Cerpen
“Sabar Mas, sabar. Tenang. Semua baik-baik saja. Minum air putih dulu, ini, biar adem. Biar tenang.”
“Memangnya ada apa Pak.”
“Nggak ada apa-apa.”
“Terus, kenapa banyak orang di sini, apa yang terjadi?”
“Mereka hanya ingin main saja di sini.”
“Kok, mainnya kompak sekali.”
“Ya, sekali-kali kan nggak apa-apa. Boleh kan? Duduk dulu di sini, biar capaimu hilang.”
Aku turuti kemauan Pak Barjo. Disamping untuk menghormatinya, aku rasa aku perlu istirahat. Meki pulang agak awal, aku capai sekali, penat. Pekerjaan kantor, meski tiap hari itu-itu saja, selalu meyerap energi dan membebani ruang kebosanan.
Ibu-ibu berkumpul di pojokan ruang tengah di samping tivi. Berbicara berbisik-bisik, sesekali melirikku membawa aku pada ruang yang ku tak mengerti. Semangat mereka untuk bicara tak terbendung. Nampaknya ada yang ingin di sembunyikan terhadapku bersama-sama. Anak-anak di pangkuannya mereka peluk erat, seolah takut anaknya lepas dan lari menghilang. Seorang ibu muda tak henti-hentinya menciumi kepala anaknya, membelai rambutnya sarat kasih sayang membuat anaknya tertidur manis.
Begitu banyak orang yang katanya mau bermain di rumahku. Aku tak percaya. Aku ingin bertanya pada mereka, mau main apa di rumahku, apa mau sekedar melihat-lihat rumahku yang baru selesai direnovasi, apa mau sekedar ngobrol dengan istriku. Kalau mau sekedar ngobrol-ngobrol kenapa mereka begitu banyak. Mungkin mereka ada acara arisan ibu-ibu yang kali ini tiba giliran di rumahku dan bapak-bapak yang datang mewakili istrinya yang tak dapat hadir. Tapi, istri Pak Barju ada di sini, juga Pak Dul Mungin dan istrinya, Pak Kirman, Pak Narwi, Pak Maskum, Irfan. Mereka juga bersama istrinya.
Aku batalkan untuk bertanya mau apa mereka datang ke rumahku secara bersama-sama. Takutnya mereka mengira aku tidak senang mereka ada di rumahku. Agak kesal juga, kaki-kaki mereka kotor berlumpur tak ada rasa segan menginjak lantai yang tadi pagi aku susah payah mengepelnya. Aduh, anak kecil di samping ibu yang gendut itu, es krimnya terceceran di man-mana. Tak henti hentinya mereka berbisik-bisik. Seorang ibu yang bertubuh agak tinggi sedikit langsing begitu semangat bisik sana sini jika melihat perabot yang bagus. Mungkin di kiranya aku korupsi. Prasangka jelek. Apa aku yang berprasangka jelek pada mereka.
“Maaf Mas, duduk saja dulu. Tenangkan pikiran dulu.”
“Lho, mau ambil saputangan, lengket banget mukaku.”
“Ooh.”
Seluruh mata memandang ke arahku. Sorotnya mengabarkan berita yang belum juga aku bisa baca. Mereka mengurungku dalam kebingungan yang semakin bertambah. Terasa semakin aneh. Kenapa tidak ada yang berinisiatif untuk duduk di kursi atau lesehan di lantai. Saya kira lantai cukup bersih untuk sekedar duduk daripada bertahan berdiri dalam waktu cukup lama.
“Sabar Mas, tenang duduk saja dulu.” Pak Dul Mungin menekan pundakku sedikit kasar.
“Mau bikin teh hangat.”
“Biar nanti saya suruh orang membikinnya.”
“Jangan Pak. Bikin repot orang. Lagian takarannya belum tentu sesuai seleraku.”
“Sudahlah, duduk saja dulu.” Tangannya mendorongku sedikit lebih kasar dari sebelumnya.
“Kenapa?!!”
Aku sedikit jengkel.
Semua orang laki-laki di sekitarku melangkah maju mendekatiku. Aku berada dalam lingkarannya. Siap siaga. Semua berjaga-jaga seperti ingin menerkamku, meringkusku dan menggenggamku dalam kekuasaannya.
“Ada apa sih ini Pak?”
“Sudahlah Mas. Nggak apa-apa kok.”
Gerombolan ibu-ibu dan bapak-bapak terbelah. Heti menyeruak, melemparkan tubuhnya dalam pangkuanku. Tangisnya tak ada jeda sedikitpun.
“Kenapa Het, kenapa. Ada apa ini. Bapa jadi bingung nih.”
Heti malah menambah volume tangisnya. Aku berusaha meredamkan tangisnya dengan membelai rambutnya tanpa pertanyaan yang bisa mempertebal tangisnya. Tidak begitu lama tangisnya mereda. Guncangan pundaknya masih keras dan kerap.
“Siapa yang tadi mengabari Mas,” desak Pak Sobri.
“Mengabari apa?”
Seingatku tak ada yang datang ke kantorku untuk mengabari sesuatu. Sebelum aku sampai di rumah pun semua berjalan dengan wajar seperti biasa Keanehan terasa setelah aku sampai di rumah. Mungkin tadi telah datang salah seorang tetanggaku ke tempatku kerja, sebelum menemuiku ada orang yang mengatakan kalau aku sedang senewen, bertindak brutal. Mungkin juga orang itu mengatakan aku berlaku aneh di kantor dan memporak porandakan kantor dan mencelakai setiap orang yang di temui. Orang itu kemudian menyuruh tetanggaku untuk segera pulang dan mengumpulkan orang kalau-kalau setibanya aku di rumah akan ngamuk. Kalau iya begitu, siapa yang mengatakan itu? Kurang ajar sekali orang itu. Mungkin Pak Suprat, tukang parkir itu, atau mungkin Pak Hadi pesuruh kantor. Nggak mungkin. Kedua orang itu nggak mungkin main-main dengan hal seperti ini. Banyak sekali orang di kantorku dan semua bisa melakukan keisengan. Kalau memang ada tetanggaku yang datang membawa kabar, kabar apa itu? Kalau ada teman-kerjaku iseng, apa yang mereka katakan? Kalau ada, akan ku marahi habis-habisan besok.
Aku angkat tubuh Heti, ku letakkan disamping aku duduk.
“Ada apa sebenarnya ini Het?”
Heti tak menjawab, ia malah mengulangi kembali tangisnya. Kali ini malah lebih keras volumenya di banding yang tadi.
Aku mulai terasa muak melihat ibu-ibu yang terus saling berbisik seperti dalam sinetron yang menebarkan kebencian. Mulutnya komat-kamit, mimiknya penuh kejengkelan, sorot matanya menebar kekesalan. Ku ingin menelannya, mengunyahnya sebentar dan kusemprotkan ke dalam got dengan seluruh nafas.
Kenapa mereka. Tak mungkin kalau hanya sekedar untuk main-main di sini. Kabar apa yang telah mereka percayai sehingga memperlakukan aku seperti ini. Dan kenapa ibu-ibu yang bergerombol di bawah tangga untuk naik kelantai atas tak mau geser, memaksakan diri untuk tetap bertahan di situ. Saat arah mataku kesana, mereka terkesiap seperti melihat cahaya kilat halilintar. Mereka menyembunyikan sesuatu!
Ku tarik tangan Pak Sobri sampai hampir terjerembab. Semua orang siaga. Tegang.
“Pak, tolong jelaskan, ada apa ini? Ada apa!?” Suaraku meninggi
“Lho, Mas kan sudah tahu sendiri dari Himan.”
“Himan siapa? Tak ada orang yang datang kepadaku tadi.”
“Himan! Sepupu Mas Bogi.”
Di belakang Pak Sobri mereka berbisik-bisik, “Siap-siap. Mas Bogi mau ngamuk. Siap-siap Mas Bogi mau ngamuk. Siap-siap mau ngamuk.”
“Ngamuk? Siapa yang mau ngamuk?!’
Semua terdiam.
“Tenang Mas, tenang. Tidak ada, tidak ada yang akan ngamuk.”
“Lha tadi mereka bisik-bisik.”
“Bisik-bisik apa. Saya nggak mendengar apa-apa tadi.”
Aku bingung. Di sampingku Heti tak juga benar-benar habis tangisnya. Meski berusaha ditekan masih saja sesunggukan. Seragam sekolahnya masih belum ganti.
Aneh. Kenapa ini. Apa yang sedang aku alami sekarang ini. Mereka semua menganggap setiap gerak-gerikku sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Saya pikir aku bertindak wajar dan tidak perlu didramatisir begini. Atau apa yang aku lakukan, dalam ingatanku sebagai biasa-biasa saja sedang kenyataannya aku bertindak di luar kewajaran. Membabi buta?
“Pak Daman, kemari Pak!”
Aku berdiri dengan sedikit kaki dihentak.
Semua laki-laki di sekitarku serentak memegangiku dan mendorongku kembali ke tempat duduk. Heti ketakutan.
“Tolong. Tolong! Dengarkan saya sedikit saja. Jelaskan pada saya, ada apa ini. Kenapa ini.”
Beberapa lelaki terkapar terkena ayunan tanganku. Kembali mereka segera menerkamku, mengungkungku dalam kekuasaannya.
Ini tidak adil. Ini rumahku sendiri dan aku berhak berbuat sesuatu untuk membela diri. Mereka telah melanggar hak-hakku, masuk rumahku tanpa seijinku. Aku harus berbuat sesuatu agar mereka tahu ini semua telah melanggar hak-hakku sebagai tuan rumah. Apalagi mereka memperlakukanku seperti ini. Kasar!!
Ibu-ibu itu, bapak-bapak itu, anak-anak muda itu, semuanya, semuanya memandangku dengan sorot mata iba. Ada juga sorot mata sinis mencemooh. Kenapa ini. Mereka tak memberi sedikitpun waktu untuk aku tahu semua ini. Semua orang di sini menjadi buas dan menakutkan. Giginya keluar taring, kuku-kukunya hitam panjang meruncing. Mereka menyeringai bersama-sama.
Apa aku gila?! Apa mereka yang gila. Aku harus tanya siapa. Mereka telah terlanjur menganggapku gila. Benar mereka menganggapku gila atau aku saja yang berprasangka. Bingung, membingungkan. Ini eror!!
Beginikah orang gila, menganggap apa yang dilakukan sebagai sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja, pada pandangan orang lain; aneh, lucu, membahayakan, tak wajar, tidak umum, tak perlu didengar perkataannya, dicurigai gerak-geriknya. Tega benar mereka menganggapku gila. Mereka yang gila. Gila. Kegilaan mereka membikin aku gila.
Aku harus atasi semua ini. Aku bisa dan ini bukan masalah besar.
Aku kumpulkan tenaga dari seluruh ujung urat saraf. Aku konsentrasikan di kedua kepal tangan. Nafas kutahan dalam ruangan perut bagian dalam. Seluruh pikiran yang berserakan di setiap tempat aku himpun, berkonsentrasi penuh. Aku akan kalahkan dominasi mereka terhada tubuhku.
“Hmmm……..Ya!!”
Aku berdiri dengan seluruh kekuatan agar tangan-tangan yang menekanku kembali duduk, terkalahkan.
Enteng. Tak ada beban di pundakku. Oh, begitu dahsyatkah tenagaku. Kekuatan tangan-tangan mereka tak sedikitpun membebaniku. Aku tengok kanan kiri. Tak ada orang menekan pundakku, tak ada yang memegangiku, tak ada orang yang memegangiku. Apa mereka terlempar oleh hentakanku tadi? Mereka juga tak memperhatikanku. Mereka cuek-cuek saja. Mugkin tadi juga mereka tak berbuat apa-apa terhadapku. Atau mereka tak lagi mampu mengendalikanku.
Aku melangkah masih dengan tenaga yang ful menuju ibu-ibu yang terus bertahan berdiri di bawah tangga. Aku usir mereka hanya dengan teriakan mata dan dengusan nafas. Di lantai, mereka meninggalkan gambar-gambar tapak kaki warna merah darah. Baunya anyir darah. Tercecer-cecer. Apa ada ibu-ibu yang menstruasi di sini tadi.
“Darah siapa ini?!! Darah siapa!”
Semua diam. Suaraku berterbangan di atas kepala mereka membentur tembok kembali ke ruang telingaku.
“Ini bukan darah Mas, bukan, ini es krim anaknya Mba Indi. Yang jatuh”
“Tapi baunya bau darah, anyir.”
“Tenang Mas, sabar. Nggak ada darah di sini. Mas hanya berhalusinasi. Lihat, nggak ada darah kan. Tenang Mas, sabar,” bujuk Pak Sobri.
Aku tebarkan pandangan ke lantai. Benar tak ada darah. Tak ada ceceran cairan warna merah berbau anyir. Aku salah melihat tadi, atau pas aku memandang wajah Pak Sobri mereka mengelapnya cepat-cepat.
“Himan tadi bicara apa sama Mas Bogi?”
“Saya nggak ketemu dia.”
“Begini, saya jelaskan saja,” Pak Sodri menarik nafas sebentar, “Tadi saya suruh Himan untuk menemui Mas, agar mengabarkan kalau anak Mas Bogi, si Andru terjatuh dari tangga ini.”
“Apa? Andru jatuh. Di mana ia sekarang. Di mana ibunya. Cepat katakan di mana mereka!!”
Aku menjadi tokoh utama di rumahku. Seluruh mata, seluruh benda, memandangku penuh kekhawatiran.
“Di kamar Mas, istri mas menguncinya dari dalam.”
Aku gedor pintu dengan pukulan kecemasan.
“Ma! Buka Ma! Buka pintunya, cepat!”
Tak ada jawaban.
“Dwar. Dwar. Dwar!!”
Belum juga ada tanda-tanda istriku bangun. Aku aduk isi tas mencari kunci serep. Tak ketemu. Aku coba sekali lagi, jika tak ada jawaban aku harus mendobrak pintu.
“Ma! Buka Ma! Maaaa…!!”
Tak ada jawaban. Gawat ini. Jangan-jangan anakku parah dan istriku pingsan di sampingnya. Tidak! Ini tak boleh terjadi.
Aku mundur beberapa langkah. Kembali aku kumpulkan seluruh tenagaku yang tersebar di seluruh tubuh untuk menjebolkan pintu dengan cara menabraknya.
“Hmmnn…..Satu… Dua….”
Oh, pintu terbuka. Hanya dengan tekanan nafas dan sorot matakah? Tidak, ternyata istriku yang membukanya. Di muka pintu istriku kebingungan melihat begitu banyak orang di rumah. Wajah kantuknya masih menempel jelas. Garis-garis lipatan kain pembungkus bantal tergambar di kedua pipinya. Rambutnya acak-acakan. Di telinganya menempel headphone. Kebiasaan istriku mendengarkan musik sambil tiduran. Aku berlari menghampirinya.
“Mana Andru?”
“Itu lagi tidur. Kenapa Mas, ada apa ini.”
“Lho, katanya….”
“Lha, tadi kamu menjerit-jerit keras sekali, kenapa?” tanya Pak Dul Mungin.
“Oh, itu. Kesal sama Andru, dibilangin malah nambah bandelnya. Ia ngacak-acak adonan kueku.”
“Oh, saya kira jatuh dari tangga.”