Label

Senin, 30 September 2019

KEGELISAHAN


berharap itu lumrah, manusiawi, wajar tanpa pengecualian. Berbuat sesuatu tanpa punya harapan itu sebuah keistimewaan yang lebih ke arah anomali. Bahkan berbuat sesuatu dengan sangat ikhlas pun, masih berharap kepada Alloh SWT yang akan membalasnya. Berharap kepada Alloh SWT dalam kontek ikhlas pun, masih berharap lagi, semoga Alloh memberikan seperti yang diharapkannya.

Ketika harapan tidak sesuai dengan keinginan, akan lahir sebuah kegelisahan. Kegelisahan akan membuat siksaan baru jika harapan yang tidak sesuai dianggap sebagai kesialan. Lebih parah lagi ditambah dengan diingatnya kesialan-kesialan lain di masa lalu yang sengaja di hadirkan agar anggapan dirinya itu “sial” itu benar-benar sial.

Berpasrah diri sebagai cara untuk membuang kegelisahan. Pasrah dengan tidak melakukan apa-apa adalah sebutan yang tidak tepat untuk disebut ‘pasrah’. Melakukan sesuatu dengan maksimal dan terus berusaha dengan menikmati proses usaha, menjadikan setiap waktu yang dilalui menjadi terasa berguna dan nikmat. Berdoa sebagai arah harapan yang kita inginkan, sebagai peyakin diri, karena sesungguhnya subyek yang kita mintai, sudah tahu apa yang kita harapkan.

Itu kegelisahan berkesinambungan dengan harapan pada individu.

Lebih melebar, harapan beberapa orang, sekelompok orang atau orang-orang yang berkelompok karena ada kesamaan keinginan pada suatu tatanan sosial masyarakat atau lebih luasnya dalam cakupan negara dan bangsa, menjadi sebuah tarik menarik kepentingan dalam menentukan arah kebersamaan dalam sebuah wadah negara dan bangsa. Dalam kebersamaan itu diperlukan pengorbanan banyak pihak karena tidak semua harapan dan keinginannya terpenuhi secara utuh. Ambil jalan tengah, menjadi solutif yang tak memberi kepuasan semua pihak dan masih berpotensi lahir kegelisahan.

Sebuah kegelisahan yang di rasa bagi sekelompok orang yang berpandangan dan berkeinginan sama atau setidaknya mirip, akan muncul aksi protes agar apa yang menjadikannya gelisah diperbarui seperti apa yang diinginkan. Dan, tidak semua keinginan akan terpenuhi, karena banyak pihak yang berkeinginan dan berkepentingan dengan argumen yang berbeda-beda.

Akan tetap ada kegelisahan sosial, ketika masih ada perbedaan dalam suatu wadah bernegara dan kemungkinan unjuk kegelisahan dengan berdemontrasi menjadi hal yang bukan mustahil jika cara dialog berakhir buntu.

Selama masih ada perasaan harapan akan diiringi pula sebuah kemungkinan kegelisahan.

Kamis, 26 September 2019

TOLERANSI PADA INTOLERAN


Belakangan ini, ‘toleransi’ menjadi sebuah kata yang sensitif dalam pembahasan. Orang tidak boleh berkata, menulis atau mengungkapkan kata, berbuat atau bergerak yang dianggap intoleran oleh orang yang tidak seide, sekeinginan, sekeyakinan dan berseberangan. Berbuat sedikit saja yang dianggap intoleran akan menjadi masalah besar jika ingin dibesar-besarkan oleh pihak yang tidak senang. Perebutan kekuasaan, Pipres, Pileg dan pertarungan politik, menambah bergairahnya penggorengan isyu atau bukan isyu tentang intoleran.


Media sosial menjadi tempat yang subur dan amat sangat cepat berpengaruh untuk membuat suasana yang diinginkan, jika seseorang menuduh seseorang atau kelompok tertentu intoleran. Ketokohannya juga iku berpengaruh untuk menggoreng langit pendapat. Menjadi simpang siur atau kemudan saling bertabrakan, sangat mungkin untuk diskenariokan.


Kita menjadi pada posisi harus maklum dan mengerti apapun yang ada di depan kita, di lingkungan kami bahkan di semua bawah langit. Harus senang dan maklum meskipun kita tidak suka atau bahkan merasa keyakinannnya terlecehkan.


Anehnya, yang menuduh orang lain atau kelompok lain itu intoleran, sepertinya tidak menyadari kalau Ia juga telah berlaku intoleran. Jika Ia orang yang benar-benar punya toleransi, Ia juga harus mau menerima dan mengerti orang lain yang berlaku (menurutnya) intoleran. Jika Ia merasa terganggu, orang lain yang dianggapnya menganggu, bisa saja merasa si penuduh telah berlaku intoleran.


Sebuah keyakinan, apalagi menyangkut agama, akan sangat susah untuk mengikuti semua kemauan orang yang ada di sekitar demi apa yang di sebut toleransi. jika ada seseorang yang merasa apa yang diinginkan atau diangankan harus sesuai keinginannya, dan menganggap intoleransi jika tidak sesuai, ia telah berlaku egois dan intoleransi. Diperparah lagi dengan membesar-besarkannya di media sosial seolah Ia-lah yang paling toleran. Toleransi itu juga harus toleran terhadap orang yang (dianggap) intoleran.


Merasa paling toleran adalah intoleransi. Toleransi itu juga bertoleran terhadap yang intoleran.

Rabu, 29 Mei 2019

NONET (*)


