“Masa kata-kata sesederhana itu kamu nggak tahu. Memang kenapa,
ada yang tanya kamu nggak bisa njawab atau kamu njawab tapi ada pertanyaan
lanjutannya?”
“Saya coba mengartikan
sendiri dengan berbagai pertanyaan reka-reka, kok jadi bingung sendiri.”
“Makanya jangan bikin pertanyaan reka-reka. Coba apa
yang kamu bingungkan. Barangkali saya juga tambah bingung kalau ikut-ikutan kamu
berpikir njlimet yang nggak perlu.”
“Kok nggak perlu. Ini perlu.”
“Coba kamu ngasih contoh kasus.”
“Misal, saya bilang
sama mas, ‘sok tahu kamu’, padahal mas tahu tapi tahunya tidak seperti pengetahunannya
si pengomong. Atau mas, bener-bener tidak tahu, atau taunya segitu, nha,
menurut kamu bagaimana mas.?
“Agak bingung juga ya, menerjemahkannya.”
“Gini, seseorang tahu
tentang anu, eh, sesuatu. Atau seseorang memang hanya tahu sedikit. Atau seseorang
tahu sesuatu tetapi ‘tahu-nya’ tidak sama dengan si pengucap ‘sok tahu kamu’
karena perbedaan penafsiran dan keyakinan, atau gimana yah...”
“Ya, ya, ya. Agak maksud aku.”
“Kalimat sok tahu kok
maknanya jadi bermacam-macam kalau dipahami dari berbagai sisi yah.”
“Ya, begitulah. Bisa juga karena yang dikatain sok tahu itu memang tidak tahu tapi
beralagak tahu..”
“Kalau itu pura-pura
tahu mas,.. Apa sama yah?”
“Teruskan nggak nih..?”
“Teruskan..”
“Oke. Jangan memotong lagi.
Bisa juga karena seperti yang tadi kamu katakan, ‘tahu’-nya
berbeda ‘tahu’ dengan yang ngatain. Atau bisa juga karena merasa lebih tahu
dan yang lain dianggap sok tahu jika tidak sesuai ke-tahu-nya.”
“Yang merasa lebih
tahu tadi siapa mas?”
“Yang ngatain.”
“Saya gambarkan secara sederhana saja. Misal, kamu tahu
sekali tentang jalan ke kota A misalnya. Kamu tahu karena hampir setiap hari melewati
jalan itu dan tak mau lewat jalan lain dan merasa hanya jalan itu yang paling
baik dan bagus untuk dilewati jika mau ke kota A.
Suatu saat ada orang lain mengatakan ada jalan lain yang lebih bagus dan nyaman untuk dilalui. Kamu merasa tidak setuju, dan kamu ngatain, sok tahu kamu.
Suatu saat ada orang lain mengatakan ada jalan lain yang lebih bagus dan nyaman untuk dilalui. Kamu merasa tidak setuju, dan kamu ngatain, sok tahu kamu.
Ada sedikitnya lima kemungkinan dari kasus seperti itu. Pertama, bisa juga memang jalan lain itu
rusak dan orang itu tidak tahu ada jalan lain yang lebih bagus. Kedua, bisa saja kedua jalan itu
sama-sama bagus, tapi orang itu hanya tahu jalan yang bagus itu yang biasa
dilewati, seperti kamu. Ketiga, bisa
saja jalan itu memang lebih bagus, tapi karena kamu merasa lebih tahu dari yang
lain, maka lahirlah kalimat ‘sok tahu’. Keempat,
bisa saja jalan orang itu lebih bagus dan orang itu tahu kedua jalan itu. Kelima, bisa saja jalan yang biasa kamu
lewati itu lebih bagus, tetapi karena orang itu sudah terbiasa lewat maka
merasa jalannya lebih bagus dari jalan kamu. ”
“Begitu ya mas.
Kayaknya, kalimat ‘sok
tahu’ tidak akan muncul dari orang merasa kurang tahu ya mas?”
“Yap. Sepertinya begitu. Kita kan nggak mungkin ngatain 'sok tahu' pada BJ Habibi yang jenius.”
“Paling ngatainnya pada anakk SD, tapi nggak tahunya
anaknya benar-benar tahu.”
“Intinya, ungkapan ‘sok tahu’ itu muncul karena si pengucap
merasa lebih pintar dan lebih tahu dari obyeknya.”
“Gitu yah mas..?”
“Mungkin. Itu kan hanya analisa orang yang tidak tahu
tentang ‘sok tahu’.”
“Mbingungi yah...?”
“Jika kita percaya kalau mangga muda itu masam, kita haru
mencoba memakannya. Bukan dari katanya, katanya, katanya. Jika ada mangga muda
manis rasanya, kita harus mencari tahu apakah manis buatan apa manis alami.”
“Itu apa hubungannya
dengan sok tahu.”
“Eh, nggak ada yah.”
“Jadi, intinya
ungkapan sok tahu itu muncul karena si pengucap merasa lebih pintar dari yang
dikatain. Padahal, setahu saya,
semakin pintar seseorang, ia akan merasa bodoh karena begitu luasnya ilmu yang
masih belum dikuasasi, bahkan begitu banyak, lebih banyak, yang belum tersentuh
sama sekali.”
“Jadi saya yang bingung..”
“Bingung kenapa mas? Kalimat
saya membingungkan?”
“Sok tahu kamu. Eh, bukan. Maaf, maksudnya, kamu tambah
tahu.”
28.4.2018