Orang yang ikut turun gelanggang dalam sebuah kompetisi, siap
nggaksiap tentu harus menerima konsekuensi sebuah kekalahan. Jika di awal mula
sebuah kompetisi dengan tenang, tegar, tegas dan tanpa ragu menyatakan siap
lahir batin untuk menerima sebuah kekalahan jika harus kalah, tetapi di
kemudian hari ketika kompetisi berakhir dan ternyata kalah, kesiapan hati dan
pikiran untuk menerima kekalahan dengan legowo menjadi berubah tidak legowo,
tentu banyak faktor yang mempengaruhi.
Berbagai strategi dan alternatif kemungkinan yang ditempuh
dengan segala pertimbangan untuk memenangkan kompetisi yang menguras pikiran,
kesabaran, kejelian dan biaya dengan satu goal
kemenangan, menjadikan fokus pikiran dalam sepanjang kompetisi melupakan
bagaimana menata hati dan pikiran untuk menerima kepahitan sebuah kekalahan.
Sedikit orang yang menerima sebuah kekalahan dengan legowo dan benar-benar
mengakui keunggulan lawan. Seringkali orang (perorangan atau kelompok) yang
kalah dalam kompetisi menudh lawan yang mengalahkan bermain curang, tidak
sportif, licik dan jahat. Lupa jika dalam kekalahannya pun mereka berbuat
curang, tidak sportif, licik dan jahat. Ia mencari pembenaran diri jika
seandainya tidak dicurangi, dirinya akan memeangkan kompetisi. Menghibur diri
dengan meyakinkan hati jika ‘sebenarnya’ dirinyalah yang layak menang jika tak
dicurangi.
Ada yang menghibur diri hanya dengan mengolok-olok dalam
hati dan berkabar pada setiap orang atau
media, ada yang menghibur diri dengan mencari kecurangan lawan untuk
menjatuhkan dengan cara apa saja atau dengan cara curang. Ia lupa tentang
tuduhan cara curang lawannya dengan melakukan kecurangan dan mebenarkan apa
yang dilakukannya.
Sebuah kemenangan memang sebuah nikmat yang dirindukan
setiap orang yang terlibat dalam kompetisi. Dalam menikmati sebuah kemenangan,
mereka terlupa akan cara memeperoleh kememangan. Melupakan segala cara yang
melanggar aturan, kecurangan atau kelicikan yang secara sadar tau tidak sadar
telah dilakukan. Kecenderungan orang yang lupa akan perbuatan curangnya sendiri
dan sangat tidak lupa akan kecurangan atau apa yang dianggap curang yang
dilakukan lawan, menjadikan Ia berusaha untuk mengalahkan lawannya dalam bentuk
lain, jika mungkin sudah di luar garis batas kompetisi awal pun. Dalam
kekalahan itu, Ia akan berusaha menikmati kemenangan dalam bentuk lain. Mungkin
melihat atau mendengar lawannya terkena masalah dan musibah pun, ia anggap
sebuah balasan atas kecurangannya mengalahkan. Dan di sini ia menikmatinya,
mirip dengan menikmati sebuah kemenangan.
Dalam sebuah kompetisi Pilkada, seperti PilGub DKI yang
menjadi berita besar sepanjang tahun 2016 dan tiga setengah bulan tahun 2017,
sebuah kemenangan dan kekalahan menjadi hasil yang harus dikawal untuk tidak
menjadi kericuhan dalam roda pemerintahan lima tahun ke depan atau pengaruhnya
yang ke tingkat nasional. Kelompok-kelompok orang yang ikut terlibat dalam dukung mendukung
cagub/cawagup yang berlatar politik dan dalam proses berkompetisi telah
mengeluarkan janji-janji politik dan atau kata-kata retoris untuk mendapat
simpati para pemilih dan langkah-langkah yang ditempuh dengan memperhitungkan
segala aspek yang mungkin akan terjadi jika menang atau kalah.
Biaya, tenaga dan pikiran sudah tentu terkorbankan. Bagi
yang menang, bisa menikmatinya dan terlupa segala biaya, tenaga dan pikiran yang telah tergerus selama proses
kompetisi. Bagi yang kalah, menjadi hal yang menyakitkan. Dan bila kemudian
mencari kesalahan pemenang dengan berusaha untuk merobohkannya, itu sebuah cara
untuk memulai kompetisi baru lagi dalam bentuk lain dan sambil terus berharap
dan berkhayal tentang sebuah kemenangan di kompetisi lain.
Dalam kompetisi PilGub DKI, berbagai kepentingan yang
berkaitan dengan kekuasaan dalam wilayah DKI dan sekitarnya serta nasional,
tarik menarik dan terus berbenturan. Jika pihak yang kalah ingin menghibur diri
dengan memperkarakan hal-hal sepele atau yang dianggap kecurangan yang mereka
juga lakukan, akan menjadi sebuah kompetisi baru dalam hal yang berbeda,maka
akan ada ruang kompetisi baru di sisi lapangan. Atau bisa jadi
menghiburkan-dirinya, sebagai cara lain melupakan kesakitan menerima kekalahan
dan sambil berkhayal tentang sebuah kemenangan dalam kompetisi baru yang
lahannya baru dibuka.
Kompetisi berebut kekuasaan akan sangat berkaitan dengan melibatkan
banyak macam aspek kehidupan. Berbagai kepentingan saling berebut kemenangan
untuk selanjutnya memanfaatkan segala moment yang terjadi dalam proses
kompetisi dan setelahnya baik di pihak
yang menang atau dari pihak yang kalah. Bagi yang menang tentu akan
memanfaatkan semaksimal mungkin kekuasaannya sambil terus berusaha
melanggengkan kekuasaannya selama mungkin. Dan kompetisi ini banyak sekali
menghabiskan energi sekaligus banyak sekali mendaptkan manfaatkan yang
menguntungkan bagi pemenang. Bagi yang kalah, jika tak serta merta mundur dari
kompetisi, akan membangun kekuatan baru untuk ikut lagi dalam lapangan
kompetisi.
Kompetisi yang sportif tentu enak dilihat dan diikuti, tapi
sebuah kemenangan lebih menjanjikan untuk dinikmati dan memanfaatkannya. Sebuah
kemenangan dalam perebutan kekuasaan yang dengan sendirinya masuk pada lapangan
politik, pasti ada keberlanjutan dalam perebutan kekuasaan untuk ke depannya. Akan
banyak cara dan intrik-intrik yang dilkukan untuk mempertahankan kekuasaan bagi
yag menang dan merebut terus menerus kekuasaan di tangan pihak lain bagi yang
kalah.
Karena kemenangan itu nikmat dan kekuasaan itu mengasyikan,
menjadi hal yang sangat enak untuk dinikmati secara bersama-sama dalam nuansa penuh
pesona, juga menikmati proses berebut dan mempertahankan
kekuasaan.