soleh djayim

            Seluruh isi tasnya kembali Ia periksa. Buku catatan harian, agenda, ballpoin, ringkasan laporan, kalkulator, arsip, pensil, pengaris, penghapus, staples dan isinya, semua diperiksa. Ia kembali duduk mengingat-ingat kalau-kalau ada yang ketinggalan sambil memakai sepatu. Ternyata sepatunya sudah lusuh perlu penyemiran kembali, waktu persiapan lembali bertambah; Apa lagi yang belum ku masukkan dalam tas, jangan-jangan nanti aku harus kembali pulang mengambil berkas yang ketinggalan. Rambutku belum rapi, perlu menyisir rambut dulu. Aku harus meyakinkan diri kalau pakaianku rapi, sopan dan menambah nilai plus bagi penampilanku.     
            “Herta, tadi pesannya Pak Nandar bagaimana?”
            “Tadi kan sudah saya katakan Kak, apa perlu di ulangi lagi?”
            “Tadi kamu nggak nanya dari siapa?”
            “Saya lupa Kak, tadi kan sudah saya katakan, lupa!”
            “Ya sudah. Apa saja yang perlu dibawa katanya.”
            “Dia nggak bilang supaya bawa apa, bawa apa.”
            “Kamu yakin itu suaranya Pak Nandar?”
            “Dengar suaranya saja baru kali ini, mana saya tahu. Dia Cuma bilang Kakak harus segera menemuinya segera, penting katanya.”
            “Orangnya suaranya kayak apa, berat atau sedikit cempreng.”
            “Agak berat Kak.”  
            Banyak sekali atasanku yang suaranya berat, pikirnya. Kalau yang suaranya cempreng bisa ditebak-tebak, tak banyak. Kenapa pas aku lagi ambil cuti begini. Apa tidak bisa ditunda sampai besok. Apa ada kemungkinan supaya aku beralasan ini itu agar aku bisa tak usah berangkat. Jangan-jangan ini akan bermanfat baik untukku, jika nanti aku tak memenuhi panggilannya aku bisa rugi dan tak bisa lagi mendapatkan kesempatan emas itu.
            “Herta! Tadi Bapak itu ngomong apa di telepon?” 
“Kakak disuruh menemuinya sekarang! Tanpa alasan. Sekarang juga. Lho, Kakak kok masih di sini, belum berangkat. Kenapa Kakak lama sekali?”
“Kakak lagi menyiapkan semua yang perlu dibawa.”
“Nggak usah bawa apa-apa saja Kak, bilang saja nggak tahu harus ada yang dibawa.”
Entar malah disuruh balik lagi. Repot. Memang Kakak sudah lama Ta, saya pikir belum lima menit.”
“Uh, lima menit apaan, sudah hampir satu jam  tahu!”
“Ah yang benar.”
Ia pandangi seluruh ruangan, lupa di mana tempat jam dinding menempel. “Ta, nanti kalau ada yang ketinggalan, Kakak telepon, kamu antarkan, oke! Oh ya, bilang sama istriku aku ke kantor.”
Ia kembali ingin menenangkan pikiran, menata emosi, mengatur degup jantung; Kenapa aku nervous begini. Aku kan sudah biasa menghadapi pimpinan. Apa  yang membuat  hal ini menjadi menekanku.
“Lho Kak, kenapa kakak belum berangkat. Sudah jam tiga kurang seperempat Kak. Kantor sudah tutup!”
“Ah yang benar. Kamu bikin Kakak gugup saja.”  Ia yakinkan waktu; jam sembilan seperempat. Sudah cukup siang, belum tentu perjalanan lancar. Bisa saja motornya tidak langsung hidup, belum tentu bensinnya cukup sampai ke kantor atau tahu-tahu bannya kempes dan perlu ke bengkel motor.
Ia sambar jaket, helm. Aduh, ini kontak di mana lagi. Biasanya di atas tivi. Tadi pagi Ayir main-main di sini, jangan-jangan dibawa-bawa dan lupa naruhnya. Semua jadi tak nyaman, ada saja yang kurang dan bikin menghambat. Ia cari kunci serep di lemari pakaian. Alhamdulillah ketemu, semoga tak ada lagi kerikil-kerikill kecil yang mengganjal di hati, bikin kaki terantuk.
“Mas Kobar, mau ke mana nih. Sepertinya buru-buru.”
“Ke kantor.”
“Hlo, katanya cuti.”
“Iya. Tapi, tadi bos menelpon agar aku menemuinya. Mas Kasdut mau ke mana?” Buru-buru kobar mengakhiri pembicaraan dengan pertanyaan sambil mendorong motor keluar halaman rumah.
Matahari tak tampak. Angin bertiup lambat. Ia pandangi langit; di mana posisi matahari. Apa benar kata Herta sekarang sudah jam tiga sore? Ia kembali masuk rumah.
“Herta, tadi bos telepon jam berapa?”
“Jam setengah sembilan. Lho Kakak belum berangkat juga. Nanti kena marah lho Kak, bisa mampus!”
Kenapa kita harus terikat oleh batasan-batasan waktu yang kita bikin sendiri. Kenapa kalau  ke kantor tengah hari kita di vonis terlambat. Bukankah kalau kita sepakat bertemu, kapanpun, di manapun; jadi! Bisa! Ini, kita sendiri yang terjebak oleh kesepakatan turun temurun tentang jam kantor, jam istirahat, jam makan, jam tidur, hari libur, saat harus berlaku sopan, saat boleh santai rilek, saat harus buru-buru. Semua. Semua harus menerima kesepakatan warisan dan mengingkarinya adalah tindakan konyol. Apalagi ini bersangkutan dengan bos. Orang yang dengan segala kebijaksanaannya bisa sangat berpengaruh dengan ekonomi rumah tangga. Ya, karena uangnya, ia punya kekuasaan dan aku adalah salah seorang yang tunduk pada setiap keputusannya, pada perkataannya, selagi aku masih perlu uangnya. Kalau aku tak lagi butuh uangnya, aku bisa saja bantah perintahnya; malas, cuti kan waktunya istirahat, waktunya tak perlu ke kantor, waktunya tak perlu mikir segala tetek bengek pekerjaan menjemukan, emang lu siapanya gue.
Kobar menghidupkan motornya. Tak perlu dipanasi seperti biasanya. Kaki waktu berlari cepat sekali, Kobar terpontang panting mengejarnya. Kobar memburu waktu dan waktu berjalan di tempat menertawainya. Jalanan begitu sempit untuk menampung motornya yang berlari mencari celah diantara ribuan kendaraan yang diperkosa majikannya mengantar keinginan manusia.
Aku harus bisa menemui bos pada waktu yang berkenan baginya. Aku sudah terus memaksa laju kendaraan dan ia tak mampu memenuhi keinginanku. Manusia perlu mememukan alat yang bisa melontarkan orang tepat ke sasaran yang diinginkan dengan sekali pencet, seperti remote control, tanpa terjadi benturan di udara. Dengan begitu tak perlu membikin jalan yang lebar-lebar yang makan tempat dan biaya. Cukup untuk orang berjalan kaki jika ingin berolah raga atau keperluan kecil.
Lampu merah di traficlight lama sekali. Masa nyala sampai sudah hampir setengah jam belum juga berganti hijau! Ini harus diprotes, diadukan pada pihak yang berkepentingan. Mereka merasa perlu mementingkan ini nggak yah? Mungkin saja mereka tak peduli dengan lampu merah yang nyala lama sekali, toh jika normal pun orang-orang seenaknya melanggar sambil berlari mencemooh. Daripada terus-terusan dicemooh mendingan dibiarkan, agar mereka lebih leluasa melanggar lampu merah.
Thii….tt. Thiiithiii…..th.. Klakson menjerit . Kobar kaget. Di depannya puluhan motor melesat memburu arah. Ia tarik handle gas pol. Hampir menabrak motor di depannya. Di belakangnya sebuah mobil direm hentak, “Hey, mau mampus ya!!” Kobar pura-pura tak dengar. Lari, zig zag, mengacak jalan. Sirene mobil polisi meraung di belakangnya. Kobar berlari dengan kecepatan maksimal tenaga motornya. Angin menamparnya keras mengingatkan tentang keselamatannya. Jaketnya berkibar berkelebat-kelebat, helmnya hampir terlontar, tasnya bersembunyi tenang di balik punggung. Jalan yang dilaluinya menjadi begitu panjang dari biasanya. Di tikungan tajam Kobar hampir rebah. Lututnya mengena aspal. Dengan segala ketrampilannya Ia menguasai keadaan motornya. Ia tinggalkan kengerian orang-orang di sekitarnya. Lari melaju memburu. Waktu tak mungkin kembali meski sedetik pun untuk dihadiahkan padanya.
Ia memarkir kendaraannya seperti biasanya. Oh, masih banyak motor, berarti jam kantor belum usai. Tapi, motor yang diparkir kok beda dari biasanya. Apa teman-temanku telah ganti motor baru semua. Baru tiga hari aku cuti, mereka ganti motor baru, dapat tambahan dari mana? Wah, cair! Mungkin aku dipanggil untuk keperluan ini. Aku bisa jual ini untuk keperluan rumah tangga dan besok aku pakai motor baru. Dan, mobil-mobil yang diparkir di sana pun bagus-bagus, ada yang nampak masih baru. Moga-moga aku dapat jatah mobil karena prestasi kerjaku dan kesetiaan terhadap perusahaan. Tuhan, kabulkan permohonanku. Atau ada tamu dari perusahaan lain untuk keperluan bisnis dan aku adalah salah satu karyawan yang sangat dibutuhkan. Aku harus tampil elegan, tenang, berwibawa dan yang pasti nggak grogi apalagi nervous.
Kobar mencari Pak Rohmat, penjaga kantor, untuk mencari tahu keadaan kantor. Tidak mungkin Ia melongok sana-sini lewat jendela, tidak sopan, kekanak-kanakan dan kalau di dalam pas ada tamu tentu ini menjadi hal yang sangat memalukan. Ini bisa merusak prestise. Di depan gudang belakang tempat biasa Pak Rohmat beristirahat, tak ditemukan, di mushola tak ada orang, di pos penjagaan sepi, di warung depan tinggal pemilik warung dan seorang pelayan.
Di dalam masih ada orang. Kobar memutuskan untuk masuk. Ada Mba Ima sekretaris perusahaan yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Mba, Bos ada?”
“Ada. Ada perlu apa Pak? Lho, Pak Kobar kan sedang cuti?”
“Iya, tapi Bos memanggilku. Aku disuruh menghadap.”
“Tapi, saya nggak disuruh Bos untuk memanggil Pak Kobar.”
“Bos sendiri yang telepon.”
“Apa katanya?”
“Nggak tahu, adikku yang menerimanya. Boleh saya masuk sekarang?”
“Silahkan.”
Di depan pintu langkahnya terhenti. Kakinya terasa berat. Degup jantung yang tak teratur menggetarkan tubuh dan memeras kantong keringat. Ruangan terasa gelap, Ia mengerjapkan mata beberapa kali dan ruangan kembali terang. Aku harus akhiri keadaan ini secepatnya. Lebih cepat lebih baik.
“Thok…thok..thok..” Tak ada jawaban. Apa kurang keras aku mengetoknya
“Permisi Pak.”
“Silahkan masuk.”
Kobar ragu; benarkah itu suara bos atau aku salah dengar? Apa aku mesti ulangi lagi. Kalau mengulangi lagi dan ternyata tadi suara bos, apa nanti tidak bikin bos dongkol. Apa harus minta tolong Mba Ima untuk menyampaikan pada bos untuk menghadap. Ah, kayak tamu perusahaan saja, nanti dikira sok.
Salah itu manusiawi. Aku harus mengulangi lebih keras lagi.
“Thok..thok..thok.. Permisi Pak!” Suara kobar menggema ke seluruh ruangan. Memekakan telinga. Aduh, suaraku terlalu keras, tentu bos aka marah dan pasti aku dicap karyawan yang tidak baik, tidak sopan, tidak menghargai pimpinan, tidak menghargai Bos. Ia tengok ke arah Mba Ima, Mba Ima masih sibuk dengan pekerjaannya.
Kobar mendengar suara dari dalam ruangan Bos. Meski Kobar kembali ragu dengan suara itu, Ia memutuskan untuk masuk.
Pintu dibuka pelan. “Permisi Pak,” suara kobar pelan dan sopan dengan anggukan kepala.
Kobar terpaku, diam dan mengawasi seluruh ruangan. Pojok kanan, ke kiri ke samping kiri, ke samping kanan, tak ada orang. Di mana Bos, apa dia sedang ke kamar kecil? Apa aku harus duduk di kursi di depan meja Bos atau aku harus terus berdiri sampai Bos datang dan memepersilahkan aku duduk. Di meja semuanya telah rapi. Ini nggak beres. Tak ada orang di sini. Tak ada. Bos pasti sudah pulang. Listrik sudah dimatikan semua. AC sudah mati, komputer sudah mati, kursi sudah rapi.
Kobar berbalik arah, keluar. Di meja sekretaris tak ada orang. Mba Ima sudah pulang. Di meja ada secarik kertas bertuliskan; ditunggu boss di rumah! Segera. Kobar blingsatan, aku harus segera ke sana, segera! Sebelum semuanya terlambat. Sebelum kesempatan itu hilang dan tak pernah kembali lagi. Sebelum berubah arah.
Kobar berlari. Berlari di jalan, saling mendahului, berpacu. Berlari.               
                                                                                    Januari, 2004

Nonet; Bahasa lokal daerah penulis  yang berarti bergegas tergesa dengan segera menuju sesuatu tujuan.

            

Kamis, 14 Maret 2019

LANGIT-LANGIT KERTAS (sebuah cerpen)


soleh djayim

Sudah lama sekali aku tak mendengar namaku dipanggil. Bahkan seperti lupa siapa namaku. Tak ada yang mengenalku. Makan sedapatnya tak tentu, tidur dimana mata mengantuk. Berhenti selelah kaki melangkah. Nomaden, berganti-ganti jalan yang dilewati, berganti-ganti langit yang memayungi, berganti wajah tertemui. Semua tak peduli. Semua tak mengerti dan tak mau mengerti. Suara-suara asing silih berganti membawa hati dan pikiran ke alam yang tak dimengerti. Tak ada rasa jemu, tak ada rasa senang. Datar dan biasa-biasa saja. Mengalir seperti air di sebuah sungai besar ketika kemarau. Berjalan seperti angin dini hari yang lambat, dingin menusuk seluruh persendian. Belantara alam dengan segala fasilitas manusia yang terus menerus bertambah, terus menerus beragam. Selalu bising namun lengang di telingaku, selalu ramai lalu lalang tapi sepi di mataku yang kosong dimasuki sinar yang berpendar-pendar bergonta-ganti warna.
Ini sudah menjelang subuh atau masih dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama saja. Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak tentu nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut agar bisa tidur dan melepas lelah sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para pekerja keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur menjadi sebuah kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu. Tak ada tanda atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura jadi orang gila agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan hartanya. Tapi untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu agak lama untuk belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang mengasyikan menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan akan menjadi permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku telah begitu banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap kedamaian dan keindahan mendekat pada sang pencipta.
Pagi menjelang siang. Meski kabut masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti, duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas. Suara adzan subuh yang terdengar tadi telah membawaku ke masa kecil. Ketika menjelang maghrib kami berlari-lari menuju masjid untuk sholat maghrib berjamaah dan seusai shalat mengaji dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin seperti dia. Semua polah tingkahnya mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku ingin mengaji kembali. Masih ingatkah Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat maklum. Tak ada yang mengenal aku sekarang.
  Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Aku sangat kangen pada suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali pupusnya harapan untuk memilikinya. Siapa orang yang mau punya menantu seperti saya dan siapa wanita yang mampu menanggung malu punya suami sepertiku.
Tak apalah. Hidup harus tetap berjalan, dan mengakhiri hidup dengan membunuh diri adalah dosa besar yang masih saya takuti. Mungkin semacam takut para pejabat jika kehilangan kekuasaan. Dan rasa lapar yang sering saya tahan, tak membuat saya mati, bukan menjadi alasan untuk bertahan dan bermalas-malasan mencari uang. Mencari uang perlu keberanian dan kekuatan. Bahkan hanya sekedar memperoleh uang untuk makan sore pun, saya pernah hampir dibunuh. Sepertinya, menunjukkan kekuasaan menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk bertahan. Mungkin saya terlalu sederhana membacanya; ketika tidak ada orang yang menarik uang parkiran di depan sebuah toko kain dan pakaian yang tak begitu ramai, saat itu gerimis cukup tebal, saya berinisiatif meminta uang parkiran. Satu dua sampai lima pemakai motor memberikan uang parkiran setelah saya hanya mendekat, sedikit membantu dan memberi aba-aba. Saat orang ke delapan, seorang yang agak tinggi kerempeng, menendang dari belakang dan membuat saya tersungkur mencium lantai. Sebuah belati kecil terhunus dan diacungkan  di mata, “mau mati kamu!?” Ia membentak dengan nada sangat mengancam. Saya melompat lari menabrak tembok pembatas pinggir jalan, terjerembab, bangkit dan segera berlari lagi. terus berlari sampai habis nafas dan berhenti di warung kecil untuk makan seharga lima ribu.
Dunia penuh dengan prasangka dan curiga. Saya menjadi orang yang seolah semua orang patut bercuriga. Menolong seorang ibu-ibu tua yang tersiksa membawa barang belanjaan di pasar, menjadi sebuah perhatian begitu banyak orang. Bukan merasa salut dan senang dengan saya menolong, tapi mereka mengamati setiap langkah, kalau-kalau saya mau membawa kabur barangnya. Maklum saja, karena pakaian saya lusuh, tidak bagus dan tak berkulit bersih. Jadi, pikirku, kalau mau berbuat jahat, berpakaianlah yang bagus dan bertindak santun bertatakrama. Dan niatku untuk menolong setiap ada yang perlu ditolong, akan saya lakukan, jika yang ditolong curiga dan takut, tak perlu dijelaskan niat baik saya. Batal menolong menjadi pilihan karena akan mengurangi beban ketakutannya.
Kadang enak juga di anggap orang gila. Secara sadar, berperilaku seperti gila menjadi cara agar saya di maafkan berbuat sesuatu yang dianggap salah. Bisa mendengar dan melihat kecurangan dan rahasia-rahasia kecil di setiap tempat. Di pasar, para pedagang yang mengurangi timbangan, mencampur barang beda kualitas atau menjual barang bekas yang dipoles menjadi seperti baru, bersandiwara harga dengan komplotannya untuk menjebak pembeli dan begitu banyak kecurangan yang sebelumnya tak saya mengerti. Saya jadi tahu, karena saya gila mereka tak perlu berrahasia. Yang datang ke pasar adalah calon korban, dan si korbang harus tidak sadar jika ia di jadikan korban dan akan kembali lagi membawa uang dengan senyum ramah. Di pinggir jalan, di warung emper toko, di angkringan, di tempat-tempat yang jika ada orang mereka tak berani bicara kecurangan, saya di anggap tidak ada dan tidak apa-apa mendengar.
Mereka yang culas, berpakaian bersih, bergamis dan bermuka kelimis, bersenyum sejuk, pandainya berakting. Bersembunyi, bersembunyi, bernyanyi menghibur diri, bernyanyi menyembunyikan diri. Saya tahu, mereka tak tahu. Saya menertawainya, mereka tak menganggap apa-apa tertawa saya.
Sebuah rencana pembunuhan di hadapanku. Seperti sebuah obrolan biasa, tanpa emosi, tanpa amarah. Di sebuah jembatan sambil mancing dan kopi yang di pesan di warung kecil di pinngir jalan yang hanya buka di malam hari. Saya mendengar dan tahu jadwal dan caranya. Saya sampaikan ke polisi di pos pertigaan lampu merah. Sebelum tuntas bicara, mereka mengusirku. Karena saya tak bersih jadi tak layak dipercaya. Saya di usir sebagai orang gila. Esok malamnya, yang mereka rencanakan terjadi, seisi kota heboh. Saya mendatangi polisi yang lain, memberi info, mereka mengusir sebelum kalimat kedua dimulai. Saya berlari ke pasar, mencuri pakaian di toko yang mudah di jebol, saya pakai dengan tergesa. Saya datangi kerumunan di TKP, mereka percaya, menjadikan informasi saya sebagi titik awal mencari pelaku. Esoknya dua pelaku diringkus.
Malangnya, saya ikut ditahan polisi sebagai saksi katanya. Ditanya macam-macam, saya jawab-jawab hanya dengan yang saya dengar. Mereka tak puas dengan jawabanku. Saya dianggap mereka-reka dan dianggap sebagai komplotannya yang sedang pecah. Beberapa nama kelompok dengan nama seram dikaitkan. Saya jawab tak tahu, dan jawaban ketaktahuan saya berbuah sebuah pukulan, “jika kau tak juga mengaku, kau akan mendapat lebih dari ini!”. Saya berpikir keras agar bisa keluar tapi tidak mendapat tekanan dan pukulan. Berpura-puralah saya gila. Dan berhasil, karena badan saya yang kotor dan bau. Sebelum melewati pintu, saya nyomot makanan yang ada di piring di atas meja ruang tengah. Saya kantongi sambil ketawa-ketawa seperti anak kecil. Saya makan sambil senyum-senyum.
Esoknya, saya ketemu dengan dua pembunuh yang di bebaskan. Keterangan dari orang gila tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, mereka pun bebas. Mereka mencari saya, tentu saya akan dibunuhnya. Beruntunglah, saya melihat lebih dulu sebelum mereka tahu. Saya bersembunyi dan lari, berganti baju, berganti penampilan, menuju kota lain terdekat. Berjalan tak tentu arah, tak tentu perasaan. Ternyata saya merasa masih perlu mempertahankan hidup, perlu menghindari sebuah ( mungkin ) rencana pembunuhan terhadapku. Kadang juga saya berpikir, pentingkah saya sehingga saya harus dibunuh. Dan untuk merasa tak terbebani saya memilih merasa menjadi tidak penting bagi orang lain. Tak mengertilah saya, kenapa harus tahu banyak sesuatu yang bagi orang lain sebuah rahasia besar. Tak percaya aku, sebuah pembunuhan besar yang kemudian menyeret tokoh papan atas negeri ini, saya dengar di taman kecil tempat para gelandangn beristirahat. Tanpa makanan dan minuman mahal, hanya dua botol air mineral dan dengan tampang dan bicara yang sederhana. Sebuah rencana penggulingan pejabat tinggi yang penampilannya selalu mengesankan, saya dengar ketika saya melewat di depan sebuah warung kecil di pinggir yang hanya buka di malam hari. Saya berpura-pura mengorek-ngorek tempat sampah mencari sisa makan. Mereka berdua di tikar terjauh, asik mengatur cara dan jadwal semua cara dan berita apa yang akan diturunkan pada saat tertentu yang telah disiapkan lengkap dengan pelakunya. Saya dengar semua, dan esoknya, muncul berita itu sampai kemudian tokoh itu benar-benar lengser berkalung simbol orang yang culas.
Opini sudah terbentuk dan kursi sudah mulai goyang, kaki-kakinya retak-retak mulai agak patah, Jika saja orang dekatnya yang ku temui dan kuceritai percaya apa yang aku dengar dan kuceritakan padanya, tak sampai hal itu terjadi. Semua berjalan dengan cepat. Kursi empuk itu mulai miring dan si empunya sudah panas duduk diatasnya. Tak perlu waktu tujuh hari, semua sesuai rencana yang saya dengar. Dan seluruh pelosok negeri telah men-capnya sebagai orang yang tak pantas menjadi seorang pejabat pengambil keputusan besar bagi negara. Rakyat telah menjadi hakim yang telah berhasil dibentuk oleh media yang terus berpropaganda demi kepentingan sang pembayar.
Ketika orang yang saya kasih tahu tentang rencana makar dan Ia tak percaya, mencariku, bertanya tentang siapa lagi target penggulingan, saya tertawa terbahak-bahak sambil berputar-putar, menari-nari, melompat kiri kanan, berteriak-teriak seperti pujangga mabuk membacakan puisi di panggung. Orang itu tetap sabar menanti jawabanku. Saya kasih tiga nomor buntut judi togel Singapura untuk mengalihkan rasa ingin tahunya. Ia abai, tak dipasangi. Tak dinyana, tiga nomor itu tepat tembus. Saya jadi orang paling dicari di kota. Sebelum saya diburu lebih parah para penjudi togel, segeralah pindah kota. Menyusuri jalan-jalan kecil, menumpang truk terbuka, berlari-lari seperti anak kecil, tidurlah saya di pasar beralaskan kardus bekas bungkus panci. Dan tetap saja ada orang yang memburuku. Semakin banyak, dan mereka ada di sekitarku tapi tak tahu persis dan hanya meraba. Aneh, darimana mereka tahu? Untuk apa? Mungkin untuk minta angka judi togel, mungkin untuk cari tahu siapa sebenarnya aku ( yang saya sendiri tidak tahu ), mungkin untuk cari informasi agenda rahasia yang saya tahu untuk menjualnya, mungkin untuk membunuhku. Membunuhku? Mereka kira saya peduli dengan hidup atau matiku! Ada yang bertampang wartawan, ada yang bertampang kyai, ada yang bertampang intel, ada yang bertampang polisi, ada yang bertampang gila, ada yang bertampang gembel, lebih gembel dariku. Yang terakhir lebih membuat saya perhatikan. Ia bisa saja ingin lebih gampang mendekatiku untuk membunuhku. Membunuhku? Sebegitu pentingkah saya sehingga ada orang yang ingin saya tidak hidup? Mengganggukah saya?
Saya tulis semua yang dialami pada kertas-kertas saya, tersimpan rapi, seperti buku agenda pada kertas-kertas terpisah yang belum sempat dijilid dan kubawa selalu. Juga kertas-kertas kiriman teman-temanku ( teman sepertiku ) dari seantero pelosok negeri. Banyak sekali yang mereka tak tahu. Mereka?  Mereka siapa? Jika saya kasihkan kertas-kertas saya pun, apa mereka bisa membaca? Kertas-kertas saya berserakan; di langit, di tanah lapang, di gedung, di sungai, di jalan, di laut. Jika saya bacakan di hari ulang tahun kemerdekaan dan disiarkan langsung oleh seluruh televisi, apa jadinya negeri ini. Saya tak kasihkan pada siapapun dengan banyak pertimbangan.
Dan membiarkan mereka memburu saya. Mereka yang ada di sekitarku, berlari-lari menuruti perintah tuannya. Berlari-lari. Saya ada di sekitarnya.
November 2016

