Label

Rabu, 28 Juni 2017

ANAKKU TERJATUH

Cerpen


“Sabar Mas, sabar. Tenang. Semua baik-baik saja. Minum air putih dulu, ini, biar adem. Biar tenang.”
“Memangnya ada apa Pak.”
Nggak ada apa-apa.”
“Terus, kenapa banyak orang di sini, apa yang terjadi?”
“Mereka hanya ingin main saja di sini.”
“Kok, mainnya kompak sekali.”
“Ya, sekali-kali kan nggak apa-apa. Boleh kan? Duduk dulu di sini, biar capaimu hilang.”
Aku turuti kemauan Pak Barjo. Disamping untuk menghormatinya, aku rasa aku perlu istirahat. Meki pulang agak awal, aku capai sekali, penat. Pekerjaan kantor, meski tiap hari itu-itu saja, selalu meyerap energi dan membebani ruang kebosanan.
Ibu-ibu berkumpul di pojokan ruang tengah di samping tivi. Berbicara berbisik-bisik, sesekali melirikku membawa aku pada ruang yang ku tak mengerti. Semangat mereka untuk bicara tak terbendung. Nampaknya ada yang ingin di sembunyikan terhadapku bersama-sama. Anak-anak di pangkuannya mereka peluk erat, seolah takut anaknya lepas dan lari menghilang. Seorang ibu muda tak henti-hentinya menciumi kepala anaknya, membelai rambutnya sarat kasih sayang membuat anaknya tertidur manis.
Begitu banyak orang yang katanya mau bermain di rumahku. Aku tak percaya. Aku ingin bertanya pada mereka, mau main apa di rumahku, apa mau sekedar melihat-lihat rumahku yang baru selesai direnovasi, apa mau sekedar ngobrol dengan istriku. Kalau mau sekedar ngobrol-ngobrol kenapa mereka begitu banyak. Mungkin mereka ada acara arisan ibu-ibu yang kali ini tiba giliran di rumahku dan bapak-bapak yang datang mewakili istrinya yang tak dapat hadir. Tapi, istri Pak Barju ada di sini, juga Pak Dul Mungin dan istrinya, Pak Kirman, Pak Narwi, Pak Maskum, Irfan. Mereka juga bersama istrinya.
Aku batalkan untuk bertanya mau apa mereka datang ke rumahku secara bersama-sama. Takutnya mereka mengira aku tidak senang mereka ada di rumahku. Agak kesal juga, kaki-kaki mereka kotor berlumpur tak ada rasa segan menginjak lantai yang tadi pagi aku susah payah mengepelnya. Aduh, anak kecil di samping ibu yang gendut itu, es krimnya terceceran di man-mana. Tak henti hentinya mereka berbisik-bisik. Seorang ibu yang bertubuh agak tinggi sedikit langsing begitu semangat bisik sana sini jika melihat perabot yang bagus. Mungkin di kiranya aku korupsi. Prasangka jelek. Apa aku yang berprasangka jelek pada mereka.   
“Maaf Mas, duduk saja dulu. Tenangkan pikiran dulu.”
“Lho, mau ambil saputangan, lengket banget mukaku.”
“Ooh.”
Seluruh mata memandang ke arahku. Sorotnya mengabarkan berita yang belum juga aku bisa baca. Mereka mengurungku dalam kebingungan yang semakin bertambah. Terasa semakin aneh. Kenapa tidak ada yang berinisiatif untuk duduk di kursi atau lesehan di lantai. Saya kira lantai cukup bersih untuk sekedar duduk daripada bertahan berdiri dalam waktu cukup lama.
“Sabar Mas, tenang duduk saja dulu.” Pak Dul Mungin menekan pundakku sedikit kasar.
“Mau bikin teh hangat.”
“Biar nanti saya suruh orang membikinnya.”
“Jangan Pak. Bikin repot orang. Lagian takarannya belum tentu sesuai seleraku.”
“Sudahlah, duduk saja dulu.” Tangannya mendorongku sedikit lebih kasar dari sebelumnya.
“Kenapa?!!”
Aku sedikit jengkel.
Semua orang laki-laki di sekitarku melangkah maju mendekatiku. Aku berada dalam lingkarannya. Siap siaga. Semua berjaga-jaga seperti ingin menerkamku, meringkusku dan menggenggamku dalam kekuasaannya.
“Ada apa sih ini Pak?”
“Sudahlah Mas. Nggak apa-apa kok.”
Gerombolan ibu-ibu dan bapak-bapak terbelah. Heti menyeruak, melemparkan tubuhnya dalam pangkuanku. Tangisnya tak ada jeda sedikitpun.
“Kenapa Het, kenapa. Ada apa ini. Bapa jadi bingung nih.”
Heti malah menambah volume tangisnya. Aku berusaha meredamkan tangisnya dengan membelai rambutnya tanpa  pertanyaan yang bisa mempertebal tangisnya. Tidak begitu lama tangisnya mereda. Guncangan pundaknya masih keras dan kerap.
“Siapa yang tadi mengabari Mas,” desak Pak Sobri.
“Mengabari apa?”
Seingatku tak ada yang datang ke kantorku untuk mengabari sesuatu. Sebelum aku sampai di rumah pun semua berjalan dengan wajar seperti biasa Keanehan terasa setelah aku sampai di rumah. Mungkin tadi telah datang salah seorang tetanggaku ke tempatku kerja, sebelum menemuiku ada orang yang mengatakan kalau aku sedang senewen, bertindak brutal. Mungkin juga orang itu mengatakan aku berlaku aneh di kantor dan memporak porandakan kantor dan mencelakai setiap orang yang di temui. Orang itu kemudian menyuruh tetanggaku untuk segera pulang dan mengumpulkan orang kalau-kalau setibanya aku di rumah akan ngamuk. Kalau iya begitu, siapa yang mengatakan itu? Kurang ajar sekali orang itu. Mungkin Pak Suprat, tukang parkir itu, atau mungkin Pak Hadi pesuruh kantor. Nggak mungkin. Kedua orang itu nggak mungkin main-main dengan hal seperti ini. Banyak sekali orang di kantorku dan semua bisa melakukan keisengan. Kalau memang ada tetanggaku yang datang membawa kabar, kabar apa itu? Kalau ada teman-kerjaku iseng, apa yang mereka katakan? Kalau ada, akan ku marahi habis-habisan besok.
Aku angkat tubuh Heti, ku letakkan disamping aku duduk.
“Ada apa sebenarnya ini Het?”
Heti tak menjawab, ia malah mengulangi kembali tangisnya. Kali ini malah lebih keras volumenya di banding yang tadi.
Aku mulai terasa muak melihat ibu-ibu yang terus saling berbisik seperti dalam sinetron yang menebarkan kebencian.  Mulutnya komat-kamit, mimiknya penuh kejengkelan, sorot matanya menebar kekesalan. Ku ingin menelannya, mengunyahnya sebentar dan kusemprotkan ke dalam got dengan seluruh nafas.
Kenapa mereka. Tak mungkin kalau hanya sekedar untuk main-main di sini. Kabar apa yang telah mereka percayai sehingga memperlakukan aku seperti ini. Dan kenapa ibu-ibu yang bergerombol di bawah tangga untuk naik kelantai atas tak mau geser, memaksakan diri untuk tetap bertahan di situ. Saat arah mataku kesana, mereka terkesiap seperti melihat cahaya kilat halilintar. Mereka menyembunyikan sesuatu!
Ku tarik tangan Pak Sobri sampai hampir terjerembab. Semua orang siaga. Tegang.
“Pak, tolong jelaskan, ada apa ini? Ada apa!?” Suaraku meninggi
“Lho, Mas kan sudah tahu sendiri dari Himan.”
“Himan siapa? Tak ada orang yang datang kepadaku tadi.”
“Himan! Sepupu Mas Bogi.”
Di belakang Pak Sobri mereka berbisik-bisik, “Siap-siap. Mas Bogi mau ngamuk. Siap-siap Mas Bogi mau ngamuk. Siap-siap mau ngamuk.”
“Ngamuk? Siapa yang mau ngamuk?!’
Semua terdiam.
“Tenang Mas, tenang. Tidak ada, tidak ada yang akan ngamuk.”
“Lha tadi mereka bisik-bisik.”
“Bisik-bisik apa. Saya nggak mendengar apa-apa tadi.”
Aku bingung. Di sampingku Heti tak juga benar-benar habis tangisnya. Meski berusaha ditekan masih saja sesunggukan. Seragam sekolahnya masih belum ganti.
Aneh. Kenapa ini. Apa yang sedang aku alami sekarang ini. Mereka semua menganggap setiap gerak-gerikku sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Saya pikir aku bertindak wajar dan tidak perlu didramatisir begini. Atau apa yang aku lakukan, dalam ingatanku sebagai biasa-biasa saja sedang kenyataannya aku bertindak di luar kewajaran. Membabi buta?
“Pak Daman, kemari Pak!”
Aku berdiri dengan sedikit kaki dihentak.
Semua laki-laki di sekitarku serentak memegangiku dan mendorongku kembali ke tempat duduk. Heti ketakutan.
“Tolong. Tolong! Dengarkan saya sedikit saja. Jelaskan pada saya, ada apa ini. Kenapa ini.”
Beberapa lelaki terkapar terkena ayunan tanganku. Kembali mereka segera menerkamku, mengungkungku dalam kekuasaannya.
Ini tidak adil. Ini rumahku sendiri dan aku berhak berbuat sesuatu untuk membela diri. Mereka telah melanggar hak-hakku, masuk rumahku tanpa seijinku. Aku harus berbuat sesuatu agar mereka tahu ini semua telah melanggar hak-hakku sebagai tuan rumah. Apalagi mereka memperlakukanku seperti ini. Kasar!!
Ibu-ibu itu, bapak-bapak itu, anak-anak muda itu, semuanya, semuanya memandangku dengan sorot mata iba. Ada juga sorot mata sinis mencemooh. Kenapa ini. Mereka tak memberi sedikitpun waktu untuk aku tahu semua ini. Semua orang di sini menjadi buas dan menakutkan. Giginya keluar taring, kuku-kukunya hitam panjang meruncing. Mereka menyeringai bersama-sama.
Apa aku gila?! Apa mereka yang gila. Aku harus tanya siapa. Mereka telah terlanjur menganggapku gila. Benar mereka  menganggapku gila atau aku saja yang berprasangka. Bingung, membingungkan. Ini eror!!
Beginikah orang gila, menganggap apa yang dilakukan sebagai sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja, pada pandangan orang lain; aneh, lucu, membahayakan, tak wajar, tidak umum, tak perlu didengar perkataannya, dicurigai gerak-geriknya. Tega benar mereka menganggapku gila. Mereka yang gila. Gila. Kegilaan mereka membikin aku gila.
Aku harus atasi semua ini. Aku bisa dan ini bukan masalah besar.
Aku kumpulkan tenaga dari seluruh ujung urat saraf. Aku konsentrasikan di kedua kepal tangan. Nafas kutahan dalam ruangan perut bagian dalam. Seluruh pikiran yang berserakan di setiap tempat aku himpun, berkonsentrasi penuh. Aku akan kalahkan dominasi mereka terhada tubuhku.
“Hmmm……..Ya!!”
Aku berdiri dengan seluruh kekuatan agar tangan-tangan yang menekanku kembali duduk, terkalahkan.
Enteng. Tak ada beban di pundakku. Oh, begitu dahsyatkah tenagaku. Kekuatan tangan-tangan mereka tak sedikitpun membebaniku. Aku tengok kanan kiri. Tak ada orang menekan pundakku, tak ada yang memegangiku, tak ada orang yang memegangiku. Apa mereka terlempar oleh hentakanku tadi? Mereka juga tak memperhatikanku. Mereka cuek-cuek saja. Mugkin tadi juga mereka tak berbuat apa-apa terhadapku. Atau mereka tak lagi mampu mengendalikanku.
Aku melangkah masih dengan tenaga yang ful menuju ibu-ibu yang terus bertahan berdiri di bawah tangga. Aku usir mereka hanya dengan teriakan mata dan dengusan nafas. Di lantai, mereka meninggalkan gambar-gambar tapak kaki warna merah darah. Baunya anyir darah. Tercecer-cecer. Apa ada ibu-ibu yang menstruasi di sini tadi.
“Darah siapa ini?!! Darah siapa!”
Semua diam. Suaraku berterbangan di atas kepala mereka membentur tembok kembali ke ruang telingaku.
“Ini bukan darah Mas, bukan, ini es krim anaknya Mba Indi. Yang jatuh”
“Tapi baunya bau darah, anyir.”
“Tenang Mas, sabar. Nggak ada darah di sini. Mas hanya berhalusinasi. Lihat, nggak ada darah kan. Tenang Mas, sabar,” bujuk Pak Sobri.
Aku tebarkan pandangan ke lantai. Benar tak ada darah. Tak ada ceceran cairan warna merah berbau anyir. Aku salah melihat tadi, atau pas aku memandang wajah Pak Sobri mereka mengelapnya cepat-cepat.
“Himan tadi bicara apa sama Mas Bogi?”
“Saya nggak ketemu dia.”
“Begini, saya jelaskan saja,” Pak Sodri menarik nafas sebentar, “Tadi saya suruh Himan untuk menemui Mas, agar mengabarkan kalau anak Mas Bogi, si Andru terjatuh dari tangga ini.”
“Apa? Andru jatuh. Di mana ia sekarang. Di mana ibunya. Cepat katakan di mana mereka!!”
Aku menjadi tokoh utama di rumahku. Seluruh mata, seluruh benda, memandangku penuh kekhawatiran.
“Di kamar Mas, istri mas menguncinya dari dalam.”
Aku gedor pintu dengan pukulan kecemasan.
“Ma! Buka Ma! Buka pintunya, cepat!”
Tak ada jawaban.
“Dwar. Dwar. Dwar!!”
Belum juga ada tanda-tanda istriku bangun. Aku aduk isi tas mencari kunci serep. Tak ketemu. Aku coba sekali lagi, jika tak ada jawaban aku harus mendobrak pintu.
“Ma! Buka Ma! Maaaa…!!”
Tak ada jawaban. Gawat ini. Jangan-jangan anakku parah dan istriku pingsan di sampingnya. Tidak! Ini tak boleh terjadi.
Aku mundur beberapa langkah. Kembali aku kumpulkan seluruh tenagaku yang tersebar di seluruh tubuh untuk menjebolkan pintu dengan cara menabraknya.
“Hmmnn…..Satu… Dua….”
Oh, pintu terbuka. Hanya dengan tekanan nafas dan sorot matakah? Tidak, ternyata istriku yang membukanya. Di muka pintu istriku kebingungan melihat begitu banyak orang di rumah. Wajah kantuknya masih menempel jelas. Garis-garis lipatan kain pembungkus bantal tergambar di kedua pipinya. Rambutnya acak-acakan. Di telinganya menempel headphone. Kebiasaan istriku mendengarkan musik sambil tiduran. Aku berlari menghampirinya.
“Mana Andru?”
“Itu lagi tidur. Kenapa Mas, ada apa ini.”
“Lho, katanya….”
“Lha, tadi kamu menjerit-jerit keras sekali, kenapa?” tanya Pak Dul Mungin.
“Oh, itu. Kesal sama Andru, dibilangin malah nambah bandelnya. Ia ngacak-acak adonan kueku.” 
“Oh, saya kira jatuh dari tangga.”

Jumat, 16 Juni 2017

SEBILAH GOLOK DI LEMARI RAK BAWAH

djayim.com  cerpen
Ketika Goldi menyimpan tasnya di lemari, di hati Pak Bagyo tak timbul perasaan untuk tahu apa isinya, karena Ia sedang melayani seseorang pembeli rokok. Ia hanya mendengar kata-kata Goldi yang sambil berlalu, “Tolong Pak, titip tas ini. Jangan boleh ada yang ngambil kecuali saya.”
Saat sepi tak ada pembeli. Pak Bagyo teringat kata-kata Goldi setiap kali menitipkan tasnya. Tentu tak ada yang boleh mengambil tasnya kalau bukan dia, tapi kenapa Ia selalu berpesan ‘jangan boleh ada yang ngambil kecuali saya’, padahal sudah sangat sering Ia menitipkan tasnya. Kadang beberapa hari tak diambil, kadang sampai seminggu, tapi Goldi tak pernah lupa pada tas yang dititipkannya. Pak Bagyo tak tahu apa ada tempat lain yang bisa dititipi tas selain di warung kecilnya. Rasa penasaranya tergugah juga untuk melihat apa isinya. Ia mesti yakin dulu kalau Goldi benar-benar tak memergokinya kalau mau melihat isinya.
Ia tutup dulu pintu di sebelah kanannya. Berjongkok, sebentar bangkit lagi untuk meyakinkan kalau Goldi benar-benar tak melihat apa yang dilakukannya, karena kalau hal itu tak disukai Goldi, bisa berabe urusanya.
Ketika menarik tangkai resleting, dari dalam tas tampak gagang golok hitam mengkilat dari tanduk kerbau. Perlahan Ia membuka seluruhnya setelah yakin tak ada orang lain yang melihat. Selain golok ada lagi satu celana panjang, satu celana dalam, dua buah kaos berwarna krem dan coklat tua dan sebuah sikat gigi berwarna biru. Golok menjadi perhatian utama bagi pak tua itu. Ia merasa kenal betul dengan golok dalam tas Goldi. Apa Goldi selalu selalu menyimpan golok ini dalam tas jika Ia menitipkannya di warungku? pikirnya. Ia menilitinya lebih cermat. Golok yang pernah Ia pegang bertahun-tahun puluhan tahun yang lalu, punya tanda yang tak orang lain tahu jika tak menelitinya dengan cermat. Pada gagang bagian dekat dengan pangkal golok dan di bagian pucuk golok ada cacat kecil yang tak kentara dan tak mudah hilang. Meski bentuknya sama persis dengan goloknya dulu, Ia merasa perlu meyakinkan lebih mantap dengan tanda di golok itu. Sebelum sempat lebih cermat menelitinya, ada seorang calon pembeli datang membeli. Ia segera merapikan tas, menyimpannya kembali seperti semula.
Puluan tahun yang lalu Pak Bagyo memang orang jalanan, malang melintang di sembarang tempat keramaian, di terminal atau di pasar. Ia lebih dikenal dengan nama Sargao, karena memang nama aslinya. Di manapun di sekitaran kotanya Ia begitu dikenal, terutama bagi orang-orang yang sering beraktivitas di terminal dan di pasar. Badannya yang tinggi tegap seakan tak pernah akan lapuk dimakan usia. Ia begitu tangguh untuk sekedar menjadi petarung di jalanan. Nyalinya hebat, pantang menyerah, pintar dan selalu bisa mengatasi keadaan yang mengancam dirinya walau kadang dengan cara-cara licik.
Sargao perkasa adalah sosok orang yang bisa masuk ke setiap lapisan sosial. Ia bisa begitu garang, bisa begitu lembut dan santun, bisa ramah dan menyenangkan. Ia bisa jadi dewa penolong dan di saat lain bisa jadi manusia perusak yang mengamuk mengobrak abrik semua benda yang ada di sekelilingnya. Memusuhinya bisa menjadi awal malapetaka bagi sapa saja. Maka jangan heran jika banyak orang memilih mengalah kalau ada urusan dengannya meski dengan hati dongkol.
Sejak kecil Sargao memang menyukai olah raga bela diri dan olah raga keras lainnya. Ia juga rajin mengaji seperti anak-anak lain seusianya disekitar tempat Ia tinggal. Di sekolah Sargao termasuk anak pintar meski tak pernah ranking satu di kelasnya. Pernah Ia mendapat ranking kedua saat kelas empat di dua catur wulan pertama, -itu prestasi tertingginya di sekolah- sayang  saat kenaikan kelas Ia hanya urutan ke lima. Jadi orang jalanan yang mengandalkan kekerasaan tak pernah terlintas dalam benaknya apalagi jadi cita-citanya. Entah waktu dan pintu mana yang telah mengantarnya jadi seorang jagoan jalanan. Semua mengalir tak pernah berhenti seperti lajunya usia.
Keadan ekonomi selalu saja dijadikan alasan orang untuk berbuat apa saja. Mungkin itu juga yang secara tak sengaja mengantarkan Sargao remaja harus berebut rejeki di sepanjang jalan tempat melintas orang-orang berpergipulang. Untuk bisa sekolah di menengah atas Ia mesti membantu orang tuanya untuk membiayai sendiri sekolahnya walau tak seluruhnya.
Di sore hari, ketika mobil angkutan pulang, ia ikut menjadi pencuci mobil. Ia selalu bekerja sungguh-sungguh dengan hasil yang lumayan. Ia mulai mengenal rokok, mencobanya dan kemudian membelinya adalah hal pertama setelah mendapat uang.
Ada keputusan lain dalam pikirannya setelah merasakan nikmatnya uang dari hasil keringatnya sendiri; untuk apa repot-repot sekolah kalau toh akhirnya nanti harus cari kerja juga. Ia mulai jarang masuk sekolah. Jika ada kesempatan untuk menggantikan kenek mini bis ataupun truk, Ia segera dengan sikap menawarkan diri. Badannya yang bongsor dan mulai nampak kekar serta pekerja keras  membuat para sopir senang memakainya. Sargao pandai berteman dan cepat menyesuaikan diri di setiap tempat dan itu telah membawanya cepat banyak kenalan.
Belum genap setengah tahun sekolah, Sargao sudah benar-benar keluar. Sebelumnya beberapa temannya berusaha membujuk untuk masuk kembali, tapi hanya satu dua hari Ia masuk, itupun ketika baru tiga empat bulan awal masuk sekolah, kemudian tak lagi masuk sekolah. Baginya berpetualang di jalanan dengan berbagai kondisi dan cuaca lebih mengasyikan ketimbang harus bergelut dengan berbagai disiplin ilmu yang terus dijejalkan di bangku sekolah. Sudah bikin pusing harus bayar pula, mahal lagi!
Perlahan Ia mulai merasakan bagaimana ketat dan kerasnya berebut mendapatkan uang. Harus benar-benar lincah, cekatan dan tak kalah gertak dengan sesama pemburu uang.
Pertama Ia merasakan kerasnya persaingan berebut rejeki di terminal saat Ia harus menerima dua pukulan telak di wajah dan pelipisnya tanpa balas  karena Ia menaikan tiga orang penumpang.
“Enak saja kamu, baru datang sudah main sikat! Kamu lihat, mobil saya sudah hampir satu jam ngetem belum dapat penumpang!” hardik kenek Bis Laju Angin. Sargao hanya bisa diam dan pasrah, padahal Ia tahu betul bis itu datang di belakangnya. Sargao juga tak mungkin minta pada sopirnya, Pak Samaun, untuk melawannya. Ia orang yang lebih suka mengalah dan tak mau ribut. Mungkin Ia menyadari fisiknya yang kecil kerempeng.
Merasa telah cukup lama sering dibodohi dan terus diinjak-injak, Sargao menyusun keberanian untuk suatu saat yang tepat memberikan perlawanan dengan segala resikonya. Sasaran pertamanya kenek Bis Laju Angin yang sering membikinnya kesal dan suka main tangan padanya. “Ia orang yang cukup ditakuti. Jika aku dapat mengalahkannya tentu banyak orang jadi segan padaku,” pikirnya, “jika kalah, aku harus menyingkir cari aman.”
Kejengkelan Sargao yang menggunung membentuk keberanian dan energi yang begitu dahsyat. Saat Dido, kenek Bis Laju Angin, membentak sambil mendorong kepalanya ke belakang dengan kasar, dengan cepat Sargao menangkap tangannya, menariknya dengan keras. Saat Dido terhuyung ke depan, sebuah pukulan penuh tenaga diluncurkan ke mukanya. Kepala Dido terpental ke belakang, tubuhnya terjerembab keras mencium tanah becek. Sargao berdiri mengangkang di atasnya menunggu Dido bangkit. Tapi, nampaknya Dido terkapar tak berdaya, maka langit di atas terminal perlahan mendaulatnya menjadi calon jawara baru. Sargao tak tahu menahu tentang itu, Ia hanya ingin mengalahkan orang yang selalu membikinnya kesal.
Berawal dari meng-KO Dido, Sargao mulai mendapat ruang yang leluasa di kawasan terminal. Ia belum cukup mengerti dan belum tersirat keinginan untuk menguasai terminal. Ia hanya ingin saat menjadi kenek mini bis tak ada lagi orang yang usil seperti Dido. Sargao merasa tak perlu meyakinkan pada setiap orang kalau dirinya tak berniat untuk mengambil alih lahan rejeki orang lain. Meski begitu pun ada saja orang yang merasa posisinya terancam. Seorang jawara terminal selalu mengawasi setiap gerak-gerik Sargao. Apalagi setelah Sargao kembali memukul  jatuh kenek Bis Laju Angin yang lain (temannya Dido) yang mencoba membalas dendam temannya di suatu siang yang panas.
Jaka, sang jawara terminal yang lebih senang dipanggil Jago, mulai menebar ancaman pada Sargao lewat Pak Samaun. “Jaga tingkah si Sargao! Jangan sampai aku berkeputusan melenyapkannya!” Pak Samaun yang telah tahu betul karakter kasar Jaka segera menyampaikan ancaman itu pada Sargao. Ada rasa gentar terbaca di raut wajah Sargao.
“Jaka itu orangnya seperti apa Pak?”
“Nanti akan aku kasih tahu. Yang jelas kamu harus jaga emosimu. Kalau dia tak suka, dia tak segan-segan untuk melenyapkanmu.”
“Apa aku pernah menyakitinya?”
“Pokoknya dia sudah merasa tak suka dan tak ada orang yang bisa mencegahnya di terminal ini!”
Lima hari setelah Pak Samauan memperingatkan, Sargao benar-benar menuai ancaman Jaka. Pak Samaun hanya bisa melongo ketika Sargao di seret dari pintu mobil saat mau pulang ketika hari menjelang senja dengan guyuran gerimis. Di lorong gedung-gedung pergudangan yang tak jauh dari jalan Jaka membawanya. Dari balik bajunya Jaka mengeluarkan golok dan menghunusnya.
“Aku harap kamu menyingkir atau terpaksa harus kusingkirkan dengan ini,” kata Jaka dengan nada sarat sinis sambil menunjukkan golok ke muka Sargao. Sargao gemetar. Ia hanya diam bingung. Sebuah tamparan kecil mendarat di pelipis dekat ujung mata, sebuah peremehan. Jaka menghembuskan asap rokoknya pelan diikuti loncatan ludah ke ujung telapak kaki Sargao. Ciuhh!
“Maaf, seingat saya, saya tak pernah mengganggu anda,” kata Sargao sedikit terbata.
“Pokonya saya ingin kamu minggir!!” Sorot mata dan senyumnya penggambaran seorang pria perkasa yang jengkel menghadapi anak kecil yang nakal dan bandel. Sargao membacanya. Darah mudanya mendidih, rasa takutnya hilang, tenaganya bertumpuk, keberaniannya melipat ganda. Dunia serasa dalam genggamannya. “Suka-suka saya!” bentak Sargao tak kalah keras.
Darah Jaka membara. Ia menusukkan tinju kirinya diikuti ayunan golok di tangan kanan. Sargao terkena pukulan keras tapi bisa menghindar dari ayunan golok. Meski Sargao tak pernah berlatih ilmu bela diri, gerakan lincahnya mampu menghindar sekaligus menangkap tangan kanan Jaka, membenturkannya pada tembok gudang. Golok di tangan kanan Jaka terpental. Sargao memanfaatkan kelengahan dan kekagetan Jaka. Ia langsung menghajar Jaka bertubi-tubi membabi buta.
Jaka terkapar tak berdaya tapi tak sampai pingsan. Di sekitar mata kiri dan dagunya memar, di lubang hidungnya mengalir sedikit berdarah. Sargao memungut golok di tepi tembok dan sarungnya yang telah terjatuh dari selipan ikat pinggang Jaka. Ia berjalan ke arah Pak Samaun yang menunggu penuh kekhawatiran di dalam mini bis-nya.
Melihat kedatang Sargao dengan wajah segar bugar, wajah Pak Samaun berseri. Ia menyambut dengan sebuah pertanyaan, “bagaimana?”
Sargao menjawabnya dengan memberikan sebilah golok dalam sarungnya, “bisa aku atasi.”
Pak Samaun mengamati dan meneliti lebih cermat golok di tangan kanannya. Dahinya berkerut tebal, mulutnya berdecak sambil sedikit menggelengkan kepala. “Kamu akan jadi penguasa terminal itu!”
Sargao diam. Ia tak menegerti maksud ucapan Pak Samaun.
Esok harinya berita tentang kekalahan Jaka oleh Sargao telah tersebar seisi penghuni terminal dan seluruh awak bis dari berbagai trayek. Entah siapa yang menyaksikan pertarungan itu dan berkabar. Dan benar ucapan Pak Samaun, Sargao menjadi begitu disegani di setiap tempat. Semua orang memberikan prioritas padanya. Semua mau mengalah padanya. Sargao tahu hal itu karena pemberitahuan Pak Samaun, tapi dalam hati Sargao belum ada keinginan untuk menguasai terminal meski keadaan telah sangat memungkinkan. Baru setelah tiga bulan merasakan enaknya selalu mendapat prioritas, disegani dan ditakuti, Ia merasa perlu untuk mencari kekuatan lain untuk mempertahankan predikat barunya yang telah mulai disandangnya.
Sargao selalu merawat dan menjaga golok yang didapat sewaktu mengalahkan Jaka. Ia selalu ingat pesan Pak Samaun, “Jaga golok itu baik-baik. Selama golok itu masih di tanganmu, tak akan ada orang yang berani main-main sama kamu.”
Pernah Sargao tanya tentang asal usul golok itu dan Pak Samaun hanya memandang lewat ekor mata sambil menebar sedikit senyum, “kamu akan tahu sendiri nanti.” Sargao telah benar-benar menjadi jawara terminal. Ia mulai kenal dan mengkonsumsi berbagai macam narkoba, bergaul dengan wanita-wanita penghibur dan mulai terbiasa dengan kehidupan malam.
Semakin banyak tantangan dan ancaman dihadapi Sargao, semakin banyak pengalaman dan siasat untuk menghadapi setiap lawan dan kawan yang setiap hari mengintai mencari kelengahan. Dua tahun pertama Saragao tak banyak menghadapi musuh yang berarti atau mungkin karena belum banyak orang yang sebal dengan polah tingkahnya. Di tahun kelima Sargao mendapat lawan tangguh yang benar-benar mau mengambil alih kekuasaanya. Di sebuah kebun pisang di pinggir perkampungan Sargao mengajak lawannya dan menghabisinya dengan golok pusaka warisan dari Jaka. Dari awal Sarago tak berniat untuk membunuh lawannya, hanya sekedar untuk memberi pelajaran,  tapi kejadian itu begitu cepat. Golok di tangannya bergerak cepat membimbing tangannya menebas leher lawannya. Dengan perasan takut dan gugup Sarago berhasil menghilangkan barang bukti. Sargao lolos dari jeratan hukum. Sejak itu Ia menjadi terbiasa dengan berbagai macam kekerasan untuk menyingkirkan musuh-musuhnya.
Sargao menjadi penguasa terminal selama kurang lebih sembilan tahun. Ia menyadari setiap saat ‘jabatan’nya selau diincar oleh banyak orang jalanan. Ia tak ingin hidupnya berakhir sia-sia seperti dua musuhnya mati di tangannya karena mencoba merebut kekuasaanya. Perlahan Sargao menyingkir. Ia jarang datang ke terminal. Sampai kemudian Ia memutuskan meninggalkan golok pusaka itu di samping wc umum di tengah malam yang sepi. Ia kemudian menikah dengan gadis desa yang masih saudara dari ayahnya dan hidup bertani sebisanya.
Saragao mencoba bertahan hidup di desa dengan bertani meski perekonomiannya kocar-kacir. Ia kemudian kembali mencoba mengais rejeki di terminal dengan berjualan kecil-kecilan ketika merasa wajahnya tak lagi dikenali sebagai bekas jagoan terminal. Ia ganti nama menjadi Bagyo. 
Ia tak pernah tahu kenapa Goldi selalu menitipkan tas di warungnya. Ia kadang curiga kalau Goldi tahu masa lalunya sebagai mantan jagoan terminal kemudian mengabarkan pada orang-orang yang pernah disingkirkan atau dianiaya.
Sudah tujuh hari Goldi tak datang untuk mengambil tasnya. Di hari ke delapan, sesaat setelah Pak Bagyo selesai membuka warungnya, seseorang datang dengan memakai kaca mata hitam.
“Mana tas punya Goldi?!”
“Maaf, saya tak berani memberikannya selain padanya.”
“Berikan padaku!”
“Nanti Mas Goldi marah dan ngamuk. Saya yang repot Mas.”
“Dia tak akan macam-macam! Dia sudah habis!” kata lelaki kekar itu sambil menggorok leher dengan jari telunjuknya, kemudian menyerobot masuk dan mengambil tas di lemari. Sepertinya Ia telah hafal di mana tas itu biasa disimpan. “Aku tahu siapa kamu!”
Pak Bagyo terperanjat. Benar dia tahu siapa aku?
Esoknya Pak Bagyo tak pernah lagi membuka warungnya.

Selasa, 06 Juni 2017

Bebek bertelur Rajawali

Setiap hari, nenek bertubuh gemuk yang cara berjalannya sudah lamban, sebelum orang-orang benar-benar bangun, Ia sudah berada di belakang rumah. Mencampur adonan makanan untuk bebek-bebeknya yang sudah siap menyantap kapan pun makanan itu disajikan. Bebek-bebek itu berjumlah banyak sekali. Tak pernah berjumlah tetap karena kadang mereka datang dan pergi tak tentu waktu, tak berkala tetap. Mereka berada dalam satu kandang, tak ada sekat pemisah. Untuk tempat makan ada sepuluh tempat, kadang dipakai semua, kadang hanya separuh, kadang tempat makan itu dikumpulkan menjadi satu dan perebutan itu menjadi lumrah dengan teriakan-teriakan bikin telinga gatal. Semua bebek punya karakter masing-masing, tapi mereka sepakat untuk kompak menurut pada nenek bertubuh gemuk yang lemaknya semakin hari semakin membuat gerakannya tak selincah ketika masih agak langsing meskipun ketika itu pun gerakannya tak lincah namun kemayu.
Hal yang paling disukai dari nenek itu adalah pancaran sinar matahari menjelang terbit saat kabut pagi tak seutuhnya menutupi punggung bukit dan gedung-gedung pencakar langit masih ada beberapa lampu yang masih menyala dengan sebaran yang tak teratur di ruang-ruang yang tak semuanya tertutup gordin. Pada matahari pagi itu, Ia bercerita (seperti  meminta agar kabut pagi mencatatnya) tentang kekcewaan dan cita-citanya yang tak semua sempurna tercapai. Kemudian pada bebek yang sedang beristirahat di bawah pohon sambil menata isi perut yang kelewat batas kenyang, nenek itu menyampaikan harapannya dan selalu menyampaikan salam yang katanya titipan dari matahari pagi yang selalu tersenyum, bangga bisa berkirim salam untuk bebek-bebek. Di akhir cerita si nenek, bebek-bebek tak pernah lupa bertepuk tangan sambil berdiri menghadap poster besar yang di tempel ditembok. Sebuah gambar seorang lelaki dengan sinar mata yang tajam penuh denga optimisme, tangan kiri lurus ke bawah mengepal, tangan kanan mengepal kuat di depan dada kanan seperti hendak merengkuh dunia. Ia menatap lurus tiga puluh lima drajat dengan bibir terkatup antar senyum dan keyakinan sebuah kemenangan yang akan dicapai.
Seusai meladeni bebek-bebek, sang nenek berjalan ke ujung tenggara untuk memberi umpan ikan-ikan koki dan ikan emas yang selalu menyambut dengan mengibaskan ekor-ekornya sehingga menimbulkan riak dan cipratan kecil pada kaki. Pada sebuah saung kecil, Ia sering berlama-lama menikmati polah ikan-ikan sambil mengunyahan kinang sehingga bibirnya memerah karenanya. Pada pasir yang disediakan Ia membuang ludah kinang.
Jika akhir pekan (Ia selalu berharap akhir pekan setiap hari) Ia sedikit melupakan para bebek dan ikan koki di belakang rumah, duduk di teras depan menunggu cucu-cucunya datang. Meski sering tak datang dan tidak pada waktu yang teratur, menunggu cucu menjadi kegiatan yang dinikmati dengan memberes-bereskan pot-pot bunga atau menata ulang posisinya.
“Kau dengar cucuku. Jika ibunya atau anak nenek yang lain tak bisa memenuhi cita-cita nenek, kau yang harus mencapainya, harus.” Itu kalimat yang sering sekali keluar dari nenek itu.
“Cita-cita apa nek?” jawab si cucu sambil berlari memancat pohon jambu sekedar menjawab tanpa berniat meladeni. Semua cucunya, hafal sekali kalimat itu. Semua sudah bosan, hanya saja tak berani menykiti hatinya jika tak menggubris.
Akhir pekan, bebek-bebek memanfaatkan kesempatan untuk bersuka ria bebas dari pengawasan. Mereka berusaha melompat melewati pagar rumah. Susah payah mengepak-kepakan sayapnya sampai kemudian bertumpukan berdiri dipunggung seperti layaknya lomba panjat pinang pada acara 17-an. Tetapi tidak semua seperti itu, ada yang bisa terbang tinggi seperti burung, mereka adalah Tongki, hasil ‘perselingkuhan’ antara bebek dengan Soang yang luput dari pengawasan Si Nenek yang kadang sering tak mau mendengar nasehat yang tak sesuai dengan pikirannya. Nalurinya untuk berkuasa dan rasa ingin membuktikan kalau Ia masih punya energi dan punya mampu tak bisa dibendung. Ia masih terus merangsek maju. Tak peduli kanan kiri jalan yang meragukan kemampuannya.
Bebek-bebek piaraannya memang cerdas-cerdas, dan bebek yang ikut nimbrung masuk dalam kandang berdandan baju empati juga tak kalah cerdas. Mereka pandai sekali memanfaatkan celah momen untuk menarik bebek lain agar bergabung dalam kelompoknya sebagai penggembira, untuk meriuhkan tepuk sayap agar membubung jauh tinggi ke langit. ‘Ketua kami punya warisan karisma yang tidak di miliki oleh ketua lain’, demikian para bebek pengikutnya sambil terus tersenyum pada si nenek dan akan dibalas dengan senyuman kecil di ujung bibir sebelah kanan, dan ludah kinang berwarna merah meluncur dari bibirnya yang merah belepotan. Bebek-bebek bersorak, kwkkwkkwk... Bebek-bebek di kandang sebelah kanan kiri pun ikut bersorak, sorak dengan nada lain, sorak dengan beberapa oktaf. Sorak dengan beraneka lengkingan dan siulan seperti kernet bis memberi aba-aba pada calon penumpang dan para pengguna jalan lain.
Sebatang bambu kecil yang pangkalnya sebesar ibu jari dengan panjang empat setengah meter, diujungnya sehelai bendera kecil warna merah, menjadi alat untuk menggiring para bebek yang kadang dengan sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar keluar dari barisan. Bebek-bebek itu memang banyak polah. Mereka cari perhatian, berkoar-koar memekakkan telinga, bersahutan tak ada yang mau mengalah berhenti dulu. Berjalan bukan pada jalan yang disediakan, berlari-lari berkejaran pada rerumputan yang jelas tidak boleh diinjak. Sering ayunan bambu penggiring agar semua bebek tertib, tak menyalahi aturan, dibalas dengan suara mengejak tapi di kemas seolah setuju apa yang di inginkan si nenek.
Pernah kandang bebek itu kedatangan seekor bebek berbulu warna-warni seperti pelangi dengan dominasi warna hitam agak ungu mengkilap. Badannya tegap dengan cara berjalan meyakinkan dengan roman muka sopan dan tutur suara santun. Semua bebek curiga termasuk si nenek yang langsung mengusung muka tak senang saat menyambutnya. Dan si bebek itu sudah punya cara agar mereka bisa segera menerimanya menjadi teman. “Maaf, kawan-kawan. Saya tak mau kedatangan saya menjadi sesuatu yang tidak baik bagi kawan-kawan semua. Saya datang ke sini sudah melalui proses pemikiran yang panjang, njlimet, berkali-kali, sampai kemudian memutuskan. Ini adalah keputusan yang terbaik dan saya akan buktikan itu.” Kata si bebek mengakhiri kata-katanya yang panjang berlama-lama, berulang-ulang. Melalui senyuman sederhana yang megesankan dan tatapan mata tajam meyakinkan, Ia telah berhasil membius semua bebek dan akur dengan kemaunnya. Si nenek manggut-manggut sambil mengunyah kinang, berdiri menghampiri, mengulurkan telapak tangan kanannya menawarkan bersalaman.
Keguyuban ala mereka, berkwak-kwek bersama, berlarian beriringan, berebut makan dan buang air sembarangan menjadi hal terus mengasyikan. Si nenek menikmatinya. Ia akan segera mengangkat bilah penggiring jika ada bebek yang gemrungsung berjalan berlari di luar jalur, keluar jalur, maka para bebek berkekek-kekek berjalan setengah bungkuk sambil bernyanyi, sambil tertawa, ada yang menyikut kanan-kiri pura-pura bercanda, ada yang memang bercanda membangun suasana gembira bersama. Bebek-bebek yang sebelum bergabung berbulu warna-warni kini semuanya seragam, hitam agak kelabu mengkilap. Mereka sepakat akan terus membuat sang nenek senang, akan terus menjadikannya sebagai induk asuh tak tertandingi. Hanya si nenek yang mempunyai warisan karisma yang tak mungkin dipunya orang lain. Ia telah menjadi seorang pemimpin sejak lahir, bahkan sebelum lahir. Sebuah kepemilikan yang tak bisa dibeli atau pun ditukar.
“Hidup nenek mulia, hidup nenek mulia..!” Para bebek berteriak serempak mengelu-elukan sang nenek ketika naik panggung dengan latar belakang tembok bergambar lelaki dengan tatap mata tajam meyakinkan. Sayap mereka di kepak-kepakan dengan penuh semangat, sepenuh jiwa, sepenuh tenaga. Suaranya melebar keluar pagar rumah sebelah, menjadikan para tetangga mendengar dan mengintip.
Pada ruangan khusus, para bebek sering berdiskusi sambil menikmati makanan khusus dengan konsentrat dengan takaran yang sedemikian rupa sehingga lidah mereka sangat merasa nyaman dan enak. Mereka senang sekali dengan acara ini. Sering sekali tempat itu tidak cukup menampung peserta.  Beragam tujuannya memang, ada yang benar-benar ikut bersikusi dan aktif berbicara, ada yang sekedar ingin menikmati makanannya, ada yang sekedar mengomentari apa yang sedang menjadi topik pembicaraan dengan analisa ngawur untuk menjadi bahan tertawaan, ada yang seperti acuh tak acuh tapi mengikuti arah pembicaraan dan mengingat keputusan yang diambil, dan sibuk terus berpikir tindakan apa yang harus di tempuh dikemudian hari. Diakhir pertemuan para bebek berkwek-kwek bersama sambil melompat serempak sampai ke kandang untuk kemudian tidur mengarungi mimpinya masing-masing. Mimpi yang kadang dan sering diimpikan oleh bebek lain.
Tak banyak yang bebek yang peduli ketika ada lima bebek yang berdiam di atas telur-telur yang mengumpul pada cekungan-cekungan dengan alas jerami dan rumput kering yang tak lagi hijau. Hari pertama, kedua dan ketiga, mereka dianggap sedang bermalas-malasan karena ada diantara mereka yang suka begitu seharian. Dihari kelima kecurigaan yang tadinya tersimpan dalam benak masing-masing mulai keluar.
“Tak ada kaum kita, kaum bebek yang mengeram. Mereka bukan kaum kita, bukan jenis bebek seperti kita.”
“Tapi rupa mereka bebek. Bebek seperti kita.”
“Tapi mengapa mereka mengeram. Apa mereka mau merubah tradisi kita? Apa mereka mau membuat tradisi baru? Apa mereka bukan bebek asli?”
“Bisa saja. Coba kita perhatikan, bulu mereka tak seluruhnya seperti kita. Ada bedanya, coba perhatikan dengan seksama dan jeli.”
Para bebek berebut mengerumuni bebek yang sedang mengeram dan memperhatikan dengan sejeli-jelinya. Tak ada beda, sekilas atau dilihat dengan agak lama pun warna mereka sama. Jika nampak ada beda warna bisa saja karena sugesti pertama melihat. Mereka memang rapi sekali menyembunyikan bulu-bulu yang beda, jika pernah ada yang lihat itu karena ketidaksempurnaan menutupi bulu karena terlalu yakin telah begitu rapi.
Di hari ke tujuh, ketika para bebek sudah begitu riuh, kelima bebek itu bangun beranjak ikut makan yang disediakan oleh si nenek. Sesudah makan, dikerumuni bebek-bebek penasaran kelima bebek itu menjelaskan kelakuannya.
“Para saudaraku sebangsa bebek. Kita memang tak biasa, tak bisa, dan tak punya tradisi mengeram. Dan sekarang kami, akan dan telah memulainya. Jika kita bisa melakukan itu kenapa tidak kita lakukan?”
“Nada suaramu bukan suara ‘bangsa’  kita, kau bohong!” teriak bebek jantan muda di baris terdepan dengan sambil mengangkat kedua sayapnya tinggi-tinggi. Beberapa bebek yang lain berteriak membetulkan. Terjadi perdebatan tak tentu arah, semakin lama semakin ramai riuh rendah.
Salah satau dari kelima bebek itu mengakhiri ucapannya, “Maaf, kami akan terus melanjutkan kegiatan kami sampai telur-telur kami menetas. Kalian semua akan tahu nanti.”
Di minggu ke tiga hari ke dua puluh satu selepas dhuhur ketika bayangan sudah mulai lebih panjang dari bendanya, telur yang di erami lima bebek menetas. Menetas dalam waktu hampir bersamaan dengan selisih terlama 3 menit setengah. Ada dua puluh lima anak bebek yang langsung menguik bersahutan. Anak-anak bebek itu bulunya hitam berkilat-kilat, ekornya panjang seperti ekor burung dara dan paruhnya yang besar lancip dan tajam, jari-jari kakinya berkuku tajam tanpa selaput di sela jemari.
Para bebek berkerumun, berkwek-kwek heran. Beberapa ada menyeruduk menyerang penuh nafsu kecurigaan. Segera mendapat dukungan, bebek yang lain ikut menyerang dengan ganas. “Kalian pasti unggas lain yang akan merusak keberadaan kita!” tuduhnya. Tapi bebek yang baru lahir itu melesat terbang ke dahan pohon di atasnya. Di dahan mereka berubah menjadi rajawali gagah perkasa. Tanpa di komando mereka segera menyerang bebek-bebek di bawahnya. Para bebek pontang panting berhamburan mencari selamat. Si nenek yang sedang menonton tivi acara memasak istimewa untuk bebek, segera beranjak ke luar rumah.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi..?”
Para bebek serempak menjawab dari persembunyiannya, “Kwek... kwek.... kwekkkkk...!” bunyi kwekkwek lebih ramai lagi ketika para rajawali menyambar muka si nenek bergantian dan hampir membuatnya terjengkang. Beruntung tangan kanannya masih bisa menyambar tiang teras untuk berpegangan. Ia segera mengambil bilah penggiring. Diacungkannya pada rajawali-rajawali yang bertengger didahan, maka suara letusan melesatkan peluru dari ujungnya menyasar rajawali-rajawali. Para rajawali menghindar, menukik ke bawah menyerang bebek-bebek. Bebek-bebek tunggang langgang cari selamat. Beberapa ada yang kena patuk di kepala dan cakar rajawali, berdarah-darah. Bebek-bebek yang bisa terbang, segera melesat terbang sambil membuang kotoran. Di bawah kursi, di balik batu-batuan, di balik tembok, di bawah ranjang, di bawah meja, di bawah kandang bebek-bebek berebut bersembunyi.
Di atas panggung si nenek berdiri di belakang podium. Dengan suara gemetar menahan emsoi Ia berteriak, “ Tenaaang... semuanya tenang. Percaya pada saya, segalanya bisa saya atasi. Semua tenang dan tetap diam di tempat masing-masing!”
Para rajawali menatap tajam jalang ke bawah mencari bebek-bebek. Terus menyerang dan menyerang sampai senja mejelang malam, sampai hari menjadi gelap. Bebek-bebek bersembunyi rapi tanpa suara, lengang. Dengan gelisah si nenek masuk rumah, menyalakan tivi, membuat teh hangat dan duduk di kursi goyang di sebelah meja yang di atasnya berserakan remote control rusak.
Dipagi yang berkabut, si nenek baru terbangun  oleh  cucu-cucunya yang kadang biasa datang di hari minggu pada minggu terakhir. Seluruh lantai rumah kotor, bekas telapak kaki bebek-bebek memenuhi seluruh lantai. Lemari-lemari makanan terbuka, berserakan bekas bungkusnya. Si nenek segera berlari ke belakang rumah. Cucu-cucunya sedang bermain di kolam dengan tanpa seekor bebek pun mengganggu. Ia tak mendapati seekor bebek pun. Ia segera berlari terpincang-pincang ke panggung, berdiri gemetaran, “Bebek-bebek pulanglah. Kembali ke sini. Jangan takut pada rajawali-rajawali keparat itu. Aku akan membuatnya bertekuk lutut di hadapanku, menyembah. Pulanglah, kembalilah...”

Tak ada bebek yang menyahut. Tak ada yang datang. Sampai tengah hari, si nenek terus berteriak-teriak hingga suaranya serak, lirih, kemudian tak terdengar. Ia terkulai lemas di panggung bersandar pada podium. Cucu-cucunya menggotongnya ke kamar, ditidurkannya terlentang, dinyalakannya tivi dan mereka kembali bermain di luar.

Kamis, 01 Juni 2017

sirine pendek

Cerpen

Sederhana saja. Sebuah mobil yang dikendarai seorang wanita muda menjerit klaksonnya, seperti sirene pendek, di pertigaan lampu merah pas seorang pengendara motor menghentikan motornya sedikit mendadak tepat disampingya. Tak ada tatapan atau reaksi apapun dari wanita muda itu. Juga, nampaknya tak juga ada isyarat kalau suara klaksonnya sebagai peringatan bagi lelaki yang terkejut dan hampir terlonjak. Tetapi lelaki pengendara motor itu segera turun dari motornya dengan gerak geram. Dia ketok pintu mobil dengan keras. Wanita itu dengan nervous menrunkan kaca mobilnya, “maaf mas.”
“Jantung saya mau copot tahu, enak sekali maaf-maaf, mentang-mentang kaya, punya mobil klakson sembarangan.”
“Maaf mas, kepencet dagu tadi, saat mau mbeneri sandal.”
“Alah... alasan. Pengin saya bunuh apa?”
“Maaf mas. Maaf.”
“Kau kan, yang minggu lalu juga pencet sirene sembarangan?”
“Saya baru lewat di sini dalam bulan ini mas, sungguh.”
“Omong kosong!! Kau yang kemarin hampir menabrak adiku di jalan Sudirman kan?”
“Bukan!” Wanita itu menjawab bernada tinggi dengan sorot mata kesal tapi berusaha disembunyikan.
Bruakkk.... Kaca pintu pecah di hantam helm. Tangan berkaos tangan hitam menjangkau leher. Di belakang sepuluh klakson menjerit-menjerit, ada juga suara sirene. Lampu hijau telah nyala lebih dari setengah menit. Gas mobil di injak dan lelaki pemecah kaca itu terseret. Badannya terpental dan kepalanya membentur besi pelindung tiang lampu merah. Darah sedikit menetes, tapi nampaknya luka dalam membuatnya tak bergerak, pingsan. Dua pengendara motor mengejar dengan menarik gas penuh amarah. Dipepetnya mobil sedan itu dan dibentak agar berhenti. Mobil berhenti. Si sopir yang perempuan muda berkulit putih berkaca hitam menggigit bibirnya, ketakutan dan gemetar.
“Maaf, saya nggak sengaja.”
“Kenapa mau lari.”
“Bukan lari, mau berhenti di tempat yang aman, agar tak menggangu yang lain.”
“Alasan..!!!”
Bruakkkk.... Kaca di pecah, muka di tonjok. Rambut dijambak dan dan diseret keluar dengan kasar. Sandal yang dipakainya ikut terpental. Angin bertiup panas membawa debu kasar. Berkerumunlah orang-orang. Motor-motor dan mobil-mobil diparkir sembarang. Macet. Beberapa orang melerai, menahan tindakan kasar dua orang itu. Meski tetap ngotot mau mencederai, berhasil juga ditahan banyak orang dengan memeganginya beramai-ramai. Dua orang itu tenang sejenak, berjalan pelan ke motornya, menaiki. Sebelum menarik gas motornya salah seorang sempat mengancam dengan nada geram, “saya tahu siapa wanita itu. Ia bagian dari komplotannya. Ini sudah direncana. Kami tak akan tinggal diam!!”
Seperti lepas dari garis start balapan, mereka meraung-raungkan motornya dan melesat ke arah kota diikuti seorang yang tadi tampak pingsan. Baju lengan panjang warna abu-abunya berkelebat-kelebat dicabik-cabik angin. Dua orang membantu wanita muda itu masuk kembali dan memberi aba-aba parkir untuk melanjutkan perjalanan. Sepeninggal wanita muda itu, masih banyak orang yang masih di situ melepas rasa penasaran ingin tahu.
“Kenapa mas tadi?”
“Biasa mas. Di sini sering terjadi hal semacam itu.”
“Kejadiannya sama?”
“Tidak. Tapi kadang mirip-mirip.”
“Waktunya? Pagi? Siang? Sore? Malam?”
“Tidak tentu waktu pak. Kadang lama baru ada, kadang sering.”
“Di perempatan dekat tinggal saya juga begitu,” ujar seseorang yang baru datang menyela, “dan, sering sesuatu yang saya kira biasa saja menjadi hal yang besar, rusuh, tawuran. Entah siapa dengan siapa, entah kelompok mana dengan kelompok mana? Bingung saya jadinya. Dan kemudian menjadi berita nasional di seluruh televisi, di semua media sosial, di dunia maya. Riuh. Dan yang saya lebih heran lagi, beritanya menjadi jauh sekali dari kenyataan yang saya lihat. Menjadi berubah, tergantung pada kepentingan yang menulis.”
“Masa begitu pak? Kok sama seperti di sini?”
“Di tempat kami juga begitu pak.”
“Masa? Kok sama yah? Bisa begitu.”
Kerumunan itu mereda dan kembali semula. Deru berbagai kendaraan dan asap yang menyengat hidung berlomba-lomba mengotori udara. Langit kembali membara menguras keringat yang bersembunyi dibawah kulit berdaki. Beberapa orang menyeberang di zebra cross, beberapa orang menyeberang sesuka hati di mana tempat hendak memotong jalan, melewati pembatas jalan terbuat dari plastik warna oranye yang tiga diantaranya tergeser dari tempatnya.
Tak ada yang mengira, tiga orang pengendara motor berknalpot memekakan gendang telinga berhenti kasar di tempat bekas mobil tadi berhenti. Memarkir motor semi gede malang melintang menantang kepatutan.
“Kamu tahu siapa yang memukul wanita yang di mobil, tadi?” seorang dari mereka bertanya membentak sambil memlototkan matanya yang berkacamata hitam pada anak muda penjaga warung.
“Tidak bang.”
“Masa’ tidak tahu?! Kau lihat kan kejadiannya?”
“Lihat bang.”
“Terus, kenapa nggak tahu?”
“Apa harus tahu?”
“Harus..!”
“Saya bukan petugas sensus bang! Apa yang mengharuskan saya harus tahu? Mau apa jika saya nggak tahu?”
Dua temannya, bercelana jeans ketat berjaket kulit nampak geram menahan emosi. Dikepalkan kuat-kuat jemarinya, berdiri mengangkang, dengan bibir tersenyum sinis meremehkan. Badannya yang sedikit kekar bersikap menantang semua orang.
“Buanyak bacot kamu! Bener tidak tahu?” Nadanya meninggi, tangannya mengepal menunjuk muka.
