Label

Selasa, 30 Mei 2017

WANITA GILA ITU HAMIL

Cerpen

Pernah dengar nggak, seorang wanita gila baru, muda cantik berkulit bersih yang dikerjai oleh sekelompok anak muda begajul di bawah jembatan pada suatu malam yang dingin menjelang jam 00:00. Cerita itu, entah benar entah tidak, telah beredar meluas cepat secepat berita selebriti yang jadi anggota DPR tersandung kasus korupsi yang terus menerus setiap waktu di tayangkan di banyak televisi. Jadi, begitulah, katanya, wanita itu memang betul-betul cantik, punya mata yang berbinar cerah dengan kedipan mata yang pelan sangat teratur seirama dengan senyum yang sedikit menggaris. Tapi, sebenarnya wanita itu punya senjata untuk mengusir ana-anak muda. Matanya yang tajam dengan tatapan yang berkilat-kilat seperti sinar laser, mampu mengusir orang yang mau berbuat jahat. Dan juga Ia akan segera mengambil batu sebesar kepalan tangan dan menganyun-ayunkan siap untuk melempari siap saja yang mau berbuat tak senonoh sambil teriak-teriak. Tentu saja para pemuda itu akan lari bersembunyi katakutan, malu takut ada orang yang tahu.
Hanya semalam sebenarnya Ia tidur di bawah jembatan. (mungkin sudah beberapa malam, tapi tak ada orang yang tahu pasti berapa malam). Dengan memakai jaket tebal dan bersepatu, nyamuk tak begitu menggangunya. Tas ransel yang padat berisi tak pernah lepas dari tangannya. Esoknya seorang yang baik hati membawanya ke rumah dan Ia nurut ketika di bujuk untuk tinggal di rumahnya. Memang benar Ia kemudian hamil. Mungkin saja para pemuda itu berhasil mengelabui wanita cantik itu dengan memberinya minuman beralkohol dan bisa menggaulinya bergantian. Dari celoteh mereka saat bercengekrama di pos ronda atau di warung kopi, mereka cekakan ketawa-ketawa seperti menceritakan sebuah keberhasilan. Dan tak ada yang tahu apa yang mereka ketawakan selain mereka, karena mereka memakai bahasa yang hanya mereka yang tahu.
Tak tahulah, karena kemudian ada berita lagi tersiar, kalau sebenarnya Ia tak hamil. Berita itu hanya untuk ‘menakut-nakuti’ geng pemuda yang katanya memperkosa bergiliran di bawah jembatan ketika malam menjelang dini dengan kabut yang turun menderas. Ketika para pemuda itu ditanya atau di sindir, mereka, saat pas bareng atau pas sendiri-sendiri, hanya tertawa kecil, seperti menanggapi pertanyaan bodoh, seperti juga menyembunyikan sesuatu, seperti sengaja membuat si penanya masuk dalam pusaran penasaran. Pemuda-pemuda itu, memang punya ide-ide yang bikin orang yang sedang penasaran semakin bertambah penasaran. Lagian jika ia benar-benar hamil, siapa yang akan menuntutnya. Ia tidak waras dan tidak ada sanak familinya. Siapa yang akan mempercayai wanita gila.
Wanita itu masih muda, wajahnya seumur anak usia SMA yang selalu ceria jika pelajaran di kelasnya kosong karena sang guru ijin kondangan. Suatu  pagi Ia minta di antar ke pasar untuk membeli sayuran. Ia punya simpanan yang cukup untuk membiayai hidupnya. Ia memborong banyak buah yang biasanya dimakan wanita hamil. Sepertinya Ia ngidam. Bu Wati, ibu setengah baya yang baik hati, mendampinginya, tak melarang segala yang di beli wanita itu. Ia banyak uang. Di dompetnya juga ada beberapa kartu atm dan kartu kredit, entah atm-nya masih ada uangnya atau kartu kreditnya sudah diblokir. Ketika barang belanjaannya sudah banyak dan susah dibawa, baru Bu Wati berani baru menyetopnya.
Wanita cantik itu memang hebat. Ia bisa berjalan dengan sangat anggun seperti model dunia yang pamer busana di atas catwalk, dan kadang Ia bisa berjalan sangat norak, tomboy, atau cara berjalan seperti kuli panggul di pasar yang kelebihan muatan. Ia bisa berubah polah apa saja. Kadang nampak seperti orang gila yang tak bisa dikendalikan. Ngoceh apa saja, dari yang jorok sampai mengumpat orang-orang yang dianggapnya munafik. Tak ada yang peduli dan mau tahu nama-nama yang disebut dalam umpatannya. Kadang nama inisial, nama akronim, nama sebutan, nama tenar, nama panggilan, nama-nama dari tokoh terkenal, nama politisi, nama artis, nama pejabat tinggi. Semua meluncur tanpa beban, tanpa canggung, tanpa merasa takut dianggap pencemaran nama baik. Merasa di anggap gila, menjadikannya masuk pada dunia yang tak tersentuh oleh hukum, norma dan kepatutan. Sebuah lapangan yang luas yang siap menampung seluruh sampah pikiran dan hati. Merasa dianggap gila? Memang Ia gila beneran kok. Yang menganggap Ia tidak gila, karena melihat Ia cantik, luwes, dengan kondisi dan pakaian apa saja tampak apik. Bangun tidur dengan rambut awut-awutan pun, lelaki normal akan terkesima.
Di sebuah halaman sekolahan SD yang berdampingan dengan sekolahan TK yang banyak ibu-ibu dan bapak-bapak mengantar anaknya sekolah, Ia ngoceh seperti sedang pers release, “Ibu-ibu tahu nggak, si anu yang suka tampil di tivi, pak anu yang kalau ngomong pinter dan cerdas, pak anu yang selalu tampak wibawa, itu biasa pakai saya. Ngajak saya kencan di fila-fila yang dijaga ketat oleh penjaga dan body guard yang siap menjaga sepanjang waktu. Mereka kaum munafikun, penjahat, mafia.”
“Biasa pakai gimana maksudnya, mba? Di pakai anu?” seorang ibu dengan rasa penasaran tinggi menyambut dengan pertanyaan yang menggelora.
“Ya betul, pakai jasa saya. Pakai gituan.”
“Ooh.. yang bener mba.?”
“Apa untungnya saya bohong. Apa orang macam saya dianggap tukang bohong, tukang penyebar fitnah. Ayo, siapa yang berani melaporkan saya orang-orang yang saya sebut tadi. Saya punya cukup bukti untuk itu.”
Seorang laki-laki turun dari mobilnya dan mengatakan pada penjaga sekolah, “Tolong suruh dia pulang sebelum bikin kacau. Berbahaya itu orang. Kalau ngamuk bisa banyak korban nanti. Dia bawa pistol di tas kecilnya.”
Penjaga sekolah bingung, jangan-jangan nanti saya malah kena tembakan pistol, pikirnya.
Untunglah, Bu Wati segera datang dan mengajak wanita cantik itu segera pulang, “Ayo nak, kita belum nagsih makan kucing, kasihan nungguin kamu.”
Enam hari yang lalu Ia membeli kucing Anggora warna dominan hitam dengan sedikit warna putih di bagian keempat kaki dan di ubun-ubun serupa gambar bintang. Sehari sebelumnya, seorang berbadan tegap dengan dan dada penuh otot, agak tinggi, berrambut sedikit gondrong terurai, datang menyerahkan sesuatu dalam kardus mi instan. Tak banyak basa-basi, orang itu langsung pergi dan wanita itu hanya mengantar dengan padangan mata dan nafas yang dihembuskan sedikit. Nampaknya Ia sudah kenal dan tak perlu berbasa-basi, karena basa-basi tak perlu dan tak berguna.
“Bu, ibu tahu kenapa tadi saya ngomong seperti itu di depan sekolah?”