Jumat, 22 Februari 2019

MEMBACA LAGI SOE HOK GIE



Membaca sebuah buku yang sedang diselesaikan bacanya oleh anakku, jadi kembali teringat kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu (kalau tidak salah ingat 1994), ketika membaca sebuah buku berjudul, Soe Hok Gie Catatan seorang demonstran. Buku ini diberi judul Soe Hok Gie ...Sekali lagi, bergambar close up wajah Gie,  Diatas judul buku ada tulisan; Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Di pojok kiri atas ada tulisan; Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.

Saya baca sekilas buku tersebut, acak, tak banyak dan hanya sedikit sekali yang saya baca. Ada yang sempat saya baca tentang bagaimana sosok Soe Hok Gie dijadikan sebuah film yang diproduseri oleh Mira Lesaman dan disutradai Riri Reza. Sekilas lain tentang bagaimana kejadian ketika Soe Hok Gie Meninggal saat mendaki gunung Semeru yang katanya keracunan.

Saya tak akan membahas tentang buku yang dibaca anakku, juga tentang buku yang dua puluh lima tahun yang lalu saya baca. Yang ada dalam pikiran dan angan-angan saya, jika seorang Soe Hok Gie hidup pada jaman sekarang dengan segala kecerdasan, semangat dan keberaniannya. Seorang muda yang tanpa takut melawan dan meyuarakan ketidakadilan dan kecurangan. Terus menerus bersemangat menulis dan menginspirasi orang-orang disekitarnya. Dijamannya, menurut yang saya baca, Ia begitu hebat dan kecerdasannya dimnfaatkan dengan sangat baik untuk terus menerus berjuang membangun area yang bersih dari kekotoran, kecurangan dan kelicikan.

Kita bisa membayangkan kehebatannya jika Ia bertindak dan melakukan pada jaman sekarang. Bisa saja kita menyangka kehebatannya karena Ia berkelakuan dan bertindak tepat ketika masa tahun 60an dan tidak akan sehebat itu jika diterapkan pada masa sekarang. Tetapi kehebatannya pada masa itu karena terpengaruh oleh sosial budaya dan segala gaya hidup yang tumbuh di sekitarnya. Ia disebut cerdas, tentu ada komparasi dari orang lain yang hidup di jamannya. Jika Ia hidup di masa sekarang pun, mungkin sekali Ia lebih hebat lagi karena didukung fasilitas komunikasi dan banyaknya bahan bacaan yang bisa jadi referensi dalam menulis dan bertindak. Dan tentu ada banyak resiko bagi siapapun orang yang berani terhadap sebuah rezim. Kematiannya Soe Hok Gie yang masih sangat muda, ketika sedang mendaki Gunung Semeru, pun menjadi misteri. Atau, bisa saja karena kematiannya itulah yang membuat nama Soe Hok Gie menjadi termasyhur, dan akan biasa-biasa saja jika Ia tidak mati di saat sedang menjadi perbincangan banyak orang kala itu. Keterkenalan akan menjadi lebih masyhur ketika terjadi tragedi yang mengakhiri keterkenalannya.

