Label

Jumat, 30 Desember 2016

Berhenti menulis puisi.



Bertahun yang lalu saya gagal memahami, puisi Afrizal Malna dan Gunawan Muhamad. Berkali, berulang, mencoba, mencoba, menafsir. Gagal. Tak mengerti yang tersirat, tak memahami yang tersurat. Semua tak juga masuk pada pembahasannya.
Menafsir dari berbagai sudut, tak juga masuk dalam pembahasannya.
Maka aku memilih berhenti mencoba menulis puisi.
Tapi, seorang temanku yang penyair, menyemangati, “tak perlu harus tahu dan memahami semua puisi.”
Maka aku berniat mencoba lagi. Sampai sekarang masih berniat.

Selasa, 27 Desember 2016

hoax

Jika berita hoax dan berita nyata tak bisa dibedakan, apa kita harus melepas semua informasi tentang berita.

Ada yang ingin di capai pad seseorang yang rajin membuat dan meng-upload berita hoax pada internet. Rumus sederhananya, setiap ada perbuatan pasti ada yang ingin dihasilakan dari apa yang dilakukannya. Bisa karena uang, hobi, keinginan, iseng atau bisa juga karena tekanan.

Berita hoax yang disusun dan ditulis dengan rapi, sistematis, dan juga penuh dengan argumen serat tautan kejadian yang sudah ada dan terkenal, menjadikan berita yang hoax membius si pembaca dan bisa mengalahkan berita yang sebenarnya nyata.

Jaringan internet yang makin luas dan akses data yang semakin mudah, menjadikan sebuah berita dalam bentuk apapun, tulisan, audio, visual, gambar, kartun dan alat komunikasi apa saja bisa menyebar dalam hitungan detik.

Kabar buruk bisa berlipat kali penyebarannya dibanding berita baik. Tak heran jika para penulis berita memberi judul yang dramatis, menggugah penasaran untuk meng-klik. Jumlah viewer itulah yang diperlukan bagi para penulis di dunia maya yang dapat menghasilkan uang dari ppc ( pay per clik ), bagi mereka yang berasimilasi dengan layanan iklan semacam google adsense, misalnya, atau semakin banyak pengunjung dan pengikutnya ( subscriber ), pihak pemasang iklan bisa langsung memesan space untuk ditayangkan.

Ujung tujuan dari berita hoax bagi si penulis ( penyebar ) sangat beragam dan berbeda. Dan sasarannya juga bermacam-macam. Hoak akan tidak berpengaruh jika budaya rajin membaca sekaligus memilah sebuah bacaan, semakin baik. Sisi baik dari berita hoax, kita menjadi tidak mudah terprofokasi dan menjadi pembaca yang mengerti dan memahami.

Karena si pembuat hoax selalu punya kepentingan, jangan berharap hoax akan berhenti. Menjadikan kita memahami, mengerti dan bijak dalam menyikapi berita akan menjadi langkah yang bisa untuk meredam kita dari pengaruh berita hoax.

Rabu, 14 Desember 2016

MEMBACA TWITTER PENDUKUNG

Kesan yang timbul ketika membaca twit dari beberapa orang pendukung calon Gubernur DKI adalah, calon yang ia dukunglah yang paling sempurna untuk menjadi Gubernur DKI di tahun 2017 nanti. Segala antisipasi dan kemungkinan direka-reka agar pada 15 Februari 2017 nanti, para pemilih berkeputusan untuk memilih calon yang didukungnya. Maka, dalam menulis statement pendek di twitter yang hanya menyediakan 140 karakter pun, perlu ekstra hati-hati agar tak dijadikan senjata oleh lawan tandingnya untuk menjatuhkan jagoannya. Internet dan media sosial telah menjadi alat yang efektif sekali untuk menyebarkan segala berita.

Para timses tentu akan meperhitungkan setiap huruf yang akan di upload ke media. Semua bisa menjadi senjata yang menguntungkan dan bisa berbalik menjadi senjata untuk lawan yang siap menikamnya. Saya sempat membaca twit seorang ( Politisi PDIP ) pendukung cagub Ahok-Jarot dengan timse dari AHY-Sylvi yang saling berdebat. @budimansujatmiko vs @ranabaja. Dua-duanya merasa berani untuk debat terbuka dan saling merasa punya bukti dan argumen yang kuat untuk mendebatkan sesuatu masalah yang didebatkan dalam twitter. Unsur kehati-hatian tampak sangat di jaga, meski emosi dan kegeraman masih nampak muncul tak tertutupi. Saling menantang, ‘mengejek’ dan mencari pembenaran atas apa yang telah di-twitnya, juga tak jarang menyerang secara personal.

Debat di twitter yang dimungkinkan banyak yang membacanya, pasti diperlukan kalimat yang singkat dan padat meski bisa juga mentautkan postingan dari laman lain. Dan yang tak kalah penting adalah jangan sampai apa yang di twit ‘salah’ sehingga menjadi celah bagi pihak lawan masuk dan membuka jalan lain dalam untuk menyerang terus menerus dan menjatuhkan. Pengguna twitter memang tak sebanyak facebook, tapi di twitter, yang bukan follower pun bisa melihat apa yang di twit atau mencari bahasan dengan hastag tertentu. Di situ bisa melihat retweet yang diquote dari sebuah twit seseorang untuk saling membalas dan menjadi ajang perdebatan. Kadang kata-kata nyinyir tersirat, mungkin untuk memancing lawan debat. Dan keduanya mempermasalahkan kenyinyiran itu, seolah mereka tak bersih dari kalimat nyinyir. Tapi, yang namanya debat, tetap masalah ingin menjatuhkan lawan debat tetap terbaca.

Saya jadi membayangkan jika mereka saling bertemu untuk berdebat di muka umum ( di siarkan live oleh televisi ) atau di tempat terbuka dengan banyak penonton dan kemudian debat dengan hanya berdua tanpa direkam, tanpa penonton. Jika debat cara yang pertama, tentu keduanya akan menjaga imij ( image ) sekuat tenaga agar emosi dan ‘kegeraman’ tetap terjaga sehingga menimbulkan kesan sebagai intelektualis yang patut, santun, berpendidikan dan meng-Indonesia. Berusaha menunjukan saya dan yang saya dukung adalah terbaik dan yang melihatku berdebat harus salut dan menjadi mendukungku, itu menjadi tanggungjawab yang harus dipikul. Tanggungjawab itulah yang membatasi ekspresi dan selalu terpikirkan sebagai rambu-rambu yang secara sadar harus tidak boleh dilanggar. Jika terjadi ketidaksengajaan melanggar, ini akan menjadi sebuah blunder yang akan sulit untuk menetralisir. Dan akan menjadi sangat repot jika pelanggaran itu seperti disengaja dan tidak punya bukti-bukti dan argumen pendukung untuk mem-backup apa yang diucapkan.