Bu Wati menggeleng, “Ibu tidak perlu tahu alasanmu. Alasanmu sering bikin ibu harus memilih antara percaya atau tidak percaya.”
“Biar mereka tahu bu, biar anak-anak juga tahu bu. Mereka-mereka yang di puncak sana brengsek-brengsek.”
“Puncak mana? Tapi kan tidak semuanya. Masih banyak orang baik di negeri ini nak. Kamu juga baik-baik kan nak?”
Wanita itu hanya tersenyum sedikit. Antara mengiyakan dan tidak. “Ah, Ibu. Saya jadi malu. Pertanyaan Ibu bikin malu.”
Wanita itu memeluk kucing sambil menari-nari. Bergerak lembut seperti menimang bayi sesekali berubah gerakan melepas amarah dan kebencian. “Panggil saya Lucia, Rien, Nada, Bunga, Kuntum, Tika, atau Mam, atau Mom, apa saja yang ibu suka boleh. What is the name?
Bu Wati terkesima,  Ia bisa tahu apa yang hendak ditanyakan padanya. Dan wanita itu selalu menjawab begitu. Bagi Bu Wati nama menjadi penting untuk berkomunikasi. Bu Wati kesulitan jika harus memanggil dan ngobrol. Kadang manggil non, mba, nak. Tak tentu.
“Ibu mungkin mengira saya hamil. Jika iya, tak perlu Ibu bertanya siapa yang membuat saya hamil. Waktu, kondisi, keadaan, semuanya mengarah pada sesuatu yang sebelumnya saya tak tahu dan tak pernah menduga. Saya menjadi tiba pada sebuah tempat yang saya harus melakukan yang saya tak terpikirkan sedekitpun, sebelumnya. Semua orang ingin menjadi baik-baik, semua. Semua ingin punya kehidupan normal dengan segala kebutuhan dan keinginan tercukupi. Dan karena keinginan dan ingin tercukupi itu, saya menjadi seperti sekarang ini, seperti kemarin-kemarin, seperti bertahun-tahun yang telah di lewati tanpa mengerti apa hakikinya saya melakoni ini.”
Bu Wati terkesima. Ok, ia bisa ngomong seperti ini yah, bisiknya.
Wanita itu bernyanyi greyengan, terdengar seperti lagu jawa, seperti lagu Spanyol, seperti lagu barat, seperti lagu Amerika Latin. Terdengar tak tentu. Kadang terdengar riang, kadang terdengar sedih mendayu, kadang seperti ejekan, sesekali terdengar merdu, sesekali terdengar meledak-ledak seperti memuntahkan amarah. Cukup lama, dan berhenti ketika jenuh sudah merasuki jiwa dan pikirannya. Ide nyanyiannya sudah hilang, tak ada lagi lagu yang bisa mewakili dunianya. Di bawah pohon mangga di samping kiri rumah Bu Wati, selepas maghrib, wanita itu duduk di balok bangku kayu yang garis tepinya sudah mulai melapuk. Ada sedikit jamur di ujung kanan kiri. Seekor kelelawar yang berputar-putar di atasnya, ia pandangi. Buah mangga yang mualai matang menjadi incaran binatang malam bermocong mirip anjing. Ketika kelelawar itu merobek dan memakannya, ia biarkan dan terus memandanginya dengan kekaguman dan senyuman. Dan lagi, senyum yang tak ada orang yang tahu, tak ada yang mengerti. Senyum untuk malam yang pelan merambat beriringan dengan buliran rintik embun yang mulai beringsut turun.
Ketika sekelompok anak muda, enam orang, melewat di jalan dan menggodanya, wanita itu tenang-tenang saja. Saat seseorang menyiulinya dengan nada menggoda, Ia membalasnya dengan siulan lebih menggoda. Enam pemuda itu menjadi terhenti, penasaran.
“Haloo.. lagi apa nona cantik?”
“Lagi nungguin kamu-kamu.”
“Hah... yang bener? Mau dong.”
Berebutlah para pemuda itu duduk paling dekat dengan wanita itu. Tapi, semua canggung, diam, tak ada yang memulai komunikasi. Wanita cantik itu menikmati keadaan itu dan membiarkan cukup lama.
“Kalian yang dulu ngerjain saya di bawah jembatan yah?”
“Hah, bukan! Bukan kami, bukan. Sumpah!”
“Iya juga nggak apa-apa.”
“Hah...”
“Siapa saja hayoo, ngaku.”
“Hah...”
Wanita cantik itu mencubit gemes pipi salah seorang yang bertubuh atletis dengan potongan rambut sedikit gondrong berkulit sawo matang bersinar. “Yuk, kita main.”
“Main apa mbak?”
“Main anu...”
“Ayo.. “ Suara mereka hampir serempak.
“Berani bayar berapa?”
“Hah....”
“Iya dong, berani berapa. Emang ini milik umum.” Wanita itu menjawab dengan genit sambil memegangi sesuatu. “Saya biasa menaklukan lelaki-lelaki hebat. Mereka biasa merengek-merengek dihadapanku, merajuk seperti anak kecil minta mainan, mereka menanggalkan semua pakaian terhormatnya demi melepas hasratnya yang melonjak-lonjak mau muntah tertahan.”
“Yang bener mbak...”
Wanita itu tertawa lirih sedikit tertahan. Tertawa seperti mengejek pertanyaan para pemuda itu. Dan kemudian tawanya berubah menaik terkekeh-kekeh, sampai terbahak-bahak dan kemudian berhenti mendadak.
“Mereka payah. Mentang-mentang banyak uang, dihambur-hamburkan. Nafsunya juga dihamburkan. Muncrat ke langit, ke tepi langit, ke selokan-selokan, ke pinggir segara. Kau kira mereka terhormat. Tidak! Mereka memamerkan keramahan, merengek, memamerkan uang. Kalian tahu, mereka bangga bisa dengan gua, padahal gua kadang muak. Tidak semua sih, beberapa ada yang membuat gua kesengsem, kadang merindukannya.”
“Asyik nggak mba?”
“Asyik dong. Kalau nggak asyik mana mungkin gua mau. Dan yang lebih seneng lagi, duitnya.”
Dengan bahasa ‘gua gua’ dan logat bahasa gaul, nampak Ia seorang cewek metropolitan yang extrovet.
“Dan yang paling repot mereka nggak mau pakai karung.”
“Karung apa sarung mba?”
“Hahaha..”
“Kok ketawa mba?”
“Hahahahaha.....”
Melihat wanita itu dikerubuti pemuda, Bu Wati diikuti suaminya, berlari menerobos kerumunan. “Kau apakan mba ini?!” Bentak Bu Wati.
Para pemuda itu serentak berdiri terpaku.
“Mau kau apakan nona ini, hah?”
“Tadi saya hanya mendengar ceritanya bu, katanya, mba ini dulu sering ginian sama orang-orang itu.” Tangannya menunjukkan simbol tertentu dan kemudian menunjuk ke atas.
“Huss! Jangan sembarangan kamu. Ayo pergi. Pergi!” Bu Wati membentak.
Wanita itu terbahak-bahak keras. Keras melengking tinggi, tapi kemudian menurun dan terdiam, terkatup mulutnya. Matanya nanar memandang ke seberang jalan seperti kucing kampung melihat tikus remaja lewat di genteng. Tapi, mendadak binar matanya meredup, batang lehernya di tarik ke belaknag dengan dagu diturunkan. Dengan gerakan tangan seperti menarik pelatuk pistol, wanita itu mengusir para pemuda yang mengerubutinya. Sinar matanya yang jalang menembus bola mereka dan mengirimkan sinyal untuk segera pergi. Para pemuda itu segera pergi tanpa basa-basi dan cekikan lagi saat sudah berjarak tiga puluh meter.
Sesaat Bu Wati membujuk wanita itu masuk rumah. Sebelum mereka melewati pintu, dua orang lelaki menyeret paksa wanita itu sambil menutup mulut dengan gerakan cepat dan kasar,  “Dia berbahaya bu, kami harus amankan.”
“Jangan! Mau dibawa kemana ini?”
Hanya belasan detik, wanita itu sudah berada dalam mobil berkaca hitam dan segera melesat ke arah timur. Deru knalpot mobil meninggalkan asap.


