Label

Kamis, 16 Januari 2014

TENDANGAN SI MADUN RETURN, ‘MENGHERANKAN’



Saya tak habis pikir, bingung dan tak mengerti. Mungkin ini karena kekurangmengertian saya terhadap sebuah seni peran yang di aplikasikan ke sinetron yang berjudul Tendangan si Madun, yang kini tayang lagi dengan menambahi kata return.
 
Dari segi cerita, saya sama sekali tak mengerti apa yang akan disampaikan dengan cara itu. Jika ketidaktahuan saya tentang alur cerita, itu dapat saya pahami karena pikiran saya tak bisa memaksa hati untuk agak lama menontonnya. Animasi yang sangat tidak nyaman dilihat dan banyak perkataan atau ungkapan yang seperti menganggap penonton tidak akan tahu apa yang hendak disampaikan jika tidak dengan ucapan, menjadi sebuah tontonan yang saya tak mengerti apa yang hendak di sampaikan dan di inginkan oleh para pembuat sinetron itu. 

Saya yakin sekali, personil yang terlibat dalam pembuatan sinetron itu pasti figur-figur yang mengerti seni peran dan seni-seni lain, dan pasti mengerti tentang hibuan yang enak dan nyaman di tonton. Mereka yang terlibat pasti juga tahu bagaiamana menghasilkan sebuah karya seni yang baik, menghibur, enak ditonton, nyaman di lihat dan mengesankan.  Tetapi saya menjadi tak mengerti kenapa mereka membuang biaya, waktu dan pikiran untuk melahirkan sebuah karya yang, maaf, tidak bermutu dan konyol.

Mereka terus membuat sinetron itu dan yang lain semacamnya, pasti ada alasannya. Jika sebuah sinetron sudah tidak ada penontonnya dan tak ada yang pasang iklan, maka tidak akan terus menerus dibuat. Ada keuntungan dengan memproduksi Tendangan si Madun, artinya mereka masih punya sasaran pasar yang di bidik dan itu masih potensial untuk menghasilkan uang. Nampaknya pangsa pasar yang mereka sasar masih tinggi, ini terbukti dengan penayangannya pada prime time. Saya lihat sasarannya tertuju pada penonton anak-anak atau remaja. Atau bisa saja ketidaktahuan saya tentang selera penonton terbanyak televisi di negara kita, sehingga sebuah sinetron yang begitu ditayangkan pada prime time.

Sang produser tentu berpikir bagaimana uang yang telah di keluarkan bisa menghasilkan untung banyak. Jika dengan membuat sebuah sinetron yang tidak bermutu saja masih bisa menghasilkan uang, kenapa tidak diteruskan dan harus repot-repot cari yang lain yang belum tentu laku. Tinggal bagaimana penontonnya, apakah mau menonton sinetron yang tidak bermutu dan konyol tapi dianggap menghibur atau hanya mau menonton tontonan yang bermutu. Penonton punya daya tawar tinggi untuk memkasa para prosuser dan seniman yang terlibat untuk menghasilkan sinetron yang bermutu dan enak ditonton, enak dinikmati dalam alur cerita, akting, animasi,dan seluruh yang tertayang di dalamnya.

Kamis, 02 Januari 2014

Bendera Merah Putih di Tiang di Ujung Desa di Tepi Hutan



Ini sebuah Nasionalisme, pikir saya ketika melihat kibaran Sang Merah Putih di pinggiran perkampungan pada sebuah lembah tak luas di bawah hutan. Hari itu tanggal 4 Nopember. Seingat saya tak ada hari Peringatan Nasional. Atau mungkin sedang menyambut Hari Pahlawan enam hari ke depan. Saya juga tak menelusuri sebab musabab pasti kenapa orang itu memasang Bendera Merah Putih di depan rumahnya yang nota bene-nya bukan perkantoran. Sedikit informasi dari temen yang sekampung dengannya, Ia seorang guru spiritual yang sepertinya ingin menunjukkan bahwa Ia menjunjung tinggi NKRI.  

