Label

Rabu, 11 November 2020

IBU PENARI DI PANGGUNG ITU?

             Warna-warni sorot lampu yang di pasang di banyak tempat membuat panggung menjadi megah gemerlapan, terus berpendar-pendar, berputar-putar, bergantian menyorot. Panggung itu tentu di desain agar mampu menampung banyak orang yang berjingkrak-jingkrak di atasnya. Dan suara yang keluar dari perangkat sound system, pasti tak pernah peduli berapa angka desibel maksimal yang aman bagi gendang telinga. Di sini area kegembiraan, berpusat di panggung. Yang nggak setuju, minggir menjauh tak perlu menghimbau, tak perlu khawatir tentang moral dsb. Musik, lampu, asap, alkohol, teriakan-teriakan dan gerakan-gerakan menari menjadi satu, membubung ke langit. Entah langit menerima atau tidak.

Musik di situ sangat dinamis, dari pop, dangdut, rock, koplo, etnik, country, music yang tak mengiringi suara menyanyi, musik di situ mengiringi orang-orang berjoget meliuk-liukan tubuh, bersahutan dengan vokal senggakan menuntun gerak pinggul, gerak leher, gerak tangan, gerak kaki, gerak hati, mengarah pada satu titik; menciptakan bahagia bersama-sama. Dan lihatlah, bagaimana wanita-wanita cantik itu bergantian menari menggumbar tubuh memancing birahi lelaki. Semakin berani, semakin riuh penikmat dan semakin bersemangat ia menari (apa yang itu disebut menari), dan uang sawer terus berpindah tangan. Kemudian, lewat youtube melalanglah kegembiraan lokal ke dunia tanpa batas, tersimpan di langit maya yang siap ditonton kapan pun.

“Pernah nggak kamu merasa malu melihat video kita?”

Berbincang dua orang kawan.

“Memang kenapa? Kita butuh uang. Kita butuh ketenaran. Ketenaran akan mendatangkan banyak uang. Lagi pula itu kan seni. Mungkin ada banyak orang yang tak memahami seni kita. Kita tak bisa memaksakan orang untuk memahaminya.”

“Kau yakin ini murni seni? Kau merasa bisa melakukan ini agak lama?”

“Itu urusan nanti. Yang penting sekarang kita happy, bersenang-senang. Nyatanya banyak orang yang ikut bergembira dengan kita, dan saya dapat uang.”

“Kau menikmatinya sepanjang pertunjukan? Setelah kau turun panggung, setelah di rumah?”

“Ini duniaku sekarang. Aku tak bisa menikmati dunia nanti yang belum aku alami. Kau sudah mulai jenuh?”

“Saya kadang berpikir, normalkah duniaku? Pernah kau berpikir seperti itu?”

“Pernah. Tapi segera saya buang jauh-jauh. Saya, kamu, punya tubuh yang bagus, dengan ini kita bisa membuat orang di bawah panggung menjadi tergila-gila. Kita dapat uang dari pertunjukkan ini. Dari memyanyi, dari menari, dari berjoget, dari bergoyang, kita dapat uang. Uang. Dengan uang yang banyak saya bisa beli yang saya mau.”

Hingar bingar musik menenggelamkan suara mereka. Meliuk-liuk kembali di atas panggung, berteriak-teriak seperti bernyanyi, kadang juga bernyanyi agak benar. Jika lagu itu bukan lagu terkenal, tak ada orang yang tahu.

Berganti hari, berganti panggung, berganti teriakan. Keringat yang melumuri tubuh, mengkilap, menebarkan bau. Penonton menikmatinya. “Aku penguasa di duniaku ini....!” Alam merekam dan menyimpannya begitu saja di langit dengan kata kunci yang mudah untuk di akses.

Pulang ke rumah menjelang pagi. Kabut telah tebal dan berdiam di dedauanan yang menggigil. Membuka pintu dengan kunci yang disimpan di dalam tas berbaur dengan bedak, lipstik, minyak wangi dan charger HP. Sang ibu bangun, berjalan terhuyung menahan kantuk, menyambutnya. “Kamu baru pulang nak. Ibu tak bisa tidur menunggumu pulang.”

“Iya Bu. Ibu tidur saja, saya juga mau tidur.”

“Mau ibu bikinkan teh hangat?”

“Nggak usah Bu, sudah minum tadi. Hanya pengin tidur saja.”

“Kenapa kamu sering pulang pagi?”

Sang Ibu mengikutinya ke kamar. Membiarkan anak perempunnya menata tidur. Sebelum beranjak pergi, Ia sempatkan membetulkan selimut yang tak sempurna menutupi. “Kamu nggak capai nak?” Si anak hanya diam, tangan kanannya menarik ujung selimut menutupi seluruh muka.

Setengah dua belas siang, Maira baru bangun. Tak langsung pergi mandi, Ia sempatkan membuka HP, memincingkan mata, membacanya sebentar dan menaruhnya agak seperti di banting di kasur. Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan nasi dan sayur bening kesukaanya.

Selesai makan, sang Ibu mendekat, “Kamu sudah berumur, Maira. Kapan kamu nikah?”

“Maaf Ibu, jangan tanya itu lagi. Saya mohon Bu..”

“Tapi, umur kamu?”

“Apa ada orang baik-baik yang mau nikahi saya bu? Apa ibu mau punya menantu bukan orang baik-baik?”

“Kamu kan anak baik, jika kamu baik pasti dapat suami yang baik.”

Maira terdiam. Di reguknya teh hangat sampai setengah gelas. “Ayah orang baik-baik bukan Bu?” pertanyaan itu meluncur mengagetkan sendiri. Ia tahu, Ibu akan tidak suka dengan pertanyaan itu tetapi kadang muncul tak terkendali. Akan muncul wajah sedih dengan tatapan mata kosong sampai lama. Ia buru-buru meralat, “Maaf bu, Maira lupa itu. Maaf.”

Sang Ibu memandangi garis-garis ubin yang tak sebatas berujung di batas tembok. Garis-garis yang menjadi benang penghubung waktu yang ingin sekali di buang jauh-jauh agar tak lagi terbaca.

“Ibu harus menjawab pertanyaanmu, agar kau tak lagi bertanya. Ayahmu orang yang baik, tapi sayang, kamu tak sempat merasakan kebaikan yang tulus darinya. Ia keburu pergi sebelum pagi benar-benar terang.”

“Kenapa Bu?”

“Ibu juga tidak tahu. Ibu tak pernah berkesempatan mengetahuinya.”

“Boleh saya melihat wajah ayah Bu? Barang kali Ibu punya fotonya. Atau kalau tidak, Ibu bisa bandingkan dengan orang yang sosoknya sama di sekitar kita.”

Sang Ibu terdiam. Batuk kecil disengaja untuk membuang perhatian. Tatap mata Maira tetap menunggu jawaban yang memaksanya menjawab, “Saya tak ingin mengingatnya lagi nak.”

“Apa ayah punya saudara kandung Bu?”

“Ia seorang pengembara yang tak ingin terikat apapun. Ibu tak tahu apakah ia punya saudara kandung atau tidak.” Kebingungan melanda, sang Ibu ingin sekali menyudahi percakapan yang tak tahu jawaban terbaik agar tak kontradiktif jika ditanya lagi. Sosok ayah bagi anaknya, tak pernah yakin. Tak hanya satu dua orang yang menebar benih seingatnya jika ditarik waktu sembilan bulan sebelum kelahiaran Maira. Semua kemudian pergi menjauhi meja bekas pesta yang masih berantakan si tengah ruang luas dengan tembok bergambar warna-warni. Tak ada yang peduli ketika kesusahan mendera setelah itu. Mereka pindah ke meja lain untuk berpesta, membicarakan yang lain. Dan, tangis penyesalan hanya jadi pemberat untuk terus bertahan. “Ibu sendirian merawat dan membesarkanmu nak, dari sejak masih di kandungan.”

“Ibu nggak punya keluarga?”

“Punya. Tapi Ibu malu untuk pulang.”

“Kenapa Bu?”

“Ibu merasa malu, malu.” Sang Ibu terisak. Pundaknya berguncang-guncang, sebentar terhenti. Maira menghentikan pertanyaannya, mengambil handuk sambil melangkah ke kamar mandi. Mungkin untuk mandi atau mungkin juga untuk melepas tangis di tengah suara gerojokan kran yang sengaja di buka tak sempurna. Rumah dengan dua kamar tidur itu menjadi terpenuhi suara air melepas dari kran. Di luar, hujan yang turun tiba-tiba bersama angin yang menderu, ikut menjadi musik pengiring kecapaian hati.

Kehidupan yang sekarang dibencinya, kini muncul seperti pada layar bioskop di depannya dengan musik yang volumenya turun naik bergelombang, membimbing gelora gejolak penyesalan yang terus menerus datang bergulung-gulung. Ribuan panggung tempatnya beraksi memamerkan tubuh berbalut kain mini, muncul teratur per-slide seperti tayangan presentasi sebuah produk pada calon konsumen yang terus mengerumininya. Ia kadang menjadi seperti gila. Menelan obat tidur menjadi pilihan untuk melepas tontonan yang tak mau hilang. ‘Kenapa aku tak bisa melepaskan anakku dari dunia itu yang ingin aku hapus sekarang.’ Ia ingin menghapusnya, tapi anak satu-satunya telah melarut di dalamnya. Uang dan kegembiraan telah membiusnya, ‘seperti aku dulu.’

Di luar, hujan sedikit reda setelah lebih dari satu jam sibuk mengguyur bumi dibantu tenaga angin menanggalkan daun-daun rapuh pada tangkai yang tak sanggup lagi mempertahankan. Di ruang tengah Maira mendatangi Ibunya yang sedang membersihkan bunga plastik warna merah.

“Kemarin malam, seseorang mendatangai saya, seumuran Ibu. Ia memanggil saya ‘nak’. Awalnya saya cuekin, tapi setelah tiga kali memanggil, saya merasa suara panggilannya bukan sekedar ‘nak’. Seperti panggilan seseorang ayah pada ananknya. Aku merasa seperti itu, Bu.”

“Kau harus hati-hati pada laki-laki yang bersikap baik tak wajar.”

“Dia sepertinya tulus Bu, saya dapat merasakan dari suara dan sorot matanya. Orangnya sedang, tak terlalu tinggi tak terlalu rendah. Kumisnya rapi, jenggotnya dicukur habis. Tidak tampan, tapi tak juga jelek. Setiap geraknya tenang, seperti tak buru-buru, meyakinkan. Ibu kenal dia?”

“Sepertinya tidak, atau mungkin Ibu sudah lupa.” Meski banyak lelaki yang dulu sering bersamanya, sebenarnya Ia bisa menduga, tapi Ia memilih untuk membahasnya.

“Ia minta nomer HP saya, saya tak ngasih, tapi ia bisa dapat nomerku, mungkin dari temanku. Ia hanya tanya kabar dan titip salam buat Ibu. Ini foto DP-nya bu.” Maira menyorongkan layar HP ke de depan ibunya, sang Ibu melihat dengan biasa-biasa saja karena sudah menduga. Seorang yang dekat, tapi sakit hati karena tak bisa memiliki seutuhnya.

“Sepertinya Ibu nggak kenal, mungkin karena sudah lama dan wajahnya berubah.”

“Ia ingin datang ke rumah bu. Saya nggak ngasih alamat. Jika ia sampai ke sini, mungkin karena membuntutiku. Tadi ia mengirim ini.” Maira menggeser layar HP-nya dengan jempol. “Ini foto Ibu kan? Foto Ibu dulu? Tatto-nya sama dengan tatto ibu di pangkal paha.”

Sang Ibu kaget, badannya tegang, nafasnya terhenti, bola matanya berhenti bergerak dan bertatap kosong. Tatto naga kecil dengan ujung buntutnya mawar merah yang selama ini sangat disembunyikan, ternyata telah di ketahui.

“Ia juga mengirimi ini, Bu.” Maira mebuka video pertunjukan musik hingar bingar di panggung. “Yang bernyanyi teriak-teriak sambil terus joget, Ibu kan?” Maira melanjutkan menononton video meski ibunya tak suka. “Ternyata goyangan saya, masih kalah sama ibu.”

“Ibu mohon, buang itu semua Maira. Ibu mohon.” Suaranya berat dan serak. Ia tak menangis karena sudah tak bisa menangis. “Dan kamu, berhentilah..! Jangan seperti Ibu. Berhentilah nak.”

“Kita masih perlu uang, Bu. Bulan depan kita harus bayar kontrakan rumah.”

“Berhentilah nak, berhenti.”

“Maaf Bu, Maira harus berangkat. Sebentar lagi ada yang njemput.” Maira bergegas masuk ke kamar mengambil segala perlengkapan yang sudah di siapkan di tas.

“Sudahlah nak, kamu nggak usah berangkat.”

Maira berhenti sejenak di hadapan ibunya, menarik tangan menyalami sang Ibu dengan memaksa. “Maira pamit Bu.”

Sang Ibu memandanginya, tak mengantar sampai pintu. Di luar gerimis basah.

 

23:45.08.05.2019

Selasa, 13 Oktober 2020

SERIBU LAKI-LAKI SATU PEREMPUAN

                Pulau kecil yang terapung itu jika malam tampak gelap tanpa sinar listrik. Tak ada suara musik, radio ataupun tivi. Sunyi. Semua suara adalah suara alamiah. Tak ada lalu lalang mobil atau motor, tak ada rumah gedung menjulang. Sepi, tak ada kesibukan dunia modern yang berlari berpacu dengan waktu, saling mendahului dan oportunis. Manusia yang tinggal di situ pun, tak bertempat di rumah-rumah yang layak. Sekedar tempat berlindung dari dinginnya angin malam dan berteduh saat hujan datang. Ada yang tinggal di bawah tebing dengan cekungan kecil semacam goa, ada yang tinggal di bawah sisa reruntuhan bangunan, ada yang bikin gubug sederhana tanpa bilik.  