Secara umum debat di twitter, menurut saya menjadi menarik karena keterbatasan ketersediaan space karakter yang hanya 140, memunculkan penafsiran baru. Kadang juga ada beberapa kalimat yang sengaja dimultitafsirkan dan tetap dibiarkan menyimpan misteri. Dari kalimat multitafsir itulah kemudian muncul hal lain yang membuka pintu lagi untuk masuk dalam perdebatan lebih jauh.

Selamat berdebat, semoga calon gubernur yang kalian dukung jadi semua.

Kamis, 01 Desember 2016

Aspirasi di jalan

karena capek menghindari lubang di sekujur jalan
aku berhenti dan berteriak tepat di perempatan jalan saat pagi menjelang siang;

“pak bupati, pak gubernur, pak presiden. jika anda ingin dipilih lagi
bikin jalan yang bagus, yang bagus. karena jalan alat kampanye paling terlihat..”

para sopir dan pengendara lain bertepuk tangan

“semoga bukan tepuk sebelah tangan.” aku berdoa. mereka tak tahu. tak mengerti.

bergegaslah semua, juga aku, memburu waktu agar tak terlalu panjang terlambatnya

INI TENTANG SEANDAINYA DAN MUNGKIN ( AHOK )

Seandainya dan mungkin itu dua buah kata yang mudah untuk di kembangkan ke berbagai arah. Berbagai bahasan bisa saja mengarah ke sesuatu yang sebelumnya tidak terduga. Melenceng dari awal bahasan. Bisa saja mengarah pada sesuatu hal yang lebih mengasyikan, lebih menakjubkan, inspiratif atau bisa saja malah mengarah pada hal yang menjemukan dan tidak berkembang menjadi sebuah bahasan yang mengasyikan. Seperti para pelawak di panggung yang pandai berimprofisasi sahut menyahut, sambung menyambung yang meletupkan sebuah kejutan yang melahirkan tawa segar yang sebelumnya tak terduga.

Coba, seandainya ( 1 ) besok tanggal 12 Desember 2016, aksi menuntut Ahok, Gubernur DKI yang tersangka penistaan agama yang diberi label Aksi Bela Islam III, berjalan damai, santun, tanpa kerusushan, tanpa sampah berserakan dan tanpa korban jiwa seperti pada aksi tanggal 4 November 2016, pokoknya semua berjalan indah dan Islami. Tapi, apa yang diharapkan oleh para peng-aksi, tidak dipenuhi oleh pemerintah yang sedang berkuasa, berkesan mengulur waktu sambil mencari berita (booming) lain agar masalah Ahok terlupakan. Seandaianya begitu apa yang terjadi?

Maka ini akan melahirkan berbagai macam mungkin. Mungkin akan ada aksi lagi yang dengan cara lain. Mungkin ada cara lain yang lebih halus atau bahkan lebih kasar agar tuntutannya terpenuhi. Mungkin warga DKI yang punya hak pilih banyak yang tadinya mendukung Ahok berbalik menjadi pendukung calon lain. Jika demikian, menjadi sebuah mungkin bagi Pasangan Agus-Sylviana dan Anis-Sandiaga merubah strategi ‘menampung’ suara Ahok yang keluar karena Aksi Bela Islam III. Mungkin itu menjadi berbenturan bagi dua pasangan  yang menyikapi mungkin yang sangat dinamis. Berbagai cara dan strategi untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terus menerus bergerak liar mungkin sudah disiapkan dengan mungkin-mungkin yang lain yang mungkin timbul.

Mungkin penguasa menyiapkan strategi lain agar kekuasaan dan kekuatan pemerintah tetap tegak berdiri. Atau mungkin, sekarang pun mereka sedang menimbang-menimbang langkah apa yang harus dilakukan sekarang sampai besok pagi, sampai lusa, sampai benar-benar bisa terkendali. Mungkin ada strategi ‘pengamanan khusus’ pada seseorang atau pada kelompok tertentu agar tidak menjadi sebuah gerakan yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan kekuasaan pemerintah tetap tegak sampai habis masa kontraknya. Segala kemungkinan di catat, di jejer dan dihitung kemungkinan-kemungkinan terbesar yang mungkin timbul dengan segala akibat dari berbagai mungkin yang bercabang-cabang.

Mungkin pembela dan pendukung Ahok terus berkelit sambil mencari kekuatan baru. Mungkin yang berkepentingan dengan politik dan kekuasaan “melaui” Ahok terus menggalang masa dan mencari cara agar Ahok bisa maju dalam Pilgub DKI tahun 2017. Dan tentu berusaha sekuat mungkin agar perolehan suaranya melebihi 50% agar tak perlu ada pemilihan kedua. Dan jika Ahok sampai terpilih jadi Gubernur di Pilkada Februari 2017 nanti. Dan mungkin saja kemudian kawan dekat politiknya malah berbalik arah berusaha agar Ahok jadi dipenjara. Dan jika sampai Ahok dipenjara, tentu wakilnya yang naik jadi Gubernur dan kursi wakilnya jadi rebutan. Dan yang merasa partai  besar pasti tunjuk jari secepat mungkin agar kadernya duduk di kursi yang ditinggal naik. Mungkin sekarang sudah ada yang mempola skenario semacam itu.
Itu mungkin dari seandainya ( 1 ), yang masih banyak sekali mungkin yang lain yang belum tertulis di sini.

Coba, seandainya ( 2 ), aksi terjadi chaos, rusuh, terjadi adu fisik dan timbul korban jiwa. Meski umat Islam menjaganya agar tetap damai, tenang, dan tertib. Pihak-pihak yang menginginkan terjadi kerusuhan bisa saja memancing masa, dengan berbagai cara : menyebar isu, berita hoax, memprovokasi dll.

Akan banyak lagi melahirkan mungkin. Peristiwa 98 bisa terjadi, benturan SARA mungkin bisa saja terjadi dan meluas menjadi kekacauan yang melebar. Dan yang paling menakutkan adalah sebuah gerakan yang mengancam keutuhan NKRI. Dan sangat mungkin keutuhan NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika terancam. Nah, untuk mencegah ini, rupanya pemerintah sudah menyadari, salah satunya pada upacara Bhineka Tunggal Ika, di tekankan tentang kebhinekaan yang ada di negeri kita tercinta. Di kota saya pun diadakan upacara itu. Dan, elite-elite politik pun terus berkomunikasi, mencari titik temu yang tepat untuk meredam segala penjuru kepentingan yang terus berdesakan.

