Label

Sabtu, 28 April 2018

SOK TAHU


“Saya agak bingung juga mengartikan kalimat sok tahu, mas.?
“Masa kata-kata sesederhana itu kamu nggak tahu. Memang kenapa, ada yang tanya kamu nggak bisa njawab atau kamu njawab tapi ada pertanyaan lanjutannya?”
“Saya coba mengartikan sendiri dengan berbagai pertanyaan reka-reka, kok jadi bingung sendiri.”
“Makanya jangan bikin pertanyaan reka-reka. Coba apa yang kamu bingungkan. Barangkali saya juga tambah bingung kalau ikut-ikutan kamu berpikir njlimet yang nggak perlu.”
“Kok nggak perlu. Ini perlu.”
“Coba kamu ngasih contoh kasus.”
“Misal, saya bilang sama mas, ‘sok tahu kamu’, padahal mas tahu tapi tahunya tidak seperti pengetahunannya si pengomong. Atau mas, bener-bener tidak tahu, atau taunya segitu, nha, menurut kamu bagaimana mas.?
“Agak bingung juga ya, menerjemahkannya.”
“Gini, seseorang tahu tentang anu, eh, sesuatu. Atau seseorang memang hanya tahu sedikit. Atau seseorang tahu sesuatu tetapi ‘tahu-nya’ tidak sama dengan si pengucap ‘sok tahu kamu’ karena perbedaan penafsiran dan keyakinan, atau gimana yah...”
“Ya, ya, ya. Agak maksud aku.”
“Kalimat sok tahu kok maknanya jadi bermacam-macam kalau dipahami dari berbagai sisi yah.”
“Ya, begitulah. Bisa juga karena yang dikatain sok tahu itu memang tidak tahu tapi beralagak tahu..”
“Kalau itu pura-pura tahu mas,.. Apa sama yah?”
“Teruskan nggak nih..?”
“Teruskan..”
“Oke. Jangan memotong lagi.
Bisa juga karena seperti yang tadi kamu katakan, ‘tahu’-nya berbeda ‘tahu’ dengan yang ngatain.  Atau bisa juga karena merasa lebih tahu dan yang lain dianggap sok tahu jika tidak sesuai ke-tahu-nya.”
“Yang merasa lebih tahu tadi siapa mas?”
“Yang ngatain.”
“Saya gambarkan secara sederhana saja. Misal, kamu tahu sekali tentang jalan ke kota A misalnya. Kamu tahu karena hampir setiap hari melewati jalan itu dan tak mau lewat jalan lain dan merasa hanya jalan itu yang paling baik dan bagus untuk dilewati jika mau ke kota A. 
Suatu saat ada orang lain mengatakan ada jalan lain yang lebih bagus dan nyaman untuk dilalui. Kamu merasa tidak setuju, dan kamu ngatain, sok tahu kamu.
Ada sedikitnya lima kemungkinan dari kasus seperti itu. Pertama, bisa juga memang jalan lain itu rusak dan orang itu tidak tahu ada jalan lain yang lebih bagus. Kedua, bisa saja kedua jalan itu sama-sama bagus, tapi orang itu hanya tahu jalan yang bagus itu yang biasa dilewati, seperti kamu. Ketiga, bisa saja jalan itu memang lebih bagus, tapi karena kamu merasa lebih tahu dari yang lain, maka lahirlah kalimat ‘sok tahu’. Keempat, bisa saja jalan orang itu lebih bagus dan orang itu tahu kedua jalan itu. Kelima, bisa saja jalan yang biasa kamu lewati itu lebih bagus, tetapi karena orang itu sudah terbiasa lewat maka merasa jalannya lebih bagus dari jalan kamu. ”
“Begitu ya mas.
Kayaknya, kalimat ‘sok tahu’ tidak akan muncul dari orang merasa kurang tahu ya mas?”
“Yap. Sepertinya begitu. Kita kan nggak mungkin ngatain 'sok tahu' pada BJ Habibi yang jenius.”
“Paling ngatainnya pada anakk SD, tapi nggak tahunya anaknya benar-benar tahu.”
“Intinya, ungkapan ‘sok tahu’ itu muncul karena si pengucap merasa lebih pintar dan lebih tahu dari obyeknya.”
“Gitu yah mas..?”
“Mungkin. Itu kan hanya analisa orang yang tidak tahu tentang ‘sok tahu’.”
“Mbingungi yah...?”
“Jika kita percaya kalau mangga muda itu masam, kita haru mencoba memakannya. Bukan dari katanya, katanya, katanya. Jika ada mangga muda manis rasanya, kita harus mencari tahu apakah manis buatan apa manis alami.”
“Itu apa hubungannya dengan sok tahu.”
“Eh, nggak ada yah.”
“Jadi, intinya ungkapan sok tahu itu muncul karena si pengucap merasa lebih pintar dari yang dikatain. Padahal, setahu saya, semakin pintar seseorang, ia akan merasa bodoh karena begitu luasnya ilmu yang masih belum dikuasasi, bahkan begitu banyak, lebih banyak, yang belum tersentuh sama sekali.”
“Jadi saya yang bingung..”
“Bingung kenapa mas? Kalimat saya membingungkan?”
“Sok tahu kamu. Eh, bukan. Maaf, maksudnya, kamu tambah tahu.”
28.4.2018