Diperlukan orang-orang kritis dan berani menyampaikan ketidakadilan, ketimpangan, kecurangan atau segala hal yang melanggar aturan yang telah ditetapkan, atau norma dan etika yang ada di masyarakat. Aktivis itu perlu di dalam setiap rezim, juga oposisi. Aktivis diperlukan sebagai penyeimbang dan pemberi peringatan jika rezim yang berkuasa atau pihak oposisi melakukan tindakan yang salah atau melanggar aturan yang ada. Aktivis tak berpihak pada penguasa dan juga tidak berpihak pada oposan. Oposisi diperlukan, juga agar rezim berkuasa bertindak kebablasan karena tidak ada pihak lain yang mengawasi dan memperhatikan. Oposisi ada bukan sekedar untuk menampung syahwat politik untuk mengganti kekuasaan yang sedang dinikmati oleh kubu lawan. Oposisi ada sebagai penampung dan penyeru pada hal-hal yang bisa merugikan rakyat atau bisa melemahkan negara. Siapapun rezim yang sedang berkuasa, oposisi tetap harus ada sebagai penyeimbang.

Aktivis sejati tidak akan pernah tergiur oleh kursi kekuasaan. Ia akan terus berteriak-teriak jika ada ketidakberesan. Ia tak akan mau dilemahkan dan ditundukkan oleh kenyamanan dan uang yang ditawarkan. Jika Ia berteriak teriak di jalan karena lapar, kemudian masuk arena kekuasaan dan duduk manis di kursi belakang meja dengan beraneka macam menu, gugurlah sebutan aktivis, dan sebutan aktivis yang pernah disandangnya berubah menjadi nama menjadi topeng. Bertopeng aktivis dalam berebut kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan, yang menang akan disebut pahlawan oleh penguasa, dan yang kalah akan disebut pemberontak atau disebut melakukan tindakan makar yang perlu disingkirkan.

Saya mengangankan, ada aktivis yang kritis, obyektif, cerdas dan tidak tergiur oleh uang dan kursi kekuasaan, terus menerus ada di setiap generasi. Realitas kehidupan membuat para aktivis lebih suka memilih uang, kenyamanan dan kekuasaan ketika sadar bahwa hidup berkeluarga beranak pinak memerlukan uang yang banyak dan cukup untuk biaya gaya hidup. Sangat jarang aktivis yang bertahan terus menerus tetap menjadi aktivis dengan segala idealismenya sampai akhir hayatnya. Karena aktivis yang vokal di setiap rezim akan dipinggirkan, disisihkan dan tak nyaman. Idealis versus realistis dalam jiwa aktivis akan terus berkecamuk sampai kemudian menyerah untuk menghidupi keluarga yang dibangun.  
21:29 21022019

Kamis, 31 Januari 2019

MENGAKU JUJUR, BERSIH, PINTAR DLL


Menjelang pemilu serentak tanggal 17 April 2019, kita disuguhi begitu banyak calon legislatif yang menawarkan diri untuk dipilih. Gambar-gambar dengan beraneka warna, bermacam-macam ukuran, bermacam-macam pose dan bermacam-macam tulisan menyatakan diri sebagai orang yang bersih, jujur, pintar, dan semua hal yang baik-baik, ditata sedemikian rupa sehingga menurut mereka yang terpajang, akan membuat para pemilih tertarik. Cara itu efektifkah? Saya tak pernah melakukan survey untuk menjajagi seberapa besar baner dan foto-foto yang dipasang para caleg mempengaruhi pikiran untuk memilih. Karena memperkenalkan diri bahwa, saya sedang mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPD adalah hal yang perlu sekali. Jalan dan tempat umum yang sering dilewati orang menjadi pilihan untuk memperkenalkan diri dan berupaya agar banyak orang tertarik. Tidak semua orang bisa dan terbiasa mengakses media sosial atau media massa digital lain, dan inilah yang membuat kampanye berbentuk fisik menjadi pilihan utama meskipun biayanya lebih mahal.

Dan, lihatlah begitu banyak para caleg yang mengaku-ngaku yang dituliskan pada alat peraga kampanyenya. Pernahkah kita percaya seratus persen terhadap orang yang mengatakan, “saya jujur, pintar, bersih, peduli, merakyat, .....” 

Seseorang yang asli pintar, kemudian dia dengan semangat mengaku-ngaku pintar, itu akan membuat orang yang mendengar atau membacanya menjadi kurang percaya atau bahkan bisa berbalik menjadi tidak percaya kalau ‘dia’ pintar. Mereka yang mengaku-ngaku jujur, adakah orang yang mendengar atau membacanya langsung percaya kalau mereka benar-benar jujur? Mereka yang mengaku-ngaku bersih, mengaku-ngaku amanah, mengaku-ngaku berjuang dengan hati nurani, mengaku-ngaku merakyat, mengaku-ngaku peduli. Yang lebih aneh lagi, mengaku memberi bukti bukan janji, padahal ia belum pernah sekalipun menjadi anggota DPR. Bukti yang mana kalau ia sama sekali belum pernah jadi anggota DPR. Bukankah ‘bukti’ yang baru akan dilaksanakan nanti jika ia jadi, itu baru sebuah janji. Bukti akan terrealisasi jika janjinya dilaksanakan. Terus, kapan ia bisa membuktikan, ‘memberi bukti, bukan janji’ kalau ia belum pernah jadi DPR.

Demi mendapat simpati dan mendapat suara pada hari H, mereka bersombong-sombong sebagai orang yang paling pantas dipilih dibanding dengan para caleg lain. Nggak apa-apa, karena tak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk mengimbangi caleg lain. Hubungan kekerabatan, pertemanan dan hubungan sosial, tak cukup aman untuk memperoleh batas suara yang ditetapkan. Untuk memperoleh kekuasaan, segala cara harus ditempuh meski bertentangan dengan hati nurani.

Dan para pemilih, terpengaruhkan dengan cara mereka menawarkan diri untuk menjadi wakilnya? Atau tak peduli dengan gambar-gambar yang berserakan di pinggir jalan.

Percayakah kita pada orang jujur yang mengaku jujur di setiap tempat?
22.56­_29.01.2019

KEBENARAN BISA JADI HOAX


Hoax itu berita bohong. Kebenaran tentang hoax itu benar-benar sebuah hoax, jika berita itu nyata-nyata tidak benar atau hanya sebuah rekayasa berita. Jika sebuah berita yang sebenarnya kejadian itu ada, tapi sudah agak menyimpang kronologisnya karena penyampaian mulut ke mulut yang tidak sempurna karena faktor si penyampai yang mempunyai kecenderungan berpendapat dalam penyampaian, bisa saja di sebut hoax, karena ada faktor rekayasa (sengaja atau tidak sengaja), meskipun pada dasarnya kejadian itu ada yang membuat menjadi sebuah berita. Bisa saja sebuah hoax itu, hoax mutlak, setengah hoax, mirip hoax, seperempat hoax, mirip hoax dsb.

