“Keyakinan itu seperti politik ya bang?”
“Maksudnya?”
“Ya, nggak boleh
disentuh oleh yang beda keyakinan. Politik juga kan?”
“Begitu yah. Apa politik begitu?”
“Iya, seperti tak
sadar keyakinannya juga bersinggungan dengan keyakinan lain.”
“Kalau begitu dibiarkan saja. Gitu saja repot.”
“Ya, tapi kalau
seperti memaksa untuk mengikuti keyakinannya, kan bikin kesal juga.”
“Nggak usah merasa kesal.”
“Tidak percaya
keyakinan lain, melecehkan nggak Bang?”
“Nggak. Asal nggak dipermasalahkan.”
“Permasalahannya kan,
jika ada yang merasa benar sendiri, dikira tidak ada kebenaran lain yang tidak sama
dengan kebenarannya. Seolah merasa keyakinan lain bagi dia tidak benar.”
“Nggak usah merasa dilecehkan tentang keyakinan. Kalau tentang
ajaran agama, mungkin bisa. Kalau keyakinan, dalam sebuah kelompok pun bisa
jadi berbeda keyakinan tentang sesuatu. Makanya jangan memaksa tentang sebuah
kebenaran dari sebuah keyakinan.”
“Bedanya pelecehan
tentang keyakinan dan pelecehan tentang agama apa kang, kan sama-sama tentang
keyakinan.”
“Begini. Bagaimana yah. Intinya sama. Sebuah keyakinan. Jika
keyakinan tentang sebuah agama, sebuah keyakinan yang turun temurun diwariskan
dari nabi yang diyakini kebenarannya, artinya dalam skala besar. Kalau keyakinan
tentang ‘keyakinan’ dalam ruang lingkup
agama misalnya, bisa jadi sebuah kebenaran keyakinan yang tidak sesuai. Tidak sesuai
itu juga berbeda-beda bagi setiap orang yang berkeyakinan tersebut. Perbedaan keyakinan
itu bisa menjadi benturan jika masing-masing merasa benar dan merasa orang lain
tidak boleh mengutak atik keyakinannya itu. Repotnya lagi, kebenaran tentang
keyakinan itu tak bisa dibuktikan denga wujud. Karena keyakinan itu muncul dari
alur silsilah tentang riwayat, yang dalam Islam disebut hadits, dan, keyakinan
tentang benar tidaknya sebuah riwayat atau hadits itu juga berbeda-beda. Penafsirannya
berbeda-beda.”
“Repot yah bang,
memahaminya.”
“Nggak perlu repot-repot untuk memahami. Kalau kamu punya
keyakinan, nggak usah merasa perlu orang lain untuk ikut dan bersama-sama
percaya pada apa yang kamu yakini.”
“Gitu yah bang.
Perlu nggak bang,
memberi masukan pada orang yang merasa perlu untuk meyakini keyakinannya?”
“Seharusnya mengerti, jadi nggak perlu ada yangmerasa perlu
memberi masukan.”
“Keyakinan yang benar
itu yang kaya apa bang.”
“Kira-kira begini. Saya contohkan kebenaran sebuah keyakinan;
misal pada suatu malam mati lampu dan ruangan rumahmu gelap gulita. Ketika kamu
mau mencari lilin dan korek api, kamu meyakini kalau di sisi tembok sebelah
kanan ruang tengah tidak ada apa-apa dan saat kamu melewatinya tanpa menabrak
atau tersandung, itu berarti keyakinanmu benar. Tapi jika kamu saat melewatinya
tersandung kursi, berarti keyakinanmu, salah. Permasalahnnya, apakah kamu akan
mempermasalahkan siapa yang menaruh kursi atau tidak akan mempermasalahkan. Masalahnya
juga, jika kamu hati-hati, kamu bisa merabanya terlebih dahulu sehingga kamu
tidak tersandung.”
“Lha, tapi kan kalau
keyakinan sebuah agama tidak bisa dibuktikan seperti itu bang. Kalau tentang
agama kan, kita meykini akibatnya nanti setelah mati. Nanti di alam akherat.”
“Bener kata kamu. Tapi, Setidaknya keyakinan tentang sesuatu
pada lingkup agama bisa di telusuri riwayatnya dan di cross-chek siapa periwayatya dan tarck record si setiap periwayat.”
“Jadi kalau saya
merasa dilecehkan keyakinan saya, saya harus bagaimana bang?”
“Jangan merasa dilecehkan. Karena bisa jadi orang lain juga
merasa dilecehkan dengan keyakinanmu. Biarkan saja.”
“Gitu yah bang..?”
“Yang lebih penting itu sebenarnya, perilaku. Apakah perilaku kita
sudah baik dan sesuai dengan yang diajarkan agama, atau hanya sekedar berteori
tapi perilakunya sesuka hati. Seperti keledai yang memikul banyak buku.”
“Saya seperti pernah
mendengar kalimat; seperti keledai membawa buku, bang.”
28.4.2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar