Label

Sabtu, 29 November 2014

hujan kemarin sore II

aku selalu menyukai hujan, menantikannya. menikmati setiap tetes yang tak seluruhnya segera jatuh ke bumi. ada banyak menjadi embun, membasahi tembok, membasahi kaca, mencipta alur air membawa debu. kilat halilintar jadi pengingat, jangan lewatkan hujan yang tentu datang saat kau merindu.
hujan kemarin sore, masih membuat sungai mengalirkan air dari ribuan bukit-bukit telanjang menggigil kedinginan. aku merindu arus sungai yang tak keruh saat hujan mengguyur deras. hutan yang menyimpannya dan membagi maka sungai tak muntah. tak menggenangi halaman rumah, tak masuk dapur, tak menyeret anak-anak yang sedang asyik bermain game di depan tivi di ruang tengah. jika tak menumbuk hutan gedung-gedung berbeton, tentu tidak.
aku masih ingat saat reda, hujan yang bertetabuhan semakin lirih. tetesannya lembut mengajakku untuk duduk di teras bersanding teh hangat tak terlalu pahit.

aku merindu hujan yang tak membuat banjir, yang tak merusak. 

Jumat, 28 November 2014

membangun trotoar



bapak-bapak membangun trotoar disepanjang jalan perkotaan. Mengecatnya, menempatkan warna yang serasi agar mata berasa nyaman memandang. drainase diperbaiki, dirapikan. ditanaminya pohon peneduh agar saat panas tak menyengat, agar hujan tak langsung menghujam tanah, agar udara menjadi segar, agar burung bisa berdendang di dahannya dan beranak pinak. 

bapak-bapak membangun trotoar, para pedagang kalilima mengintip. menandai tempat, tengak-tengok kanan kiri atas bawah. ‘akan aku buka lagi tempat dagang di sana.’

sebelum pohon peneduh rindang, torotoar baru yang dibangun bapak-bapak. segeralah atap-atap bedeng kaki lima menutupnya. bergelantungan  warna-warni barang dagangan dihiasi promosi, harga murah barang berkualitas, bergelantungan menari-nari bersenyum-senyum menyapa.
sampah-sampah plastik bertebaran, pewarna makanan membentuk lukisan melompat-lompat, lalat segera berkembang biak terbang hinggap disana disini, di tempat kotor di tempat tak bersih.

Jumat, 21 November 2014

Hujan kemarin sore


hujan kemarin sore, ketika aku pulang, selalu memngingatkanku tentang jalanberlubang-jalanberlubang yang tak pernah sempurna tertutupi. jejak sejarah pemerintah. tercatat amarah tumpah. air-air menggelontor menggerus bahu jalan, mengaliri drainase yang rusak, yang tetutup tanah dan batu-batu, yang bercecer sampah plastik sepanjangnya.

ini hari dan besok seterusnya, aku melewatinya lagi. berharap diperbaiki, berdoa tak terlalu banyak anggaran yang dikorupsi. tak ada sensasi berita kebobrokan terdengar,  tak ada kelakuan penggede terhormat  bercakaran berebut kursi kekuasaan berkoar lantang, hipokrit; demi rakyat

Rabu, 19 November 2014

Bukan hal keliru, barangkali



bukan hal yang keliru jika berharap pada pemimpin baru, meski sering tak terujud harapan-harapan itu pada kemarin. mencoba yang begini barangkali bisa begitu, mencoba yang belum pernah seperti sebelumnya, barangkali bisa lebih baik. Berkritik, bukan tidak suka, hanya barangkali bisa terdengar, barangkali menjadi pertimbangan.

Bukan hal yang keliru jika masih berharap, kita bisa aman sejahtera, meski telah berkali-kali kecewa, meski berkali-kali jauh dari angan-angan. Karena langit masih biru, karena langit masih mau menampung awan-awan tempat menyandar harapan yang ditinggalkan di sebelah bintang-bintang yang tak pernah berhenti berkedip. Karena laut masih berwarna biru meski air dari hulu coklat penuh lumpur dan sampah busuk. Karena hujan masih turun bening. 