Hoax bisa saja disebarkan dengan sengaja untuk mempengaruhi opini publik. Hoax juga bisa tersebar karena dikaitkan dengan kejadian lain yang sedang menjadi pusat perhatian. Penyampaian yang sistematis dan seperti ada keterkaitan dengan kejadian lain dengan segala argumen dan alibi, memungkinkan sebuah hoax diyakini kebenarnannya oleh si penerima hoax.

Tak ada kebohongan yang sempurna. Selalu saja ada titik lemah sebuah berita yang menyebabkan terkuaknya sebuah hoax. Kita bisa mengetahui sebuah berita itu hoax atau bukan jika mau menelusurinya sampai ke titik awal pembuat berita. Dan, apakah kita sedemikian pedulinya mau menelusurinya jika itu tak berpengaruh terhadap kita secara individu?

Dalam perebutan kekuasan di ranah politik, hoax menjadi salah satu cara untuk menyerang lawan. Tak ada orang yang suka dengan hoax. Dengan tidak adanya orang yang suka hoax, meyebut pihak lawan adalah penyebar hoax, diharapkan orang yang tidak suka hoax akan memilih ikut kelompoknya. Ketika ada sedikit ketidaksesuaian berita, pihak lawan akan langsung menyebutnya hoax dengan segala macam argumen untuk mendukung pendapatnya. Jika berhasil mempengaruhi publik, maka jika ada berita yang melemahkan kelompoknya, kemudian menyebutnya hoax menjadikan publik bisa serta merta mengiyakan tanpa mesti pusing-pusing menelusuri. Dan, saling menuduh pihak seberang sebagai penyebar hoax dengan berbagai cara terus dilakukan entah sampai kapan. Bahkan sampai selesainya sebuah perebutan kekuasaan yang sudah ditentukan pemenangnya, sampai si pemenang sah berkuasa. Sampai orang tak percaya lagi bahwa sebuah hoax adalah benar-benar hoax.

21.51.30.01.2019

Selasa, 22 Januari 2019

LENGGER KLANGENAN


CERPEN.

