23 Nopember 2012
Gerakan Anti Mardjoko (GAM) muncul di percaturan politik Kabupaten Banyumas. Gerakan ini wujud nyata ada orang atau sekelompok orang yang tidak senang dengan kinerja Mardjoko selama menjadi Bupati Banyumas periode 2008-2013. Mereka mengorganisir untuk menjadi sebuah gerakan yang saling bahu membahu agar tujuan mereka mejegal incumbent agar tidak lagi terpilih menjadi Bupati periode 2013-2018. Ketidaksenangan terhadap seseorang bagi mereka, perlu diadakan gerakan agar ketidaksenangan tersebut tidak hanya sekedar muncul di hati dengan resiko Mardjoko gampang melenggang ke kursi Bupati untuk kedua kalinya. Ini sah-sah saja di negeri ini yang telah memberi begitu luas orang untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Negeri yang sedang begitu gandrung terhadap ‘madzab’ demokrasi yang diagung-agungkan oleh negara barat terutama Amerika. Demokrasi yang kadang hampir lupa bahwa ada hak-hak orang lain yang terabaikan. Asal yang setuju lebih banyak daripada yang tidak setuju, nilai-nilai budaya, etika, kearifan lokal, bisa saja terlindas dan disingkirkan.
Pengagasnya menyebut dirinya sebagai kaum Nahdliyin. Dalam konstelasi perpolitikan, kaum Nahdliyin identik dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meski memang tak seratus prosen. Mereka menyeru, terutama ditunjukan kepada kaum Nahdliyin, untuk tidak memilih Mardjoko dalam pilihan bupati yang akan digelar Februari 2013. Jika kaum Nahdliyin ‘manut’ semua dengan apa yang mereka mau, ini akan menjadi sandungan besar bagi Mardjoko. Suara mereka, jika kompak bulat dalam satu wilayah kabupaten, bisa menyukseskan ataupun menjegal seorang calon bupati. Tentu ada sebab kenapa mereka melakukan gerakan itu. Ada sebuah pertanyaan, apa gerakan itu memang murni dari keinginan mereka? atau juga ditambahi dan didukung oleh Calon Bupati lain yang akan bertarung nanti. Sebuah kecurigaan politik yang wajar.
Penggagas GAM pasti tidak mau disebut sebagai gerakan sakit hati. Tapi apa lacur jika ada pendapat yang mengatakan demikian. Saya menduga ada kekecewaan pada mereka ketika Mardjoko kali ini berangkat ke Banyuamas 1 dengan kendaraan Partai Golkar, padahal dulu memakai kendaraan PKB dengan tanpa koalisi dengan partai lain. Dengan segala daya upaya, taktik, strategi politik dan terobosan yang dilakukan oleh Tim Mardjoko, Tim Muhamad Husen (Wakil Bupati yang sekarang ikut nyalon jadi Bupati) dan mesin partai PKB, mereka berhasil merebut Kursi Bupati. Tentu sangat wajar jika PKB merasa berjasa terhadap Mardjoko sebagai orang yang tidak dikenal di Banyumas dibanding calon lain yang lebih punya nama. Wajarkah juga jika mereka yang ditinggalkan melakukan gerakan itu? Apa juga yang menyebabkan Mardjoko sekarang lebih memilih merapat ke Partai Golkar dan tidak menggandeng PKB yang telah keroyo-royo menggotongnya menjadi Bupati? Bolehkah ini disebut kacang lupa kulitnya? Di alam demokrasi kita, berpindah partai, loncat sana loncat sini, diperbolehkan dan dilakukan oleh banyak politikus (jangan diartikan poli=banyak >banyak tikus). Ini telah ‘dinyatakan’ tidak melanggar etika dan tidak perlu malu. Selagi menguntungkan dan tercapai tujuan, semua bisa diatur dengan tidak perlu rumit-rumit. Dan kita tak perlu ragu juga jika menyebut kacang lupa kulitnya atau habis manis sepah dibuang. Mungkin Mardjoko berpikir kemenangannya dulu karena figur dirinya, dan partai hanya sekedar tumpangan untuk bisa terdaftar sebagai calon dan segala resiko yang timbul telah diselesaikan dengan baik.
Argumen-argumen yang melatar belakangi GAM, adalah tentang ketidakberhasilan Mardjoko dalam mendatangkan investor, seringnya rotasi pejabat dinas kabupaten dan hal-hal unproduktif (menurut mereka) yang menghambat kemajuan. Tidak sulit memang untuk mencari kelemahan orang lain selagi tidak di feedback : ‘apa yang kamu lakukan jika kamu jadi dia dengan keadaan seperti ini, ini, ini, dsb’. Apa sebenarnya yang mereka khawatirkan jika Mardjoko jadi lagi. Apa mereka begitu yakin jika selain Mardjoko akan lebih baik. Tak ada yang bisa menjamin bahwa jika si anu dan bukan dia yang jadi bupati pasti akan lebih baik.
Dalam tren politik kita, sering kali calon yang mendapat aniaya politik malah mendapat simpati dan empati dari masyarakat dan kemudian menang. Gerakan GAM bisa saja kemudian menjadi alat kampanye yang efektif bagi Mardjoko jika bisa memanfaatkan dengan jeli. Jika mereka terus menerus menyuarakan anti Mardjoko yang pada sampai level seperti menggunjing, orang tidak akan mendengarkan lagi, malah bisa-bisa berbalik tidak seperti yang mereka inginkan.
Kita lihat saja nanti.