Mereka yang berbeda pendapat, semoga karena Indonesia tercinta ini, semoga bukan untuk kepentingannya sendiri,

Rabu, 12 November 2014

haus gol



Saya kerap mendengar kalimat ‘penyerang haus gol’ pada pemberitaan sepak bola, dan selalu berpikir apakah kalimat itu tepat untuk menyampaikan kabar tersebut. Kata haus secara harfiah berarti berasa kering di kerongkongan dan ingin minum. Jika diterapkan pada kata ‘penyerang haus gol’ mungkin bisa dimaksudkan; penyerang yang selalu ingin membuat gol. Pada kontek kalimat ini, penyerang yang disebut ‘haus gol’ adalah penyerang yang sering memuat gol dalam kondisi dan posisi apapun. Ia bisa berkleit dari hadangan lawan dan mencari ruang untuk membuat gol dengan tendangan yang spektakuler dan sulit diduga lawan juga oleh penjaga gawang. 

Berkaitan dengan kata ‘haus gol’ ini, seperti hanya si penyerang itulah yang haus gol. Padahal di lapangan, setiap pemain merasa haus untuk menciptakan gol, bahkan seorang kiper pun. Apakah seorang yang pandai membuat gol dalam situasi dan kondisi apapun bisa disebut ‘haus gol’?. Mungkin kata haus gol akan lebih tepat jika digantikan kata lain seperti ‘bomber mematikan’ yang juga sering dipakai dalam pemberitaan. 

Sebuah kalimat yang sudah kadung membumi akan menjadi kalimat yang terus dipakai meski kata atau kalimat tersebut tidak tepat.    
Ada banyak lagi kalimat semacam itu...

Senin, 10 November 2014

Ridwan Kamil, Persib, RI 1 2019-2024.



Bagi para pecinta sepak bola Indonesia, keberhasilan Persib menjuarai ISL 2014 pasti sudah mengetahuinya. Kompetisi sepak bola tertinggi di ranah persepakbolaan Indonesia diakhiri dengan indah oleh Persib setelah melawan Persipura, sang juara bertahan, melalui adu pinalti setelah melewati perpanjangan waktu hasilnya masih imbang 2-2. Sembilan belas tahun menanti, akhirnya penantian itu terbayarkan. Terakhir sebelumnya Persib menjurai Liga Perserikatan di tahun 1995. 

Ini hasil akhir dari Kompetisi sepak bola di Indonesia yang berlabel ISL (Indonesia Super League) dan Persib menjadi kampium. Sepak bola telah menjadi olahraga yang paling banyak peminatnya. Kesukaan pada sepakbola menjadikan begitu banyak orang yang mengorbankan harta, pikiran dan waktu demi untuk menonton sepak bola, terlebih jika yang sedang bertanding klub kebanggannya. Dalam sepakbola bukan hanya 22 pemain, tiga wasit, pelatih, panitia pertandingan dan beberpa anak gawang, banyak sekali orang yang terlibat persepakbolaan, baik yang terlibat aktif atau terlibat pasif.
Ketenaran sepakbola bisa sekali mengangkat nama seseorang menjadi melambung tinggi, terkenal ke seluruh jagat raya sepakbola, terkenal dari anak-anak dipegunungan sampai kakek-kakek di pinggir pantai di daerah terpencil. Dan Persib telah berhasil membuat bangga para bebotohnya. Serta merta kegembiraan itu ditampung dalam sebuah suasana yang disebut pesta. Piala simbol kemenangan itu diarak keliling kota Bandung untuk menggugah rasa kebanggaan dan patriotik dari dada para penggila bola.

