka, dia tak segan-segan
untuk melenyapkanmu.”
“Apa aku pernah
menyakitinya?”
“Pokoknya dia sudah merasa
tak suka dan tak ada orang yang bisa mencegahnya di terminal ini!”
Lima hari setelah Pak
Samauan memperingatkan, Sargao benar-benar menuai ancaman Jaka. Pak Samaun
hanya bisa melongo ketika Sargao di seret dari pintu mobil saat mau pulang ketika
hari menjelang senja dengan guyuran gerimis. Di lorong gedung-gedung
pergudangan yang tak jauh dari jalan Jaka membawanya. Dari balik bajunya Jaka
mengeluarkan golok dan menghunusnya.
“Aku harap kamu menyingkir
atau terpaksa harus kusingkirkan dengan ini,” kata Jaka dengan nada sarat sinis
sambil menunjukkan golok ke muka Sargao. Sargao gemetar. Ia hanya diam bingung.
Sebuah tamparan kecil mendarat di pelipis dekat ujung mata, sebuah peremehan.
Jaka menghembuskan asap rokoknya pelan diikuti loncatan ludah ke ujung telapak
kaki Sargao. Ciuhh!
“Maaf, seingat saya, saya
tak pernah mengganggu anda,” kata Sargao sedikit terbata.
“Pokonya saya ingin kamu
minggir!!” Sorot mata dan senyumnya penggambaran seorang pria perkasa yang
jengkel menghadapi anak kecil yang nakal dan bandel. Sargao membacanya. Darah
mudanya mendidih, rasa takutnya hilang, tenaganya bertumpuk, keberaniannya
melipat ganda. Dunia serasa dalam genggamannya. “Suka-suka saya!” bentak Sargao
tak kalah keras.
Darah Jaka membara. Ia
menusukkan tinju kirinya diikuti ayunan golok di tangan kanan. Sargao terkena
pukulan keras tapi bisa menghindar dari ayunan golok. Meski Sargao tak pernah
berlatih ilmu bela diri, gerakan lincahnya mampu menghindar sekaligus menangkap
tangan kanan Jaka, membenturkannya pada tembok gudang. Golok di tangan kanan
Jaka terpental. Sargao memanfaatkan kelengahan dan kekagetan Jaka. Ia langsung
menghajar Jaka bertubi-tubi membabi buta.
Jaka terkapar tak berdaya
tapi tak sampai pingsan. Di sekitar mata kiri dan dagunya memar, di lubang
hidungnya mengalir sedikit berdarah. Sargao memungut golok di tepi tembok dan
sarungnya yang telah terjatuh dari selipan ikat pinggang Jaka. Ia berjalan ke
arah Pak Samaun yang menunggu penuh kekhawatiran di dalam mini bis-nya.
Melihat kedatang Sargao
dengan wajah segar bugar, wajah Pak Samaun berseri. Ia menyambut dengan sebuah
pertanyaan, “bagaimana?”
Sargao menjawabnya dengan
memberikan sebilah golok dalam sarungnya, “bisa aku atasi.”
Pak Samaun mengamati dan
meneliti lebih cermat golok di tangan kanannya. Dahinya berkerut tebal,
mulutnya berdecak sambil sedikit menggelengkan kepala. “Kamu akan jadi penguasa
terminal itu!”
Sargao diam. Ia tak
menegerti maksud ucapan Pak Samaun.
Esok harinya berita tentang
kekalahan Jaka oleh Sargao telah tersebar seisi penghuni terminal dan seluruh
awak bis dari berbagai trayek. Entah siapa yang menyaksikan pertarungan itu dan
berkabar. Dan benar ucapan Pak Samaun, Sargao menjadi begitu disegani di setiap
tempat. Semua orang memberikan prioritas padanya. Semua mau mengalah padanya.
Sargao tahu hal itu karena pemberitahuan Pak Samaun, tapi dalam hati Sargao
belum ada keinginan untuk menguasai terminal meski keadaan telah sangat
memungkinkan. Baru setelah tiga bulan merasakan enaknya selalu mendapat
prioritas, disegani dan ditakuti, Ia merasa perlu untuk mencari kekuatan lain
untuk mempertahankan predikat barunya yang telah mulai disandangnya.