PELECEHAN KEYAKINAN


“Keyakinan itu seperti politik ya bang?”

“Maksudnya?”

“Ya, nggak boleh disentuh oleh yang beda keyakinan. Politik juga kan?”

“Begitu yah. Apa politik begitu?”

“Iya, seperti tak sadar keyakinannya juga bersinggungan dengan keyakinan lain.”

“Kalau begitu dibiarkan saja. Gitu saja repot.”

“Ya, tapi kalau seperti memaksa untuk mengikuti keyakinannya, kan bikin kesal juga.”

“Nggak usah merasa kesal.”

“Tidak percaya keyakinan lain, melecehkan nggak Bang?”

“Nggak. Asal nggak dipermasalahkan.”

“Permasalahannya kan, jika ada yang merasa benar sendiri, dikira tidak ada kebenaran lain yang tidak sama dengan kebenarannya. Seolah merasa keyakinan lain bagi dia tidak benar.”

“Nggak usah merasa dilecehkan tentang keyakinan. Kalau tentang ajaran agama, mungkin bisa. Kalau keyakinan, dalam sebuah kelompok pun bisa jadi berbeda keyakinan tentang sesuatu. Makanya jangan memaksa tentang sebuah kebenaran dari sebuah keyakinan.”

“Bedanya pelecehan tentang keyakinan dan pelecehan tentang agama apa kang, kan sama-sama tentang keyakinan.”

“Begini. Bagaimana yah. Intinya sama. Sebuah keyakinan. Jika keyakinan tentang sebuah agama, sebuah keyakinan yang turun temurun diwariskan dari nabi yang diyakini kebenarannya, artinya dalam skala besar. Kalau keyakinan tentang ‘keyakinan’ dalam ruang  lingkup agama misalnya, bisa jadi sebuah kebenaran keyakinan yang tidak sesuai. Tidak sesuai itu juga berbeda-beda bagi setiap orang yang berkeyakinan tersebut. Perbedaan keyakinan itu bisa menjadi benturan jika masing-masing merasa benar dan merasa orang lain tidak boleh mengutak atik keyakinannya itu. Repotnya lagi, kebenaran tentang keyakinan itu tak bisa dibuktikan denga wujud. Karena keyakinan itu muncul dari alur silsilah tentang riwayat, yang dalam Islam disebut hadits, dan, keyakinan tentang benar tidaknya sebuah riwayat atau hadits itu juga berbeda-beda. Penafsirannya berbeda-beda.”

“Repot yah bang, memahaminya.”

“Nggak perlu repot-repot untuk memahami. Kalau kamu punya keyakinan, nggak usah merasa perlu orang lain untuk ikut dan bersama-sama percaya pada apa yang kamu yakini.”

“Gitu yah bang. 
Perlu nggak bang, memberi masukan pada orang yang merasa perlu untuk meyakini keyakinannya?”

“Seharusnya mengerti, jadi nggak perlu ada yangmerasa perlu memberi masukan.”

“Keyakinan yang benar itu yang kaya apa bang.”

“Kira-kira begini. Saya contohkan kebenaran sebuah keyakinan; misal pada suatu malam mati lampu dan ruangan rumahmu gelap gulita. Ketika kamu mau mencari lilin dan korek api, kamu meyakini kalau di sisi tembok sebelah kanan ruang tengah tidak ada apa-apa dan saat kamu melewatinya tanpa menabrak atau tersandung, itu berarti keyakinanmu benar. Tapi jika kamu saat melewatinya tersandung kursi, berarti keyakinanmu, salah. Permasalahnnya, apakah kamu akan mempermasalahkan siapa yang menaruh kursi atau tidak akan mempermasalahkan. Masalahnya juga, jika kamu hati-hati, kamu bisa merabanya terlebih dahulu sehingga kamu tidak tersandung.”