Coba, seandainya ( 3 ), aksi berhasil mendesak pemerintah memenjarakan Ahok. Dan Ahok dipenjara.
Apa mungkin pendukungnya Ahok berdiam diri menerima keputusan. Mungkin sekali mereka mencari cara lain agar sosok Ahok-Ahok lain lahir agar pintu kepentingannya terbuka untuk kelompoknya. Dan para pengacara berlomba membelanya mencuri perhatian para ‘orang bermasalah’  dan sekaligus mendapat upah. Karena membela kasus berat akan membuat pengacara berkibar dan menjadi pilihan bagi orang-orang yang bermasalah dengan hukum.

Coba, seandainya ( 4 ), aksi rusuh tapi tuntutannya tidak terpenuhi dan Ahok tetap melenggang dalam PilGub dan jadi.

Mungkin akan ada aksi lebih besar lagi, atau mungkin para peng-aksi kemudian lelah dan menurun rasa kepeduliannya untuk beraksi.

Coba, seandainya ( 5 ), Ahok mundur dari calon gubernur dengan syarat tidak lanjutkan permasalahan tuduhan penistaan agama.
Mungkin ada pihak yang menerima, mungkin saja ada pihak yang ingin tetap dituntut sesuai hukum yang berlaku, dan mungkin ada juga ingin Ahok di hukum sesuai keinginannya tanpa mengindahkan hukum yang berlaku.

Coba, seandainya ( 6 ), Ahok mundur dan menjadi pendukung aktif salah satu pasangan pesaingnya.
Mungkin, pihak yang didukung Ahok bisa bertambah suarnaya. Atau mungkin bisa saja malah membuat pendukung setianya malah pindah mendukung.

Coba, seandianya ( 7 ), ada pihak luar negeri yang berkeinginan Indonesia rusuh, berhasil menjadikan aksi besok menjadi gerbang untuk masuk bagi kepentingannya.

Coba, seandainya ( 8 ), pihak yang menerima maaf Ahok dan tidak dilanjutkan perkaranya dengan pihak yang menuntut Ahok dipenjara bertemu dan berdebat.

Mungkin, ....

Berganti seandainya, maka akan merubah mungkin. Karena seandainya, pintu masuk untuk berbagai mungkin.

Jumat, 21 Oktober 2016

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN

Aku seorang muslim

Islam adalah sempurna

Tapi aku tidak sempurna

Jika aku berbuat kesalahan jangan salahkan Islam

Tapi, salahkan aku


“Inilah sebabnya penting untuk diperjleas apa makna sebenarnya menjadi seorang muslim. Aku dan banyak Muslim lain telah diajarkan, sejak tahun-tahun pertama bahwa agama kami, menuntut hormat dan perhatian bagi sesama. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kalian tidak beriman hingga kalian mencintai sesamamu seperti cinta kalian kepada dirimu sendiri. Itulah makna menjadi seorang Muslim. Diantara nama-nama Allah kita dengar; Maha Pengasih, Maha Penyayang. Selama hidupku, setiap hari aku mendengar dan memberi salam ‘Assamu ‘alaikum...’ Ucapan kepada orang lain agar diberkati dengan damai. Inilah makna menjadi seorang Muslim. Lebih dari seribu tahun lalu sebelum konvensi Jenewa, tentara Muslim diperintah dilarang membunuh anak, wanita atau orang tua. Dilarang merusak pohon, dilarang mencelakakan pendeta, dilarang merusak gereja. Nilai-nilai Islam yang sama ini diajarkan kepada kami di sekolah sejak kanak-kanak. Tidak menghancurkan atau menodai tempat di mana Tuhan disembah. Tidak mesjid, tidak gereja, tidak sinagog. Ini. Sejarah, geografi, dan masa depan mengikat kita. Jangan ada yang memisahkan kita, karena bersama-sama kita bisa mencipta pilar-pilar saling menghormati, yang akan mendukung kebaikan bersama bagi generasi mendatang.”


King Abdullah II ibn al-Hussein dari Jordania, di depan Parelemen Uni Eropa 10 Maret 2015

Rabu, 19 Oktober 2016

membaca menulis

Membaca;

Membaca itu nikmat dan menyenangkan, jika sesuatu yang dibaca itu membawa pada alam yang dikehendaki ke arah alam imaginasi kita. Jika kata yang disusun membentuk kalimat menjadi enak dirasa dan diikuti alurnya. Membaca bagi saya seperti berwisata dengan tanpa polusi dan tanpa harus bertemu dengan banyak orang dengan segala polah tingkah, berdesak-desakan, antri dan segala macam sesuatu yang mengusik sebuah ketenangan dan sepi yang bermakna. Alur pikiran yang dituangkan oleh penulis yang berbeda dan bermacam-macam acuan, pola pikir, idealisme, pondasi ide, pegetahuan secara umum dan khusu, kecenderungan terhadap sebuah kepercayaan dan agama yang di anut, bisa membangun sebuah ‘lokasi’ wisata yang dihiasi oleh imaginasi kita dalam membaca. Segala yang dituangkan penulis dengan bumbu yang mendasarinya menulis, menjadi menu sajian tersendiri.

Wisata membaca itu akan menjadi semakin membawa ke dunia lain yang dibangun oleh penulis. Kadang bangunan wisata itu ternyata gagal untuk sebagian pembaca. Kegagalan membangun wisata itu tak sepenuhnya ‘kesalahan’ sang penulis membawakan cerita, tetapi bisa juga karena si pembaca tak selera dengan gaya bahasa yang dibangun. Sebuah cerita yan bagus bagi sebagian orang, belum tentu menyenangkan bagi sebagian orang lain.

Saya sendiri lebih suka membaca daripada menonton sebuah novel atau cerpen yang difilmkan. Beberapa ada yang saya baca ceritanya kemudian menonton filmnya. Dan saya sering merasa kecewa, karena ternyata apa yang dituangkan di film oleh sutradara tidak sama dengan bangunan imajinasi saya saat membacanya. Bahkan saat saya lebih dulu menonton filmnya kemudian baru membaca bukunya, imajinasi bangunan saya tidak sealur dengan imajinasi sang sutradara yang dituangkan dalam film tersebut. Disitu ada ‘kesenangan’ tersendiri, karena imajinasi saya tidak terpengaruh oleh film tersebut.

Menulis;
Sama seperti membaca, menulis juga menghadirkan sebuah kenyamanan tersendiri. Sebuah hal yang sederhana, ditulis dari sisi pandang yang berbeda, sisi pandang yang imajinatif dan kreatif akan menjadi sebuah tulisan yang membangun jalan ‘wisata’ bagi si pembaca. Sebuah pencerahan baru akan timbul dari sebuah tulisan yang orisinil dengan ide kreatif imajanatif.