Terlepas apakah orang tersebut memasang Sang Merah Putih karena jiwa Nasionalis yang tinggi atau sekedar isenga dan punya tujuan lain, romantisme nasionalisme saya terhentak dan muncul karenanya. Sudah lama saya ingin memasang Bendera Merah Putih di depan rumah saban hari. Tapi itu hanya sebuah rencana yang terpasang di angan-angan. Bahkan pada hari-hari yang diperingati sebagai Hari Nasional pun sering tak memasang bendera. Sering dengan enteng berkelit dalam hati, tak pasang bendera tak apa-apa yang penting di hati tetap berkibar Sang Merah Putih. Alasan yang sering dibuat-buat sekedar di hati atau di lidah untuk membenarkan kekeliruannya.

Rasa Nasionalisme sering terlupakan dan terabaikan. Rasa itu bisa saja tiba-tiba muncul jika ada pihak external yang mengusik kedaulatan dan kebanggan kita sebagai bangsa yang bernegara. Peng-klaim-an lagu asli daerah Indonesia, tari, reog dan budaya asli Indonesia lainnya oleh negeri Jiran Malaysia, membangkitkan rasa Nasionalis di dada rakyat Indonesia dari rasa nasionalis yang tertidur dan lupa. Pemerintah kemudian terburu-buru mendaftarkannya ke Unesco, kalau itu semua budaya asli Indonesia. Ada sisi baiknya juga tindakan Malaysia, untuk sesekali membangkitkan rasa Nasionlisme yang semakin tak tertanam di jiwa kita. Lebih parah lagi, orang kita sendiri sering merasa minder menjadi bagian dari Bangsa Indonesia dengan selalu mengunggulkan negara lain yang belum tentu benar karena hanya tahu dari media.
Terbaru, kita di henyakkan oleh berita tentang kedutaan Australia yang dijadikan sebagai tempat penyadapan oleh inteljen Amerika Serikat. Ini tentu menggeramkan dan membangkitkan rasa harga diri sebagai bangsa yang berdaulat, di injak-injak oleh negara lain. Tindakan mereka, Australia dan Amerika Serikat, tidak menunjukkan sebagai negara yang ingin bersahabat dengan baik. Ada kepentingan lain yang merugikan negara yang dijadikan sebagai obyek mereka. Tentu ada tujuan tertentu dengan apa yang dilakukan oleh mereka.
Sebuah bendera merah putih yang berkibar bangga di ujung desa di tepi hutan, pertanda Nasionalisme masih tumbuh di setiap pelosok tanah air meski itu tidak dibangkitkan oleh pihak ekternal negara. Kita juga sering melihat bendera  Merah Putih terpasang gagah di baju atau jaket seseorang. Ini juga menimbulkan Nasionalisme dan  greget tersendiri di jiwa kebangsaan kita. Meski kadang saya lihat juga ada anak-anak muda yang memakai kaos berbendera Jamaika, tentu itu bukan Ia mencintai Jamaika-nya, itu karena ia suka sama Bob Marley dengan musik Regae-nya. Atau berkaos berbendera dan bertuliskan Brasil, Italia, Jerman, dll, itu karena mereka suka dengan Sepak bolanya, bukan pada negaranya.

'seharusnya'



Satu;
Seharusnya kamu jangan begitu, kalau kamu begitu terus aku tak mengerti. Aku ingin kamu seperti ini agar aku menjadi lebih enak. Kalau kamu seperti seharusnya yang aku mau, semuanya akan menjadi nyaman. Aku tak mengerti kamu berbuat seperti itu dan tetap bertahan seperti itu, membingungkan.

Dua;
Kenapa juga kau tak mengerti aku. Kenapa kau tak mau memahami. Seharusnya bukan seperti itu keputusanmu. Kamu tahu ini tak membuatku dalam posisi enak. Ini memojokkanku. Kenapa juga kamu tak memahami posisi aku. Ini tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ini hal yang tak terduga yang tak aku suka. Seharusnya bukan begitu.

Tiga;
Seharusnya kalian berdua jangan memaksakan ‘seharusnya’ dari sisi masing-masing. Sama-sama mengalah-lah. Memang tak ada yang terpuaskan. Memang sama-sama sedikit kecewa. Seharusnya, tidak seperti seharusnya menurut kalian. Coba jika tak ada seharusnya dan tak terpikir untuk seharusnya.