“Lha, tapi kan kalau keyakinan sebuah agama tidak bisa dibuktikan seperti itu bang. Kalau tentang agama kan, kita meykini akibatnya nanti setelah mati. Nanti di alam akherat.”
“Bener kata kamu. Tapi, Setidaknya keyakinan tentang sesuatu pada lingkup agama bisa di telusuri riwayatnya dan di cross-chek siapa periwayatya dan tarck record si setiap periwayat.”

“Jadi kalau saya merasa dilecehkan keyakinan saya, saya harus bagaimana bang?”

“Jangan merasa dilecehkan. Karena bisa jadi orang lain juga merasa dilecehkan dengan keyakinanmu. Biarkan saja.”

“Gitu yah bang..?”

“Yang lebih penting itu  sebenarnya, perilaku. Apakah perilaku kita sudah baik dan sesuai dengan yang diajarkan agama, atau hanya sekedar berteori tapi perilakunya sesuka hati. Seperti keledai yang memikul banyak buku.”

“Saya seperti pernah mendengar kalimat; seperti keledai membawa buku, bang.”

28.4.2018

Jumat, 20 April 2018

MASUK INSTITUSI MAHAL


“Bang, dengar-dengar masuk institusi itu harus bayar mahal sekali yah..?”
“Institusi yang mana?”
“Yang itu.” Sembari memberi kode.
“Kata siapa. Kemarin saya masuk kesana tidak harus bayar. Biasa-biasa saja dan tidak harus begitu.”
“Maksudnya, jika pengin jadi anggotanya.”
“Oh. Kamu tahu dari siapa. Harus ada bukti lho.”
“Dari orang-orang. Sudah jadi rahasia umum bang.”
“Yang bener. Coba, pernah nggak kamu tanya sama orang-tuanya yang anaknya masuk institusi itu.”
“Ya nggak bakalan ngaku bang. Itu kan aib dan juga melanggar hukum.”
“Nha, terus kamu tahu dari mana? Hati-hati lho. Kamu bisa dilaporkan kasus pencemaran nama baik. Itu bisa dikataka fitnah, karena tak ada buktinya.”
“Tapi kan, sudah banyak yang tahu.”
“Ada buktinya nggak?”
“Iya yah bang. Seandainya iya pun, kan pelaku pasti menyembunyikan bukti-buktinya. Tapi sepertinya benar begitu bang. Kalau pengin masuk kesitu, jadi anggotanya harus ada uang banyak, meski tidak semuanya. Kan mereka juga butuh orang-orang yang benar-benar kompeten.”
“Lho, kamu bisa tahu tidak semuanya?”
“Itu perkiraan bang. Kan ada yang bisa masuk dengan benar-benar murni. Ada juga sih bang, yang katanya titipan bos-bos.”
“Tahunya murni? Tahunya titipan? Kamu tahu dari mana?”
“Latar belakangnya kan bisa dilihat, bang?”
“Apa kamu punya bukti?”
“Nha, itu bang. Bukti nggak ada, Cuma perkiraan dari fakta yang ada. Tapi, ada juga yang pelakunya keprucut omong, begitu..”
“Hati-hati lho, bicara begitu. Kamu bisa kena pidana.”
“Pidana bang?”
“Iya.”
“Hih.”
“Makanya kalau ngomong hati-hati. Lihat situasi.”
“Kalau seandaianya iya, kita harus bagaimana bang, agar cara seperti itu tak terus-terusan terjadi.”
“Dimulai dari kita saja. Dari lingkungan kita, dari keluarga kita. Jangan mau membayar jika ikut seleksi.”
“Tapi, kan banyak yang mau bayar bang.”
“Jika dilingkungan sana dan di keluarga sana juga nggak mau bayar, kan jadi nggak ada..”
“Tapi itu mustahil bang. Dalam sekarang ini mustahil.”
“Berniat mulai pada diri kita dulu saja. Yang berbuat curang, semoga dikaruniai kesadaran dan bisa berubah. Dan, kita memulai dengan yang baik-baik dari diri kita sendiri. Toh mereka sendiri yang nanggung apa yang diperbuatnya.”
“Iya yah bang.”
“kalau tidak suka melihat orang lain curang, kita jangan ikutan curang.”
“Gitu yah bang..”

Kamis, 12 April 2018

BIAYA GEDUNG BESAR DARI BELANJA


“Hebat ya pak, orang yang punya gedung sebesar itu. Berapa ratus milyar biaya untuk membangunnya?”
“Ya hebat memang. Biaya bikinnya mungkin triliyunan Rupiah.”
“Darimana uang sebanyak itu ya Pak?”
“Ya, dari Bank. Bank Indonesia. Kalau bukan dari Bank Indonesia, berarti uang palsu.”
“Maksud saya, dari mana didapatnya? Dari jual apa, dari usaha apa, bagaimana caranya.”
“Dari Bank!”
“Maksudnya gimana pak? Kalau dari Bank saya tahu.”
“Pinjam di Bank.”
”Boleh sih pak?”
“Bolehlah. Memang kenapa? Bank juga perlu orang yang pinjam uang. Kalau nggak ada yang pinjam, gimana coba bank bisa bertahan?”
”Bertahan gimana pak. Kayak pertandingan sepakbola aja ada bertahan.”
“Bertahan untuk mengembangkan usahanya. Kan dari orang yang pinjam dan ngasih bunga, bank bisa membiayai operasional dan mengembangkan usahanya.”
“Oh.. iya yah..”
“Ya iya lah.”
“Berapa ratus juta tiap bulannya untuk biaya listrik dan perawatan gedung sebesar itu ya pak?”
“Kalau mau tahu, tanya pengelolanya.”
“Berarti ke yang punya?”
“Yang punya belum tentu tahu. Mungkin yang punya lagi jalan-jalan di luar negeri. Yang punya kan tinggal mbayar orang untuk mengurusnya.”
“Oh, gitu ya pak?”
“Iya.”
“Terus si pengelola dari mana lagi uang untuk biaya semuanya.”
“Dari mereka yang datang ke gedung itu dan yang berkaitan dengan yang ada di situ. Dari yang belanja. Berarti dari kita yang merasa diberi fasilitas. Kita yang bekerja keras banting tulang siang malam untuk cari uang, mereka yang hanya duduk-duduk manis di ruang kerja yang ber-ac dan wangi, menikmati hasil hanya dengan mengajak kita-kita kaum konsumer untuk belanja. Dari kita yang terbuai oleh iklan-iklan yang menarik.”
“Iya juga ya pak. Dari belanja kita pak.”
“Iya, semua dari perputaran uang. Perputaran uang itu, intinya; belanja. Belanja barang dan jasa. Di gedung-gedung itu, semua mengajak kita-kita kaum konsumer untuk belanja. Bahkan belanja yang kita tidak perlu-perlu amat, karena ajakan iklan, kita membelinya.”
“Dari kita yang belanja ya pak.”
“He eh..!”

Kamis, 05 April 2018

Puisi yang bikin ramai


“Kang, kok maslah puisi aja jadi ribut ya kang?”
“Ya, karena isinya ada yang merasa jadi tersinggung dan dilecehkan.”
“Kenapa harus tersinggung si kang?”
“Karena apa yang diyakininya sebagai yang sakral, ditulis dan dibaca sebagai sesuatu yang tak bermakna. Dianggap kalah dengan oleh hal duniawi.”
“Coba kalau merasa tak tersinggung, bisa nggak ya kang?”
“Bisa saja. Tempatkan diri kita pada posisi yang benar-benar tidak tahu syariat Islam, dan tak bermaksud melecehkan.”
“Maksudnya?”
“Ya..... Kita seolah menjadi orang yang benar-benar tidak tahu tentang syariat Islam. Dan menulis puisi karena ingin menyimpan atau mencatat sebuah keindahan kalimat.”
“Apa karena yang membaca anak seorang proklamator yang saudaranya-saudaranya jadi tokoh partai penguasa ya kang?”
“Bisa jadi. Bisa jadi benar, bisa jadi salah.”
“Kok nggak yakin kang.”
“Karena saya nggak tahu apa maksud dari mereka-mereka yang meributkan puisi itu. Bisa jadi ada pihak yang memanfaatkan momen untuk meperlemah lawan.
Bisa jadi ini dibawa ke ranah politik, tapi dibikin seperti tak ada sangkut pautnya.”
“Coba kalau yang nulis dan membaca puisi itu saya, boro-boro diributkan, didengar pun kayaknya nggak ada orang yang mau.”
“Resiko orang besar memang begitu. Setiap tindakan dan perkataannya diperhatikan dan dijadikan senjata oleh lawan jika salah atau sedikit salah. Semua diperhatikan. Nha, kamu lain, kalau ingin diperhatikan, teriak-teriak di tengah-tengah mall yang sedang pesta diskon.”
“Kkkkkkkkwk....”
“Kok tawanya gitu?”
“Ya... kalau gitu, saya malah diusir dan disumpal mulutnya dikira orang gila.”
“Jadi orang gila yang cerdas saja, enak.”
“Emang kamu pernah gila kang?”
“.... Pernah, tapi lupa kapan.”
“Kang, boleh nggak saya baca puisinya Bu Sukmawati?”
“Boleh. Kenapa tidak? Suara kamu tak akan didengar...”
"Oke kang. Tapi kalau saya dianggap melecehkan, kamu ikut membela ya kang?"
"Bisa. Bisa tidak, bisa iya."