Dataran tinggi di bibir pantai itu terpisah dari induk pulau setelah gempa dahsyat 7,8 skala Richter di kedalaman sepuluh kilometer di dasar  laut, tujuh ratus meter dari bibir pantai diikuti Tsunami dahsyat yang menggulung seluruh hasil peradaban manusia sejauh jangkauan air laut pada sebuah tempat yang sangat strategis untuk menikmati seluruh keindahan laut sepanjang waktu. Di situ fasilitas untuk menikmati keindahan dan kesenangan tersedia dengan berbagai macam bentuk, warna-warni simbol imajinasi manusia yang tak terbatas waktu. Sekarang menjadi sebuah pulau kecil terapung di tengah samudra tanpa bisa melihat bibir pantai pulau lain. Sejauh mata memandang, hanya hamparan air laut yang terus menerus menggulung ombak sepanjang waktu. Tak ada fasilitas komunikasi. Tak ada fasilitas kebutuhan manusia modern yang bisa dipakai. Semua telah rusak dan tak bermanfaat. Pulau kecil itu menjadi tempat manusia yang selamat dari gulungan ombak Tsunami. Ada tigaribuan orang di sana. Dari anak-anak sampai manula.

Setiap hari ada saja orang yang mati. Tak ada obat-obatan, praktis hanya menggunakan dedaunan dan buah-buahan yang dianggap bisa mengobati orang sakit. Pemandangan yang lumrah melihat orang sekarat tanpa perawatan atau pertolongan medis. Ketika pohon-pohon mulai tumbuh bersemi, orang-orang penghuni pulau itu semakin menyusut jumlahnya, satu persatu mati. Tak ada upacara penguburan dalam suasana duka haru biru. Hanya sekedar dikubur tak begitu dalam hasil dari menggali lubang dengan ranting-ranting pohon yang dipatahkan. Hewan-hewan sudah jarang sekali bisa ditemui. Mereka diburu dan dimakan. Hanya beberapa hewan saja yang sementara bisa menyelamatkan diri dan masih bisa bersembunyi sambil menunggu kapan saatnya tertangkap manusia yang memangsa semua yang ditemui saat lapar. Burung-burung kadang hinggap sementara di pohon untuk kemudian terbang lagi entah ke langit yang mana.

Tak ada pemimpin diantara mereka yang diakui. Tak ada ide dan pendapat yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain. Semua saling mencari selamat, saling mencari celah untuk bertahan hidup. Kekuatan fisik menjadi senjata utama untuk mempengaruhi orang lain.  Tak ada batasan antara kecurangan dan ketidakcurangan. Bertahan untuk selalu survive dilakukan dengan berbagai cara, melupakan pertemanan atau persaudaraan yang pernah terjalin. Ini pulau barbar. Banyak lelaki yang tampak gagah perkasa yang mati lebih duluan karena lengah dan disingkirkan  pesaingnya dan hanya wanita-wanita yang kuat dan pandai baca situasi yang masih bisa bertahan. Saat para lelaki atau wanita-wanita naik libidonya dan memuncak keinginan menumpahkan kebutuhan biologisnya, akan menjadi hal yang unik bagi siapapun yang berkesempatan dan dengan keadaan tak ada orang lain yang menggangu. Kesempatan itu sangat sulit karena semua saling mengintai dan saling ingin mengagalkan. Perselisihan kecil sering menjadi baku hantam yang berujung pembunuhan. Sering bangkai orang yang tewas ditinggalkan begitu saja atau kadang dibuang ke sungai atau ke laut. Hanya bau busuk yang membuat berpikir untuk menyingkirkan atau mengubur bangkai, karena kemanusiaan telah tererosi begitu cepat.

Ketika hidung sudah terbiasa dengan bau busuk bangkai dan mata telah terbiasa dengan bangkai-bangkai, pembiaran mulai terjadi. Ketika umbi-umbian dan daun-daun sudah tak ada lagi tersisa dan binatang tak ada lagi yang bisa diburu, pola makan menjadi berubah. Ketidakbiasaan mulai terjadi. Tak ada pembiaran pada apapun yang bisa dimakan. Orang yang sedang sekarat menjelang maut, ditunggu kematiannya. Dagingnya akan diolah untuk dimakan. Entah siapa yang memulai. Juga memang sudah tak terpikir masing-masing punya nama atau tidak, tegur sapa sekedar hai, hoi, oi, tak jelas apa maksudnya. Tatanan hidup orang modern telah hilang dan rusak sama sekali. Mereka begitu cepat jadi primitif. Satu dua orang yang mencoba bertahan berpikiran seperti sebelum mereka terapung di sebuah pulau kecil yang terisolasi. Rasa kebersamaan sebagai manusia berubah seratus delapan puluh derajat dan lebih menakutkan dibanding dengan binatang. Mereka membuat api dari kayu atau bambu kering yang digosok-gosokan satu sama lain untuk penghangat badan saat malam terasa dingin dan untuk sekedar membakar daging atau umbi-umbian yang ditemukan.   

Tertolong oleh beberapa orang yang meyakinkan kalau makan daging manusia adalah perbuatan yang akan menyiksa diri kita sendiri, perburuan sesama manusia untuk dimakan dagingnya segera cepat berakhir. Bahkan kemudian mereka mengkeramatkan bangkai manusia pada satu tempat yang tinggi dan diyakini akan selalu menjaga orang-orang yang masih hidup, melindungi dari kekuatan ghaib jahat yang kapan saja bisa menyerang. Ada upacara sederhana untuk mengantarkan jenazah ke puncak bukit. Mereka bernyanyi dengan nada yang sedih dan mengharukan, diselingi ucapan penghormatan dan permohonan agar si jenazah menjadi pelindung dan penjaga yang setia. Kadang suaranya meninggi, kemudian datar merendah meratapi kepergian, silih berganti. Burung-burung menjadi datang berkumpul, bernyanyi mengiringi. Setelah selesai semuanya, burung-burung itu terbang lagi entah ke langit yang mana.

Perempuan-perempuan berkumpul pada sebuah tempat yang terpisah dari kaum lelaki. Mereka merasa nyaman berkumpul karena akan jadi rebutan jika berpasangan dengan seorang lelaki. Dan itu pasti jadi perkelahian. Tak jarang perempuannya yang jadi korban. Nafsu biologis mereka masih normal, tapi, sepertinya tak ada seorangpun yang rela melihat sepasang laki-laki dan perempuan dapat leluasa menikmatinya. Nafsu sex ini yang sering menjadikan awal dari perkelahian dan tak jarang berakhir dengan pembunuhan.

Perempuan-perempuan itu sepakat untuk tidak melayani nafsu biologis para lelaki, apapun resikonya. Mereka membentengi diri dengan selalu berkumpul dan saling menjaga dari sergapan lelaki yang setiap saat siap menyeret dan menyergap salah satu dari mereka. Mereka terus bertahan. Suatu keputusan yang sebenarnya menyiksa juga bagi mereka. Berbulan-bulan mereka terus begitu dan membuat kaum lelaki semakin buas dan semakin tertantang. Tapi kemudian nyatanya tak semua perempuan mampu menahan keinginan biologisnya. Satu dua melanggar kesepakatan itu, sembunyi-sembunyi mencari celah dan waktu untuk bertemu dengan lelaki yang juga begitu. Tak hanya satu dua, pelanggaran kesepakatan para perempuan pun semakin tak terjaga. Para penjaga kesepakatan yang setia, satu persatu berguguran. Pengkhianatan menjadi hal lumrah setelah beberapa bulan dijaga mati-matian. Mereka, para perempuan dan para lelaki, berlari dan bersembunyi, menikmati kesempatan yang sempit. Berkelakar melepas hajat, bersantai sejenak untuk bersiap berburu lagi. Berburu makan, yang lelaki berburu perempuan, yang perempuan menikmati sebagai obyek perburuan. . Bersembunyi-sembunyi menikmati sebuah kesempatan bisa bersembunyi. Terus dan terus sampai kemudian sembunyi-sembunyi itu menjadi hal biasa dan tak lagi terasa menyenangkan. Berburu makan, berburu perempuan, bersembunyi-sembunyi, bernyanyi-nyanyi dalam kesembunyian.

Tak ada yang mau diatur, hanya jika ada keperluan yang berbarengan saja mereka mau sepakat. Para perempuan sadar mereka jadi obyek perburuan bagi kaum lelaki yang semakin lama semakin meremehkan dan melecehkan. Mereka segera sadar, atur strategi dan berkumpul. Dan, semua usul, semua berpendapat, semua bersuara keras, semua bersuara lantang. Riuh rendah, tak ada yang mau kalah, semua harus menang dan semua memaksa harus idenya sendiri yang dipakai. Keributan segera terjadi sampai reda sendiri karena kelelahan. Pada sebuah gua yang mulutnya diberi atap dari rumput ilalang yang dianyam, mereka melepas kelelahan bersandar pada dinding gua. Bercerita sekenanya tanpa disadari kapan memulai dan bicara tentang apa. Terdengar ketawa-ketiwi genit, ada yang cekakan, ada yang berteriak-teriak. Bernyanyi tanpa syair yang jelas.

Seorang perempuan lincah bertubuh ramping, kuat, cekatan, berrambut tebal lurus sebahu, bermata jalang dan tajam berdiri pada sebuah batu tertinggi dan berteriak dengan keras.

“Dengar... Dengarkan saya.” Suara membehana mengisi seluruh ruang, “Hey... Kau mau dengar aku tidak....!!! Jika tidak, kau harus tau akibatnya.

Ia pun segera melompat dan menghampiri empat orang yang terus ngobrol tanpa memperhatikan ucapnnya sedikitpun. Ia segera menggapai rambut salah satu dari mereka dan memaksanya berdiri. Merasa jadi korban, ia melawan tapi keburu dipaksa untuk takluk oleh perempuan perkasa itu. “Jika kau mau melawan aku, kau rasakan ini!” sambil dengan sangat cepat tangannya memelintir kepala si korban dan dihempaskan ke tanah berkerikil tajam. Perempuan itu terjengkang dan meringis menahan sakit. Tiga temannya merasa tak rela, langsung menyerangnya dan segera saja perempuan perkasa itu berkelebat menendang dan meninju. Tiga orang itu terkapar, terjerembab mencium tanah.

“Mau kalian-kalian sepertia dia?” tanganya menunjuk lurus pada empat orang korban pertamanya.

Semua terdiam. Di hati mereka bergumam, ‘harus tak ada yang berkuasa di antara kita, ia harus segera disingkirkan jika mau jadi pemimpin kita’.

“Saya tak akan jadi ratu diantara kalian,” Ia berteriak keras, “Tapi, kalian ingat. Kita telah menjadi obyek perburuan para lelaki tengik itu. Kita harus pintar dan jeli agar mereka tak sembarangan menguasai kita.” Mereka tersadar. Terdiam.

“Jadi, kita harus bagaimana?” seorang perempuan lembut berambut hitam sedikit ikal menimpali dengan penuh kekhawatiran.

“Santai aja. Tinggal kita turuti kemauan para lelaki itu pasti mereka tak akan menyakiti kita. Betul nggak? Toh, kita juga butuh.. Ya, nggak kawan-kawan.”

“Tidak!!” Teriak perempuan yang masih berdiri di atas batu. Kita harus kuasai mereka sebelum mereka merasa bisa menguasai kita.  Kita harus kuat dan sejajar dengan kaum lelaki. Kita harus memulai dari sekarang.” Maka demi sebuah kesepakatan dan janji tak ada pengkhianatan, mereka kompak.

Dan benarlah, setelah bersepakat dengan bersusah payah, mereka mengatur strategi. Hanya ada seorang perempuan yang keluar dari persembunyian dalam satu hari. Yang lain berkumpul dalam satu gua untuk bertahan dan siap menyerang jika ada lelaki datang.

Seorang perempuan cantik di tengah belantara alam dengan berdandan seadanya, tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi lelaki yang haus perempuan.  Dan perempuan itu melenggang ke sungai, ke hutan, ke semak-semak sendirian tanpa rasa canggung dan takut. Dalam sekejap, para lelaki bersembunyi-sembunyi mengintip untuk mencari sempat mendekapnya.

Ketika seorang dengan cekatan menangkap si perempuan, ia tak berontak dan tak juga tak membiarkan dirinya di dekap. Di bawanya si perempuan ke balik semak yang berumput tebal. Ia tak berontak dengan kasar, sedikit menolak tapi menurut mengikuti langkah lelaki yang penuh birahi dengan sedikit diseret kedua kakinya. Rambutnya terurai oleh angin yang melewat di setiap sela-sela pepohonan dan semak. Rumput, semak dan ranting yang terlewati bergerak-gerak menyapa menyampaikan salam.

Seribu pasang mata lelaki yang lain mengintai, matanya memerah menahan hasrat, menelan ludah sampai jakunnya bergerak-gerak turun naik. Kepalanya menjadi segera pusing menampung seluruh imajinasi yang datang begitu banyak, begitu cepat. Gerigi mereka gemeretak beradu dan nafasnya mendengus-dengus. Keluarlah suara-suara lenguhan dari seribu lelaki yang menahan konak. Lenguhan itu mengeras menyeruak di atas pepohonan dan semak-semak, seperti segerombolan binatang buas yang lari diburu manusia bersenapan.

Ketika seseorang melompat dari persembunyian dan berlari menyerobot menggapai lengan perempuan yang sedang dirayu, lelaki yang lain serentak mengikuti takut ketinggalan kesempatan. Mereka bertubrukan. Saling sikut, saling tendang, saling menyingkirkan. Seperti ikan dalam kolam dikasih pakan setelah berhari-hari kelaparan. Berteriak-teriak penuh nafsu dan amarah. Yang terkulai dan terkapar, terinjak-injak. Semak belukar dan rerumputan sebentar telah rata menjadi lapangan. Perkelahian terus berlanjut. Tak jelas siapa lawan siapa, yang dalam jangkaun serangan, mereka saling pukul dan tendang.

Perempuan cantik itu menjadi terbiarkan dan pulang ke gua dengan tenang sesekali menongok ke belakang melihat para lelaki yang masih terus bertarung meluapkan amarah. Darah nampak mulai tercecer di rerumputan. Pertarungan terus berlanjut, merembet ke lelaki-lelaki lain menjadi ikut bertarung membantu orang-orang yang dianggap temannya. Tapi, tidak jelas apakah membantu teman atau memanfaatkan kesempatan untuk membunuh lawan. Yang terjadi, bukan pertarungan antar dua kubu, tapi pertarungan pada siapa saja yang dalam jangkaun serangan. Sekumpulan lelaki yang sedang ngamuk satu sama lain, entah memperebutkan apa. Burung-burung berbulu gelap berbondong hinggap di dahan-dahan pohon di sekitar mereka, memandangi dengan mata jalang dan paruh tajam terhunus. Suara-suaranya serak menanti bangkai yang mulai bergelimpangan.

