Kalah dengan kepala tegak, begitu biasanya kita mengucapkan kata pelipur kekecewaan jika kalah dalam suatu pertandingan yang telah dilakukan dengan sepenuh daya upaya. Penghormatan akan tetap ada meski jauh dari penghormatan yang diterima jika menang dengan heroik. Dan jika kalah atau dinyatakan kalah dengan cara di diskualifikasi karena mencederai ‘sportifitas’ yang diusung tinggi-tinggi dalam olahraga, maka bersiaplah untuk menerima kecaman dan berbagai ucapan tak enak sampai semua bosan membicarakannya. Bahkan hal semacam itu tetap saja di catat dalam sejarah dan akan di ungkap dan dibicarakan lagi jika even dan atau kejadian semacam itu terjadi lagi.
Greysia Polii dan Meliana Jauhari tentu menjadi orang yang paling menyesali kejadian itu. “Kami dilatih oleh senior-senior yang sudah punya pengalaman mendunia, kami siap untuk kalah. Namun kami tidak siap dituduh curang” ujar Meiliana mengekspresikan bentuk kekecewaanya atas kejadian ini. Kekecewaan itu tentu juga dirasakan oleh seluruh penggemar olah raga Bulutangkis di seluruh Indonesia, bahka ke semua warga Indonesia yang mengharap Bulutangkis dapat menyumbang medali emas seperti Olimpiade sebelumnya.
Menghindari lawan dibabak berikutnya karena takut kalah sebenarnya bisa saja dihilangkan jika memang sudah siap menghadapi siapa pun lawannya. Jika sengaja menghindari lawan yang sudah siap menunggu dan si calaon lawan dianggap berat untuk dikalahkan itu, artinya sama saja mencari kemenangan dengan cara-cara tidak fair dan curang. Ganda putri Cina berkeinginan mendapatkan medali sebanyak banyaknya dari Bulutangkis, maka berusahalah mereka agar tidak terjadi duel antar pemain Cina di laga yang tidak memperebutkan medali. Bagi pemain Cina mungkin tak masalah siapapun lawannya, karena mereka sudah siap dan berkemampuan bagus, tapi berhadapan dengan pemain senegara dalam babak seperempat final tentu akan membuat salah satu gugur dan menjadi hilang kesempatan All Cina Final. Sahkah hal semacam itu dilakukan? Yang jelas penonton di stadion tempat berlangsungnya pertandingan “pertunjukan pertidaksportifan” sangat kecewa. Mereka yang berharap disuguhi tontonan kelas dunia, ternyata disuguhi dagelan yang bukan dari pelawak. Merekapun mencemooh dan menghujat para atlit. Tak heran jika ada yang melempari dengan botol minuman.
Kita menjadi teringat Piala Tiger kedua digelar di Vietnam 27 Agustus-5 September 2008. Bukan prestasi yang diraih Indonesia pada perhelatan kala itu, tapi cerita buruk yang dibawa pulang oleh Aji Santoso cs. Karena ingin menghindari tuan rumah Vietnam di babak semifinal, Thailand dan Indonesia bermain 'sepakbola gajah'. Kedua tim sama-sama menghindari kemenangan. Skor 2-2 bertahan cukup lama. Namun dipenghujung babak kedua, pemain belakang Indonesia, Musrsyid Effendi dengan sengaja memasukkan bola ke gawang Indonesia. Skor pun berubah menjadi 2-3 untuk kekalahan Indonesia. Akibat aksi tersebut, Indonesia dan Thailand dikenai denda karena telah merusah semangat sepakbola. Musrsyid sendiri dihukum tak boleh tampil di even internasional seumur hidup. Di tubuh PSSI, Azwar Anas yang menduduki kursi pimpinan memilih mundur. Dia digantikan oleh Agum Gumelar. Singapura akhirnya keluar sebagai juara untuk pertama kali setelah di final mengalahkan tuan rumah, Vietnam dengan skor 1-0. Sedangkan Indonesia harus puas di tempat ketiga mengalahkan Thailand lewat drama adu penalti, 5-4. Sepanjang 120 menit kedua tim bermain imbang 3-3. Dan ternyat menghindari lawan pun tidak menjadi juara.
Mungkin saja BWF (Badminton World Federation) memberikan sanksi lainnya berupa larangan bermain selama periode tertentu atau denda bagi para atlit yang telah bermain tidak sportif dan menodai semangat Olimpiade. Tentu keputusan untuk mengalah dalam suatu pertandingan, karena sudah pasti lolos, bukan hanya keputusan atlit yang turun berlaga. Ada sharing kesepakatan pendapat antara atlit, manajer tim, dan pelatih. Tidak fair jika beban malu dan cemoohan harus diterima hanya oleh atlit. Tapi, mampukah kita menyalurkan dan ‘memberi’ tahu pada semua orang yang kecewa bahwa jangan beban berita buruk itu kepada atlit sebagai tertuduh aktor kejadian itu.
BWF sendiri juga harus mengevaluasi sistem pertandingan semacam itu yang menjadikan ada celah untuk mencari kalah jika dua tim atau atlit sudah dipastikan lolos ke babak selanjutnya dan sudah tahu siapa lawan yang akan dihadapinya nanti. Seingat saya kemungkinan terjadi hal semacam ini sudah diprediksi oleh BWF sendiri. Mungkin akan lebih arif jika mereka yang terkena kartu hitam pada saat baru pertama kali sistem pertandingan dipakai, diberi maaf dan boleh ikut pertandingan selanjutnya dan tentu dengan peringatan keras atau denda. Baru kemudian di pertandingan berikutnya pada saat technical meeting ditegaskan tentang sanksi yang akan diterima jika bermain sabun.
Dalam bertanding, taktik dan teknik yang dipakai setiap atlit berbeda-beda. Baik taktik dan teknik di luar lapangan ataupun di dalam lapangan. Bisa saja dianggap maklum jika ganda putri Cina memilih untuk mengalah agar tidak bertemu dengan rekannya yang telah menjadi runner up di grup lain yang akan jadi lawannya. Atau ganda putri Indonesia yang enggan bertemu ganda putri Cina yang telah mengalah demi menjadi runner up grup yang sebenarnya mereka adalah peringkat satu dunia. Greysia Polii dan Meliana Jauhari jika berhadapan dengan Yu Yang dan Wang Xiaol, jika pun menang tentu harus menguras energi yang luar biasa. Dan akan bisa menyimpan sedikit tenaga atau tidak ‘terforsir’ jika tidak berhadapan dengan ganda peringkat satu dunia itu. Mungkin itu yang membuat mereka (kubu Indonesia) berkeputusan untuk ‘mengalah demi menang’. Ah, mungkin itu alasan pelipur lara yang akan banyak mendapat ketidaksimpatian dari mereka yang kecewa.
Dan kekecewaan itu ditambah dengan ketidakmampuan para atlit Bulutngkis kita yang tak dapat memeperoleh satupun medali yang diperebutkan di Olimpiade 2012, London. Tradisi medali emas yang biasanya diperoleh dari cabang Bulutangkis, sejak cabang olahraga ini dipertandingkan di Olimpiade Barcelona 1992, pupus dan terbebani juga oleh ‘Kartu Hitam’ yang harus diterima. Tentu evaluasi dan pembenahan di tubuh PBSI agar terus berjuang menempa para atlit dan terus mencari bibit baru penerus generasi harus kita sokong dan jangan sampai kita kalah dengan negara-negara baru di dunia Bulutangkis dan negara-negara seperti Cina, Korea, Jepang dan Denmark yang mempunyai sudah mempunyai pemain-pemain yang bagus dan kuat.