Cara penuangan ide dalam tulisan, terpengaruhi oleh kondisi saat menulis. Kondisi ini dapat berupa; idealisme sesaat, kepercayaan dan keyakinan, gejolak sosial dan politik, kecenderungan hobi, dan kejadian saat ide itu muncul dan tertangkap dalam bank ide.

Sebuah ide yang tertangkap dan masuk dalam bank ide, saat ditulis, seringkali melenceng dari ide awal. Bahkan bisa memunculkan ide baru saat penulisan. Jika kita ingin mempertahankan ide awal yang akan di tulis, diperlukan sebuah kerangka tulisan sampai akhir agar hasil penulisan tak keluar dari ide awal. Saya sendiri sering membiarkan munculnya ide lain saat menulis dan mengikutinya menjadi sebuah ide yang baru. Ide awal yang telah tertinggalkan, jika masih minat akan ditulis kembali.

Membaca dan menulis, sama-sama menikmatkan. Saya akan melahap dulu sampai tuntas sebuah buku jika sudah masuk pada dunia membaca. Itu akan melupakan dan tak menyempatkan waktu untuk menikmati menulis. Hal itu juga untuk menghindari agar dalam saya menulis tidak terkontaminasi oleh ide dari penulis yang sedang saya baca.

Karena menulis dan membaca sama-sama menikmatkan, tak ada prioritas dari keduanya. Menulis bagi saya pun, sekedar mencari nikmat, sama seperti membaca.

Oktober 2016

Jumat, 16 September 2016

puisi anakku

Pagi hari.

Aku melihat

Dari jendela dapur

Bunga warna ungu, indah sekali.

Seperti peri.

Saya sebut tulisan di atas sebuah puisi. Kali ini saya baca lagi. Ya, sebuah puisi dari anakku di bulan Agustus 2013 pas saya ulang tahun, tiga tahun lalu. Sambil berlatih menulis dengan menggunakan laptop, Ia eja satu satu dan sibuk mencari posisi huruf di keyboard. Maklum saja, anakku belum hafal dan belum terbiasa menulis pakai keyboard. Ia masih baru masuk TK. Saya menjadi merasa perlu untuk menyimpan tulisannya yang hanya lima baris itu. Ia menulis tanpa ada pengarahan dariku. Saya terkesima dengan ide sederhananya.

Saya tidak tahu kenapa Ia memilih kata ‘jendela dapur’ yang di dalam rumah tidak ada jendela di dapur yang dapat untuk melongok melihat bunga. Jika kata; bunga warna ungu, mungkin yang Ia maksud, bunga senggani yang memang ada di halaman rumah belakang. Dan yang lebih saya terkaget dan bingung adalah kata indah seperti peri. Waktu saya tanya peri itu seperti apa, Ia hanya tersenyum disambung dengan tawa yang tak kumengerti. Dan saya berusaha menjawab pertanyaanku sendiri, apakah menurut anakku peri itu indah, atau menurutnya peri itu seperti bunga yang berwarna ungu. Jika Ia memiih kata; pagi hari, mungkin karena saat menulis pas pagi hari, karena saya pikir imajinasi anakku masih sederhana dan tak menciptakan sebuah kalimat bertafsir yang ke banyak penjuru ide.

Kadang saya berprasangka baik jika anakku itu menulis dengan naluri benih kesastrawanannya. Kemudian saya berangan-angan kelak Ia menjadi seorang penulis kesohor. Puisi yang Ia tulis memang sederhana, sangat sederhana. Itu jika kita menafsirkannya secara sederhana dan menganggap itu sebuah tulisan seorang anak kecil yang sedang latihan menulis.

Coba saja jika tulisan sederhana itu di tulis oleh seorang sastrawan besar seperti Sapardi Djaka Damono, WS Rendra, Khairil Anwar, Gunawan Muhammad, Pramoedya Ananta Toer atau Kahlil Gibran, pasti para pengamat dan kritikus sastra akan menafsirkan tulisan sederhana itu dengan berhalaman-halaman penafsiran yang dikait-kaitkan dengan kondisi pada saat di tulis, keadaan penulis, kecenderungan idealis penulis, kondisi sosial politik dsb dsb. Berbagai perdebatan di media pun silih berganti bermunculan, sampai kemudian subyektifitas pengamat saling beradu argumen.

Subyektifitas dalam sastra (puisi) memang menjadi sesuatu yang menarik, baik pada si penulis maupun pada pengamat ataupun kritikus. Sebuah subyektifitas yang diolah dan diramu dengan obyektifitas sedemikian rupa oleh si penulis sehingga menghasilkan tulisan yang menarik dan melahirkan penafsiran yang berbeda-beda pada setiap pembaca. Dan saya secara subyektif menganggap tulisan anak saya menarik dan saya sering menafsirkan dengan berbeda-beda.

Kamis, 15 September 2016

Bruno Birahi

djayim.com
Saya begitu yakin sebelumnya, jika kucingku, kucing kesayangan sekeluarga berjenis kelamin laki-laki, jantan, karena sewaktu saya membawanya dari rumah sang pemberi, ia menyebutnya kucing jantan. Sampai kemudian saya menyempatkan untuk lebih meneliti jenis kelaminnya. Tentu dengan mengamati detail lokasi yang menentukan apakah kucingku cewek atau cowok. Dan, aku berkesimpulan ia perempuan, cewek, wanita. Wanita? Kayaknya ‘wanita’ hanya pas untuk orang. Masak ada kucing wanita. Terus, apa sebab saya harus meneliti jenis kelamin kucingku itu? Karena ia mengalami masa birahi yang nampaknya sangat menyiksa.

Kucing yang sebelunya jarang sekali bersuara itu menjadi mengeong-ngeong agak keras berulang-ulang meski tidak seperti kucing ras jawa. Ia sangat memerlukan pelepasan rasa birahi yang datangnya pada masa tertentu dan nampaknya menjadi sebuah keharusan. Jika ia di elus-elus punggungnya, ia memperlihatkan gerak menata diri untuk siap ‘menerima’ dengan gerakan-gerakan erotis ala kucing. Dengan niat ingin membantu dan kasihan melihat raut mukanya, saya bawa ia ke rumah tetangga agak jauh yang punya kucing sejenis.

Kucing punya tetanggaku ternyata lebih besar, mungkin beda ras atau karena lebih gemuk. Mungkin kucing saya ras Angora, yang punya tetangga ras Persia. Saya dekatkan dengan kucing tetanggaku itu, tapi keduanya menebar sikap tak bersahabat. Seperti menemui musuh yang harus dikalahkan satu sama lain. Sepertinya rasa birahi di kucingku sementara hilang. Perlu pendekatan dan pengenalan dalam dua tiga hari mungkin, pikirku. Setengah jam saya coba memulai untuk mengakrabkan. Misiku gagal, saya bawa pulang ia dan sampai di rumah, si Bruno, kembali mengeong-ngeong ‘kegatelan’. Kasihan sekali ia, sampai anak saya yang kelas tiga es-de berkali-kali menanyakan sambil mengelus-ngelus bulunya yang menggemaskan, “Kamu kenapa Brun, sakit yah?”

Saya namai kucing saya Bruno, kalau tidak salah Bruno III. Itu karena setiap saya punya kucing saya namai Bruno. Tentu tidak ada kaitannya denga Frank Bruno petinju legendaris Inggris itu. Bruno I saya namai pas ketika Frank Bruno masih malang melintang di dunia adu jotos itu, sekira akhir tahun 80an. Kucing yang saya namai Bruno ketika itu berjenis kelamin laki-laki. Bruno II juga laki-laki, pejantan. Keduanya kucing ras jawa. Untuk Bruno III, saya ragu apakah ia jantan atau betina. Waktu saya amati seperti betina, tapi waktu saya perbandingkan dengan gambar yang mbah google punya, yang jantan pun posisi kelaminnya mirip dengan kucing saya. Saya tinggal nunggu apakah ia hamil atau tidak, karena setelah tiga hari saya biarkan berkeliaran mencari pasangan, ia kemudian tenang lagi dan tidak gorangganténgan. Jika tak hamil, berarti kucingku jantan atau ia betina tapi tak ada kucing jawa yang ‘sudi’ melepas birahinya.

Nama Bruno akan tetap saya pakai untuk menyebutnya, toh kucing tak akan protes apakah itu nama untuk betina atau jantan. Atau barangkali sebenarnya ia protes, karena sering kali ketika saya panggil Bruno, ia hanya melirik sedikit sinis. Kelak jika kucingku yang sekarang hilang atau mati, saya akan tetap menamainya Bruno untuk kucing penggantinya, dengan tidak memperdulikan jenis kelamin.


15 September 2016

Sabtu, 10 September 2016

Berinternet yang menjengkelkan

Saya sering merasa kesal jika membuka web di laptop atau pc yang memakai OS Windows. Ketika saya klik atau saya buka di tab baru selalu diarahkan ke situs belanjaan. Juga selalu di tutupi oleh iklan yang saya sama sekali tak ingin melihatnya. Otomatis saya close dan buka lagi, tapi selalu muncul begitu. Sudah berulang kali mencoba setting browser atau uninstall program yang dengan pe-denya masuk lewat jalur internet dan tanpa sepengetahuan memasangkan diri. Tapi hanya sebentar dan kembali muncul maslah dalam berselancar di dunia maya. Tool jebakan juga sering mengantar saya pada situs game atau situs belanjaan yang tidak sedang diperlukan. Bahkan simbol close (X) dan tulisan close pun kalau di klik akan langsung mengarahkan pada laman yang tak di tuju.

Saat browsing pada laptop atau pc yang memakai OS Windows, seolah bayak sekali aplikasi yang menjengkelkan masuk dan susah untuk di usir. Malware hampir ada dan bersembunyi di setiap tempat yang kita sering tak menduganya. Lain halnya jika kita browsing dengan OS android jika di HP atau pakai Ubuntu jika di PC. Dengan aplikasi android atau Ubuntu, jika pun ada iklan, bisa di close dan tidak langsung mengarahkan pada situs yang tak diundang. Yang bikin malware mungkin orang yang ingin barang bikinannya dilihat dan dan diminati orang tapi dengan cara menyusup dan tak perlu bayar ruang iklan. Atau sekedar iseng untuk membobol ‘ketahanan’ sistem operasi. Dan hal yang tak bisa kita hindari saat masuk dalam dunia maya adalah banyak sekali orang yang berkepentingan, orang yang iseng, orang yang berperang dalam dagang, orang yang berlomba menjatuhkan lawan, orang yang bereksperimen, orang yang berkepentingan dengan idealismenya.

Semua punya kepentingan terhadap uang pada jaringan informasi dan komunikasi. Membuat sebuah situs berita, tentu perlu biaya yang tidak sedikit untuk membiayainya dan untuk tetap eksis dalam persaingan kejam di dunia media. Media baca, seperti koran, tabloid dan majalah yang kita bisa memilih iklan apa yang perlu kita lihat, sudah semakin terasa ribet. Perasaan ribet ini karena muncul media baru, smart phone, tab, laptop dan sejenisnya, yang dala satu wadah bisa menyimpan jutaan informasi. Dan pembiayaan dari semua informasi dan berita pada teknologi digital itu sebagian besar dari iklan.

Para produsen berlomba-lomba menjual barang produksinya untuk membiayai seluruh kegiatannya agar tetap eksis, karyawannya sejahtera, perusahaan selalu untung dan semakin bertambah besar. Pengenalan produk pada calon pembeli inilah yang harus dibiayai oleh produsen. Produsen barang atau jasa meminta jasa pada produsen berita dan informasi untuk mengenalkan produknya. Produsen jasa berita dan informasi akan bangkrut jika tidak ada produsen barang atau jasa yang membiayai kegiatannya dengan memasang iklan. Harganya tentu ada kesepatan antara kedua belah pihak. Semakin besar, terkenal, terpercaya, sebuah perusahaan media massa, sewa ruang iklan akan semakin mahal.


Sebuah situs terkenal semacam detik.com, tribunnews.com, kompas.com, babe, yang menawarkan dan memasang aplikasinya di google play, biaya sewa ruang iklannya tentu berbeda dengan sebuah website atau blog yang viewer tidak banyak. Jumlah pemirsa menjadi pertimbangan bagi pemasang iklan dalam memilih media yang akan di sewa.

Senin, 05 September 2016

Motor GP, Bahasa Inggris Aksyen Spanyol

“Kun, apa yang kau suka dari GP Inggris di sirkuit Silverstone, semalam?”
“Pas wawancara Maverick Vinales, Rossi.”
“Lho..”
“Iya. Bener, saya sangat suka mereka, Vinales, Marques, Lorenzo, kalau di wawancarai wartawan tetap pe-de dengan bahasa Inggris ber aksen Spanyol. Atau kalau Rossi tetap beraksen Itali saat ngomong.”
“Terus, maksudmu?” Jawir tidak tahu arah pembicaraan Raskun.
“Lha, kamu pernah nonton nggak. Di tivi yang judulnya lagi lomba nyanyi, lafal bahasa inggris yang dinyanyikan peserta di tertawakan oleh juri. Nyanyi kan soal, seni tarik suara, soal kesusaian nada musik yang menjadi kesatuan lagu. Kalau soal lafal, tak perlu menjadi hal yang di tertawai.”
“Oh.. gitu yah Kun.”
“Iya!”
“Itu kan haknya para yuri. Makanya kamu jadi jurinya.”
“Coba, berani nggak, mereka menertawai Arkarna yang nyanyi Kebyar-kebyar dengan aksen Inggris, nggak pakai aksen Indonesia.”
“Nggak nasionalis yah Kun?”
“Yoi..”
“Ya sudah, saya juga prihatin dengan generasi kita,” ujar Jawir ingin segera menyudahi.

Beberapa saat lengang, Kasrap dan Gondrong hanya diam. Menunggu cerita kembali lagi ke soal motor GP.
Dan jawir memulai lagi.
“Ketika Rossi dan Marques saling salip berhimpitan. Idiih... mantap dan bikin jantungan.”
“Kalau Marques dan Cruthlow saling salip, kamu nggak jantungan?”
“Ya jantungan dong. Kalau nggak jantungan ya mati dong.”
“Terus, kenapa hanya Rossi dan Marques saja yang bikin kamu deg-degan.”
“Saya mengidolakan Rossi. Mungkin kalau Rossi sudah pensiun saya nggak nonton GP lagi.”
“Kan, akan muncul lagi pembalap yang lebih menghibur lagi nanti. Marques, Vinales, Cruthlow, Jack Miller.”
....

...

Sabtu, 03 September 2016

Sianida Jessica

Dini hari jam setengah tiga 2 September 2016, ketika saya terjaga dari tidur di depan tivi yang lupa saya matikan, saya sempat menyimak sebuah siaran tunda di TVone. Saya menduga siaran tunda karena sebuah sidang tidak mungkin dilakukan jam setengah tiga malam. Sidang tentang kematian Mirna yang di duga di racun oleh Jessica. Sebuah sidang yang disiarkan langsung dan menyita perhatian banyak orang. Sebuah kemisteriusan telah membangun rasa penasaran yang terus bertambah dalam perkara kematian Mirna.

Setiap penayangan acara di tivi pasti melalui sebuah pertimbangan ekonomis. Dengan segala pertimbangan lainnya, produser yang menayangkan ulang sidang kematian Mirna, berharap banyak penonton yang menahan rasa kantuk untuk menyimak semua kejadian dalam sidang. Perdebatan-perdebatan dari disiplin ilmu yang berbeda sering menjadi hal yang menarik dan menambah waawasan bagi orang yang tak pernah menonton sidang di pengadilan. Saksi ahli, ahli IT dan ahli psikologi dan sejenisnya, bersaksi menurut disipli ilmu yang mereka dalami. Harus menerima cecaran pertanyaan dari pengacaranya Jessica, Oto Hasibuan dkk. Tak jarang pertanyaan mereka seperti sengaja menggugah emosi saksi ahli untuk mengganggu konsentrasinya. Pertanyaan dari sisi hukum dan cara bertanya orang yang mau celah kelemahan jawaban untuk membackup tuduhan terhadap kliennya dan juga untuk menyanggah secara kehukuman ( dunia hukum ).

Sebuah misteri memang selalu mengundang penasaran yang pasti mengundang keingintahuan. Produser tivi pasti berebut mencari tempat untuk menyajikan pelepas dahaga penasaran dengan menyajikan secara runtut, terkini sambil terus menyajikan ruang penasaran baru pada pemirsa. Jika acara yang disiarkan ratingnya tinggi, pemasang iklan akan berbondong-bondong dan uang akan mengalir.

Sebuah bukti tentang kematian Mirna yang kata para dokter yang memeriksa karena keracunan sianida, bagi hakim, diperlukan bukti-bukti untuk memutuskan siapa yang melakukannya dan siapa juga yang terlibat, baik yang disengaja atau pun karena lalai.

Begitulah pengadilan dunia. Diperlukan bukti fisik dan bukti lain yang dianggap nalar dan wajar atau tidak wajar menurut ukuran pemikiran manusia yang terbatas. Bagi orang yang percaya agama, pasti akan berguman, “Di akherat nanti, kamu tidak bisa berkilah, tidak bisa mengelak.” Pengadilan yang adil dengan bukti yang tak terbantahkan. karena semua terekam dengan jelas.

Jika kita percaya tentag pengadilan di akherat nanti, maka kita tidak akan berani berbuat sesuatu yang membuat kita akan di hukum di neraka. Jika kita berbuat baik atau tidak baik, semua akan tercatat dengan jelas. Rasa iman kita yang menentukan arah jalan yang dilakoni.

September 2016   

Kamis, 01 September 2016

sambel

Saya sering melihat rumah makan yang menawarkan menu pedas. Lombok ijo, Sambel Ijo, Sambelayah, Tahu mercon, mie setan, lombok setan, atau kalimat lain yang merujuk pada rasa pedas. Ketika membaca penawaran lewat ‘iklan’untuk makan di rumah makan yang membanggakan sebuah kepedasan, saya merasa terdiskriminasi. Saya belum pernah membaca sebuah hasil survey yang mebandingkan prosentase orang yang suka pedas dan orang yang tidak suka pedas. Sebagai orang yang sama sekali tidak suka pedas, saya langsung menuduh kalau menu pedas yang ditawarkan rumah makan pasti karena pemilik atau pengelolanya suka rasa pedas. Mungkin saya keliru, tapi itu hal yang muncul tiap kali saya membaca sebuah tulisan yang membanggakan rasa pedas.

Tersadari juga, banyaknya rumah atau tempat makan yang membanggakan rasa super pedas dan banyak yang sukses, itu menjadi acuan untuk menawarkan menu pedas sebagai andalan untuk menarik calon pembeli. Atau bisa juga, orang yang suka pedas itu kebanyakan orang yang suka berwisata kuliner. Terbukti juga tak ada satu pun rumah makan yang berani menonjolkan menu tidak pedas sebagai menu andalannya pada papan nama rumah makan.

Sebuah penelitian di prancis yang di pimpin oleh Prof. Laurent Begue, seperti dilansir Daily Mail, menemukan bahwa pria yang menyukai makanan pedas cenderung memiliki kadar hormon testosteron yang tinggi cenderung lebih dominan. Seperti diketahui, hormon tersebut berfungsi membentuk sekaligus menjaga organ seks. Bagi sebagian orang mungkin, mungkin benar, tapi juga tidak tertutup kemungkinan jika yang tidak suka pedas pun punya hormon testosteron yang tinggi. Dari penelitian itu pun tidak disebutkan jika memakan makanan pedas bisa meningkatkan hormon testosteron.