Dan, Ridwan Kamil ada diantara kegembiraan mereka, menjadi bagian penting dari sebuah klub sepak bola yang dinamai Persib. Sebuah keberuntungan baginya, kemenangan Persib pas ketiak Ia sedang menjabat sebagai walikota dengan menyandang nama harum sebagai walikota yang baik. Seluruh mata Indonesia tentu mengarah ke sana, bagaimana sang walikota Bandung itu mencukur gundul kepalanya sebagai nazar jika Persib menang. Nazarnya seorang walikota sekaliber Ridwan Kamil tentu sangat berbeda dengan nazarnya orang biasa saja. 

Jika Ridwan Kamil mau berada dalam politik terus dengan ‘kondisi’ seperti sekarang ini, Ia bisa menjadi seperti Jokowi yang dengan sangat baik memanfaatkan momen untuk mengkampanyekan dirinya. Jika Jokowi terkenal lewat mobil SMK, maka Ridwan Kamil bisa lebih mempopulerkan diri lewat sepakbola. Apalagi Ia menjabat 2013-2018, yang artinya setahun sebelum Jokowi turun, Ia bisa bersiap diri.  Jadi, lewat sepak bola Ridwan Kamil bisa menjadi RI 1 2019-2024. Kita tunggu..

Minggu, 09 November 2014

rasa moral pekerjaan



7-Nop-2014,menjelang sholat jum’at,  sejenak sempat berbicara dengan seorang pria tua yang gerak-geriknya sudah diatur rapi penuh kehati-hatian.  Ketika sama-sama di bengkel menunggu pekerjaan juru mekanik selesai. Beliau berkopiah, sudah nampak ada sorot ketenangan pada wajah dan nada bicaranya. Ia seorang yang sudah purnatugas sebagai anggota  brimbo. Pangkat terakhir beliau letnan satu, sebelum sebutan pangkat di Polri di rubah. 

Sedeikit pertanyaan saya tentang ‘enak ‘ mana menjadi Brimob dibanding dengan polisi umum. Beliau menjawab: secara moral enak di brimob. Saya tak bertanya lebih banyak tentang secara moral itu. Sepertinya saya sudah mengerti dan paham dan tak merasa perlu untuk mendengar penjelasan tentang jawabannya itu. 

Saya malah asyik tentang pola pikir saya yang megembara sesuka dugaan saya dengan menyambungkan ingatan-ingatan tentang peristiwa yang berkaitan dengan tindak tanduk polisi secara keseluruhan. Saya juga sadar tengang ingatan-ingatan saya yang berarah tak obyektif karena hanya ‘mengenang’ sesuatu yang kurang baik tentang perilaku polisi. Saya paham, banyak sekali perilaku polisi sebagai lembaga ataupun sebagai perorangan yang baik, terpuji dan layak sekali mendapatkan apresiasi. Saya tak habis pikir kenapa yang ada dalam benakku adalh tentang polisi yang selalu berkaitan dengan duit jika berurusan dengan Polisi. Stigma di masyarakat tentang, berurusan dengan polisi ujung-ujungnya harus keluar duit, menjadi lebih kuat menempel di  pikiran ketimbang polisi polisi yang berkelakuan baik, mengayomi dan melayani masyarakat.

Dari jawaban beliau tentag ‘secara moral’, bisa berkesimpulan kalau begitu banyak anggota polisi yang merasa terbebani moral tentang polisi di Indonesia yang masih ter-cap buruk dan cap berurusan dengan polisi harus dengan uang. Masyarakat sudah ingin segera melepas dendam begitu seorang anggota polisi pensiun. Rasa dendam itu tentu semakin besar jika si oknum polisi berkelakuan tidak baik, sok dan menjijikan.  Ini bisa tidak terjadi jika polisi yang pensiun itu memang dikenal baik oleh warga sekitar. Tapi secara umum, masyarakat yang tidak tahu baik tidaknya si polisi yang sudah pensiun, akan dengan serta merta ingin ‘mengejek’ sebagi balas dendam. Entah dendam pada siapa dan entah dendam yang bagaimana.

Mengangkat citra polisi agar masyarakat percaya, adalah sebuah pekerjaan besar yang harus dikerjakan dengan telaten, sabar dan terus menerus. Butuh kekompakan darai seluruh aparat kepolisian.