Pemuda penjaga warung itu terdiam tenang. Saat tangan orang itu ditonjokkan ke muka, si pemuda dengan cekatan menangkapnya, memelintir, sebuah hook kiri menghajar rahang. Orang itu menggelosor. Dengan tambahan tendangan di tulang rusuk, cukup membuat orang itu diam meringkuk mencium aspal. Tak terima temannya di hajar, dua orang yang lain melompat menyergap. Dan dengan cekatan, layaknya Jacky Chen,  si pemuda bergerak cepat menyarangkan telapak kaki kanan kirinya ke kedua muka. Mereka terlempar ke belakang, jatuh tersungkur. Pemuda itu berjalan tenang ke warung, masuk ke ruang tengah, menghabiskan kopinya yang tinggal seperempat gelas, meraih HP, mencari nama kontak dan menelponnya, “Saya kira kamu sudah tahu.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut pemuda tenang yang membuat tiga orang sok jagoan tersungkur mencium aspal. Di luar rumah, tiga orang itu berdiri, menyetarter motor, menggeber-geber sebentar dan lari ke arah barat. Kembali seperti biasa di tempat itu.
Tak lebih dari sepuluh menit, tiga orang yang satu diantaranya terseret mobil, mengendari motornya beriringan dengan kecepatan sedang ke arah utara. Tak menerobos lampu merah, tidak juga melanggar marka jalan.
Di ujung jembatan tempat pemuda pemudi menghabiskan waktu sorenya menikmati aliran sungai, tiga orang berjaket kulit hitam berhenti. Seorang yang tersungkur pertama, meraih HP dari saku dan menelpon seseorang, “saya pikir pasti kamu sudah tahu.” Tak ada kata-kata lain, sepertinya di ujung sana sudah sangat mengerti kalimatnya. Mereka berbalik arah, dan melarikan motornya dengan sedang.
Saat terjadi serempetan mobil sedan dan motor bebek di perempatan lampu merah di tengah kota, di sebelah utara, asap tebal membubung di atas sebuah mall terbesar. Serentak sirene truk pemadam kebakaran meraung-raung menyingkirkan pengendara lain, datang dari empat penjuru angin. Mobil dan motor menepi memberi ruang. Komandan-komandan Polisi memerintahkan anak buahnya untuk segera merapat ke pusat asap. Jalanan menjadi kacau dan macet.
Dari dalam mall yang pucuknya terus membubungkan asap tebal, berlarian ribuan orang. Membopong barang-barang , meyeret, memanggul. Berlarian menyelamatkan diri, berlari-lari dan ada yang mencuri. Berteriak-teriak, “Awas.... awass... cari selamat.....!”  Semua cari selamat. Di gedung sebelahnya juga, berlarian tak tentu jalan. Berteriak-teriak, melonglong-longlong. Anak-anak menjerit-jerit mencari bapak-ibunya, gadis-gadis bersembunyi, pemuda-pemuda menghunus kayu dan golok. Orangtua-orangtua berlari-lari mencemaskan anak-anaknya. Asap membubung lagi di sebelah timur, di sebelah selatan, di sebelah barat. Penghuni seluruh kota keluar rumah. Berteriak-teriak histeris, “kota kita sudah tidak aman...”
“Tapi kita mau kemana”?
“Ke kota sebelah.”
“Disana juga tak aman.”
“Disana juga begini?”
“Iya.”
“Lho, tahu dari siapa? Kok bisa tahu?”
“Iya.’
Seluruh lampu pengatur lalu lintas di perempatan dan pertigaan jalan tak berfungsi. Ada yang mati, ada yang berkelap-kelip berganti warna nyala tak teratur, ada yang mati satu arah jalan. Jaringan listrik terputus di tempat-tempat umum. Pipa-pipa air tersumbat. Karyawan SPBU berlari ketakutan tempat kerjanya dibakar. Semua kekacauan terjadi dengan sangat cepat seperti efek domino. Di langit, asap megumpul menggumpal memayungi, diam tak bergerak. Tak ada angin bertiup yang membawanya.
Menjelang senja kekacauan dan asap masih membubung di banyak tempat di empat penjuru angin. Berbagai upaya seperti sia-sia, karena satunya beres teratasi, muncul lagi permasalahan baru yang lebih menakutkan. Tak ada seorang pun yang berani di dalam rumah, karena dapat saja sewaktu-waktu terbakar dan meledak.
Seorang wanita muda berkulit putih berkaca mata hitam mengendarai mobil sedan, melaju dengan kecepatan sedang menelusuri jalan-jalan protokol, jalan-jalan pemukiman. Kaca pintu depan kanan tampak baru dan dibiarkan tanpa dilapisi kaca-film seperti kaca lainnya. Kepalanya tegak lurus kedepan, rambutnya tergerai sebahu masih nampak basah dan tak terlalu lebat. Sesekali matanya melirik spion meyakinkan kanan kiri aman dari kendaraan lain yang sebenarnya jalanan sedang sepi.
Di depan alun-alun, Ia berhenti. Tanpa keluar dan tak mematikan mesin, Ia menelpon, “cukupkan saja. Jangan terlalu parah. Akan repot nanti jika terlalu parah.” Nadanya datar tanpa ekspresi, tanpa emosi.
“Siap boss.” Yang di ujung sana menjawab tegas tanpa ragu.
Wanita itu menelpon yang lain lagi, enam kali lagi, dengan kalimat yang sama, dengan nada dan intonasi yang sama dan mendapat jawaban “siap boss” dari orang yang posisinya sudah diketahuinya.
Cukup 25 menit, asap-asap dari gedung-gedung yang  terbakar, reda. Sebelum adzan maghrib berkumandang, kondisi kota sudah kembali normal. Lampu-lampu pengatur lalu lintas dan lampu-lampu jalan berfungsi kembali. Ibu-ibu kembali menonton sinetron di televisi yang tak pernah ada endingnya, yang lakonnya jika bicara dalam batin suaranya terdengar jelas, takut ekspresi wajahnya tak sesuai. Anak-anak kembali menekuri gadget. Bapak-bapak sibuk berkomentar di grup WA.
Esoknya, ketika wanita muda berkulit putih berkaca mata hitam, di lampu merah perempatan jalan, klakson mobil sedan yang ditumpanginya menjerit mengagetkan pengendara di sekitarnya, semua diam. Membiarkan seolah tak terjadi sesuatu yang mengagetkan. Ketika lampu hijau nyala, semua berlari tanpa menghentak gas. Wanita muda itu memutar lagu regae, tak terlalu keras tak terlalu lemah. Dagunya mengikuti alunan musik dan bibirnya tersenyum berubah-rubah.

November 2016