3 September 2016.

Senin, 29 Mei 2017

PURIANG

cerpen

djayim.com
Jika hanya menginginkan kenyamanan di tempat ini, sebaiknya jangan dulu atau samasekali tak mendengar cerita tentangnya. Puncak bukit yang tak terlalu tinggi ini, selalu ada semilir angin yang berhembus pelan tak pernah tergesa dari arah yang berbeda. Jika pagi, kita bisa menyaksikan mentari yang muncul perlahan di ujung timur di dada bukit yang tengadah dengan tetumbuhan yang samar, dan jika senja, matahari terlambat terbenam pada pangkal rerimbunan pohon pinus yang berjajar rapi di punggung bukit yang tenang membisu. Burung-burung tak pernah berkicau over acting, hanya sekedar bunyi dan lewat terbang saja. Tiga pohon rindang menjadi peneduh.
Di bawah pohon berdaun kecil-kecil memanjang dengan totol-totol warna kuning dan kemerahan, kita bisa duduk di atas batu sebesar kepala orang dewasa dan bersandar. Banyak orang menyebutnya Puriang dan banyak lagi orang menyebutnya pohon Puring, itulah makanya tempat tumbuhnya di sebut Igir Puring. Pohon itu ditanam sekitar tahun 20an, kalau di runtut dengan sejarah Indonesia, menjelang ketika para pemuda berikrar Sumpah Pemuda di Batavia. Dan dibawah batu sebesar kepala itulah jasad seorang yang ikut dalam pergerakan pemuda yang menghimpun sebuah kesatuan tekad anak-anak muda Indonesia  yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Perlu perjalanan tiga hari berkuda dan setengah hari naik kereta untuk sampai ke Batavia. Dari desanya Ia menuju Cirebon untuk dan menitipkan kudanya pada teman seperguruannya. Ide-idenya yang banyak menjadi dasar pemikiran pemuda kala itu. Ia tak pernah mau tampil sebagai penyampai dan menikmatinya menjadi penyokong yang tak perlu tampak muka. Sikapnya yang tegas, pendiam dengan pandangan matanya yang tajam, membuat siapapun yang berhadapan dengannya akan segan. Pun gadis-gadis yang terpesona oleh kegagahannya. Dan Ia memilih untuk tetap tinggal di sebuah dusun kecil dari tiga dusun di desanya. Mengirimkan tulisan-tulisanya lewat seorang pedagang kain yang sebulan sekali belanja di kota. Pada saat kongres pemuda itu berlangsung, Ia tak bisa hadir. Banyak teman-temannya yang mempertanyakan ketidakhadirannya, tapi alat komunikasi tak cukup untuk memberi jawaban dan menjadikan sebuah misteri bagi mereka. Tak ada kabar tentangnya sampai kejadian di sebuah puncak bukit pada sebuah sore menjelang senja dengan gerimis kecil yang tak berhenti sejak matahari sedikit condok ke barat.
“Jangan pulang dulu Kakak, nanti kamu pas senjakala masih di tengah perjalanan.”
“Saya harus cepat sampai rumah.”
“Waktu begini tak cukup aman untuk berangkat pulang.”
Menahan pulang Saiman, bukan hanya kali itu. Setiap kali Keni menjumpai Saiman hendak pulang dari rumahnya. Dengan nada wajar, tak juga tersembunyikan getar rasanya pada Saiman. Berbagai alasan selalu saja ada. Saiman mengerti itu, tapi Ia tak ingin berlarut, dan lebih sering memilih menghindar berkelit santun.
Ayah Keni seorang tetua kampung. Seorang yang paling tua dan dipercaya warga di tiga dusun dalam satu kampung yang belum layak di sebut desa. Petuah dan petunjuk Ki Ranu menjadi pertimbangan terakhir dalam sebuah keputusan yang berkait dengan adat dan lelaku hidup. Kata-katanya yang pelan dengan penuh pertimbangan membuat orang yang mendengarnya sering tak sabar.
“Berhentilah nak. Jangan selalu berharap.”
“Tidak ayah. Saya tak akan pernah berhenti.”
“Ayah tahu dari suaranya, dari sinar matanya, dari gerakannya.”
“Ayah tidak tahu. Perasaan saya lebih tajam Ayah. Saya seorang wanita yang sangat tahu tentangnya.”
“Tapi...”
“Ayah. Kenapa ayah tidak membantuku dan membuatku tenang?”
Hening. Sepi. Angin mengalir tenang dan berhenti di buritan. Angin yang seharusnya menyejukkan itu, tidak bagi Keni, angin seperti mencibir mentertawakannya. Bertahun-tahun Ia berharap dan tetap menyimpan harapan itu dalam hati seorang wanita yang kadang lembut kadang meradang.
Tak dimengerti banyak orang kenapa Saiman tak menyambut cinta Keni, gadis lembut bermata hitam bulat diatas hidungnya yang pas sekali ukurannya dengan bentuk wajah bulat telur. Bibirnya yang selalu basah, akan sangat enak dipandang dalam kondisi apapun; senyum, marah, cemberut. Rambutnya yang sebahu, hitam berkilau dan selalu bergelombang jika Ia berjalan lincah. Mungkin sebanding dengan Annelies Mellema*) gadis yang hidup di istananya yang sepi di tempat lain nan jauh di waktu yang berbeda. Tapi, Keni tak ada darah indo dan kulitnya jauh lebih memikat dengan warna sawo matang yang bersih. Jika Saiman masih tetap tak membuka hati untuknya, apa karena menunggu saat yang tepat?
Keni anak tunggal yang tinggal bersama Bapaknya yang belasan tahun tetap menduda. Rumahnya sedikit berjauhan dari sekelompok rumah yang ada di sebelah utaranya. Di belakang rumah mengalir kali kecil yang airnya mengalir sepanjang tahun dan tak keruh setelah hujan. Dengan sebilah bambu, air kali itu dialirkan ke rumah dan sebagian ke kolam kecil tempat ikan menari-nari dan beranak pinak.