Sargao selalu merawat dan
menjaga golok yang didapat sewaktu mengalahkan Jaka. Ia selalu ingat pesan Pak
Samaun, “Jaga golok itu baik-baik. Selama golok itu masih di tanganmu, tak akan
ada orang yang berani main-main sama kamu.”
Pernah Sargao tanya tentang
asal usul golok itu dan Pak Samaun hanya memandang lewat ekor mata sambil
menebar sedikit senyum, “kamu akan tahu sendiri nanti.” Sargao telah
benar-benar menjadi jawara terminal. Ia mulai kenal dan mengkonsumsi berbagai
macam narkoba, bergaul dengan wanita-wanita penghibur dan mulai terbiasa dengan
kehidupan malam.
Semakin banyak tantangan
dan ancaman dihadapi Sargao, semakin banyak pengalaman dan siasat untuk
menghadapi setiap lawan dan kawan yang setiap hari mengintai mencari
kelengahan. Dua tahun pertama Saragao tak banyak menghadapi musuh yang berarti
atau mungkin karena belum banyak orang yang sebal dengan polah tingkahnya. Di
tahun kelima Sargao mendapat lawan tangguh yang benar-benar mau mengambil alih
kekuasaanya. Di sebuah kebun pisang di pinggir perkampungan Sargao mengajak
lawannya dan menghabisinya dengan golok pusaka warisan dari Jaka. Dari awal
Sarago tak berniat untuk membunuh lawannya, hanya sekedar untuk memberi
pelajaran, tapi kejadian itu begitu
cepat. Golok di tangannya bergerak cepat membimbing tangannya menebas leher
lawannya. Dengan perasan takut dan gugup Sarago berhasil menghilangkan barang
bukti. Sargao lolos dari jeratan hukum. Sejak itu Ia menjadi terbiasa dengan
berbagai macam kekerasan untuk menyingkirkan musuh-musuhnya.
Sargao menjadi penguasa
terminal selama kurang lebih sembilan tahun. Ia menyadari setiap saat
‘jabatan’nya selau diincar oleh banyak orang jalanan. Ia tak ingin hidupnya
berakhir sia-sia seperti dua musuhnya mati di tangannya karena mencoba merebut
kekuasaanya. Perlahan Sargao menyingkir. Ia jarang datang ke terminal. Sampai
kemudian Ia memutuskan meninggalkan golok pusaka itu di samping wc umum di
tengah malam yang sepi. Ia kemudian menikah dengan gadis desa yang masih
saudara dari ayahnya dan hidup bertani sebisanya.
Saragao
mencoba bertahan hidup di desa dengan bertani meski perekonomiannya
kocar-kacir. Ia kemudian kembali mencoba mengais rejeki di terminal dengan
berjualan kecil-kecilan ketika merasa wajahnya tak lagi dikenali sebagai bekas
jagoan terminal. Ia ganti nama menjadi Bagyo.
Ia tak pernah tahu kenapa
Goldi selalu menitipkan tas di warungnya. Ia kadang curiga kalau Goldi tahu
masa lalunya sebagai mantan jagoan terminal kemudian mengabarkan pada
orang-orang yang pernah disingkirkan atau dianiaya.
Sudah tujuh hari Goldi tak
datang untuk mengambil tasnya. Di hari ke delapan, sesaat setelah Pak Bagyo
selesai membuka warungnya, seseorang datang dengan memakai kaca mata hitam.
“Mana tas punya Goldi?!”
“Maaf, saya tak berani
memberikannya selain padanya.”
“Berikan padaku!”
“Nanti Mas Goldi marah dan
ngamuk. Saya yang repot Mas.”
“Dia tak akan macam-macam!
Dia sudah habis!” kata lelaki kekar itu sambil menggorok leher dengan jari
telunjuknya, kemudian menyerobot masuk dan mengambil tas di lemari. Sepertinya
Ia telah hafal di mana tas itu biasa disimpan. “Aku tahu siapa kamu!”
Pak Bagyo terperanjat.
Benar dia tahu siapa aku?
Esoknya Pak Bagyo tak pernah lagi membuka warungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar