soleh djayim
Sudah lama sekali aku tak
mendengar namaku dipanggil. Bahkan seperti lupa siapa namaku. Tak ada yang
mengenalku. Makan sedapatnya tak tentu, tidur dimana mata mengantuk. Berhenti
selelah kaki melangkah. Nomaden, berganti-ganti jalan yang dilewati,
berganti-ganti langit yang memayungi, berganti wajah tertemui. Semua tak
peduli. Semua tak mengerti dan tak mau mengerti. Suara-suara asing silih
berganti membawa hati dan pikiran ke alam yang tak dimengerti. Tak ada rasa
jemu, tak ada rasa senang. Datar dan biasa-biasa saja. Mengalir seperti air di
sebuah sungai besar ketika kemarau. Berjalan seperti angin dini hari yang
lambat, dingin menusuk seluruh persendian. Belantara alam dengan segala
fasilitas manusia yang terus menerus bertambah, terus menerus beragam. Selalu
bising namun lengang di telingaku, selalu ramai lalu lalang tapi sepi di mataku
yang kosong dimasuki sinar yang berpendar-pendar bergonta-ganti warna.
Ini sudah menjelang subuh atau
masih dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama
saja. Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak
tentu nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut
agar bisa tidur dan melepas lelah sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para
pekerja keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur
menjadi sebuah kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu.
Tak ada tanda atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura
jadi orang gila agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan
hartanya. Tapi untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu
agak lama untuk belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang
mengasyikan menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan
akan menjadi permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku
telah begitu banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap
kedamaian dan keindahan mendekat pada sang pencipta.
Pagi menjelang siang. Meski kabut
masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup
tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti
sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang
lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti,
duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk
menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang
datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah
tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas.
Suara adzan subuh yang terdengar tadi telah membawaku ke masa kecil. Ketika
menjelang maghrib kami berlari-lari menuju masjid untuk sholat maghrib
berjamaah dan seusai shalat mengaji dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang
tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin seperti dia. Semua polah tingkahnya
mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku ingin mengaji kembali. Masih ingatkah
Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat maklum. Tak ada yang mengenal aku
sekarang.
Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi
mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar
memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Aku sangat kangen pada
suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang
membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun
saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu
ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya
hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali
pupusnya harapan untuk memilikinya. Siapa orang yang mau punya menantu seperti
saya dan siapa wanita yang mampu menanggung malu punya suami sepertiku.
Tak apalah. Hidup harus tetap
berjalan, dan mengakhiri hidup dengan membunuh diri adalah dosa besar yang
masih saya takuti. Mungkin semacam takut para pejabat jika kehilangan
kekuasaan. Dan rasa lapar yang sering saya tahan, tak membuat saya mati, bukan
menjadi alasan untuk bertahan dan bermalas-malasan mencari uang. Mencari uang perlu
keberanian dan kekuatan. Bahkan hanya sekedar memperoleh uang untuk makan sore
pun, saya pernah hampir dibunuh. Sepertinya, menunjukkan kekuasaan menjadi
sebuah kewajiban bagi mereka untuk bertahan. Mungkin saya terlalu sederhana
membacanya; ketika tidak ada orang yang menarik uang parkiran di depan sebuah
toko kain dan pakaian yang tak begitu ramai, saat itu gerimis cukup tebal, saya
berinisiatif meminta uang parkiran. Satu dua sampai lima pemakai motor
memberikan uang parkiran setelah saya hanya mendekat, sedikit membantu dan
memberi aba-aba. Saat orang ke delapan, seorang yang agak tinggi kerempeng,
menendang dari belakang dan membuat saya tersungkur mencium lantai. Sebuah
belati kecil terhunus dan diacungkan di mata,
“mau mati kamu!?” Ia membentak dengan nada sangat mengancam. Saya melompat lari
menabrak tembok pembatas pinggir jalan, terjerembab, bangkit dan segera berlari
lagi. terus berlari sampai habis nafas dan berhenti di warung kecil untuk makan
seharga lima ribu.
Dunia penuh dengan prasangka dan
curiga. Saya menjadi orang yang seolah semua orang patut bercuriga. Menolong
seorang ibu-ibu tua yang tersiksa membawa barang belanjaan di pasar, menjadi
sebuah perhatian begitu banyak orang. Bukan merasa salut dan senang dengan saya
menolong, tapi mereka mengamati setiap langkah, kalau-kalau saya mau membawa
kabur barangnya. Maklum saja, karena pakaian saya lusuh, tidak bagus dan tak
berkulit bersih. Jadi, pikirku, kalau mau berbuat jahat, berpakaianlah yang
bagus dan bertindak santun bertatakrama. Dan niatku untuk menolong setiap ada
yang perlu ditolong, akan saya lakukan, jika yang ditolong curiga dan takut,
tak perlu dijelaskan niat baik saya. Batal menolong menjadi pilihan karena akan
mengurangi beban ketakutannya.
Kadang enak juga di anggap orang
gila. Secara sadar, berperilaku seperti gila menjadi cara agar saya di maafkan
berbuat sesuatu yang dianggap salah. Bisa mendengar dan melihat kecurangan dan
rahasia-rahasia kecil di setiap tempat. Di pasar, para pedagang yang mengurangi
timbangan, mencampur barang beda kualitas atau menjual barang bekas yang
dipoles menjadi seperti baru, bersandiwara harga dengan komplotannya untuk
menjebak pembeli dan begitu banyak kecurangan yang sebelumnya tak saya mengerti.
Saya jadi tahu, karena saya gila mereka tak perlu berrahasia. Yang datang ke
pasar adalah calon korban, dan si korbang harus tidak sadar jika ia di jadikan
korban dan akan kembali lagi membawa uang dengan senyum ramah. Di pinggir jalan,
di warung emper toko, di angkringan, di tempat-tempat yang jika ada orang
mereka tak berani bicara kecurangan, saya di anggap tidak ada dan tidak apa-apa
mendengar.
Mereka yang culas, berpakaian
bersih, bergamis dan bermuka kelimis, bersenyum sejuk, pandainya berakting.
Bersembunyi, bersembunyi, bernyanyi menghibur diri, bernyanyi menyembunyikan
diri. Saya tahu, mereka tak tahu. Saya menertawainya, mereka tak menganggap
apa-apa tertawa saya.
Sebuah rencana pembunuhan di
hadapanku. Seperti sebuah obrolan biasa, tanpa emosi, tanpa amarah. Di sebuah
jembatan sambil mancing dan kopi yang di pesan di warung kecil di pinngir jalan
yang hanya buka di malam hari. Saya mendengar dan tahu jadwal dan caranya. Saya
sampaikan ke polisi di pos pertigaan lampu merah. Sebelum tuntas bicara, mereka
mengusirku. Karena saya tak bersih jadi tak layak dipercaya. Saya di usir
sebagai orang gila. Esok malamnya, yang mereka rencanakan terjadi, seisi kota
heboh. Saya mendatangi polisi yang lain, memberi info, mereka mengusir sebelum kalimat
kedua dimulai. Saya berlari ke pasar, mencuri pakaian di toko yang mudah di
jebol, saya pakai dengan tergesa. Saya datangi kerumunan di TKP, mereka
percaya, menjadikan informasi saya sebagi titik awal mencari pelaku. Esoknya
dua pelaku diringkus.
Malangnya, saya ikut ditahan
polisi sebagai saksi katanya. Ditanya macam-macam, saya jawab-jawab hanya
dengan yang saya dengar. Mereka tak puas dengan jawabanku. Saya dianggap
mereka-reka dan dianggap sebagai komplotannya yang sedang pecah. Beberapa nama
kelompok dengan nama seram dikaitkan. Saya jawab tak tahu, dan jawaban
ketaktahuan saya berbuah sebuah pukulan, “jika kau tak juga mengaku, kau akan
mendapat lebih dari ini!”. Saya berpikir keras agar bisa keluar tapi tidak
mendapat tekanan dan pukulan. Berpura-puralah saya gila. Dan berhasil, karena
badan saya yang kotor dan bau. Sebelum melewati pintu, saya nyomot makanan yang
ada di piring di atas meja ruang tengah. Saya kantongi sambil ketawa-ketawa
seperti anak kecil. Saya makan sambil senyum-senyum.
Esoknya, saya ketemu dengan dua
pembunuh yang di bebaskan. Keterangan dari orang gila tidak bisa dijadikan
sebagai alat bukti, mereka pun bebas. Mereka mencari saya, tentu saya akan
dibunuhnya. Beruntunglah, saya melihat lebih dulu sebelum mereka tahu. Saya
bersembunyi dan lari, berganti baju, berganti penampilan, menuju kota lain
terdekat. Berjalan tak tentu arah, tak tentu perasaan. Ternyata saya merasa
masih perlu mempertahankan hidup, perlu menghindari sebuah ( mungkin ) rencana
pembunuhan terhadapku. Kadang juga saya berpikir, pentingkah saya sehingga saya
harus dibunuh. Dan untuk merasa tak terbebani saya memilih merasa menjadi tidak
penting bagi orang lain. Tak mengertilah saya, kenapa harus tahu banyak sesuatu
yang bagi orang lain sebuah rahasia besar. Tak percaya aku, sebuah pembunuhan
besar yang kemudian menyeret tokoh papan atas negeri ini, saya dengar di taman
kecil tempat para gelandangn beristirahat. Tanpa makanan dan minuman mahal,
hanya dua botol air mineral dan dengan tampang dan bicara yang sederhana.
Sebuah rencana penggulingan pejabat tinggi yang penampilannya selalu
mengesankan, saya dengar ketika saya melewat di depan sebuah warung kecil di
pinggir yang hanya buka di malam hari. Saya berpura-pura mengorek-ngorek tempat
sampah mencari sisa makan. Mereka berdua di tikar terjauh, asik mengatur cara dan
jadwal semua cara dan berita apa yang akan diturunkan pada saat tertentu yang
telah disiapkan lengkap dengan pelakunya. Saya dengar semua, dan esoknya,
muncul berita itu sampai kemudian tokoh itu benar-benar lengser berkalung
simbol orang yang culas.
Opini sudah terbentuk dan kursi
sudah mulai goyang, kaki-kakinya retak-retak mulai agak patah, Jika saja orang dekatnya
yang ku temui dan kuceritai percaya apa yang aku dengar dan kuceritakan
padanya, tak sampai hal itu terjadi. Semua berjalan dengan cepat. Kursi empuk
itu mulai miring dan si empunya sudah panas duduk diatasnya. Tak perlu waktu
tujuh hari, semua sesuai rencana yang saya dengar. Dan seluruh pelosok negeri
telah men-capnya sebagai orang yang tak pantas menjadi seorang pejabat
pengambil keputusan besar bagi negara. Rakyat telah menjadi hakim yang telah
berhasil dibentuk oleh media yang terus berpropaganda demi kepentingan sang
pembayar.
Ketika orang yang saya kasih tahu
tentang rencana makar dan Ia tak percaya, mencariku, bertanya tentang siapa
lagi target penggulingan, saya tertawa terbahak-bahak sambil berputar-putar,
menari-nari, melompat kiri kanan, berteriak-teriak seperti pujangga mabuk
membacakan puisi di panggung. Orang itu tetap sabar menanti jawabanku. Saya
kasih tiga nomor buntut judi togel Singapura untuk mengalihkan rasa ingin
tahunya. Ia abai, tak dipasangi. Tak dinyana, tiga nomor itu tepat tembus. Saya
jadi orang paling dicari di kota. Sebelum saya diburu lebih parah para penjudi
togel, segeralah pindah kota. Menyusuri jalan-jalan kecil, menumpang truk
terbuka, berlari-lari seperti anak kecil, tidurlah saya di pasar beralaskan
kardus bekas bungkus panci. Dan tetap saja ada orang yang memburuku. Semakin
banyak, dan mereka ada di sekitarku tapi tak tahu persis dan hanya meraba. Aneh,
darimana mereka tahu? Untuk apa? Mungkin untuk minta angka judi togel, mungkin
untuk cari tahu siapa sebenarnya aku ( yang saya sendiri tidak tahu ), mungkin
untuk cari informasi agenda rahasia yang saya tahu untuk menjualnya, mungkin
untuk membunuhku. Membunuhku? Mereka kira saya peduli dengan hidup atau matiku!
Ada yang bertampang wartawan, ada yang bertampang kyai, ada yang bertampang
intel, ada yang bertampang polisi, ada yang bertampang gila, ada yang
bertampang gembel, lebih gembel dariku. Yang terakhir lebih membuat saya
perhatikan. Ia bisa saja ingin lebih gampang mendekatiku untuk membunuhku.
Membunuhku? Sebegitu pentingkah saya sehingga ada orang yang ingin saya tidak
hidup? Mengganggukah saya?
Saya tulis semua yang dialami
pada kertas-kertas saya, tersimpan rapi, seperti buku agenda pada kertas-kertas
terpisah yang belum sempat dijilid dan kubawa selalu. Juga kertas-kertas
kiriman teman-temanku ( teman sepertiku ) dari seantero pelosok negeri. Banyak
sekali yang mereka tak tahu. Mereka? Mereka
siapa? Jika saya kasihkan kertas-kertas saya pun, apa mereka bisa membaca?
Kertas-kertas saya berserakan; di langit, di tanah lapang, di gedung, di
sungai, di jalan, di laut. Jika saya bacakan di hari ulang tahun kemerdekaan
dan disiarkan langsung oleh seluruh televisi, apa jadinya negeri ini. Saya tak
kasihkan pada siapapun dengan banyak pertimbangan.
Dan membiarkan mereka memburu
saya. Mereka yang ada di sekitarku, berlari-lari menuruti perintah tuannya. Berlari-lari.
Saya ada di sekitarnya.
November 2016