Langit berangsur menggelap. Sinar matahari hanya menyisakan sedikit semburat di balik bukit yang menurun. Lelaki-lelaki yang masih bertahan untuk bertarung masih terus menunjukkan kekutannya untuk melumpuhkan lawan.

Seorang perempuan lincah bertubuh ramping, kuat, cekatan, berrambut tebal lurus sebahu, bermata jalang dan tajam berdiri pada sebuah batu tertinggi dan berteriak dengan keras.

“Apa yang kalian perebutkan?!” teriak perempuan itu lantang menengadah langit. “Apakah kalian hanya akan meyisakan satu pemenang?”

Tak ada jawaban. Para lelaki sudah tak ada lagi yang berdiri. Semua terkapar menggelepar. Burung-burung berbulu hitam berparuh tajam mulai turun mengerubuti lelaki-lelaki yang terkulai berdarah-darah. Bau anyir darah menguap ke langit yang telah gelap. Tak ada bulan atau bintang menyambut malam. Gerimis rintik kecil turun menyamping bersama angin yang sesekali berhembus menyentak. Anak-anak burung pipit beringsut masuk sarang menghangatkan tubuh diketiak induknya.

                                                                                                        April 2013

Rabu, 30 September 2020

SABAR

Seringkali kata sabar diucapkan berkaitan dengan waktu, berhubungan dengan tak perlu buru-buru, cenderung santai, tak perlu segera.

“Mas, cepetan…”

“Sabar mas, nyantai dikit napa?”

“Nanti kita telat.”

“Sabar mas, sebentar lagi.”

 

Atau juga kata sabar sebagai ucapan agar tidak marah, emosi dan bisa mengendalikan diri.

“Sabar mas, semua akan baik-baik saja. Tenang...”

“Tapi ini sudah keterlaluan. Ini nggak bisa diterima.”

“Makanya ekspetasimu jangan terlalu tinggi. Biasa-biasa saja.”

“Biasa-biasa saja bagaimana? Coba kamu yang jadi aku, mungkin lebih gila.”

 

Sebuah kata bisa punya makna lebih dari satu atau homonim, tergantung kalimat yang mengiringi atau dalam kontek pembahasan yang mengarahkan kata tersebut. Saya lebih cenderung kata sabar bermakna siap menerima apapun hasil dari sebuah perjuangan, kerja keras, ulet dan konsisten. Ini hanya sebagai ‘penolakan’  saya bahwa menunda waktu itu bukan sebuah tindakan ‘sabar’. Kata ‘sabar’ dalam kontek tidak segera atau menunda waktu seolah sebagai pembenaran kalau santai itu sebuah bentuk kesabaran.


Kata sabar agar tidak emosi, sebagai bentuk peringatan terselubung agar jangan berharap terlalu pasti dan tinggi, siap menerima sesuatu yang tidak seperti yang diharapkan. Biasanya harapan terhadap orang lain yang berkaitan dengan keinginannya, harapan atau imajinasi lain dalam benaknya tidak seperti yang diduga, akan memunculkan kemarahan. Sabar di sini sebagai bentuk menerima apapun yang ada dari luar yang berkaitan dan berhubungan dengan kita.

 

“Saya sudah melakukan semaksimal mungkin, terus menerus, tak pernah menyerah. Saya akan terus berusaha. Dan, apapun hasilnya saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk saya.”

“Itulah sabar yang meninggikan derajat kata sabar.”

22:01.30092020

Rabu, 26 Agustus 2020

POSTING PENGINGAT DIRI

 “Pernah baca postingan di medsos berlabel pengingat diri?”

“Sering.”

“Bagaimana?”

“Agak heran juga. Judulnya pengingat diri, kenapa orang lain dikasih tau.”

“Apanya yang heran?”

“Menurut saya, pengingat diri itu nggak perlu di share ke grup atau medsos. Itu menurut saya. Lha wong pengingat diri kenapa merasa perlu orang lain perlu tahu. Kadang tampak sok tahu, sok bijak juga; ‘jangan begini, jangan begitu, mari begini mari begitu, mari ikhlas nggak usah ria, mari saling menjaga hati, dsb. Kalau memang pengingat diri beneran, simpan saja di HPnya sendiri, atau di tulis di tembok atau tulis di kertas, ditempelkan di tembok.”

“Dan, itu masalah buat kamu?”

“Nggak juga si… Cuma, rasanya ada orang tertentu yang lagi diserang dan bersembunyi pada dinding ‘pengingat diri’. Menurut saya seperti munafik gitu. Kalau mau nyerang atau nyrempet, ngomong aja langsung, DM, japri gitu lho… Kalau posting pengingat diri kan bisa banyak orang yang merasa tersinggung, orang-orang yang pernah berhungan dengannya menjadi tak enak, menduga-duga. Coba,… Apa mungkin pengingat diri yang di posting di medsos hanya khusus untuk dirinya sendiri? Tanpa ada tujuan nyrempet dan membidik seseorang. Meski kemungkinan selalu ada, tapi apa mungkin?”

“Dan, itu masalah buat kamu?”

“Nggak juga si… Cuma gimana gitu. Rasanya nggak sreg banget.”

”Kalau nggak sreg, ngapain kamu baca. Kamu tertarik? Apa kamu bacanya karena merasa tidak sreg jadi pengin baca? Ngapain juga kamu ngurusi postingan orang lain jika bikin kamu tidak nyaman karena tidak sreg?”

“Meski baca sekilas kadang pengin tahu juga..dan, langsung curiga, postingan itu tujuannya membidik seseorang…

itu sarkasme, sarkastis….

juga hipokrit..”

 

“Lho, ngapain juga kamu ngurusi postingan orang lain?”

“lho, ngapain juga kamu tadi nanya postingan pengingat diri?”

“Serasa sarkastis dan hipokrit.”

22:15.260820

Selasa, 25 Agustus 2020

MAFIA

 Mendengar atau membaca kata mafia, kita disodorkan pada sebuah suasana tentang kejahatan yang saling keterkaitan satu sama lain, saling mendukung dan menyimpan kerahasiaan. Menurut KBBI, mafia berarti perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan ( kriminal ). Sebuah arti yang bisa dikembangkan luas dan subyektif. Atau, bisa saja diartikan segala sesuatu persekongkolan lebih dari dua orang untuk tujuan tertentu dengan saling menutupi segala kejadian yang melanggar segala tata aturan yang disengaja dan direncanakan. Semua yang terlibat dalam permafiaan, menyadari resiko yang mungkin timbul jika alur kejadian tidak sesuai dengan yang direncanakan. Meski mereka sadar tentang resiko yang bisa muncul tak terduga, yang terlibat didalamnya seperti masuk jebakan yang kita tidak bisa melepasnya. Kemungkinan resiko yang muncul sebanding lurus dengan pelanggaran yang dilakukan. Semakin besar kasus dalam permafiaan, menjadi semakin besar resiko yang kemungkinan muncul dengan jangka waktu yang tak terdeteksi.

