Cerpen
Pernah dengar nggak,
seorang wanita gila baru, muda cantik berkulit bersih yang dikerjai oleh
sekelompok anak muda begajul di bawah jembatan pada suatu malam yang dingin
menjelang jam 00:00. Cerita itu, entah benar entah tidak, telah beredar meluas
cepat secepat berita selebriti yang jadi anggota DPR tersandung kasus korupsi
yang terus menerus setiap waktu di tayangkan di banyak televisi. Jadi,
begitulah, katanya, wanita itu memang betul-betul cantik, punya mata yang
berbinar cerah dengan kedipan mata yang pelan sangat teratur seirama dengan
senyum yang sedikit menggaris. Tapi, sebenarnya wanita itu punya senjata untuk
mengusir ana-anak muda. Matanya yang tajam dengan tatapan yang berkilat-kilat
seperti sinar laser, mampu mengusir orang yang mau berbuat jahat. Dan juga Ia akan
segera mengambil batu sebesar kepalan tangan dan menganyun-ayunkan siap untuk
melempari siap saja yang mau berbuat tak senonoh sambil teriak-teriak. Tentu
saja para pemuda itu akan lari bersembunyi katakutan, malu takut ada orang yang
tahu.
Hanya semalam
sebenarnya Ia tidur di bawah jembatan. (mungkin sudah beberapa malam, tapi tak
ada orang yang tahu pasti berapa malam). Dengan memakai jaket tebal dan
bersepatu, nyamuk tak begitu menggangunya. Tas ransel yang padat berisi tak
pernah lepas dari tangannya. Esoknya seorang yang baik hati membawanya ke rumah
dan Ia nurut ketika di bujuk untuk tinggal di rumahnya. Memang benar Ia
kemudian hamil. Mungkin saja para pemuda itu berhasil mengelabui wanita cantik
itu dengan memberinya minuman beralkohol dan bisa menggaulinya bergantian. Dari
celoteh mereka saat bercengekrama di pos ronda atau di warung kopi, mereka
cekakan ketawa-ketawa seperti menceritakan sebuah keberhasilan. Dan tak ada
yang tahu apa yang mereka ketawakan selain mereka, karena mereka memakai bahasa
yang hanya mereka yang tahu.
Tak tahulah, karena
kemudian ada berita lagi tersiar, kalau sebenarnya Ia tak hamil. Berita itu
hanya untuk ‘menakut-nakuti’ geng pemuda yang katanya memperkosa bergiliran di
bawah jembatan ketika malam menjelang dini dengan kabut yang turun menderas.
Ketika para pemuda itu ditanya atau di sindir, mereka, saat pas bareng atau pas
sendiri-sendiri, hanya tertawa kecil, seperti menanggapi pertanyaan bodoh,
seperti juga menyembunyikan sesuatu, seperti sengaja membuat si penanya masuk
dalam pusaran penasaran. Pemuda-pemuda itu, memang punya ide-ide yang bikin
orang yang sedang penasaran semakin bertambah penasaran. Lagian jika ia
benar-benar hamil, siapa yang akan menuntutnya. Ia tidak waras dan tidak ada
sanak familinya. Siapa yang akan mempercayai wanita gila.
Wanita itu masih muda, wajahnya
seumur anak usia SMA yang selalu ceria jika pelajaran di kelasnya kosong karena
sang guru ijin kondangan. Suatu pagi Ia
minta di antar ke pasar untuk membeli sayuran. Ia punya simpanan yang cukup
untuk membiayai hidupnya. Ia memborong banyak buah yang biasanya dimakan wanita
hamil. Sepertinya Ia ngidam. Bu Wati, ibu setengah baya yang baik hati, mendampinginya,
tak melarang segala yang di beli wanita itu. Ia banyak uang. Di dompetnya juga
ada beberapa kartu atm dan kartu kredit, entah atm-nya masih ada uangnya atau
kartu kreditnya sudah diblokir. Ketika barang belanjaannya sudah banyak dan
susah dibawa, baru Bu Wati berani baru menyetopnya.