Di sekitar rumahnya, sering nampak seekor harimau belang tengkurap rebahan dengan ekornya yang panjang dikibaskan kanan kiri, menjaga Keni bermain-main yang sesekali mengejar dan menangkap kupu-kupu oranye kesukaannya. Ekor harimau yang panjang berkibas-kibas mengusap-usap muka Keni, dan Keni memeganginya sambil terkekeh-kekeh kegelian. Tak semua orang bisa melihat harimau belang bermata sayu itu, tak semua orang berkesempatan. Sebagian orang hanya mendengar dari cerita ke cerita, tapi keberadaanya tak ada orang di kampung yang meragukan, juga di kampung-kampung tetangga yang cukup jauh. Harimau itulah yang menjaga kampung Dukuh Tengah dari orang-orang jahat yang sering datang untuk merampok. Banyak yang menduga harimau itu jelmaan Ki Ranu, ada juga yang menduga harimau itu piaraan Ki Ranu yang sesekali datang ke rumah jika waktu-waktu tertentu atau jika di panggil oleh tuannya. Dan Keni tahu pasti, jika harimau yang sering bermain-main dengannya adalah ayahnya yang seketika bisa menjelma hanya dengan memakai kantung kecil di ibu jari kaki kanannya. Atau pada waktu tertentu, tak memakai kantung-kecil pun, bisa.
“Kau harus mewarisi ilmu ini. Jika saatnya sudah tepat.”
“Tapi saya perempuan, Ayah.”
“Tak apa. Dan juga tak ada pilihan. Karena hanya anak kandung atau pilihan keduanya keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dari Ayah yang bisa. Ayah tak punya keponakan laki-laki. Si Marta, anak laki-laki Kang Jaya mati saat kau masih dalam kandungan karena penyakit aneh. Ketika itu, tengah malam Marta merasakan sakit di dadanya, kemudian sesak nafas dan esok pagi, sebelum matahari terbit, Ia tak tertolong.
Yang terpenting, kau bisa mengendalikan emosi dan juga tak gampang emosi. Kau masih belum cukup pada tataran itu, tapi, tak apa jika kau mulai menghafal mantra-mantranya. Nanti baru tirakat, lelaku dan perilaku. Kau harus mampu. Jika kau tak bisa, Ayah akan tersiksa jika raga Ayah sudah renta, jika sudah tidak sekuat seperti sekarang ini. Kau mau Ayah tersiksa dan pergi dengan susah?”
“Pergi ke mana Ayah?”
“Ke alam selanjutnya. Kita semua akan mati, masuk ke alam berikutnya.”
“Nanti saya sama siapa Ayah?”
“Kau tak akan sendirian. Semua ada pasangannya, ada jodohnya. Kau harus mulai belajar.”
Keni termenung, Ki Ranu meneguk teh hangat dari cangkir keramik merah tanah yang telah berpuluh tahun menjadi teman minumnya yang setia. “Kau harus mulai menghafal ini nak....”
“Awakmu awaku sukmamu sukamaku dadisiji dadiati. Aku ngulon koe ngulon aku ngidul koe ngidul aku ngetan koe ngetan aku nagalor koe ngalor. Ora ana ati sing beda kekarepan, ora ana karep sing beda. Loro dadi siji, siji karo siji dadi siji. Mantep madep udu madep mayong. Dadi siji, dadi siji, dadi siji, dadi sekarepe atiku.”
“Kau harus baca tujuh kali dalam satu nafas, dalam satu konsentrasi penuh. Kau harus bisa nak.”
Perlahan Keni menuruti kemauan ayahnya. Rasa penasarannya menjadikan Keni selalu bertanya hal berikutnya yang harus dilakoni. Ia kadang mencoba sesuatu yang seharusnya belum boleh dilakukan. Pernah ketika menjelang sore Keni mengambil kantong macan, yang diam-diam mengintip ketika ayahnya menyimpan, memakainya tanpa kesempurnaan ritual dan lelaku awal yang harus dijalani.
Di halaman belakang rumah, Keni menggeram-geram, seperti suara kucing bersiap tarung, kadang seperti harimau mengaum setengah nada dan putus di tengah. Tubuhnya terhampar di tanah, kakinya beregerak-gerak mencakar tanah dan kedua tangannya mengapai-gapai udara dengan mulut menyeringai, matanya menatap kosong. Sebuah penyatuan dua makhluk yang belum sempurna. Keni baru tertolong ketika ayahnya pulang dari ladang saat matahari setinggi tombak di punggung bukit. Dengan cekatan Ki Ranu melepas kantong macan di jari kaki kanan Keni. Dengan sedikit mantra yang ditiupkan di ubun-ubunnya, seketika tubuh Keni lunglai. Ki Ranu membopongnya masuk ke rumah, merebahkannya di ranjang dan membiarkan Keni terbaring seenaknya. Beruntung tak ada orang lain yang tahu kejadian itu dan hanya terjadi sekali karena Keni menurut petunjuk ayahnya saat esok harinya sambil memasak nasi.
“Maaf saya ayah..”
“Iya. Jika kau ingin cepat bisa, kau harus lebih giat dan rajin berlatih. Dan jangan lupa, tata cara dan perilakunya harus benar. Ilmu itu akan sempurna jika ayah sudah tiada,”
“Kenapa harus begitu ayah. Kalau begitu saya tidak mau belajar ilmu ini ayah.”
“Itu sudah ketetapan dan jalan hidup, anakku.”
*******
“Aku bisa menjaga diri, dan si Kumbang ini akan mengerti jalan meski hari telah gelap,” ucap Saiman sambil menepuk leher kuda putih kesayangannya.
“Tunggulah barang sejenak sampai ayah pulang. Sebentar lagi ayah pasti datang.”
“Saya ada keperluan nanti selepas maghrib di dusunku. Sampaikan saja pada ayahmu, saya datang dan akan datang lagi besok.”
“Kakak tidak takut nanti kalau dihadang macan loreng di bukit itu?” kata Keni sambil jari lentiknya menunjuk bukit di belakang rumahnya yang tengkurap mulai beranjak tidur. Mata Keni berkedip sedikit dengan senyum tipis di sudut kanan bibirnya. Tatapan mata seperti itu, membuat jiwa Saiman bergetar, terpana sesaat dan tersadar untuk kembali normal meski Keni sempat membacanya. “Kakak tidak takut?” Keni memperjelas pertanyaan.
“Saya yakin bisa mengatasinya, jika ada, dan saya yakin tak ada apa-apa yang perlu ditakutkan.”
“Jika benar-benar ada?”
“Saya tungkak batang lehernya biar mampuss!” kata Saiman dengan sedikit senyum sambil melambaikan tangan kanannya tanda segera berangkat pulang.
Mendengar kata-kata Saiman terakhir, Keni tiba-tiba merasa terhina. Perasaan yang tak biasanya ada. Sukma macannya sebagian telah masuk tanpa dirasakannya dan tak sepenuhnya terkendali. Gemuruh seperti angin serasa sangat cepat masuk dalam badan Keni. Ia terdiam dan tak berkuasa melawan. Tubuhnya berjumpalitan, salto ke belakang tiga kali. Kuku-kukunya memanjang mencengkeram, matanya membulat memandang ke atas, mulutnya menggeram berat. Dan Keni telah berubah ujud manjadi macam belang besar. Dengan dengus nafas yang panjang, macan belang itu melompat kemudian berlari mengikuti langkah si Kumbang yang berlari membawa Saiman. Langkahnya yang lembut, tak membuat curiga Saiman meski berulang kali si Kumbang meringkik tak seperti biasanya.
Di puncak bukit, ketika matahari di punggung bukit menenggelamkan garis sinar terakhirnya, macan belang melompat ke depan si Kumbang menghalangi jalan. Saiman terkejut dan langsung menjaga keseimbangan. Macan belang memandang redup, kaki-kakinya sedikit bergetar, ekornya masuk ke kedua kaki. Sejenak beranjak mundur seperti meberi jalan, tapi Keni tak kuat menguasai roh macan belang, segala getar rasa jiwanya berupaya berontak lepas. Semua yang Ia bisa dicobanya. Dalam pertarungan pengendalian penguasaan jiwa antar Keni dan roh macan belang, Saiman melompat dari punggung kuda, dengan kekuatan penuh Ia hantam leher macan itu dengan kakinya. Macan belang itu menggeram. Matanya menyala merah, cakarnya keluar dari sarung. Rupanya Keni tak kuasa mengendalikan roh macan belang. Ia hanya bisa merasakan kemarahan dari luar hatinya.
Pertarungan di senjakala itu pun tak bisa dihindari. Macan belang menyerang penuh amarah. Setiap Saiman mengelak dan menyerang, macan belang makin ganas penuh nafsu membunuh. Ada sekira setengah jam dua kekuatan itu terus beradu. Saat Saiman sedikit lengah, sebuah cakaran merobek dadanya dan sebuah gigitan di leher membuat Ia tak berdaya. Tubuhnya terkulai bersimbah darah.
Macan belang terduduk di samping jasad Saiman. Ia merunduk meneteskan air mata, juga kadang-kadang menggeram penuh tenaga melepas sesak dada. Perlahan Ia sered jasad Saiman sedikit ke tepi jalan. Dengan cakarnya, macan belang menggali tanah. Si Kumbang diusirnya dengan sedikit auman. Kuda putih berlari menuruni bukit menuju lembah yang sudah tampak pelita-pelita minyak menerangi rumah, tempat kelurga Saiman bermukim.
Ki Ranu yang sedikit terlambat pulang dari tetangga desa, terserang khawatir ketika putrinya tak ada di rumah. Ia menilik tempat menyimpan kantung macan. Ketika Ia tahu tak ada, segera duduk bersila di lantai tanah menyatu dengan bumi, segala inderanya membaca menerawang keberadaan Keni. Dengan keyakinannya Ki Ranu berlari menyusuri jalan setapak.
“Apa yang terjadi anakku?”
“Maafkan saya ayah. Maafkan saya.”
“Apa yang kau kubur itu.”
“Kak Saiman ayah.”
“Kenpa sampai terjadi begini?”
Keni tak menjawab. Ki Ranu menyempurnakan gundukan kubur Saiman sambil mulutnya terus berkomat kamit, mungkin berdo’a mungkin membaca mantra. Di rasa cukup, tangan kanannya menyempal batang pohon Puring dan menancapkan di ujung kepala Saiman di kubur. Gerimis turun perlahan.
“Saya tak akan pulang, mau menunggui Kak Saiman di sini, ayah.” Suaranya berat tersendat hampir tak terdengar. Ki Ranu menelan nafas sangat perlahan dan dalam. Ia tahu tak mungkin membujuk Keni untuk pulang. Ia menunggu Keni yang terbaring sampai tertidur sambil greyengan menyanyikan lagu penghantar tidur bertutur tetang lelaku hidup dan welas asih sesama.
Menjelang pagi, Keni tertidur. Ki Ranu menggendongnya pulang. Dengan ilmu yang dimiliki, bukan sebuah kesulitan untuk cepat sampai rumah.
Dan gerimis malam itu menjadi gerimis terakhir di musim penghujan. Setiap pagi dan sore, Keni selalu datang ke puncak bukit membawa seketel air untuk menyiram pohon Puring dan menyapa Saiman dengan nyanyian asmara dan do’a. Sampai Ki Ranu meninggal, sampai Keni menjadi nenek dan tetap tinggal sendiri di rumahnya.
Menurut kabar, pada pagi dan sore terlihat macan belang tengkurap di bawah pohon Puring di puncak bukit. Kadang terdengar suara tangis, kadang terdengar suara nyayian. Tak ada orang yang berani lewat di jalan setapak itu jika pagi dan sore.*** 31 Desember 2016


*) tokoh dalam novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.

Minggu, 28 Mei 2017

sebuah nama yang (di)tertinggal

Cerpen

Sehabis upacara apel pagi, di sebuah lapangan yang di pinggirnya ditumbuhi pohon-pohon rindang, di dekat tiang bendera yang menjulang tinggi sepertiga tinggi gedung, sebuah nama tertinggal. Ia tergolek tak berdaya berlumuran debu. Ia berusaha bangkit dan mencari-cari orang yang selama ini mengenakannya. Ia tatap langit; matahari masih di langit timur, ada dua burung dara beradu terbang dengan suara sawangan terus menjerit, bendera merah putih agak lusuh berkelebat searah angin ke barat, sebuah pesawat terbang bergegas berlari ke timur meninggalkan asap putih di belakangnya.
Ia berteriak, “Hai... Siapa yang namanya tertinggal.” Tak ada sambutan suara yang Ia keluarkan penuh tenaga. Semua aktifitas manusia tetap berjalan tak sedikit pun suaranya itu terasa pernah lewat. Mungkin tak ada orang yang mendengar suaraku, pikirnya, atau mereka pura-pura tak mendengar? Mereka tuli. Mereka sudah tuli. Mereka pura-pura tuli. Mereka telah segera menutup telinga dengan kertas, dengan angka, dengan huruf, dengan ballpoint.
Gedung di hadapannya tetap diam tanpa komentar pasrah menerima segala apa saja perilaku penghuninya. Ia berjalan ke arah pintu kaca tebal yang akan terbuka sendiri jika ada sosok manusia mau lewat. Ia berdiri di depannya, pintu tetap diam tak bereaksi. Sinar infra merah tak bisa membaca sosok sebuah nama tanpa ada yang mengenakannya. Ia maklum itu, maka untuk bisa masuk ke dalam gedung  Ia mesti menunggu orang yang mau lewat. Membukanya secara manual Ia tak punya kekuatan tenaga untuk melakukannya. Ia mencoba melihat keadaan di balik pintu kaca hitam. Ditempelkannya seluruh muka pada kaca, tak banyak orang di ruang dalam. Dua orang satpam duduk di belakang meja yang di tepinya ada sebuah tulisan ‘tamu harus lapor’. Ada dua pot besar berisi tanaman hias berdaun hijau terawat tanpa bunga mengapit dua pintu lift. Sesekali orang bergegas masuk keluar membawa kertas. Di sisi kanan kiri pintu lift ada dua buah tangga, setiap sela satu anak tangga di tepi kanan kiri ada pot dengan bunga-bunga segar warna-warni.
Ketika dua orang yang baru saja keluar dari mobil bergegas masuk gedung, Ia segera mendekat bibir pintu, berkelit masuk ketika pintu terbuka. Ia mengikuti langkah dua orang itu yang masuk ke dalam lift. Ia sebenarnya sudah sangat tahu seluk beluk gedung itu, tapi untuk sekarang Ia tak bisa leluasa masuk ke setiap pintu karena tak lagi punya tenaga untuk membuka.
Sampailah mereka pada sebuah pintu menuju ruang rapat dengan sebuah meja melingkar persegi panjang tanpa sudut dikelilingi orang-orang yang duduk di kursi-kursi empuk. Saat pintu terbuka penuh Ia kenal muka-muka yang saling berhadapan. Dua orang yang diikutinya segera menuju ke dua buah kursi yang masih kosong dan semua orang di dalam ruangan itu terbelalak melihat sesosok nama yang berkelebat mengikuti. Semua sorot mata menyuarakan ketidaksenangan pada kehadirannya. Nampaknya kedua orang yang diikutinya itu belum menyadari.
“Maaf Pak, apa tidak sebaiknya Ia tak ada di sini?”
“Yang mana?” Matanya mengikuti telunjuk orang yang berbicara. “Singkirkan!”
Seseorang segera menelpon satpam.
Tak sabar menunggu sekuriti datang, dua orang di kursi terdekat bangkit berdiri dengan pistol di tangan, “Keluar kamu! Atau saya tembak! Keluaar!” Tangan kekar mereka secara bersamaan meraihnya, menyeretnya ke tepi jendela dan melemparkan dengan penuh tenaga. Sebenarnya Ia bisa menghindar dan berkelit seperti belut agar bisa lepas dari cengkeramannya atau tetap diam jika ditembak, karena itu tak akan melukainya, tapi Ia memilih untuk pasrah agar tidak merepotkan dua orang yang sedang menjual muka. Ia terjun bebas dari lantai sembilan. Rasa ngerinya hilang ketika menyadari dirinya melayang tidak meluncur deras ke bawah. Ia melayang ke setiap tempat tanpa bisa mengendalikan ke mana Ia mau, melayang dengan main-main di sela-sela gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh tak kenal musim. Memandangi aktifitas penghuni gedung dari jendela-jendela kaca yang memantulkan seluruh cahaya matahari yang menimpanya. Ia bisa melayang cepat seperti burung Walet mengejar mangsa dan bisa melayang berputar-putar seperti burung Rajawali, menentang arus angin, menyusup di sela-sela gang sempit, melayang di atas pemukiman mewah, di atas pemukiman kumuh, di atas kawasan industri, di atas pasar, di atas sungai-sungai tertutup sampah.
Satu hal yang kemudian baru disadarinya setelah Ia cukup lama berterbangan di angkasa, setiap melewat di sisi-sisi gedung perkantoran segera saja penghuninya menutup daun jendela, menguncinya sambil sedikit melirik dan menyembunyikan muka. Tak tahu siapa-siapa mereka, tetapi Ia yakin sekali kalau mereka mengenalnya dan juga yakin bos-bos mereka pasti mengenalnya dan ada beberapa diantara bos-bos itu yang kenal. Bos-bos yang dulu rela membuang waktu menunggu di depan pintu kantornya mencari sela waktu untuk menemui. Siapa yang tak kenal nama yang puluhan tahun terakhir begitu sering di ucapkan dan dituliskan di setiap media massa. Hanya orang tuli dan orang yang tak bisa membaca huruf apapun yang tak mengenalnya.
Meski semua pintu dan jendela ditutup, sebenarnya sosok nama itu bisa saja masuk lewat lubang-lubang ventilasi atau lubang apapun di tembok, tapi Ia sadar betul itu akan mengganggu aktifitas kerja para karyawan yang berarti pemborosan waktu yang berimbas pada produktifitas dan efesiensi. Juga akan merepotkan para satpam yang harus menerima tugas mendadak dari atasannya untuk mengusir. Lagi pula tak ada keperluan apa-apa.
Melayang di udara menjadi pengalaman baru. Memandang bebas dari atas setiap kesibukan manusia. Di mana melayang, Ia melihat orang-orang di bawahnya memandangnya dengan sorot mata beragam ekspresi. Tak jarang mereka memaki, mencemooh, mencibir, mengacungkan kepalnya kuat-kuat, juga ada yang mengharapnya turun, megelu-elukan menyanjung, memuji, berterimakasih. Ia kemudian mulai menyadari pada siapa selama puluhan tahun melekat, disandang, dipertandakan untuk memanggil seseorang. Seseorang yang telah meninggalkannya, entah disengaja atau tidak, di lapangan seusai upacara apel pagi hari.
Tak ada sama sekali keinginan untuk protes pada orang yang telah begitu lama memakainya dan menelantarkannya, karena sekarang tak lagi punya emosi dan nafsu. Semua datar, tak ada gairah, tak ada komentar, tak ada kesal, tak ada keinginan. Seperti sebuah garis lurus yang tak ada ujung pangkalnya.