Kenyataannya, para pemilik rumah makan berhasil mengikat para calon pemakan dengan mengunggulkan ‘rasa pedas’ dan mengunggulkan ‘rasa tidak pedas’ suatu hal yang tidak mungkin untuk diunggulkan dalam beriklan. Di masyarakat juga sudah begitu menganggap jika penyuka pedas dipandang sebagai orang yang sehat, gagah, maskulin, kuat dan hebat. Dan, saya orang yang menganggap itu sebagai hal yang keliru.


Hal lain yang sering bikin saya kesal, setiap kali saya makan di warung padang dan memesan jangan di kasih sambel, tetap saja sajian yang diantar ada sambelnya di tepi nasi. Seolah si pelayan yakin sekali kalau orang yang masuk ke warung makan padang pasti orang yang suka sambel.

1 Sept 2016 

Senin, 29 Agustus 2016

Better Banyumas di ganti Banyumas Bagus

Raskun seneng rétung angger ana pemuda sing esih peduli lan melu aktif ngramékna perayaan pitulasan. Wulan agustus wis meh entok. Tanggal tua, tapi kegiatan sing judulé ngraméni, esih krasa lan esih ana baé kegiatan. Salah sijiné pertandingan bal-balan urung rampung. Wingi pas balik sekang kota, weruh wong lomba lari. Minggu kiyé ana telu kegiatan resepsi ning RW sebelah, ning RWné déwék lan ning RT sebelah. Kabeh ramé, kabeh pada kreatif.
“Inyong pas ngrungokna sambutan Bupati Banyumas, ana sambutan nganggo basa ngapak, basa Banyumasan, inyong seneng retung. Jen seneng. Tapi pas ana omongan better Banyumas, nyong langsung kecewa. Jen kecewa ora etung.”
“Sebabé priwé kun.” Basta takon mbari mbenerna njagongé.
Jawir nambahi, “Kecewané ko ora ngaruh, Kun. Cumah.”
“Udu masalah ngaruh apa ora ngaruh wir. Kye masalah idealisme.”
“Ih, ora wani-wani kweh aku inyong angger masalah idealisme. Anu kepriwe kwe?”
“Apa langka basa Banyumas sing artiné pada karo better. Better kwe basa inggris. Apa kudu nganggo basa inggris supaya apik. Juara ujaré. Sapa baé sing gawé kuwe, better Banyumas, inyong ra setuju. Ora pokoké. Apa maning kon nganggo kaos apa klambi sing ana tulisané better Banyumas. Ora pokoké. Ora sudi!”
“Aja kesuh Kun, kesuhmu ora krungu nduwur. Maring kabupatén nganah protes. Demo ya kena, demo déwékan.” Jawir nyempaluk karo  ndeleng langit sing ora peténg tapi ora ana lintang.
“Kwe mungkin kaya kiyé Kun,” Basta nanggapi Raskun, “Mungkin, kye tah anu mungkin, supaya bisa dé pas-pasna karo gambar Bawor simbolé Banyumas. Dadi angger huruf ‘B’ kan dé polah kaya gambar Bawor gampang.”
“Angger kaya kué, kan bisa nganggo kata bagus, Banyumas Bagus, kan pada bae huruf ‘B’.”
“Ya yoh,” Basta karo Jawir mantuhuk-manthuk.
“Tapi kan better karo bagus beda artiné,” ucapé Jawir.
“Mbuh beda mbuh pada, pokoké kudu nganggo basa Banyumas. Kudu!”
“Sing ngkudu-na sapa, Kun..”
“Inyong yah. Kudu!”
“Ya, yuh demo baé maring kabupatén kon dé ganti Banyumas Bagus.”
“Yuh.”
“Ya ayuh”

“Ayuh koh, njagong baé.”