Wanita cantik itu
memang hebat. Ia bisa berjalan dengan sangat anggun seperti model dunia yang
pamer busana di atas catwalk, dan kadang Ia bisa berjalan sangat norak, tomboy,
atau cara berjalan seperti kuli panggul di pasar yang kelebihan muatan. Ia bisa
berubah polah apa saja. Kadang nampak seperti orang gila yang tak bisa
dikendalikan. Ngoceh apa saja, dari yang jorok sampai mengumpat orang-orang
yang dianggapnya munafik. Tak ada yang peduli dan mau tahu nama-nama yang
disebut dalam umpatannya. Kadang nama inisial, nama akronim, nama sebutan, nama
tenar, nama panggilan, nama-nama dari tokoh terkenal, nama politisi, nama
artis, nama pejabat tinggi. Semua meluncur tanpa beban, tanpa canggung, tanpa
merasa takut dianggap pencemaran nama baik. Merasa di anggap gila,
menjadikannya masuk pada dunia yang tak tersentuh oleh hukum, norma dan
kepatutan. Sebuah lapangan yang luas yang siap menampung seluruh sampah pikiran
dan hati. Merasa dianggap gila? Memang Ia gila beneran kok. Yang menganggap Ia
tidak gila, karena melihat Ia cantik, luwes, dengan kondisi dan pakaian apa
saja tampak apik. Bangun tidur dengan rambut awut-awutan pun, lelaki normal
akan terkesima.
Di sebuah halaman
sekolahan SD yang berdampingan dengan sekolahan TK yang banyak ibu-ibu dan
bapak-bapak mengantar anaknya sekolah, Ia ngoceh seperti sedang pers release, “Ibu-ibu tahu nggak, si
anu yang suka tampil di tivi, pak anu yang kalau ngomong pinter dan cerdas, pak
anu yang selalu tampak wibawa, itu biasa pakai saya. Ngajak saya kencan di
fila-fila yang dijaga ketat oleh penjaga dan body guard yang siap menjaga
sepanjang waktu. Mereka kaum munafikun, penjahat, mafia.”
“Biasa pakai gimana
maksudnya, mba? Di pakai anu?” seorang ibu dengan rasa penasaran tinggi
menyambut dengan pertanyaan yang menggelora.
“Ya betul, pakai jasa
saya. Pakai gituan.”
“Ooh.. yang bener
mba.?”
“Apa untungnya saya
bohong. Apa orang macam saya dianggap tukang bohong, tukang penyebar fitnah.
Ayo, siapa yang berani melaporkan saya orang-orang yang saya sebut tadi. Saya
punya cukup bukti untuk itu.”
Seorang laki-laki turun
dari mobilnya dan mengatakan pada penjaga sekolah, “Tolong suruh dia pulang
sebelum bikin kacau. Berbahaya itu orang. Kalau ngamuk bisa banyak korban
nanti. Dia bawa pistol di tas kecilnya.”
Penjaga sekolah
bingung, jangan-jangan nanti saya malah kena tembakan pistol, pikirnya.
Untunglah, Bu Wati
segera datang dan mengajak wanita cantik itu segera pulang, “Ayo nak, kita
belum nagsih makan kucing, kasihan nungguin kamu.”
Enam hari yang lalu Ia
membeli kucing Anggora warna dominan hitam dengan sedikit warna putih di bagian
keempat kaki dan di ubun-ubun serupa gambar bintang. Sehari sebelumnya, seorang
berbadan tegap dengan dan dada penuh otot, agak tinggi, berrambut sedikit gondrong
terurai, datang menyerahkan sesuatu dalam kardus mi instan. Tak banyak
basa-basi, orang itu langsung pergi dan wanita itu hanya mengantar dengan
padangan mata dan nafas yang dihembuskan sedikit. Nampaknya Ia sudah kenal dan
tak perlu berbasa-basi, karena basa-basi tak perlu dan tak berguna.
“Bu, ibu tahu kenapa
tadi saya ngomong seperti itu di depan sekolah?”
Bu Wati menggeleng,
“Ibu tidak perlu tahu alasanmu. Alasanmu sering bikin ibu harus memilih antara
percaya atau tidak percaya.”
“Biar mereka tahu bu,
biar anak-anak juga tahu bu. Mereka-mereka yang di puncak sana
brengsek-brengsek.”