Melayang di atas sebuah pasar yang sibuk dengan kegiatan tawar menawar dan transaksi jual beli. Hinggap di atas sebuah atap mini market. Satu dua orang melihatnya dan dalam beberapa detik ratusan orang memandanginya.
“Dia yang dulu membangun pasar ini!”
“Dia juga yang sebelumnya membakarnya!”
“Dia yang memberikan banyak sumbangan ketika kami kebanjiran!”
“Tapi Dia dapat untung besar dari situ.”
“Ah yang benar?”
“Dulu kita begitu takut sama Dia, sekarang mumpung Dia tak lagi punya tanduk, kita seret Dia, kita hajar Dia, biar tahu bagaimana rasanya jadi orang  pesakitan!”
“Jangan!”
“Lho,..”
Kegaduhan cepat sekali meluas. Halaman mini market itu dipenuhi orang, hampir tak ada ruang sekedar untuk berdiri leluasa. Sekawanan pencopet segera memanfaatkan keadaan dengan begitu banyak kesempatan. Yang merasa kakinya terinjak, balas menginjak sambil mendorong dan beberapa orang disekitarnya ikut terhuyung. Sikut menyikut dan makian telah termulai.
“Tenang. Bisakah kalian semua bersikap tenang?” kata sosok nama itu dengan suara lantang.
Tak ada jawaban. Apa mereka tak mendengar? Pikirnya, atau mereka sengaja tak mendengarkan, atau tak ada suara yang keluar? Eskalasi keributan makin cepat.
Keadaan segera bertambah buruk. Ia perlahan membubung tinggi di udara dan melayang pelan diikuti tatapan mata dengan mulut melongo. Di bawahnya suara ‘huuuuu’ mengiringi kepergiannya dan keributan pun perlahan mereda. Melayanglah Ia tanpa beban, lepas sekehendak alam.
Angin membawanya ke begitu banyak tempat. Ingin sekali membawa dirinya terbang tinggi ke langit ke tujuh agar bisa istirahat menikmati angin sepoi yang tak pernah putus. Tapi, segala keinginan tak lagi bisa membawanya seperti yang tersirat di hati. Lepas bebas dari ikatan kepentingan nafsu.
Berkelebat cepat dan kemudian melayang-layang pelan di atas perempatan jalan yang penuh dengan kendaraan yang sedang menunggu nyala lampu hijau. Seorang anak pengamen melihatnya dan berbisik pada temannya,”Hei, lihat di atas, Dia yang dulu membagi-bagi uang pada kita. Ayo kita panggil agar turun dan kita bisa minta uangnya lagi.”
“Heiii. Turun ke sini!! Mari bersama-sama kita menari dan bernyanyi. Hei, bagi-bagi uang lagi!”
Teriakan dua pengamen itu menyedot perhatian semua orang yang ada di situ. Semua pengendara kendaraan membiarkan kendaaraanya berhenti. Semua penumpang angkutan keluar. Semua menengadahkan muka memandangi kelebatan nama yang mengambang tenang dua puluh meter di atas tanah. Perempatan jalan yang telah sesak oleh mobil dan motor ditambah lagi keliaran orang yang tak lagi memeperhatikan lampu merah yang telah berganti lampu hijau berulang kali. Mesin-mesin menggeram lupa tak dimatikan.
“Heii.... Turun kamu! Ku injak-injak kau. Heii... Pengecut! Hadapi aku satu-satu, jangan cuma mengandalkan body guardmu!”
“Dia banyak berjasa pada keluargaku. Dua anakku dapat rekomendasi darinya dan langsung dapat kerja.”
“Aku pernah menang besar di meja judi dengan Dia.”
“Dia itu seleranya estewe.”
“Dia penyumbang terbesar saat pembangunan Masjid di kotaku.”
Di tengah perempatan jalan, mobil mengumpul jadi satu seperti sampah di bekas pusaran air. Macet total. Klakson mulai menjerit-jerit. Mesin digeber-geber pemuntah amarah. Kepal mengacung ke udara mencari sasaran. Keributan dan kekerasan telah begitu cepat terjadi. Darah dan keringat pertama telah menetes. Sosok nama itu ingin sekali pergi melayang cepat seperti saat di pasar agar keributan dapat mereda dan berhenti, tapi Ia tak bisa melayang seperti yang dikehendaki. Ia hanya melayang pelan di atas jalan ke arah timur di atas papan-papan iklan dan jembatan penyebrangan. Angin yang bertiup kencang tak membawanya melayang cepat.
Di atas sebuah sekolah saat jam istirahat, seluruh murid memandangi, berteriak-teriak, memaki, mengangkat kepal tangan, mengacungkan jempol, menunjukkan jari kelingking. “Hei... Turun sini! Bagi-bagi duit.!”
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja keributan sesama siswa telah termulai. Cepat sekali menular. Setiap kata yang keluar adalah bara yang membakar seluruh cadangan amarah. Mereka saling pukul, saling lempar batu, saling jambak, saling caci, mengeluarkan obeng dan pena tajam dari dalam tas dan menghunusnya.
 Seperti pasukan anti huru hara, seluruh guru keluar dari kantornya berusaha meredam dan menghentikan keributan.
Di tengah halaman depan, ketika murid-murid telah menghentikan keributan dan mulai melangkah ke dalam kelas seorang guru senior berkata, “Itu sejarah. Biarkan saja. Kalian semua dapat mempelajarinya.”
Sosok nama itu ingin sekali pergi melesat tinggi agar taka ada seorang pun yang melihatnya. Telah tiga kali Ia tampak di atas kerumunan orang, di situ pula terjadi keributan yang terjadi begitu cepat. Ia tak ingin lagi melayang di atas orang. Ia ingin sekali pergi ke tempat yang bebas dari celaan ataupun pujian. Dan terus melayang ke setiap tempat di luar kendali keinginannya. Terus melayang ke mana saja yang Ia tak pernah tahu kemana arahnya. Tak tahu cepat lambatnya. Tak tahu apa tujuannya. Ia pun berdoa, “Tuhan, hilangkanlah aku. Lenyapkanlah aku. Agar tak ada orang yang melihat. Agar tak ada kerumunan orang yang berubah menjadi peperangan hanya karena melihat sosokku; selembar nama.”
Ia terus berdoa meski merasa suaranya begitu hampa, merasa tak didengar oleh Tuhan. Telah berada di dalam waktu yang tak lagi menerima doa dan harapan. Berada dalam posisi yang mau tak mau harus menerima segala apapun dari sekitarnya. Agak sedikit terhibur ketika berada di atas sebuah bukit hijau dengan aneka ragam kicau burung. Tersenyum lepas ketika melayang di atas para petani yang sedang memanen padi dan memandangi burung-burung mencari makan di sekitarnya. Bisa lebih menikmati dengan tak ada orang yang melihatnya karena kesibukan bekerja.
Ia ingin selalu diatasnya. Memandangi orang-orang mengisi hidup tanpa terbebani bagaimana mempertahankan kekuasaan dan kekuatan yang begitu banyak orang ingin memilikinya. Bercengkerama dengan alam, menikmati suara angin membelai dedaunan hijau. Atau kalau pun harus melayang ke segala penjuru arah, tak menjadi pemulai dari keributan yang tak dimengertinya.
Ia ingin orang tak lagi pernah mengingatnya. Tak pernah lagi orang tahu siapa dulu yang mengenakannya dan meninggalkan begitu saja di lapangan tanpa membekali peta.
Ia ingin dunia lupa. Tapi, alam telah mencatatnya dengan tinta yang tak pernah bisa dihapus. Mencatat dengan seluruh huruf yang ada di jagat raya dengan dapat dibaca oleh setiap orang, yang buta huruf atau yang buta dan tuli pun.
Terus melayang. Kadang cepat kadang lambat. Kadang tinggi kadang rendah. Melayang diluar kendali keinginannya, memasuki semua aktivitas manusia.****
September 2004