IBU INDONESIA
Oleh : Sukmawati Sukarnoputri

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat,  berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Rabu, 04 April 2018

VIRAL TAK TERDUGA


djayim.com
Teknologi komunikasi telah memberikan kita ruang yang begitu luas dan tersambung pada setiap sudut dalam satu jejaring yang sambung menyambung. Sebuah berita, bisa sangat cepat merambat ke semua area yang terjangkau oleh jaringan internet. Ada berita yang datang dan pergi, terlupakan begitu saja. Ada berita yang bertahan dan dibahas beberapa hari. Ada yang bertahan karena tidak ada berita lain yang lebih ‘heboh’.

Penyebaran, perhatian dan jadi bahan pembahasan sebuah berita, kejadian, gambar atau tulisan, dan tingkah laku yang menyedot perhatian tinggi dari pengguna internet itulah yang dinamakan viral. Kalau ada yang menulis atau mengatakan “viralkan...” itu berarti mengajak kepada warganet untuk menyebarkan  sesuatu berita, kejadian, gambar atau tulisan, dan tingkah laku agar apa yang diviralkan diketahui banyak orang.

Budaya Indonesia itu sangat dinamis dan terbuka. Mudah menerima hal-hal baru, meski kadang bertentangan dengan budaya sebelumnya. Banyak-sekali hal-hal sederhana yang tak diduga tak dinyana menjadi viral dan ditiru oleh banyak orang. Istilah-istilah baru bermunculan silih berganti, mengasyikan dan menggelitik. Ungkapan ‘jaman now’ menjadi kalimat yang sering dipakai di semua kalangan. Tak tahu siapa yang memulainya, hanya dengan mengganti kata ‘sekarang’ menjadi now  (bahasa inggris), menjadi ungkapan yang asyik-asyik saja diucapkan di sembarang tempat. Eta terangkanlah, sebuah ungkapan yang diucapkan sambil seperti bernyanyi, sempat juga viral meski tak bertahan lama. Oom tolelot oom, sempat viral dan booming. Kalau diruntut ke belakang banyak sekali yang kata atau kalimat yang viral di kalangan tertentu dan merambah ke semua kalangan. Banyak, untuk lebih yakin googling saja.

Tidak harus rumit, akademis, ilmiah dan serius sesuatu bisa menjadi viral. Sesuatu yang enteng dan menghibur atau ada kesan kocak dan lucu, gampang menjadi viral. Kemunculannnya juga sering mengejutkan dan tak terduga dari budaya keseharian di semua lapisan. Viral yang enteng-enteng saja inilah yang punya sifat menghibur.

Sebuah ‘viral’ akan menjadikan suasana panas jika yang viral menyangkut politik dan SARA. Kurang pengendalian diri seseorang atau kelompok yang merasa diserang, bisa melahirkan permusuhan. Banyak pihak yang memanfaatkan pada suasana ini dengan tujuan yang berbeda-beda.
Viral sebuah misteri. Tak diketahui apa dan kapan sesuatu menjadi viral, dan dimulai dari mana sesuatu yang viral itu. Bisa saja sebuah ungkapan sederhana keseharian kita, tiba-tiba menjadi viral dan kita terkejaut dengan keviralannya.