Jumat, 26 Agustus 2016

Gawe nggon wisata rohani

Pas bar tahlilan ( mbuh ning umahé  sapa ), wong-wong ora langsung balik ngumah, pada ngobrol karo batir-batir, mbari udud lan medang, ana sing ning njero, ana sing ning jaba. Kukus rokok kemebul ngebeki ruang tamu karo ruang tengah. Ublek. Sing ora seneng rokok lan ora kuat karo kukus rokok metu. Ana sing seneng ngrokok, tapi melu metu, nggolet hawa seger. Mbuh mulai sekang endi, obrolan butul maring masalah pokdarwis, singkatan sekang kelompok sadar wisata.
“Kyeh, kaya kiye. Pada gawe nggon wisata bae yuh.” Jawir mbuka obrolan.
“Nggon wisata ning ndi. Nggon wisata kwe kudu ana nggon sing apik, unik, menarik. Angger ora ya due nilai sejarah sing dé kenal karo wong akeh.” Gondrong langsung nyempaluk karo ngepusna kukus rokok 76 sing wis setengah cendek.
“Kyeh kaya kiye. Ning Lestana Dawa, kan ana kuburan kuna. Kuburané leluhur wong Tlaga. Lha, kwe ana sing dé rumat, dé bangun, supaya apik. Dé gawéni dalan sing pinggirané ngko dé gawé nggon sing unik. Unik, priwe yah... pokoké nggon-nggon sing wong angger liwat pada penasaran. Pada péngin selfie. Lha, ning kono ngko dé gawé crita perjuangan, crita sejarah babat tanah jawa, crita wong sekti sing nggilani. Pokoké crita sing sip sip lah. Critané bisa dé gawé buku, bisa dé muat ning fesbuk, twitter, G+, imo, kompasiana, blog. Apa baé lah. Pokoké sing bisa nggo nggon nulis utawa crita ya kué de manfa’atna.”
“Sing arep pada plesir ngonoh sapa, Wir?” Basta melu ngomong.
“Kyeh kaya kiye. Gampang kuwe tah. Udu barang sing angel. Akeh, pirang-pirang medsos. De upload bae gambar-gambaré, foto-fotoné. Fotoné sing sip. Sing maén. Dé sogi komentar sing apik-apik. Dé sogi sejarah sing siip. Dé sogi gambar-gambar wong-wong kuna sing terkenal, rohaniawan kuna, pokoké de pas-pas-na, déhubung-hubungna kon patut, kon pas.”
“Idené ko jané madan gemblung.” Raskun nyrondol ngomong. “Tapi kayong bisa mboran kweh.”
“Udu madan, Kun. Anu gemblung temenan kwetah,” Gondrong, sing aran asliné Agus, nambaih omong mélu gawé ramé, “Tapi, yaa.. kadang idené wong gembung kadang-kadang sok apik. Kadang-kadan mbetaih.” Si Agus kuwe critané gemiyén tau gondrong, sanajan siki plontos, tetep bae akeh sing ngundang gondrong.
“Njajal Wir, de terusna kweh idéné ko. Mbok sapa ngerti ngko bisa kaleksanan.” Kasrap ngomong karo madep maring jawir mbari ngédéngna jempol. Sarungé de kridongna mbari thongkrong. Dé kon lanjut, Jawir malah katon bingung. “Gyan koh Wir. Dénéng mandeg katong bingung.”
“Mulané angger ana wong ngomong, ana wong dué idé kwe dé rungokna disit. Lha, angger kaya kiyé ya aku dadi ilang idéné.”
“Kye Wir, ngopi disit, kon lancar ari ngocéh.” Mrondol ngulung gelas isi kopi sing kemebul. Jawir nampani karo cengéngésan lan ngucap matur nuwun.
“Dadi kaya kiye. Sing paling penting pokoké promosi disit. Promosi liwat apa bae. Liwat omongan, sekang cangkem maring kuping seterusé. Dé gawé kaya gosip, ngko toli cepet retung nyébaré. Critané sing ghoib-ghoib, sing nggilani, angker, bisa nggo tapa, bisa nggo semedi njaluk apa baé se karepé sing teka. Nha, ngko de gawe gubug-gubug nggo nggon tapa. Gubugé dé gawe supaya katon wis atusan taun. Gampang kwe tah. Kaya panembahan.”
“Sing dadi kunciné sapa Wir?” Pitakoné Raskun.
“Gampang kwetah. Aku ya kena, sing penting kasil. Angger  wis masalah ana duité tah akéh sing gelem. Akeh sing ndaftar..
“Tek terusna ya. Mengko ngundang batiré dewek sing ning perantauan kon pada teka. Nganggo bis gedé. Pokoké de gawe kaya rombongan rohaniawan sing arep ziarah. De gawé sip pokoké. Trus de poto, de sebarna maring ndi ora. Dé iklan na nganti terkenal, nganti wong pada penasaran. Tokoh terkenal jaman gemiyen, tokoh ghoib, tokoh penyebar agama, tokoh kerajaan, tokoh apabaé sing arané mirip karo aran sing ana ning kéné dé hubunghubungna, dé kait-kaitna supaya pas, supaya cocok tur patut.
“Mesti bisa. Angger inyong kabeh pada pinter promosi, mesti bisa. Agen-agen wisata de hubungi. Pak Samin, Samin apa sapa yah, sing asli wong kéné sing jéré due perusahaan gedé, nha, kaé karyawané kon pada plesir ziarah maring ngénéh. Mesti bisa. Jen anu bisa kué!”
“Kayong madan masuk akal ko kweh, bisa kweh. Bisa dé jajal.” Raskun nyempaluk.
“Inyong ndukung kweh. Ide apik. Tumbé ko pinter Wir..” Basta melu ndukung.
Ngrasa olih dukungan, Jawir semangat retung ari crita. Njagongé dé tata maning kon kepénak, kopiné dé sruput nganti méh enték. Critaané dadi dawa, butul wengi, butul ndi baé. Sering critané ngalor, ngidul. Angger ceritaané arep sléntha, Jawir gagian mbalékna crita maring masalah gawé wisata.

Butul wengi, butul pada ngantuk, terus pada nylingsing siji-siji. Terakhir gari Jawir karo Raskun Mbari balik wong loroan, Jawir esih mbahas masalah mau.

Rabu, 24 Agustus 2016

membela

Bela membela, sebuah kecenderungan setiap manusia. Kesukaan, cinta, keyakinan, kepentingan, tujuan, latar belakang dan kepercayaan menjadi faktor seseorang membela orang lain. Karena sebuah kepentingan, sebuah pembelaan terhadap seorang figur, orang akan berusaha maksimal mencari dan menyuguhkan sisi positif kepada orang lain. Si pembela akan berusaha maksimal sebisa mungkin untuk menyakinkan kepada khalayak, kalau sosok yang dibelanya adalah baik dan akan membuat sebuah kebaikan kedepannya. Ia akan mengeliminir semua sisi negatif dan menyuguhkan argumen  positif jika ada pihak yang menyerangnya.
Berbuat membela pasti ada tujuan, setidaknya ada harapan terhadap sosok yang dibelanya. Mengharapkan sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya atau kelompok tempat ia eksis. Membentengi diri agar ke depannya kelompoknya menjadi yang dominan dan dapat mempengaruhi kelompok lain untuk menjadi bagian kelompoknya.
Sebuah pembelaan akan melunturkan obyektifitas. Ia seperti tak mau tahu, meski sebenarnya tahu, sisi negatif dari sosok atau kelompok yang dibelanya. Mematahkan semua serangan yang mendiskreditkan, memelintirkan kata, memutarbalikan fakta bahkan mempermasalahkan hal-hal kecil si penyerang demi untuk memecah konsentrasi. Perbuatan membela akan menjadi sangat repot jika yang dibela memang punya kredit poin negatif di mata masyarkat sekitarnya. Sebuah keyakinan dan kepercayaan yang berbeda bisa menjadi landasan berpikir seseorang untuk memutuskan sesuatu itu baik atau tidak baik. Subyektifitas menjadi dominan mengalahkan obyektifitas. Dan ‘obyektifit’nya juga dari landasan berpikir mana?
Membela kebenaran.
Kebenaran bersifat subyektif. Ada banyak ‘benar’ menurut kelompok tertentu, tapi tidak sepenuhnya benar bagi kelompok lain. Hal semacam ini sering terjadi yang terkait dengan kepercayaan, keyakinan, adat budaya dan agama. Menolong orang dalam kesusahan adalah sebuah ‘benar’ yang bisa di benarkan oleh orang atau kelompok mana pun. Tapi, nilai ‘benar’ itu bisa berbeda-beda nilainya jika di soroti latar belakang kesusahan orang tersebut dengan landasan berpikir yang berbeda-beda.
Sebuah perpecahan kelompok masa sering terjadi karena masing-masing mereka sama-sama merasa benar dan sama-sama harus membela kebenaran yang harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, ditambah lagi sebuah semangat kebanggaan membela sebuah ‘kebenaran’. Merasa semua paling berhak benar dan yang tidak sepaham dengan dirinya adalah tidak benar inilah yang membuat susah terjadi titik temu untuk bersama-sama hidup berdampingan untuk saling menghormati dan mengerti. 
Perbedaan itu manusiawi. Perseteruan selalu saja diusahakan oleh banyak orang untuk dihindari. Bertoleransi menjadi hal yang harus selalu di jaga agar tidak hanya sekedar sebagai kata pelipur dari dongkolnya hati melihat aktifitas dari kelompok orang yang berbeda.