Permafiaan itu bukan hanya tertuju pada hal-hal besar dengan biaya atau hasil besar seperti mafia narkoba, mafia hukum, mafia proyek dsb, tetapi mencakup juga hal-hal kecil yang menyimpang dari seharusnya seperti; mencari jalan belakang, mengelabui untuk melompati antrian dalam sebuah urusan birokrasi dan hal lain yang tak lewat prosedur yang telah ditetapkan.

Ada saja urusan yang membuat kita cenderung atau mau tidak mau harus berbuat sesuatu dengan cara menyimpang, sedikit atau pun besar, disadari atau tidak disadari, untuk menyelesaikan hal-hal duniawi. Jika sudah terjebak, melepasnya untuk tidak mau masuk pada lingkaran mafia menjadi ‘seperti’ lari dari permasalahan layaknya orang kalah sebelum bertanding. Padahal memilih untuk tidak masuk pun adalah sebuah pilihan yang tentu dengan bersiap untuk tak sakit hati jika kalah dengan yang melakukan permafiaan. Sisi baiknya akan lebih bangga jika ternyata hasilnya menang atau setidaknya sama dengan cara jalan kejujuran.

Bila kita masuk pada area perebutan kekuasaan ( politik ), diakui atau tidak diakui, kita masuk pada kawasan permafiaan dengan segala macam intrik dan jebakan. Setiap tingkah laku, pembicaraan dan sikap menjadi bahan untuk menyerang dan siap diserang oleh lawan atau pun kawan. Pun demikian jika masuk dalam area perebutan rejeki. Segala macam permainan permafiaan siap hadir dengan hal dan waktu yang tak terduga.

Ada kemungkinan tersingkir dalam permainan lingkaran permafiaan, dan kemungkinan itu tersadari dengan siap menerimanya. Memilih menjadi bersikap jujur dengan resiko di-mafia-i orang lain dan siap menerima rasa sakit hati jika tak bisa bersikap ikhlas. Akan lebih nyaman lagi jika bisa bersikap ikhlas dan tidak memerlukan berpikir apa-apa dan siapa yang telah mencuringinya. Ini hal berat yang tidak semua orang mudah untuk menjalaninya dan dengan sadar memilih jalan ini. Perlu kesiapan hati yang lapang dan pikiran yang jernih dan legawa. Ini pilihan bijak jika ingin menikmati ketentraman hati.

05:13.19062020

TERTAWA.

Pernah melihat orang tertawa sampai terpingkal-pingkal sampai berguling-guling? Pernah melihat atau mendengar orang tertawa padahal menurut kita sebagai hal yang biasa dan tidak lucu? Tertawa Sinis? Tertawa menertawai?

Tertawa itu lahir karena sesuatu yang di dengar atau di lihat tak terduga dari apa yang dipikirkan. Ada daya kejut tersebab apa yang didengar atau dilihat tidak seperti kebanyakan yang terjadi sehingga memunculkan kegelian dalam pikiran, maka lahirlah tawa sebagai ekspresi tubuh. Itu tertawa yang lahir karena sebuah kelucuan yang disengaja dan direncanakan ataupun kelucuan yang tiba-tiba hadir tak terduga. Keberbedaan sangka menjadikan terkejut pikir yang menjadikan tertawa.

Bagi sebagian orang, sebuah kelucuan bisa dianggap tidak lucu, sebagian yang lain bisa menganggap sangat lucu. Latar belakang budaya, wawasan, perspektif ilmu, daya tangkap pikir, berpengaruh terhadap sebuah kelucuan yang hadir. Dalam pertunjukan lawak atau stand up komedi, sebuah kelucuan dibangun dan ditata sedemikian rupa supaya penonton terseret arus dan masuk pada hal-hal yang tak terduga sehingga melahirkan ekspresi tawa.

Dalam sebuah ceramah pengajian atau ceramah keilmuan, misalnya, kelucuan kerap ditampilkan oleh si pembicara agar lebih segar, menarik , tidak membosankan dan peserta menjadi tertarik untuk terus mengikuti. Ada kalanya sesuatu yang tidak lucu, ada peserta yang tertawa karena sesuatu yang disampaikan tidak seperti yang diketahuinya dan menganggap yang baru didengarnya sebuah kelucuan. Bagi orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas, tertawa tersebut menunjukkan ketidaktahuan yang dipertunjukkan dengan tidak sadar.

Meskipun tertawa identik dengan kegembiraan, tapi tidak sepenuhnya benar. Ada tertawa-tertawa lain tak identik dengan kegembiraan. Tertawa menghibur diri adalah tertawa yang dipaksakan untuk meredam rasa duka. Tertawa menertawai seseorang adalah melepas dendam dan mengejek seseorang yang ditertawai. Tertawa basa basi adalah tertawa yang memaksakan diri untuk tertawa pada sebuah kelucuan yang menurutnya tidak lucu yang dihadirkan seseorang pada acara ramah tamah. Tertawa sendirian terus menerus tanpa sebab bisa di kategorikan gila.

Kecerdasan pikir seseorang terhadap sebuah penyampaian yang lucu, berbeda satu sama lain, sehingga kadang ada yang orang tertawanya telat ( terlambat ) pada kelucuan yang sama di waktu yang sama. Latar belakang wawasan dan keilmuan juga ikut mempengaruhi. Ada sebuah kata gurauan pada orang yang tertawanya telat, karena: telat mikir, bijaksana dan budek (tuli). Telat mikir, seperti yang disampaikan diatas. Bijaksana, karena sebelum tertawa ia berpikir tentang akibat tertawanya mbok ada yang tersinggung atau sesuatu hal yang tidak perlu ditertawakan. Budek, tertawanya hanya supaya kelihatan mengikuti.

Sebuah tawa bisa mengakibatkan orang lain tersinggung. Tersinggung agama, tersinggung sosial, tersinggung keyakinan, tersinggung kebanggaan, tersinggung harga diri. Menjaga supaya tidak ada ketersinggungan itu membuat seseorang bertahan diri untuk tidak tertawa pada sebuah kasus kelucuan. Ini sebuah keputusan bijak untuk tidak tertawa dan menempatkan tawa pada porsinya.

Tertawa itu (sebagian besar) sebuah ekspresi kegembiraan. Ada sebagian tulisan yang menyampaikan, tertawa bisa memperpanjang umur seseorang. Maka, tertawalah untuk berbahagia bersama dengan tidak menimbulkan ketersinggungan pada sekitar.

06:03.25.08.2020

 

 

 

Senin, 13 Juli 2020

MENJELANG MENYAMBUT MAGHRIB

soleh djayim.

Air sungai yang mengalir hampir selalu keruh, tak begitu deras, tak juga tenang, tapi sering mengalir deras seperti banjir bandang pada saat waktu yang tak terduga, meskipun ketika tak musim penghujan. Tak tahu kenapa dan tak juga banyak orang  ingin tahu. Di bawah jembatan, agak di samping, seorang kakek hampir setiap hari di situ memancing. Di bawah pohon Kersen yang kulit batangnya sudah tampak tua dan banyak luka, Ia menggantungkan peralatan dan bekal memancing. Selalu tak lupa membawa buku. Sekira dua puluh kilo meter, aliran air akan sampai pada muara untuk berbaur dengan lautan luas dengan ombak yang selalu bergulung-gulung setiap waktu.

Berbagai jenis, bentuk dan macam joran tertata di tas khusus yang boleh dikata setiap hari berganti-ganti. Berganti tas, berganti joran, berganti gulungan senar, berganti warna dan jenis senar, berganti sarung tangan, bergati pancing, berganti umpan, juga topi yang selalu dikenakan. Tak ada habisnya persediaan yang dibawa. Dari yang model lama sampai yang baru keluar, ada, komplit warna-warni. Meski begitu, kakek Bara selalu berada di satu tempat, duduk di atas batu sedikit lempeng dan selalu menghadap ke arah barat, arah yang memungkinkan melihat lalu lalang orang melewat di jembatan. Rumput di sekitarnya hijau berbeda dengan yang di seberang. Hujan yang kadang turun, tak membuatnya beranjak, Ia akan tancapkan payung besar dan tetap memegangi joran. Jika air banjir tak sampai membahayakan, Ia akan tetap di situ sampai menjelang gelap, sampai udara terasa lembab dan dingin.

“Saya boleh duduk di sini, kek?”

“Boleh. Tapi kamu nggak boleh mengganggu kakek. Kalau membantu, boleh.”

“Bantu apa kek?”

“Nanti kalau kakek butuh bantuan. Kalau..”

“Siap. Boleh pinjam pancingnya satu kek?”

“Kalau yang di sini nggak boleh. Kalau kamu mau, beli saja. Ini uangnya?”

“Kenapa kek? Di sini juga ada, kenapa harus repot-repot beli?”

Kakek Bara hanya tersenyum, tak segera menjawab sambil menyodorkan selembar uang ratusan ribu. “Kau tak perlu tahu. Atau, belum perlu tahu.”

“Nggak usah Kek, saya pakai ini saja. Maaf, saya ingin cobain joran yang kelihatannya bagus. Maaf Kek.”

“Nggak apa. Nyantai saja, tak perlu terpikirkan. Kamu dari mana? Sengaja mancing di sini? Biasa di mana?”

“Dari sekitar sini Kek, dekat tapi lain desa. Perbatasan. Sengaja cari tempat yang asyik. Saya sering di sini. Setiap lewat sering lihat kakek di sini, jadi pengin ke sini. Sepertinya menarik.”

Kakek Bara mengusap daguya. Janggutnya yang sebagian memutih agak tertata kembali. “Kakek hanya menunggu maghrib datang, untuk pulang, mandi dan pergi tidur.”

“Kapan Kakek tidur?”

“Tak tahu, tak pernah tahu. Tahu-tahu kakek sudah terbangun pada waktu yang berbeda. Hal yang selalu ingin kakek ketahui; tahu sendiri kapan saya tertidur, pada jam berapa, menit keberapa, detik keberapa?”

“Saat beranjak tidur, Kakek berdoa agar terbangun lagi?”

“Kadang berdoa begitu, lebih sering lupa. Lagian, apa kita punya kekuatan untuk bangun di saat tidur? Jika kemudian tak juga bangun selamanya, apa daya kita untuk bangun lagi?”

Pembicaraan terhenti.

Entah karena ada apa, di atas jembatan terjadi keriuhan. Banyak orang berkerumun saling memaki, salin dorong dan saling bentak. Air yang mengalir di bawahnya, tenang-tenang saja, tak cepat, tak lambat, dan tak ada riak gelombang kecil karena arus angin. Belasan capung warna warni terbang pada satu tempat dengan sesekali menukik menyentuh air. Biang berdiri memanjangkan lehernya, melongok  sambil terus menajamkan mata.

“Ada yang berantem kek?”

“Biarin aja. Itu kerjaan mereka.”

“Saya mau lihat kek. Saya mau naik. Kakek nggak mau lihat?”

“Yang lebih dari itu, sudah sering Kakek lihat.”

“Kakek pernah ribut-ribut?”

“Kenapa kau tanya begitu? Tampang kakek tukang ribut?”

“Hmmm... sepertinya.., eh, nggak juga Kek.”

“Kau lihat dan perhatikan. Sebentar lagi ada sesuatu yang dilempar ke bawah. Ke sungai, ke air.”

“Kakek yakin?”

“Pernah lihat, pernah mengalami, pernah terlibat.”

“Maksud Kakek?”                                                                                   

Kakek Bara hanya tersenyum. Ia mengangkat joran memindahkan pancing pada tempat lain. Seekor capung merah mengikuti arah pancing mencelup dan berhenti terbang bertahan diatasnya. Gelombang ombak lembut menyebar membuat lingkaran sampai pada dinding-dinding sungai. Seekor ikan berkulit perak menyembulkan kepalanya di sisi kiri, menari sebentar, berputar seputaran dan menyelam dengan meninggalkan cipratan air dari ekornya yang menggelepar. Kakek Bara acuh, tak peduli, Biang terpesona dan berteriak, “Itu Kek....” Ia tak tertarik, malah mengalihkan pembicaraan.

“Kau hobi mancing?”

“Nggak juga, Kek. Cuma, kadang-kadang pengin mancing. Di rumah terus jenuh.”

“Orang tua-mu di mana?”

“Mereka sibuk cari uang. Sibuk cari teman.”

Kakek Bara tersenyum. Biang tak mengerti senyumnya. Diam, hening sesaat di sekitarnya. Di atas jembatan keributan masih belum reda dan tiba-tiba, “Blouaarrrrrr.....!” sebuah benda sebesar tivi tabung 21 inch meluncur deras dari atas jembatan menghantam air dan melayang tenggelam ke dasar sungai. Orang-orang  di atas jembatan memandanginya. Biang agak terusik tapi Kakek Bara tetap duduk santai mengamati pelampung pancing.

“Terbukti kan yang Kakek bilang tadi.”

Biang tersadar, “Iya yah....,” pikirnya.

Hampir separuh yang ada di atas jembatan berlari turun ke sungai. Memberosot melewati ilalang dan semak liar berduri. Dari yang berpakain necis lengkap dengan dasi dan sepatu jenggel mengkilap sampai yang hanya berkaos singlet tanpa alas sepatu. Dengan sekejap mereka sudah berada di bibir kanan kiri sungai, memandangi air sungai yang sudah tenang tanpa bekas, siap terjun menyelam.

Kakek Bara berdiri, menyerahkan joran pada Biang, berjalan sepuluh langkah dan berdehem pelan dengan nada rendah. Seketika semua orang yang berada di bibir sungai bersorot mata mengarah ke satu titik. Tak ada yang bergerak, tak satupun yang bersuara, sepertinya nafas pun mereka tahan. “Kalian semua pulanglah. Kotak itu isinya tak diperlukan kalian semua. Saya tahu itu. Pulang, jangan mau tertipu. Jangan buang-buang energi dan mengabaikan waktu hanya untuk sebuah kotak.”

Satu persatu mereka bergerak membalikkan badan, beranjak perlahan kemudian berjalan bergegas menuju jalan. Tak ada suara membantah. Sesampai di atas jembatan, mereka berderet pada pagar jembatan memandangi tempat jatuhnya kotak. Dan mereka telah berganti baju, entah kapan. Baju-baju yang bagus warna-warni dengan gambar, simbol dan tulisan penyemangat. Mereka mengelompok sesuai warna baju yang dikenakan. Sinar matahari yang telah memanjangkan bayangan dua kali lipat, memapar agak sedikit kasar. tak sampai sepuluh menit, mereka bosan dan pergi. Baju-baju yang mereka pakai dilepas, ditaruh pada tempat yang berbeda-beda sesuai warna. Di bawah jembatan, Biang terpana, mulutnya terbuka sedikit lupa mingkem.