Sabtu, 20 Mei 2017

sepanjang jalan, jalan itu

Selalu saja aku terpesona dengan jalan yang dilewati saban hari.
Tak dihitung berapa kalinya. Tak sempat. Terasa tak perlu. Jalan yang sama yang selalu dilewati, kadang menggugah hati. Mengenang dan membaca.
Ada yang banyak kurang pas pada saat tertentu, dan mengingatnya sekedar untuk tidak terjerembab jatuh terlempar.
Kadang gelap dan hujan lebat mengantar pada lubang yang semestinya terhindar. Atau sering juga terpaksa menerabas kebimbangan dan berkelit cepat mencari selamat.
Masih di jalan yang sama. Jalan yang bermuara satu, jalan yang di tengah bercabang-cabang, bermarka-marka. Petunjuk-petunjuk masih berdiri dingin di tepi jalan, menjelang persimpangan. Kadang terabaikan, kadang segaja terlupakan.
Malam atau dini pagi bersiap untuk pagi berangkat, pada jalan yang sama untuk melewati. Sampai pada titik sampai dan tak lagi bisa berangkat. Mati.
Maret 2017.

kabar kematian

Jalan yang kulewati dengan bermotor roda dua, pepohonan kanan kiri sepanjangnya. Hijau dedaunan dan angin yang keluar dari ketiak-ketiak pelepah daun berseribit.
Beberapa tempat rusak dan perlu berhati-hati.
Langit di atasnya tampak selebar jalan yang berbatas pucuk-pucuk daun. Ada awan sempat singgah dan burung berwarna abu-abu terbang berdua bergegas, tanpa suara.
Di mana ujung itu? Ketika lelah telah membalur. Ketika kaki berat mengangkat.
Mungkin setelah tikungan terakhir itu, aku sampai pada tujuan. Tapi tikungan terakhir itu selalu ada.
Dan lelah terbiasa menyandungi. Serasa lari bergegas, tak juga pada sampai. Satu dua orang berpapasan, tak saling sapa mengenggam arah pada peta yang telah tergariskan.
Pada gubuk-gubuk kecil yang terkadang ada di pinggir jalan, aku berhenti sejenak terkadang, meneguk air kesejukan yang ditawarkan dari tangan-tangan kearifan menuntun ke arah jalan berujung pada sebuah danau berair biru dengan air selalu beriak, dengan angin yang selalu mengalir pelan, dengan bunga selalu segar di sepanjang pinggirnya, dengan burung beraneka rupa bercengkerama sambil terus bernyanyi, dengan ikan yang segar dan bersih menari pada air yang tampak dasar danaunya, dengan tanpa daun yang menguning, dengan pepohonan yang beralaskan rerumputan hijau sama rata.

Sebuah kabar kematian membawa aku berjalan menuju.
Hal yang biasa. Kabar yang telah ribuan kali terdengar.
Aku teringatkan, akan menuju kesana juga nanti pada waktu yang tersimpan di kotak misteri.
Misteri itu membuat terkadang lalai. menata kembali selimut di ujung kaki dan meneruskan tidur yang tak perlu.

17 mei 2017

menulis sajak lagi

pada malam yang tak sepenuhnya gelap dengan angin yang datang menyentuh
aku berdiri. tak juga tegap. memandang lurus dan melepas nafas dari kerongkongan yang agak kering.
aku robohkan tembok mulai berlumut yang dirikan dengan beberapa utas kata. agak setengah hati tenaga yang mengumpal di ujung kepal. perlahan menguat dan menjelmakan kekuatan dari seluruh penjuru badan.
terlalu berjiwa lemah membiarkan keindahan kata melintas di langit yang terus gempita.
aku belajar menulis sajak lagi.

1:14. 4.5.17

Selasa, 09 Mei 2017

VONIS AHOK



Ahok divonis dua tahun penjara
Hakim memutuskan memvonis Ahok dua tahun penjara dalam kasus penistaan agama. Kasus yang banyak sekali menguras energi dan melahap banyak waktu untuk membahasnya. Sebuah kalimat terlontar dari mulutnya di kepualuan seribu saat kunjungan kerjanya, menjadi awal dari tarik ulurnya berbagai kepentingan. Ketika belum selesai pilkada DKI putaran kedua, kasus Ahok menjadi bahan pembahasan yang seringkali memanas. Perdebatan dalam politik yang menyangkut perebutan kekuasaan gampang sekali menyulut amarah bagi masing pihak. Ditambah lagi sebuah kasus penistaan yang dilakukan oleh orang di luar agama. Sebuah perebutan kekuasaan menjadi merembet dan melebar pada kasus bela membela agama dengan tensi emosi meninggi. 

Bagi pendukung Ahok, vonis terhadap Ahok dengan dua tahun penjara menjadi terasa terlalu berat dan bagi kelompok yang menuntut Ahok di penjara, vonis itu terlalu ringan meskipun vonis itu lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dirasa terlalu ringan, karena ada perbandingan dimana kasus-kasus serupa yang pernah ada, hukumannya lebih berat dari yang diterima Ahok.

Ranah hukum dan kepentingan politik memang selalu tarik menarik bercampur baur mencari kesempatan, memanfaatkan moment, saling serang dan saling mengelak. 
Melelahkan. Jika ada yang lengah dan terlambat, maka kemungkinan kalah sangat terbuka.

Kasus Ahok tentu tidak sepanas dan seramai ini jika saja Ia bukan seorang Gubernur DKI yang mencalonkan diri menjadi Gubernur dengan ditambah Ia seorang non muslim.

Kasus Ahok menjadi panas karena bumbu pedas tentang keyakinan sebuah agama yang dinistakan. Sebuah keyakinan yang dibenturkan dengan keyakinan lain, akan menjadi perseteruan yang di keduabelah pihak saling yakin dan merasa membela keyakinannya adalah perjuang hidup paling hakiki diatas segalanya