Lelaki
itu bangkit perlahan dari tidurnya yang kurang pulas. Hampir seperti merangkak,
Ia menghembuskan nafasnya dengan berat hendak
membuang malas yang melingkari seluruh tubuhnya. Sebentar Ia hafalkan lafal
yang telah diajarkan gurunya agar tidak salah dan lupa. Malam baginya telah
menjadi ruang dan waktu yang cocok untuk memohon. Memohon pada penguasa alam
semesta yang Ia anggap bisa memberi apa yang dipintanya. Berbagai dan beribu persyaratan
yang dibebankan terus dipenuhi meski sudah merasakan kejenuhan karena ada saja
yang kurang dan, kadang tak masuk akal seperti diada-adakan. Lorong jalannya
telah terus dilalui dan tak banyak orang memahami. “Kamu harus percaya. Yakin.
Jangan ragu dan tak perlu mendengarkan orang lain, karena itu merupakan ujian,
apakah kamu akan kuat atau kau malah akan mengingkari jalan yang telah dirintis
menuju pintu gerbang kesuksesan yang kau tak pernah bayangkan sebelumnya.
Sebuah sukses besar.” Kalimat itu selalu teringat, terpampang di benaknya, dan
itu menjadikan niatnya untuk terus maju menjadi semakin kuat. Saat lelah
menerpanya, sebuah hamparan bayangan kesuksesan membuainya. Semua akan beres
dalam sekejap dan dunia akan terang benderang layaknya pagi hari yang cerah
dengan suara burung berkicau di seluruh dahan sambil terbang bercanda ria, diantara
angin yang perlahan bertiup dari timur.
Dingin
yang menusuk tulang melalui pori-pori tak dirasakan, “Aku
harus kuat menahan hal kecil ini. Ini hanya sebuah perasaan yang akan hilang
jika aku berkeyakinan aku bisa membuangnya.” Pintu gerbang kesuksesan itu selau
muncul di depan matanya, setiap Ia melangkah sesuai dengan petunjuk gurunya. Disana
jika memasukinya terdapat bermacam segala macam yang dipintanya. “Orang-orang
yang mencemoohku, mentertawaiku, nanti akan malu sendiri.” Bayangan orang-orang
yang datang untuk mengikuti jejaknya selalu membuatnya tersenyum segar. Dan pintu
gerbang itu seakan selalu manjaga jarak. Dikejar berlari, ia berlari, dikejar
berjalan ia berjalan sambil terus mencibir memberi tantangan yang membuat
penasaran.
Entah
malam yang keberapa ratus atau ribu kali, Ia lupa dan tak pernah menghitung. Suara
hewan malam dan segala bebunyian malam, telah begitu akrab ditelinganya.
Terkadang begitu banyak malam tak terlewati, tapi saat rasa percayanya menipis,
ia tidur bergumul dengan keputusasaan. Teringat tentang keluarganya, ia menahan
kesedihan. Memilin kenangan, mencerabuti dari keindahan masa lalu dari lembaran
sederhana yang menjadi sangat indah dibaca, menggantungkannya pada bulan sabit
yang ujungnya tertutup awan yang tak bergerak. Ia menebar senyum untuk dirinya
sendiri, bergumam, menegaskan angan, melambung tinggi disela daun-daun kelapa
melambai disapa angin membawa embun lembut. Melelapkan badan lelah.
“Oh
Tuhan, Sang Penguasa, Kau tahu tentang keinginanku. Tapi kenapa semua tak ada
saat tiba waktu yang kutunggu. Waktu yang terus aku hitung detik demi detik.
Kenapa Tuhan?”
Ia telah
datang pada berpuluh tempat keramat. Tempat yang dijaga para lelembut dan juru
kunci. Tempat yang tinggi di lereng-lereng gunung, di pinggir-pinggir pantai,
di tepi-tepi sungai, di lembah berpohon besar, di puncak bukit. Dari ujung
barat sampai ke ujung timur, dari ujung selatan sampai ke ujung utara, semua
disinggahi.
Ada saja orang yang memberi tahu. Orang-orang yang
bertujuan sama atau sekedar menuturkan cerita. Mereka selalu bersemangat
bertutur, berbinar bola matanya. Berkarung-karung harapan selalu dipanggul setiap
saat.
Jalan
terjal menuju bukit ini hanya rintangan kecil yang harus dilewati untuk
mendapatkan sesuatu yang dapat membiayai seluruh hidupmu, seluruh keluargamu dan kau dapat hidup kaya tujuh
turunan. Semua perjuangan akan terbayar lebih, dan mereka di
sana akan mengikuti jejakmu, dan kamu tak mungkin kalah dengan mereka karena kamu
lebih dulu. Suara itu selalu terngiang di telinganya. Selalu menyemangati
setiap langkah yang diangkat.
“Kau
lelah?”
“Tidak!
Untuk sebuah tujuan besar ini hal yang sangat ringan dan kecil?”
“Tapi wajahmu
tampak kelelahan.”
“Tidak.
Aku tidak seperti itu.”
Saat
orang-orang di dalam kamar di rumah-rumah dikaki bukit yang tersinari
lampu-lampu terlelap tidur, beristirahat berselimut hangat, Ia terus menuju
puncak bukit terjal.
Sudah hampir tiga
jam Ia dan seorang temannya berjalan kaki. Jalannya yang penuh dengan akar-akar
dan kanan kiri belukar berdaun-daun tajam menyayat kulit kaki dan tangan yang
berkeringat. Hewan-hewan malam bersuara menyapa dengan bahasanya. Dedaunan yang
terlelap tidur dilumuri embun membasuh
kelelahan sepanjang hari dengan debu-debu terseret asap yang menyembur dari
cerobong dan knalpot. Langit terdiam membiarkan bintang berkedip di rerimbunan
awan yang bergerak perlahan. Ada sedikit keraguan padanya yang kadang menjadi
besar dan sering hampir menyurutkan langkahnya. Dan bayangan segerobak harta
karun telah tergambar jelas di otaknya menjadi nafas baru untuk terus melanjutkan.
“Bersiaplah
Jatra, mereka telah bersiap menyambut kita. Aku merasakan getarannya.”
Jatra
terdiam. Ia menenangkan hatinya, mengatur nafas, menghafal mantra-mantra dan
memejamkan matanya. Ia berbisik sedikit bingung, “Aku harus bagaimana?”
“Seperti
yang telah aku katakan sebelum berangkat tadi”
Suara
itu kadang muncul setiap kali kali Ia bertanya berbisik atau dalam hati. Kadang
juga ada sosok yang hadir di sekitarnya. Temannya mengikuti dan kadang saling
mengingatkan tata cara yang telah diceritakan sang juru kunci. Angin berkesiur
lembut dari selatan. Dedaunan bergerak berdesakan mengiringi suara hewan malam.
Kabut makin tebal dan berat turun menyiram. Suasana kemudian benar-benar sunyi,
tak ada angin bertiup, tidak suara hewan, semua tentang kesunyian.
Mereka
diam terpekur, duduk bersila di atas batu, diam berkonsentrasi penuh. Mantra-mantra
dibacanya dalam sepenuh hati. Seekor kelelawar besar terbang di atas kepala
mereka, suaranya memecah kesunyian. Kawanan semut yang terusik menggigit kaki
mereka dan terlupa tak dihiraukan.
“Kau
merasakan sesuatu kekuatan yang datang begitu hebat?”
“Ya.
Aku merasakan sekali. Getarannya begitu hebat. Kita harus menghadapinya, apapun
yang datang. Kau siap?”
“Tentu.”
Sepuluh
menit angin berputar-putar kencang di atas mereka. Kadang menebarkan hawa
dingin, kadang seketika terasa panas. Kadang berputar sangat cepat, kadang
berputar pelan mengayun-ayun. Kemudian hening tanpa sedikitpun suara, sampai
tiba-tiba muncul suara berat dan pelan tanpa jelas kata yang diucapkan.
“Eyang,
kau pasti tahu apa yang saya inginkan.”
“Hmmm..”
Kemudian
tak ada lagi suara, apalagi wujudnya. Hening dan sunyi seperti tak bernyawa. Di
sebelah pohon besar di batu, sesosok orang berpakaian gelap duduk membelakangi.
Jatra melangkah perlahan mendekat di ikuti temannya. “Kau yang akan memberi
kami sekarung emas, Eyang? Memberiku
berkarung-karung uang?” Tak ada jawaban, tak juga ada gerakan. Sosok itu malah
pergi perlahan menyelinap di balik pohon dengan tak menimbulkan suara. Jatra
penasaran, Ia duduk di batu bekas duduknya. Bibirnya komat-kamit membaca
hapalan do’a.
“Teruskan
ritualmu, sampai kau dapat apa yang inginkan. Terus, jangan pergi sebelum aku
datang lagi.” Suara dari balik rerimbuna pohon itu, terasa jelas dapat di
dengar. Jatra semakin khusu dan mantap. Pintu gerbang rumah besar dengan
sepuluh pelayan yang siap setiap saat, di kelilingi taman dengan seribu jenis
bunga terpampang jelas di depannya. Kupu-kupu berterbangan di sekitar air
mancur kecil di tengah kolam dengan ikan warna-warni bergerak memecah air
membuat riak kecil. Burung-burung berkicau riang bersahutan membuat nada alami.
Ada pohon Mangga dan Manggis yang sedang berbuah dengan daun yang segar sehat
menghijau. Bunga-bunga anggrek berjenis-jenis tertata rapi di tasa panggung
setinggi satu meter yang di naungi jala hitam. Hatinya berbunga-bunga. Ia terus
membaca wirid penuh konsentrasi. Sampai pagi, sampai sinar matahari menerobos
kabut dan singgah di mukanya.
Kabut
masih cukup tebal menyelimuti puncak bukit. Jatra bangkit berdiri, dibangunkan
temannya yang tidur bersandar pada batu.
“Apa
kita harus menunggu sampai dia datang?”
“Apa?
Dia, siapa? Aku tak melihat siapa-siapa dari kemarin selain kau?”
“Dia
datang ke sini tadi malam. Aku yakin, dia penunggu di sini.”
“Kau
bermimpi.”
“Tidak.
Kau yang tidak punya mata bathin.”
“Aku
tidak tidur semalaman, dingin membuatku tak bisa tidur. Kau yang tidur dan
terus menerus mengigau.”
“Kau
tak tahu. Aku dibawa ke suatu tempat yang begitu indah. Semua serba indah,
serba ada, semua menyenangkan. Itu pertanda awal, dan aku akan menikmati itu
semua. Kau akan bisa seperti itu nanti, bisa seperti aku. Jangan pernah ragu.
Aku pernah mengalami keraguan itu dalam perjalanan ke arah sana, dan sekarang
keraguan itu telah hilang dengan kejadian yang aku alami semalam.”
“Kau
sudah sering kali mengatakan itu.”
“Tapi
ini yang terakhir.”
“Kau
selalu berkata itu.”
“Kali
ini aku akan benar dan kau akan melihatnya nanti. Keyakinanku sekarang tidak
seperti yang sudah-sudah.”
Hening, angin lembut membawa kabut berpindah
menyapa alam. Kicau burung tertata rapi dalam orkestra nada alam. Jatra
memandang penuh matahari yang menyembul di ujung timur cakrawala. Sinarnya
masih lembut penuh kesejukan. Di puncak bukit, Ia bisa memandang ke segala
penjuru arah. Ia sangat ingin siang hari segera berlari dan masuk dalam
rengkuhan malam. Malam yang memberinya mimpi indah, jalan-jalan membentang
dengan di kanan kiri taman yang ditumbuhi pohon-pohon yang buahnya ranum siap
di petik. Jatra terus berkelana dalam dunianya. sesekali Ia berhenti entah
dipersimpangan mana untuk sekedar menelan udara.
Seperti
bersenandung lagu sedih, seperti mengucap wirid mantra, seperti menyenandung
lagu jawa, badannya bergerak kiri kanan, Jatra khusu di dalam ruangnya. Ia
merasakan sebuah tenaga yang kadang begitu kuat kadang melemah mengitari
badannya. Berpusar, berputar mengangkat badannya. Melayang tinggi dan berhenti
di atas pucuk dedaunan pohon beringin.
Segerombolan awan tipis menerpa muka, menghalangi tatapan mata ke tetumbuhan
hijau di bawah yang dibelah oleh sungai dan jalan. Napasnya seperti berhenti
ketika tubuhnya melesat tinggi dan berhenti pada pucuk pepohonan di tempat
berbeda. Kadang Ia sampai pada tempat yang lembab dan gelap, dengan jalan
setapak menuju gubuk kecil yang gentingnya berlumut. Kadang Ia singgah pada
sebuah tempat yang bersih dengan rumput terawat rapi melingkari kolam ikan
warna-warni yang terus bergerak. Ia pejamkan mata sepenuh jiwa. Jalan terjal berkelok-kelok
penuh duri akan segera berakhir dan sampai dengan selamat penuh kesenangan.
Pada
suatu tempat yang luas dengan pohon yang sama besar, sama tinggi dengan bentuk
sama dan warna daun sama hijau, Jatra bertemu dengan sosok orang berbadan besar
dan pendek seperti tokoh Semar dalam pewayangan. Sosok itu memandanginya denga
sorot mata tajam, sekali waktu sorot matanya berubah sayu, sesekali merah
menyala. Pakaiannya yang hitam sedikit berkibar disentuh angin. “Kau akan ikut
aku?” tiba-tiba Ia bertanya. Jatra terkesiap, Ia bertanyakah padaku?
“Jika
ini baik untukku, aku akan ikut.”
“Jika
hanya baik untuk kamu saja, kamu akan ikut?”
Jatra
bingung harus menjawab apa dan tidak tahu maksud pertanyaannya. Perjalanan
telah begitu panjang ditempuh, apakah akan tak berarti jika jawabannya tidak
seperti yang Ia inginkan?. Orang itu pergi menjauh tanpa menunggu jawaban. Jatra
berjalan setengah berlari mengejarnya, sosok itu telah berada di balik
rerimbunan pohon di puncak bukit, berjalan dengan kepala tegak dan lurus.
Di
balik bukit kecil, terdampar semak ilalang kering, rerumputan berduri-duri
tajam, kerikil-kerikil bersudut lancip, beberapa pohon berdaun tak segar dan
tampak lelah dan capai. Sosok itu terus berjalan tanpa terhambat. Jatra ragu
berhenti sejenak memandang hamparan semak yang tak tampak tepi. Ia membayangkan
kulit kakinya yang akan terus tergores dan alas kakinya yang akan tembus oleh
kerikil-kerikil lancip. Berpikir sejenak, telah membuat sosok itu telah jauh
tampak semakin kecil.
Jatra
berlari mengejarnya. Tepi daun ilalang tajam dan rerumputan yang melukai kulit
kakinya tak dirasa. Ketakutan akan hilangnya sosok yang diikuti membuat semakin
cepat berlari. Ia terus bergesa mengejar. Terus berjalan sampai matahari di
barat berada di punggung bukit untuk kemudian tenggelam dalam malam diiringi
seimilir angin yang datang dengan melambat tenang.
Ia
terus berjalan setengah berlari. Dalam keremangan Ia berjalan pada jalan
setapak menuju bukit setelah lepas dari hamparan semak ilalang dengan
rumput-rumput berduri. Jalan itu semakin menanjak dengan akar-akar pepohonan
menyembul di kanan kiri di antara bebatuan. Ketika malam telah menjadi
benar-benar gelap, Jatra telah berada di puncak bukit. Puncak bukit yang sama
yang Ia tinggalkan untuk mengejar sosok yang sekarang tak lagi tampak.
Dan
Ia jatuh terkulai. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Pada sebuah batu seluas
punggungnya, Ia berbaring menengadah menatap langit yang tertutup rerimbunan
daun. Sesekali kelebat kalong membelah angin di atasnya. Satu dua bintang kelap
kelip muncul sebentar untuk kemudian hilang samasekali. Ia ingin tertidur, tapi
kegelisahan terus menganggunya.
Nopember
2013