“Mereka kenal kakek?”

“Mungkin mereka salah lihat, saya dilihatnya seperti orang yang mereka takuti dan taati.”

“Nggak mungkin kek. Saya yakin mereka kenal kakek.”

“Jangan terlalu yakin. Kau akan sangat kaget jika keyakinanmu ternyata salah. Biasa saja.”

“Tapi kek....”

“Lihat,” Kakek Bara menarik jorannya perlahan dan menggulung tali senar perlahan. “jika terasa berat, menariknya harus dengan seni dan perhitungan yang matang, pelan-pelan, sabar. Jika tidak, senar akan putus dan mangsa akan hilang.” Yang terperangakap pancing Kakek Bara besar dan berat, tapi tak ada gerakan berontak melepas kail. Saat terangkat ke permukaan, Biang terkejut.

“Kotak yang tadi jatuh dari atas, Kek.!”

Kakek Bara hanya tersenyum, “Iya.” Jawabnya pendek tanpa tekanan nada. Biang segera membantu mengangkatnya. Meski baru dua kali pertemuan, mereka akrab seperti sudah lama. Susah payah berdua mengangkatnya selama sembilan menit.

“Begini cara mbukanya.” Kakek Bara membuka tutup kotak yang tampak rapat dan kencang hanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya setelah Biang gagal meski dengan sepenuh tenaga. Dua kali congkelan kanan kiri, tutup terbuka. Di dalamnya, tertata rapi tumpukan kertas dan benda-benda antik seperti peninggalan kerajaan kuno. Ada juga tumpukan album foto dari yang bersampul hitam putih pudar sampai yang bersampul warna-warni cerah. Tak ada yang rusak dan basah, semua masih baik, “Catatan dan arah sejarah bisa berubah jika saya buka semua yang ada di sini.”

Biang terdiam, bingung. Dahinya mengerut berusaha mencoba memahami. “Ini semua isinya tentang apa kek?” Kakek Bara tak menjawab, Ia malah sibuk mengambil handphone di saku celana kiri dan segera menelpon.

“Kamu segera ke sini. Ke tempat kemarin!”

Tak sampai sepuluh menit sebuah mobil berkaca gelap mendecit menahan laju. Dua orang berbadan kekar dan kerempeng turun ke tepi sungai menuju Kakek Bara.

“Apa yang harus kami lakukan, boss?”

“Angkat kotak ini. Tak ada yang boleh membukanya. Siapa pun. Kalian harus lawan jika ada orang yang memaksa ingin tahu.”

“Siapp Boss...”

“Segera bawa ke rumah, taruh di kamar nomor dua dari selatan. Ingat, hati-hati di perjalanan, jangan ada satupun orang curiga.”

“Siap Boss.”

“Buktikan! Bukan hanya siap boss, siap boss, melulu.”

“Siap Boss.”

“Okeh, langsung..!”

Dua orang itu segera membawa kotak ke dalam mobil. Selepas suara pintu di tutup, suara knalpot menderu melesatkan mobil. Kakek Bara melanjutkan lagi mancing. “Kau ingin tahu apa yang ada di kotak itu nak?” Biang terkaget. Pikirannya yang sedang melayang putus benang, kembali pada raganya. Ia tak segera menjawab pertanyaan. Diam, mengernyitkan dahi, merapatkan kelopak mata, mencari kalimat yang tepat.

“Apa ada gunanya saya tahu Kek? Jika saya tahu atau jika tidak tahu, apa pengaruhnya bagi saya, bagi sekitar saya, bagi kami berdua, bagi kita semua?”

“Pertanyaan saya tadi sederhana, kau ingin tahu yang ada di kotak itu? Tinggal jawab iya atau tidak. Kenapa kamu ribet begitu?”

Biang salah tingkah. Ia menempatkan lagi mata pancingnya pada bidang air yang sedikit beriak. Ia menggali lagi pertanyaan untuk Kakek Bara yang sudah tenggelam di dunianya.

“Kenapa Kakek nggak bikin kolam pemancingan di dekat rumah?”

Kakek Bara menengok, “Di dekat rumah ada, tapi saya tidak suka mancing di situ.” Kakek Bara menyentakkan joran, seekor ikan sebesar ibu jari terangkat, menggelepar berontak di ujung tali senar, dan terlepas, segeralah ia menyelam menghilang dari pandangan. Diperiksanya umpan di kail, masih belum berkurang. “Jika saya mancing di dekat rumah, burung-burung piaraan saya suka bernyanyi. Bernyanyi terus sepanjang saya mancing. Saya jadi risih. Tetangga kami sudah mulai mengerti nyanyian burung-burung saya. Semua suara burung sudah dipahami. Saya ingin melepasnya, tapi khawatir jika bernyanyi di sembarang pohon. Saya tak mungkin mematikannya, itu lebih berbahaya. Kau ingin mendengarnya?”

“Ingin Kek. Hal yang menarik. Kapan kakek ada waktu?”

“Besok jam dua-an bisa. Eh, Apa saya sudah tampak tua, kau panggil aku kakek?”

“Maaf, biar tambah akrab saja. Kalau manggil ‘pak’, semua orang laki-laki di sana bisa saya panggil pak.”

Dua meter di atas kaki langit sebelah barat matahari sudah bersiap meninggalkan siang. Kakek Bara berkemas pulang, “Saya tunggu kau besok. Ini alamat rumahku.” Biang menerima lembar kertas kecil, kartu nama. Mereka berjalan beriring ke jalan untuk berpisah karena berbeda arah pulang.

“Kakek belum tahu nama saya kan? Saya Bianglala, biasa dipanggil Biang, tapi banyak orang memanggil saya Biang Keladi.”

“Kamu Biang Keladi?”

“Iya Kek.”

“Biang Keladi itu?”

Biang memandangi Kakek Bara. Sorot matanya mengiyakan.

“Kau telah banyak tahu tentang aku.”

“Tidak juga. Saya nggak tahu dan nggak ngerti.”

Kakek Bara mempertegas langkahnya, “Sedikit yang kau tahu, sudah terlalu banyak.”

***

Tengah hari, ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun dengan suhu 35 celcius, Kakek Bara duduk bersila di pinggir kolam berair keruh di tengah jalan yang rusak. Ia memancing di situ, berkaca mata hitam, betopi putih seperti topi pemain tenis profesional. Peralatan mancingnya tergeletak di sisi kanan. Pengendara yang lewat sibuk menghindari setelah memandanginya heran. Biang yang melihatnya segera menghampiri.

“Kek?” Kakek Bara sedikit mendongak dengan tatapan tajam.

“Kamu pasti menganggap saya gila.”

Biang diam sejenak, “Itu kalimat yang saya duga.”

Asap dan suara knalpot, debu, deru kendaraan, lengkingan klakson, membaur membubung ke langit. 

“Saya ikut mancing di sini, Kek.”

22.31.26.04.2019