“Puncak mana? Tapi kan
tidak semuanya. Masih banyak orang baik di negeri ini nak. Kamu juga baik-baik kan
nak?”
Wanita itu hanya
tersenyum sedikit. Antara mengiyakan dan tidak. “Ah, Ibu. Saya jadi malu.
Pertanyaan Ibu bikin malu.”
Wanita itu memeluk
kucing sambil menari-nari. Bergerak lembut seperti menimang bayi sesekali
berubah gerakan melepas amarah dan kebencian. “Panggil saya Lucia, Rien, Nada,
Bunga, Kuntum, Tika, atau Mam, atau Mom, apa saja yang ibu suka boleh. What is the name?”
Bu Wati terkesima, Ia bisa tahu apa yang hendak ditanyakan
padanya. Dan wanita itu selalu menjawab begitu. Bagi Bu Wati nama menjadi
penting untuk berkomunikasi. Bu Wati kesulitan jika harus memanggil dan
ngobrol. Kadang manggil non, mba, nak. Tak tentu.
“Ibu mungkin mengira
saya hamil. Jika iya, tak perlu Ibu bertanya siapa yang membuat saya hamil.
Waktu, kondisi, keadaan, semuanya mengarah pada sesuatu yang sebelumnya saya
tak tahu dan tak pernah menduga. Saya menjadi tiba pada sebuah tempat yang saya
harus melakukan yang saya tak terpikirkan sedekitpun, sebelumnya. Semua orang
ingin menjadi baik-baik, semua. Semua ingin punya kehidupan normal dengan
segala kebutuhan dan keinginan tercukupi. Dan karena keinginan dan ingin
tercukupi itu, saya menjadi seperti sekarang ini, seperti kemarin-kemarin,
seperti bertahun-tahun yang telah di lewati tanpa mengerti apa hakikinya saya
melakoni ini.”
Bu Wati terkesima. Ok,
ia bisa ngomong seperti ini yah, bisiknya.
Wanita itu bernyanyi greyengan, terdengar seperti lagu jawa,
seperti lagu Spanyol, seperti lagu barat, seperti lagu Amerika Latin. Terdengar
tak tentu. Kadang terdengar riang, kadang terdengar sedih mendayu, kadang
seperti ejekan, sesekali terdengar merdu, sesekali terdengar meledak-ledak
seperti memuntahkan amarah. Cukup lama, dan berhenti ketika jenuh sudah
merasuki jiwa dan pikirannya. Ide nyanyiannya sudah hilang, tak ada lagi lagu
yang bisa mewakili dunianya. Di bawah pohon mangga di samping kiri rumah Bu
Wati, selepas maghrib, wanita itu duduk di balok bangku kayu yang garis tepinya
sudah mulai melapuk. Ada sedikit jamur di ujung kanan kiri. Seekor kelelawar
yang berputar-putar di atasnya, ia pandangi. Buah mangga yang mualai matang
menjadi incaran binatang malam bermocong mirip anjing. Ketika kelelawar itu
merobek dan memakannya, ia biarkan dan terus memandanginya dengan kekaguman dan
senyuman. Dan lagi, senyum yang tak ada orang yang tahu, tak ada yang mengerti.
Senyum untuk malam yang pelan merambat beriringan dengan buliran rintik embun
yang mulai beringsut turun.
Ketika sekelompok anak
muda, enam orang, melewat di jalan dan menggodanya, wanita itu tenang-tenang saja.
Saat seseorang menyiulinya dengan nada menggoda, Ia membalasnya dengan siulan
lebih menggoda. Enam pemuda itu menjadi terhenti, penasaran.
“Haloo.. lagi apa nona
cantik?”
“Lagi nungguin
kamu-kamu.”
“Hah... yang bener? Mau
dong.”
Berebutlah para pemuda
itu duduk paling dekat dengan wanita itu. Tapi, semua canggung, diam, tak ada
yang memulai komunikasi. Wanita cantik itu menikmati keadaan itu dan membiarkan
cukup lama.
“Kalian yang dulu
ngerjain saya di bawah jembatan yah?”
“Hah, bukan! Bukan
kami, bukan. Sumpah!”
“Iya juga nggak
apa-apa.”
“Hah...”
“Siapa saja hayoo,
ngaku.”
“Hah...”
Wanita cantik itu
mencubit gemes pipi salah seorang yang bertubuh atletis dengan potongan rambut
sedikit gondrong berkulit sawo matang bersinar. “Yuk, kita main.”
“Main apa mbak?”
“Main anu...”
“Ayo.. “ Suara mereka
hampir serempak.
“Berani bayar berapa?”
“Hah....”
“Iya dong, berani
berapa. Emang ini milik umum.” Wanita itu menjawab dengan genit sambil
memegangi sesuatu. “Saya biasa menaklukan lelaki-lelaki hebat. Mereka biasa
merengek-merengek dihadapanku, merajuk seperti anak kecil minta mainan, mereka
menanggalkan semua pakaian terhormatnya demi melepas hasratnya yang
melonjak-lonjak mau muntah tertahan.”
“Yang bener mbak...”
Wanita itu tertawa
lirih sedikit tertahan. Tertawa seperti mengejek pertanyaan para pemuda itu.
Dan kemudian tawanya berubah menaik terkekeh-kekeh, sampai terbahak-bahak dan
kemudian berhenti mendadak.
“Mereka payah.
Mentang-mentang banyak uang, dihambur-hamburkan. Nafsunya juga dihamburkan.
Muncrat ke langit, ke tepi langit, ke selokan-selokan, ke pinggir segara. Kau
kira mereka terhormat. Tidak! Mereka memamerkan keramahan, merengek, memamerkan
uang. Kalian tahu, mereka bangga bisa dengan gua, padahal gua kadang muak.
Tidak semua sih, beberapa ada yang membuat gua kesengsem, kadang
merindukannya.”
“Asyik nggak mba?”
“Asyik dong. Kalau
nggak asyik mana mungkin gua mau. Dan yang lebih seneng lagi, duitnya.”
Dengan bahasa ‘gua gua’
dan logat bahasa gaul, nampak Ia seorang cewek metropolitan yang extrovet.
“Dan yang paling repot
mereka nggak mau pakai karung.”
“Karung apa sarung mba?”
“Hahaha..”
“Kok ketawa mba?”
“Hahahahaha.....”
Melihat wanita itu
dikerubuti pemuda, Bu Wati diikuti suaminya, berlari menerobos kerumunan. “Kau
apakan mba ini?!” Bentak Bu Wati.
Para pemuda itu
serentak berdiri terpaku.
“Mau kau apakan nona
ini, hah?”
“Tadi saya hanya
mendengar ceritanya bu, katanya, mba ini dulu sering ginian sama orang-orang
itu.” Tangannya menunjukkan simbol tertentu dan kemudian menunjuk ke atas.
“Huss! Jangan
sembarangan kamu. Ayo pergi. Pergi!” Bu Wati membentak.
Wanita itu
terbahak-bahak keras. Keras melengking tinggi, tapi kemudian menurun dan
terdiam, terkatup mulutnya. Matanya nanar memandang ke seberang jalan seperti
kucing kampung melihat tikus remaja lewat di genteng. Tapi, mendadak binar
matanya meredup, batang lehernya di tarik ke belaknag dengan dagu diturunkan.
Dengan gerakan tangan seperti menarik pelatuk pistol, wanita itu mengusir para
pemuda yang mengerubutinya. Sinar matanya yang jalang menembus bola mereka dan
mengirimkan sinyal untuk segera pergi. Para pemuda itu segera pergi tanpa
basa-basi dan cekikan lagi saat sudah berjarak tiga puluh meter.
Sesaat Bu Wati membujuk
wanita itu masuk rumah. Sebelum mereka melewati pintu, dua orang lelaki
menyeret paksa wanita itu sambil menutup mulut dengan gerakan cepat dan kasar, “Dia berbahaya bu, kami harus amankan.”
“Jangan! Mau dibawa
kemana ini?”
Hanya belasan detik,
wanita itu sudah berada dalam mobil berkaca hitam dan segera melesat ke arah
timur. Deru knalpot mobil meninggalkan asap.
3
September 2016.