“Kok ada ya bang, tv
swasta yang menjadi corong pemerintah.”
“Memang ada? Saya jarang sekali nonton tivi.”
“Nggak si menjadi
corong banget, cuma, sepertinya selalu memuat berita tentang pembelaan dengan
waktu lama dan sebentar jika berita yang kurang baik imbas bagi pemerintah.”
“Tapi nggak manipulasi kan?”
“Gimana yah. Jadi gini.
Nadanya itu selalu mengarahkan untuk pembenaran pada setiap apa saja yang
dilakukan pemerintah.”
“Jika itu benar, nggak masalah kan?”
“Tapi berat sebelah
bang. Nggak berimbang. Nggak independent. Pernah nonton tivi Anu nggak bang.”
“Kayaknya pernah. Sebentar. Saya jarang nonton tivi. Acara-acara
debat terus, nggak ada yang ngaku lawannya benar, dan mengaku dirinya sendiri yang
kurang benar. Semua merasa paling benar. Jadi bingung mana yang benar-benar,
benar.”
“Triple benar ya bang?”
“Maksudnya, yang benar sesungguhnya menurut fakta yang
sesungguhnya atau menurut keilmuan yang diyakini keilmuannya.”
“Kalau media tivi
sudah berpihak, kan jadi nggak obyektif bang?
“Mungkin sudah obyektif, cuma kamu saja yang nggak sepaham,
jadi merasa apa yang disajikan tidak obyektif. Kamu pernah cross check sebuah kabar yang tayang di tivi Anu dengan kejadian apa
sesungguhnya?”
“Belum si bang. Cuma saya
cross check dengan media lain.”
“Pasti media lainnya yang bersebrangan. Coba kalau dengan
media yang se-arus.”
“Terus, mana yang
harus saya percaya...?”
“Kan banyak referensi dari berbagai media. Kita bisa
menyaring dan menalar dengan kejadian sesungguhnya yang ada di sekitar kita.”
“Kenapa banyak media yang
berkepentingan dengan politik yang bang?”
“Mungkin pangsa pasarnya cukup membuat untung, dan akan
lebih aman jika pro pemerintah.”
“Bukan masalah pro dan
nggak pro bang. Kenapa obyektifitasnya pudar.”
“Menurut kamu, tivi yang tidak pro pemerintah, obyektif
ngaak?”
“Nggak juga si bang. Nada
suaranya berkecenderungan menyerang.”
“Berarti sama-sama nggak obyektif, kan.”
“Kenapa jadi begitu yah
bang..?”
“Kan sasaran pasarnya berbeda-beda. Kepentingan sang pemilik
juga berbeda.”
“Jadi kalau mau pilih
yang independen yang gimana bang?”
“Yang sesuai dengan keinginan kamu itu yang kamu pilih.”
“Berarti saya juga tidak
obyektif kalau begitu bang.”
“Bisa juga.”
“Lho, terus bagaimana
nih baiknya.”
“Yang menurut kamu baik saja, dan tak perlu memaksa orang
lain untuk sama seperti kamu.”
“Berarti diam saja tak
perlu komentar ya bang.”
“Komentar nggak apa-apa, tapi jangan menyerang.”
“Kalau nggak suka masa
komentarnya harus senang dan setuju. Itu namanya munafik.”
“Kalau nggak suka, mending diam saja. Daripada dilaporkan ke
polisi. Kamu bisa dihukum dengan berkomentar yang komentarnya tidak disukai
oleh orang yang kamu komentari.”
“Repot yah bang. Kebebasan
berpendapat dikekang lagi.”
“Bukan dikekang. Ini untuk menjaga agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak baik dengan berkomentar.”
“Tidak baik itu kan
subyektif bang. Bisa saja menurut saya baik, menurut orang lain tidak baik. Sebuah
pilihan harus diam, sama juga dengan dikekang, bang.”
“Bisa saja begitu.”
“Terus..?”
“Terus bagaimana maksudnya?”
“Berarti harus diam
saja..? Tidak berkomentar?”
“Tidak komentar kan juga nggak apa-apa kan?”
“Nggak si, tapi kan
pengin.”
“Penginnya di tahan.”
“Gitu yah bang?”
“Iya. Iya sajalah..”
07052018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar