Label

Senin, 30 September 2024

BETERNAK KEKUASAAN

Kekuasaan itu mengasyikkan, nikmat dan candu. Memanfaatkan kekuasaan yang sudah diperolehnya menjadi keasyikan tersendiri. Keasyikan yang terus berubah setiap saat dan setiap kesempatan. Keasyikan yang didamba semua orang pemburu kekuasaan. Jika kekuasaan tak mempunyai keasyikan, tak ada orang yang mau berburu dan berebut kekuasaan. Ia candu yang bisa melupakan segalanya. Melupakan norma-norma di sekitarnya. Mempertahankan, memanfaatkan kekuasaan dan memperoleh kemenangan menjadi menjadi keasyikan yang terus menerus dinikmati. Menjadi hobi.

Sebuah kesenangan tak begitu saja di tinggalkan, tak akan di buang. Jika memperolehnya dengan susah payah dan berdarah-darah, kenapa harus mudah melepaskannya demi apapun alasannya. Tak peduli alasan tentang kebaikan-kebaikan yang disarankan para pengamat dan para penonton. Mereka juga ingin berkuasa, ingin kekuasaan berada ditangannya.

Mempertahankan kekuasaan juga sebuah keasyikan. Memperolehnya juga mengasyikan. Dua-duanya bisa berjalan bersama supaya selama hidupnya kekuasaan tetap berada padanya, dan atau berada pada orang-orang di sekelilingnya supaya ia tetap berkuasa meski sudah tidak pada kursi utama kekuasaan. Untuk itu, membangun jaringan kekuasaan harus dibuat sebelum waktu dan aturan membatasi. Dibangun dengan cara apapun, memanfaatkan seluruh alat yang bisa dimanfaatkan.

Kekuasaan diperlukan jaringan. Jaringan kekuasaan tidak cukup satu dua kelompok yang tunduk padanya. Diperlukan banyak sekali orang dan kelompok-kelompok yang mendukungnya. Orang dan kelompok yang juga sedang membangun kekuasaan untuk mencari waktu yang tepat supaya kekuasaan berada pada genggaman tangannya. Mereka beternak jaringan kekuasaan. Saling terkait dan mencari waktu yang tepat untuk merebutnya. Mereka yang tergabung dalam lingkaran penguasa, juga sedang beternak kekuasaan agar menjadi penguasa utama, bukan sekedar ikut menumpang berkuasa. Mereka membangun bersama, bersama anak, sanak family, teman, karib. Mereka terus menerus beternak supaya kekuasaan tetap berada dalam lingkaran saudaranya, dalam lingkaran orang-orang dekatnya. Tak ada dari para peternak kekuasaan yang dengan rela menghibahkan kekuasaan pada orang lain yang ia sendiri menjadi samasekali tak berpengaruh dalam dinamika kekuasaan. Para peternak kekuasaan itu akan beternak terus menerus supaya anak, cucu, cicit dan semua garis keturunannya dapat berkuasa.

Mereka beternak dengan memikat rakyat, dengan bermanis-manis, berjanji, berbohong, merayu, bercitra baik, mengemis, mengelabui. Semua dilakukan. Mengesampingkan norma-norma yang masih dianggap berlaku. Karena kekuasaan itu nikmat. Memperolehnya pun nikmat.

Wnj.23:47 30.09.2024

Sabtu, 28 September 2024

KOTAK KOSONG

kotak kosong
Menyodorkan satu pasangan calon, seperti memberi pilihan “paksaan”. Jika kau tak memilih calon tunggal, akan banyak biaya dan waktu yang terbuang bila kotak kosong yang menang. Demokratis kah? Tergantung dari perspektif mana menjawab pertanyaan itu.

Kotak kosong juga pilihan. Memilih kotak kosong tidak menyalahi aturan, suaranya sah. Mengkampanyekan kotak kosong juga tidak menyalahi aturan yang ada. Hanya saja yang mengkampanyekan kotak kosong harus siap dengan hukuman sosial terutama dari pendukung pasangan calon yang ada (bukan kotak kosong). Dan hukuman sosial semacam itu rasanya akan lebih berat dan tebal dibanding saat pilkada ada lawannya. Meski pada dunia politik, saling menghujat menjadi hal lumrah dan tak bisa dihindari. Saling curiga, sengaja curiga, mengarahkan orang lain untuk tidak berpandangan yang baik pada lawannya terus ditebarkan sampai batas waktu ditentukan pemenangnya.

Kenapa calon tunggal? Bukankah banyak sekali di wilayah itu orang yang berpotensi menjadi pemimpin selain calon tunggal itu? Itulah politik. Ada tawar menawar dan perhitungan untung rugi. Untung rugi secara kekuasaan dan finansial.

Para ketua partai politik pasti ingin punya kekuasaan di wilayahnya, ingin membangunnya dan mempertahankannya. Jika partai politiknya mengajukan calon dengan perhitungan berat untuk menang, Ia akan cara lain agar tetap eksis dalam ikut berkuasa. Berdampingan bersama tapi masih punya kekuasaan akan dirasa lebih nikmat ketimbang berebut kekuasaan dengan resiko kalah. Jika kalah, perlu muka tebal untuk bergabung dengan yang menang supaya mendapatkan kue kekuasaan selama lima tahun. Tawar menawar ‘kue’ menjadi lebih mahal jika pada posisi sebagai pecundang. Maka berkompromilah sebelum pertandingan untuk bersama-sama menikmati kekuasaan tanpa bersusah payah berebut dalam gelanggang pilkada.

Bisa jadi, pintarnya paslon tunggal melobi paslon lain yang kelihatan mau muncul menanantangnya. Ada deal-deal politik, transaksi politik di dalam ruang tertutup di meja makan dengan berbagai menu yang semuanya enak. “Sudahlah, nggak usah buang-buang biaya dan tenaga untuk pilkada ini, saya ganti semuanya kemungkinan biayamu jika mengajukan paslon. Kami manfaatkan bersama jika saya bisa menang melawan kotak kosong. Ini akan lebih bermafaat bagi kita disini dan bagi rakyat.”

Kotak kosong itu pilihan. Dan, kotak kosong menggiring kita pada sangkaan; ada apa di sana? Pertimbangan apa yang menguntungkan para politikus penentu kebijakan partainya.

Dan, jika partai kosong menang, itu bukan saja tidak suka dengan paslon tunggal yang disodorkan, tapi juga bentuk kekecewaan voter terhadap kondisi yang menyebabkan muncul calon tunggal. Demokratis kah itu? Sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal, ternyata pilihan yang disodorkan kepada rakyat ditentukan oleh para pimpinan partai dengan pertimbangan untung rugi dari sudut pandangnya.

Kotak kosong itu pilihan juga. Yang kecewa bisa ditampung di kotak kosong. Yang tidak setuju dengan paslon yang diajukan bisa pilih kotak kosong. Yang abstain?

Wnj, 11:26 28.09.2024

Senin, 23 September 2024

DRAMA POLITIK

Selalu ada drama politik dalam kompetisi perebutan kekuasaan. Siapa yang menyebutnya drama dalam kejadian politik, mereka pasti terlibat secara emosi pada apa yang disebutnya drama. Disebut drama karena tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seolah kejadian yang diharapkan adalah yang terbaik bagi negara dan semua rakyatnya. Seolah, jika para penguasa bertindak seperti pendapatnya, negara akan lebih baik dari sekarang.

Siapa yang menyebut drama politik? Mereka yang kaget atas perilaku politikus yang di luar prediksinya. Mereka berpikir, para politikus semua harus berperilaku dalam koridor yang sesuai dengan pemikirannya. Mengapa harus kaget dengan perilaku politikus? Bagi mereka yang mendukung para ‘pembuat’ tidak akan kaget dan menyebut tindakan itu sebagai manuver cantik politik.

Perubahan arah keputusan dalam politik sebuah hal yang sangat lumrah. Memilih kawan dan lawan bisa berubah-rubah sesuai dengan prediksi dan tafsir masing-masing politikus untuk memperoleh keuntungan dan mendukung tujuannya memperoleh kekuasaan. Norma sosial dan norma kepatutan menjadi dikesampingkan. Norma hukum diakali agar lepas dari jeratan hukum meski dengan cara-cara yang memalukan. Karena, kalah lebih memalukan dan menyakitkan dari pada menghindari malu dalam bertanding.

Tak ada drama politik yang sesungguhnya jika dilihat dari kacamata “politik” yang memang tujuan utamanya adalah mendapatkan kemenangan. Kalah itu bukan pilihan. Kalah itu keadaan yang harus diterima ketika pertandingan telah berakhir. Siap kalah itu jika sudah tak bisa lagi berupaya untuk menang meski dengan berbagai cara. Sebelum kalah itulah semua dilakukan. Dan yang tak suka dengan caranya itulah yang menyebut tindakannya sebagai; drama politik. Dan si pelaku tak menyebutnya demikian.

Wnj, 12:56 23.09.2024

Sabtu, 21 September 2024

MENCEDERAI DEMOKRASI

 


Demokrasi cedera? Cedera itu jika berbentuk fisik. Demokrasi itu sebuah sistem dalam bernegara yang saat ini dianggap paling baik dalam bernegara. Paling baik bagi Negara Indonesia, atau bagi para pendukung demokrasi. Jika kemudian ada ungkapan mencederai demokrasi, itu artinya demokrasi menjadi tidak normal karena ada sesuatu tindakan yang membuat demokrasi cedera.

Normalnya demokrasi itu kayak apa si? Jika semua pelaku politik dan rakyat berlaku jujur, baik dan sesuai aturan yang telah disepakati bersama dalam perebutan kekuasaan dan pemanfaatan kekuasaan, mungkin itu yang disebut demokrasi yang sesuai dengan pengusung demokrasi. Teori demokrasi itu pasti baik, karena dibikin oleh orang yang sadar dan waras dalam kondisi tidak berkepentingan dengan kekuasaan, dengan berangan-angan bahwa kekuasaan itu sebagai amanah yang harus dijalankan dengan baik tanpa memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.

Dalam perebutan kekuasaan di dunia demokrasi, harus ada dukungan dari pemilih. Si pemilih mau mendukung peserta perebut kekuasaan jika ada yang menguntungkan bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi kelompoknya. Persepsi menguntungkan menjadi perdebatan karena semua orang punya pendapat dan keinginan pada proses perebutan kekuasaan yang berbeda-beda. Sesuatu akan terasa adil jika menguntungkan bagi dirinya sendiri. Walaupun jika ia berada di luar, sesuatu tindakan yang terasa tidak adil, jika ia diuntungkan akan menikmatai dan membela sebuah ketidakadilan itu.

Dalam demokrasi, pemilh menjadi unsur sangat penting. Undang-undang dan peraturan lain menjadi pendukung untuk menghimpun pemilih supaya terpikat atau terpaksa memilih karena ada ancaman lain jika tidak memilih pada salah satu kontestan dalam perebutan kekuasaan. Para perebut kekuasaan akan mencari cara agar dalam pemilihan umum mendapat suara terbanyak. Satu orang satu vote, tak peduli dengan ketokohan, kepintaran, kekayaan, jabatan. Sama dan satu suara.

Dalam politik, perebutan kekuasan itu hanya dua kemungkinan; menang atau kalah. Perkara setelah nanti kalah kemudian bergabung dengan si pemenang dengan agar tetap mendapat kekuasaan, dengan alibi demi persatuan dan kesatuan negara, itu soal lain. Dalam bertempur di pemilu, apa saja akan dilakukan supaya mendapat suara terbanyak. Apapun, baik atau tidak baik. Mencari simpati, pencitraan, intimidasi, menjatuhkan lawan, menyebar hoax, memfitnah. Semua perangkat yang bisa dikendalikan akan dimanfaatkan untuk memperoleh suara. Yang tidak mendukung pun akan diupayakan supaya bisa memilihnya. Mereka melepas norma demokrasi, norma sosial dan norma hukum. Mendapat suara terbanyak menjadi tujuan tunggal. Aturan-aturan yang bisa menghalangi dan menghambat diakali agar bisa menguntungkannya. Yang ada di pikiran mereka, jika tidakmendapat suara terbanyak berarti kalah, dan kalah bukan sesuatu pilihan.

Para politikus selalu mempertimbangkan menang dana kalah. Jika dalam perebutan kekuasaan mereka berperilaku sesuai dengan ‘keinginan’ demokrasi dan itu membuatnya jadi kalah, mereka akan mengesampingkan koridor demokrasi. Demokrasi itu catatan di buku yang disimpan di lemari buku di belakang meja kerjanya sebagai pajangan. Semua alat untuk memperoleh demokrasi di seting supaya memperoleh suara terbanyak. Perilaku dan kalimat-kalimat pemikat disusun supaya para voter percaya sampai hari H pemilihan dan memilihnya.

Para pengusung demokrasi berkeinginan demokrasi berjalan sesuai dengan teori. Mereka beranggapan jika demokrasi berjalan dengan baik, maka akan menghasilkan pemerintah yang menjalankan pemerintahannya dengan baik dan semua komponen negara berjalan pada fungsinya masing-masing. Mereka hanya bisa berteriak jika ada yang salah atau tidak sesuai dengan yang mereka impikan. Ada yang peduli, ada yang apatis, ada sekedar menyimak, ada yang cuek. Apakah betul demokrasi sebuah sistem terbaik dalam menyusun pemerintahan dalam sebuah negara?

Demokrasi terbaik? Jika di sebuah wilayah pemerintahan, warganya sebagian besar para penjahat, kemudian dalam sebuah pemilihan kepala daerah si ketua penjahatnya yang menang, di situ apakah demokrasi itu baik? Tapi, baik atau tidak baik juga subyektif.

Wnj, 11:35 21.09.2024

Senin, 17 Juni 2024

MUNGKIN DIA DULU GAGAH

masih bertatap mata galak, liar. dia berharap begitu. dan yang nampak keredupan, tak ada sinar dari bola mata yang dijalangkan. langkahnya bergoyang, limbung menahan beban badan yang kurus mengering.

di keramian perempatan jalan ketika pagi, dia berdiri, mengatur lalu lalang kendaraan. kadang tangannya mengepal diacungkan. dia bangga, para pengendara berpelan lajunya, “mereka takut aku,” pikirnya. batuknya yang mengguncang punggung disembunyikan dengan bereteriak dan serak tak tuntas.

ibu-ibu yang lewat, “apa nggak ada keluarganya? dibiarkan kakek itu terhuyung-huyung di tengah perempatan jalan.”

anak-naka smp mentertawai. mengeraskan suaranya ketika kakek itu membentak. ketika menyemburkan ludah yang lengket di bibir.

dia masih terasa gagah. merasa berpengaruh. merasa ditakuti. usia dan waktu telah menggerogoti. dia tak merasa itu.

langkahnya ditegapkan. tapi limbung dan terhuyung. sudah tua, dan tak merasa.

tangannya masih ingin menggenggam, tapi jemarinya sudah kaku dan tak menyentuh telapak.

ketika teriakannya tak didengar, ia terus berteriak. dan tak ada yang merasa mendengar.

 Djayim, 21:56 17062024

Kamis, 14 Maret 2024

LANGIT-LANGIT BERGANTI WARNA

 



Sudah lama sekali aku tak mendengar namaku dipanggil. Bahkan seperti lupa siapa namaku. Tak ada yang mengenalku. Semua serba tak tentu. Makan sedapatnya tak tentu, tidur dimana mata mengantuk. Berhenti selelah kaki melangkah. Nomaden, berganti-ganti jalan yang dilewati, berganti-ganti langit yang memayungi, berganti wajah tertemui. Semua tak peduli. Semua tak mengerti dan tak mau mengerti. Suara-suara asing silih berganti membawa hati dan pikiran ke alam yang tak dimengerti. Tak ada rasa jemu, tak ada rasa senang. Datar dan biasa-biasa saja. Mengalir seperti air di sebuah sungai besar ketika kemarau. Berjalan seperti angin dini hari yang lambat, dingin menusuk seluruh persendian. Belantara alam dengan segala fasilitas manusia yang terus menerus bertambah, terus menerus beragam. Selalu bising namun lengang di telingaku, selalu ramai lalu lalang tapi sepi di mataku yang kosong dimasuki sinar yang berpendar-pendar bergonta-ganti warna.

Ini sudah menjelang subuh atau masih dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama saja. Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak tentu nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut agar bisa tidur dan melepas lelas sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para pekerja keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur menjadi sebuah kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu. Tak ada tanda atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura jadi orang gila agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan hartanya. Tapi untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu agak lama untuk belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang mengasyikan menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan akan menjadi permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku telah begitu banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap kedamaian dan keindahan mendekat pada sang pencipta.

Pagi menjelang siang. Meski kabut masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti, duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas. Suara adzan subuh membawaku ke masa kecil. Ketika menjelang maghrib kami berlari-lari menuju masjid untuk maghrib berjamaah dan seusai shalat mengaji dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin seperti dia. Semua polah tingkahnya mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku ingin mengaji kembali. Masih ingatkah Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat maklum. Tak ada yang mengenal aku sekarang.

  Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Saya sangat kangen pada suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali pupusnya harapan untuk memilikinya. Hal yang tak perlu diingat, buang-buang waktu dan tak bermanfaat. Yang terpenting sekarang, aku harus mendapatkan makanan, dan para penjaja makanan pagi hari sudah siap di lapaknya masing-masing, bukan hal yang sulit bagiku untuk mendapatkannya, dan itu hal yang selalu ingin dihindari, selalu berjanji untuk yang terakhir kali. Keadaan selalu menjadi alasan.

Pada sebuah proyek pembangunan mall dua puluh lantai aku melamar untuk menjadi kuli. Tak perlu bersusah payah untuk bisa diterima. Tak perlu daftar riwayat hidup, tak perlu surat lamaran yang dilampiri ijazah dan sertifikat ini itu, cukup memperlihatkan niat untuk bekerja kasar. Saya di terima oleh mandor yang sepertinya aku mengenal wajahnya. Banyak sekali orang yang berwajah sekilas mirip, saya tak tertarik untuk menelusurinya, tapi aku ingat sebuah nama, Jarkun. Ini sebuah awal untuk baik, pikirku, walau sebenarnya saya bisa saja tak perlu kerja keras sepanjang hari untuk mendapatkan uang. Banyak sekali material proyek yang saya bisa ambil dan para penjaga tak tahu. Sebuah keahlian yang tak saya suka sebenarnya.

“Darimana mas?” tanya seseorang ketika menjelang malam di dalam bedeng tempat kami berdesakan tidur seperti ikan di kolam penampungan. Pertanyaan yang sulit aku jawab. Saya tak punya alamat yang tetap. Tak ada kepala desa atau lurah yang punya catatan namaku. Saya jawab sekenanya.

“Dari sini saja.”

“Masa orang sini mau kerja macam beginian.”

Saya hanya tersenyum, merasa tidak perlu penjelasan panjang lebar.

“Kemarin kerja dimana mas?”

“Di sana. Proyek perkantoran,” jawabku sekenanya. Saya membetulkan sarung dan menuju tidur melepas lelah raga dan berharap tak ada lagi pertanyaan yang tak penting lagi. Semoga nyamuk tak mengganggu, doaku. 

Berbulan-bulan, lupa berapa hari berapa minggu, bekerja, istirahat, makan, tidur tanpa dengar berita dan tanpa nonton tivi terasa nikmat tak terganggu. Aku menikmati sehat yang Tuhan berikan dan lelah yang mengantarku tidur nyenyak.

Seorang pelayan warung makan, tempat biasa kami makan dan berutang, yang juga anak empunya warung, memperlihatkan rasa hatinya padaku. Lama saya biarkan, Ia malah tambah penasaran. Pernikahanku yang pertama yang umurnya dua tahun kurang dua bulan dua hari, membuat aku bersikap biasa-biasa saja terhadap wanita yang menampakkan cintanya padaku. Kami nekat kawin lari. Orang tua Liswati, nama istriku dulu, tak merestui. Saya maklum, saya tak punya kerjaan tetap, hanya berpenghasilan dari kerja serabutan, kadang berjualan asongan, di pasar, di terminal. Cinta memang buta, saya sudah membujuk Wati untuk menurut orangtuanya karena saya tak sanggup membahagiakan secara materi, Ia malah ngotot makin nekat. Ia minta saya menunjukkan cintaku dengan berani kawin lari. Jadilah kami nikah siri. Saya tak tahu apakah itu sah menurut agama atau tidak, yang penting saya merasa nyaman dan aman dengan memegang buku nikah entah palsu atau tidak. Seseorang yang pandai ngomong bahasa Islami, dengan do’a-do’a berbahasa arab, memakai pakaian pemuka agama, mengantar kami menjadi suami istri.

Tiga bulan kami menikmati cinta dengan kesederhanaan. Di kontrakan yang hanya satu kamar, makan seadanya, pakaian yang itu-itu saja. Semua nikmat, indah, penuh cinta, penuh canda tawa, dan sering mentertawakan orang-orang yang harus bersusah payah kerja keras mencari uang untuk membeli kebahagiaan, padahal bisa didapat dengan gampang, kapan saja, di mana saja, dengan kondisi apa saja. Ah, begitu riang dan ringannya hidup kami kala itu. Dan waktu menggerus semua itu. Sesuatu yang sederhana yang dapat kami nikmati menjadi membosankan bagi istriku. Ia ingin kebahagiaan lain lagi, ingin seperti yang lain, yang lebih, yang belum ada. Kami mulai berbeda pandangan, berbeda filosofi. Mencoba terus bertahan, menjadi tak bisa dipertahankan ketika istriku mencari kebahagiaan dengan orang lain, dengan lelaki lain. Saya cukup melupakannya dan tak perlu repot-repot ke pengadilan untuk proses perceraian. Sebuh kemudahan dari kawin siri, cukup membuang buku nikah, membuang cinta. Tak perlu dirasa tentang hati yang lara.

Kini, Saidah bin Kusnam mengajak hatiku untuk hidup berdua. Dengan pandangan matanya yang sayu hanya padaku, mengharap sepenuhnya, bahwa dunia akan indah bersamaku. Saya membalas dalam hati, ‘aku tak bisa meramal tentang keindahaan waktu di masa nanti.’ Ia tak mengerti, karena memang aku tak memberinya tahu. Bila Ia kusapa dengan sederhana, Ia akan bergairah sepanjang hari, di matanya terpampang kesuksesan usaha jika bersamaku. Aku mengerti, teman-teman kerjaku menyemangati, “Ayolah, jangan bikin nona manis putri pemilik warung langganan kita kecewa. Nanti kita tak boleh mengutang jika Ia kecewa. Kau akan menjadi menantu kebanggaan Pak Kusnam. Kau akan dibikinkan warung lagi dan tak perlu kerja jadi kuli seperti sekarang ini.” Tiga bulan aku biarkan keadaan itu, menggantung hati Saidah pada awang-awang yang tak terbaca.

Aku memutuskan untuk pergi sebelum Saidah benar sepenuhnya memutuskan untuk hidup bersamaku. Saya merasa akan banyak masalah, saya merasakan itu. Ketika malam baru selangkah melewati puncaknya, saya beringsut pergi. Beberapa pakaian saya bawa dalam tas punggung yang tidak begitu besar, dan yang lain saya biarkan. Seisi barak tak ada yang melihatku pergi saya rasa.

Ketika pagi belum sempurna melepas kabut, saya terbangun di emperan toko di pinggir pasar agak ke ujung timur. Suara wanita menjerit histeris dan kerumunan warga membawa langkahku ke pusat suara. Seorang wanita perawan terbunuh. Darah mengucur di perut dan di sela payudaranya dan dibagian tengkuk kepala. Wajahnya masih utuh, terpejam tak rapat dengan mulut sedikit terbuka menebar senyum. Saya terlonjak, wajah itu kenal, sangat kenal, Sidah. Saidah binti Kusnam. Kenapa Ia harus mati di sini? Kenapa harus di dekat saya? Kenapa ada yang tega membunuh gadis secantik dia?

Ada penyesalan menyembul di ruang dadaku. Jika saja aku tak pergi, mungkin Saidah tak mengikutiku dan tidak terbunuh di sini. Mungkin para begundal telah memperkosa dan membunuhnya selagi Ia hampir menemukanku. Mungkin jika saya tetap di sana dan melindunginya, Ia tak akan seperti ini. Cepat-cepat saya berlari mengabari Pak Kusnam. Ia melongo, terhuyung kemudian saya bimbing duduk. Istrinya langsung pingsan jatuh pada sisi meja menggelosor ke lantai, luluh seperti tak bertulang. Saya ikut berbelasungkawa dengan ikut sibuk mengurusi jenazah Saidah, seorang yang berani menyatakan cinta tanpa bertitip kata, dengan sedikit menunduk tersipu penuh makna.

Aku melanjutkan pergi, seperti biasa, sesal adalah hal yang dengan gampang aku membuangnya. Begitu banyak hal yang telah bikin saya bisa begitu. Tapi, Saidah terasa lain. Aku menghampiri tempat Saidah ditemukan saat malam hampir membungkus senja. Tiba-tiba sekawan polisi menyergapku. Merasa akan kalah, aku tak melawan dan tak bicara. Ada empat, atau lima, mungkin enam polisi meringkusku dan mendorong dengan kasar ke dalam mobil yang kanan kirinya berjendela kawat. “Kamu ditahan! Semua barang bukti yang kami temukan mengarah padamu. Kau tersangka utama pembunuh Saidah”

“Tidak mungkin Pak, dia mencintai saya dan saya sangat tidak mungkin melukai orang yang mencintai saya.”

“Semua alat yang dipakai untuk membunuh Saidah, punya kamu.”

Di kantor Polisi, saya melihat baju, topi, dan palu sebesar kepal yang biasa saya pakai berlumur darah. Aku diam. Sesorang telah memakai itu agar tuduhan mengarah ke saya. Saya mencurigai seseorang sebagai dalangnya dan juga seseorang sebagai esksekutornya. Saya yakin, persaingan dagang dan cinta yang diabaikan menjadi pemicunya.

Sikapku yang diam, tanpa perlawanan, tanpa banyak bicara, tenang, membuat penjagaan agak longgar. Tak sulit bagiku untuk mengelabui mereka dan berlari menghilang. Sekelebatan saya bisa mengambil kunci borgol yang tergantung dipinggang polisi terdekat dan melesat menghilang di kegelapan malam dengan lampu-lampu penerang jalan.

Seperti biasa kesukaanku memulai, sesaat selepas puncak malam, saya telah menemui jejaknya. Ia tampaknya sedang bergembira terbebas dari kejaran polisi, tertawa-tawa sambil bermain kartu disebuah pos ronda yang jarang dipakai. Sebilah besi sebesar ibu jari kaki saya sabetkan di tengkuknya. Ia terjerembab langsung tak bergerak. Tiga temannya kaget, hendak melawan tapi langsung saya ancam. Mereka mundur, saya pegang lehernya salah satu, yang dua lari terbirit. Saya pergi dengan langkah seorang penjudi yang menang, meninggalkan seorang yang berdiri terpaku menatap mayat yang masih hangat. Saya tak berlari sembunyi. Membiarkan saja seperti tak ada apa-apa. Batang besi saya lemparkan pada sebuah got sedalam setengah meter dengan air hitam berbau, satu setengah kilo dari tempat aku mengeksekusi mati. Mau ditemukan polisi juga tak masalah, tidak ditemukan pun, biasa saja. Masker yang kukenakan tak cukup untuk mereka mengenaliku. Jika mereka mengenal pun, bukan persoalan.

Penjara tak jadi soal. Tak ada orang yang akan menangisi, tak ada orang yang merasa kehilangan, banyak temanku menunggu di sana. Apa Saidah merasa senang dengan yang saya lakukan, aku tak mengerti. Saya hanya ingin menghilangkan orang yang tak punya hati.

Di terminal antar kota, aku tidur pada sebuah bangku tunggu penumpang. Gigitan dan suara nyamuk yang mendesing terus menganggu. Aku tak lelap tidur, sampai sebuah bis paling awal di hari itu berangkat. Saya melompat naik, duduk di kursi paling belakang yang masih kosong dan melanjutkan tidur dan gagal. Mesin bis menderu menerobos udara dingin berkabut yang lembab. Pepohonan di kanan kiri jalan diam tidur tak menggerakkan sedikit pun daunnya, membiarkan satu dua kendaraan yang melaju bisu. Sebuah perjalanan panjang. Tak ada klakson menjerit. Di beberapa tempat di depan perkantoran atau perumahan, satpam membikin perapian untuk menghangatkan badan.

Tak tahu berapa waktu yang telah tertempuh, berapa tanjakan, tikungan, berapa kali berhenti mendadak. Sudah banyak penumpang, lebih dari setengah bis. Pada sebuah jalan yang kanan kirinya terbentang padang rumput dengan pohon-pohon rindang yang tak begitu rapat, bis berhenti. Kondektur menghampiriku dan mempersilahkan saya untuk turun.

“Katanya mau turun di sini, Bang?”

Saya bingung, melongo, kaget. Saya merasa tak pernah minta untuk diturunkan dimana pun. Tak perlu komen, tanpa merasa terbebani kakiku melangkah turun menapaki tangga pintu bis. Matahari baru saja terbit. Sinar semburat-kuningnya mewarnai seluruh alam. Bayangan pohon yang tumbuh jarang di padang rumput menari-nari. Sebatas mata memandang, ada nampak pemukiman di ujung savana. Masih dengan kaki yang sama, aku berjalan. Mengikuti bayangku sendiri yang semakin lama semakin tak panjang. Langit di atas kepalaku selalu berubah warna, meski tetap biru.

Seorang wanita, nampaknya seorang gadis, berlari kearahku dengan muka yang tertutup rambutnya yang ditiup angin selatan. Ia langsung memelukku dengan erat.

“Saidah? Kau masih hidup?” yang ditanya bingung. Tapi Ia bukan Saidah, atau Ia Wati, Cici, Dini, Yayu, Sri, Eka, Dwi, Ceuceu, Mi, Mao, Na, Janah, Sumi, Sisi, Sasa, Tata, Rindu, Ayu, Nur, Imah, Yayah, Nita, Nia, Ati, Siti, Susi, Nana, Kanti, Nunu? Bukan. Wajahnya berubah-rubah. Angin yang terus mengurai rambutnya membuat aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya yang terus didesakkan di bahu kiri.

“Aku akan membawamu Mas?” Suara yang pernah aku kenal, entah siapa, mungkin suara tukang sayur yang sering lewat sambil teriak-teriak menawarkan sayurannya, yang kemudian jatuh cinta padaku dengan membabi buta dan rela melakukan apa saja demi untuk bercinta denganku. Tapi, bukan. Aku terdiam dan tak mengerti. Mau dibawa ke mana aku, sedang Ia sendiri tampak tak beres. Mungkin saya akan dibawa ke alamnya, alam kematian.

“Saya tak tahu arah di sini, seperti dimana pun begitu. Jika kau bawa aku ke langit yang berbeda. Yang bukan hanya langit biru dan jingga.”

Angin berhembus tak tentu arah, sinar Matahari meredup, angin berhenti di sekelilingku. Aku renggangkan pelukannya agar bisa melihat wajahnya. Wajah yang aku kenal dengan senyum datar di kedua sudut bibir, tapi aku lupa entah siapa.

“Mari.” bisiknya.

Seketika, angin dari seluruh penjuru berlari ke arahku. Berdua kami terbang melesat dibawa angin. Langit diatasku berwarna-warni, berjuta warna. Di bawah, kendaraan berjalan tertib teratur di jalan-jalan yang kanan kirinya penuh pepohonan. Sungai-sungai mengalirkan airnya yang jernih leluasa ke laut. Hewan-hewan beristirahat santai di bawah pepohonan. Rumah-rumah temapt istirahat tertata rapi.

Aku semakin tinggi, langit semakin indah, di bawah, semakin nampak hijau.

“Kita akan kemana?” tanyaku.

Tak ada jawaban. Tak ada yang menjawab. Tak ada siapa-siapa.

                                                                                                          Juli 2015