Lengger Asih itu lengger hebat. Ia bisa menjadi pembicaraan sampai berjam-jam bagi para penggemar lengger. Ia memang lengger yang punya daya tarik khas. Setiap pentas Ia selalu membuat penontonnya enggan pulang –terutama penonton lelaki- dan jika pulang mereka membawa segudang rasa penasaran. Mereka bisa terus  tertawa-tawa, mentertawai kata-katanya sendiri, sambil membayangkan seluruh lekuk tubuh lengger Asih sambil menikmati kopi di warung Mbok Imah dengan rokok Djarum Coklat menjadi teman istimewa karena jika di rumah mereka cukup rokok lintingan dengan aroma kemenyannya yang khas. Setiap orang selalu berlomba mencari kalimat baru yang segar yang membawa orang ke ruang khayal tentang lengger Asih dan tentu supaya timbul tawa baru.
“Kalau lengger Asih jadi istri saya, semua orang yang berani mendekatinya, saya bunuh!”
“Kalau saya sih tak perlu ia jadi istri saya asal setiap saya butuh ia ada dan siap.”
“Enak aja, emang lengger Asih barang dagangan. Ia hanya pantas untuk lelaki yang perkasa dan hebat. Siapa yang paling kuat dia yang berhak memilikinya. Kita adakan sayembara, pertarungan.”
“Nggak usah pakai sayembara pertarungan, kalau saya, saya dikasih kesempatan berasyik mesra semalaman dengan lengger Asih terus besok paginya ditembak mati, saya mau.”
“Saya tak pernah lupa bagaiamana Ia menggoyangkan bokongnya. Andai saja bisa, saya ingin mengambil bokongnya untuk dipasang di meja kamar, cukup bokongnya saja, nggak apa-apa.”
“Kalau istrimu ngamuk?”
“Suruh dia bikin bokongnya seperti bokong lengger Asih.”
“Ha ha ha.”
“Ha ha ha.”
Besok malam di rumah Pak Sasmito, Lengger Asih mau ditanggap. Hampir tak ada yang terlupakan untuk dibicarakan semua tentang Lengger Asih. Bibirnya yang basah, suaranya yang merdu, pinggulnya yang nawon kemit, lehernya yang jenjang, lengannya yang panjang, matanya yang tajam, jari lentiknya dengan kuku yang terpelihara rapi, alisnya yang tebal bak lebah beriring, bahunya yang rata, cara menarinya yang membikin geregetan dan cara menanggapi kata-kata nakal dari para lelaki dengan senyumnya membikin mereka malu mengulangi, semua jadi bahan pembicaraan yang tak pernah membosankan.
Jika mereka tak ingin mengakhiri  obrolannya tentang lengger Asih, lain bagi seorang pemuda bernama Purwanto. Ia tak ingin lengger Asih menjadi bahan tertawaan dengan benak penuh khayalan seronok. Purwanto, lengkapnya Eko Purwanto, ingin menghentikan canda jorok mereka dengan cara apapun meski setiap kali niat itu dibatalkan. Karena Ia juga harus sadar, itu hak mereka untuk bersendau gurau, pelepas lelah sehabis seharian kerja di ladang atau sawah, lagi pula lengger Asih sudah menjadi milik para penggemarnya, milik para fans setia yang setiap pentas selalu bertambah deret hitungnya.
Purwanto jadi ingat tentang ronggeng Srintil (dari Dukuh Paruk), seorang bocah yang jadi incaran orang tua bajul buntung bau tanah busuk hanya karena Ia jadi seorang Ronggeng. Dan sekarang, di hadapan Purwanto, orang-orang tua tertawa terbahak membicarakan lengger Asih, ronggeng Asih, sampai gigi-gigi gerahamnya yang paling hanya seminggu sekali disikat terlihat semua dengan bau bangkai dan baju yang menabur aroma sengar rokok klembak menyan dan keringat basi.
Keyakinannya dengan cinta yang mampu memepengaruhi Asih telah dicoba. Berkali-kali.
“Mas Pur kan kenal saya setelah saya jadi ronggeng, jadi lengger, dan itu berarti Mas Pur sudah mengerti bagaimana resiko punya pacar seorang lengger. Kalau Mas Pur percaya sama saya, semua akan baik-baik. Dan saya bukan lengger seperti yang mereka bicarakan; gampangan!”
“Tapi, cap tentang lengger yang  itu gampangan, bisa diajak tidur, telah melekat di pikiran mereka.”
“Saya akan buktikan anggapan mereka salah!”
“Tak gampang merubah anggapan yang telah melekat turun temurun.”
“Itu salah mereka, bukan salah saya kan? Mereka yang gampangan memvonis.”
Purwanto diam, karena Ia tahu Asih masih mampu menjaga kehormatannya sebagai wanita meskipun predikat lengger tenar melekat padanya. Sama seperti yang sudah-sudah, telah berbagai cara untuk membujuk Asih berhenti jadi lengger tak sedikitpun ada tanda-tanda Asih tersentuh hati. Asih yang lulusan sekolah menengah karawitan, selalu bisa membawa arah pembicaraan ke hal lain yang lebih mengasyikan. Dan Purwanto terbawa arus obrolan Asih, asyik masyuk sampai malam menebar hawa dingin. Sampai jarum jam terlalu cepat berjalan dan sampai enggan pulang.
Tujuh setengah bulan berpacaran, mereka sudah merasa cukup untuk saling percaya, saling menjaga cinta untuk tetap bersama. Kadang juga mereka bicara masalah rumah tangga bahagia yang mereka akan bina dalam ruang khayal yang mereka cipta; keindahan romantisme cinta!
Meski Purwanto bisa mengambil kesimpulan, Asih akan menurutinya jika telah berstatus suami, membujuk Asih untuk berhenti jadi lengger adalah tantangan yang harus bisa dilewati. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menikahi Asih jika Asih telah berhenti jadi lengger, jadi Ia akan menikah bukan dengan lengger, tetapi telah benar-benar bukan lengger. Suara olok-olok seronok tentang lengger Asih disimpannya dalam hati, Ia anggap ujian untuk membuktikan cintanya pada Asih. Dan Ia tak tahu kapan Asih akan berhenti jadi lengger karena setiap membujuk dan mempengaruhinya belum ada tanda-tanda akan berhasil. Sampai kapan? Sebuah pertanyaan yang selalu mengganggui pikirannya.
Ia juga pernah mencoba menemui orang tua Asih agar mau ikut membantunya dan hasilnya sama saja. Meski orang tua Asih menyukai kesenian lengger, mereka tak ingin anaknya menjadi lengger dan mereka gagal menghentikan langkah Asih. “Kalau saya tahu akhirnya Ia jadi lengger, saya tak akan menyekolahkannya di lanjutan, cukup di SD atau SMP saja.”
Menurut orang-orang tua di desa itu, Asih telah ketiban indang lengger Mbah Kesih yang meninggal sepuluh tahun lalu. Mbah Kesih seorang lengger yang sangat terkenal ketika masa revolusi. Ketenarannya meluas sampai ke beberapa kabupaten di sekitarnya. Mbah Kesih dan Mbah Parjo (Tukang kendang yang juga suaminya) menjadi orang yang paling ditunggu di setiap pementasannya.
                                                     * * *
Pentas lengger Asih waktu perayaan perkawinan putri bungsu Pak Sasmito berakhir dengan keributan. Pementasan yang sedianya dua malam, harus dibubarkan ketika pertunjukan baru berjalan setengah waktu. Ketika malam mulai menebar angin dingin dan anak-anak yang sudah ngantuk mengajak ibunya pulang, para lelaki berebut joged di depan lengger Asih yang ditemani lengger Inah. Mereka sudaha tak tahan jika hanya sekedar terus memelototi jogedan lengger Asih atau juga karena juga mereka tak lagi malu dan risih pada anak-anak mereka yang telah pulang bersama ibunya. Mereka juga ikut bernyanyi senggakan seperti koor dengan penuh semangat meski dengan begitu suara lengger asih yang merdu mendayu harus tertimbun. Setiap hentakan bokong lengger Asih ke samping kanan atau ke samping kiri mengikuti ketukan suara kendang, suara mereka secara bersama-sama penuh semangat berteriak; domak ting ting joss, domak ting ting joss! Joss!
Bermula berebut tempat jogedan di depan muka lengger Asih berlanjut menjadi saling sikut dan mendorong. Semua berebut, yang muda tak kalah, yang tua tak mau keduluan. Tamu undangan kondangan yang sedang menikmati sajian hajatan sambil menonton, satu persatu mulai pulang benci melihat keributan. Tiga orang Hansip tak mampu meredam suasana yang terus merambat panas. Lengger Asih turun panggung diikuti lengger Inah. Saat telapak kaki lengger Asih menuruni anak tangga, Purwanto segera menjemput, menuntun tangannya bermaksud mengajaknya ke dalam rumah agar aman dari orang nakal yang iseng. Tapi rupanya ada yang tak setuju dengan maksud Purwanto.
“Hei. Tahu diri kamu! Anak kemarin sore mau nyalip. Saya dulu, baru kamu boleh bawa dia.”
Purwanto mendelik, bangsat! pikirnya, dasar tua-tua keparat tak tahu adat!
Ia terus menyeret lengger Asih dari tengah keributan ke rumah Pak Marjo, tetangga sebelah Pak Sasmito, sebelum tangan-tangan jahil berebut menggerayangi tubuh Asih. Mereka menggerumut seperti sekawanan lebah menyerang mangsanya. Biasanya jika terjadi sedikit keributan, selang beberapa waktu setelah lengger Asih turun panggung, mereka berusaha untuk tenang, saling mengendalikan diri agar lengger Asih mau naik panggung lagi atau pertunjukan harus berakhir jika tak juga kunjung tenang. Tetapi kali ini tidak. Ada saja orang yang berganti ganti terus membikin dan menyambung keributan. Sepertinya mereka tak mau suasana ribut dan kacau berakhir. Ada saja yang mereka pertengkarkan.
“Saya yang sawernya gede, masa kamu yang di depannya. Pakai jowal-jawil lagi! Goblok! Dasar kere!”
“Enak aja, saya yang sawernya gede. Paling kamu cuma sawer seribu perak.”
“Bangsat kamu. Ngece! Kamu nggak pantas di depan lengger Asih. Nanti dia ketularan jeleknya. Kamu itu biar duitnya segunung tetap saja jelek!”
Merasa tak bisa mengendalikan suasana, seorang hansip menghadap ke Pak Sasmito yang juga menjabat Carik di desanya.
“Maaf Pak, mungkin kita harus segera minta bantuan polisi. Mereka terus berebut untuk mendekati lengger Asih. Tak ada yang mau mengalah.”
“Siapa saja mereka?”
“Maaf Pak, saya kurang paham. Mereka bukan orang dari desa kita. Seingat saya mereka penayagan lengger Ratmi dari desa sebelah. Mungkin merasa tersaingi dan tersisih. Ada lebih dari sepuluh orang Pak.”
Keributan masih terus tak mereda. Panggung seluas lima kali lima meter berantakan. Para penayagan menyelamatkan alat-alat dari kemungkinan terinjak-injak. Puluhan penonton asing itu menyerobot masuk ke rumah Pak Marjo tempat Purwanto mengamankan Asih. Tak ada satupun yang mau mengalah untuk belakangan masuk, tak rela orang lain lebih dulu mendapatkan lengger Asih. Pintu berdaun dua rumah Pak Marjo yang hanya dibuka satu, jebol dan menjadikan ruang masuk bertambah lebar. Layaknya sebuah perburuan yang tak ingin mangsanya lari menjauh untuk lepas begitu saja.
Purwanto menyeret lengger Asih ke ruang tengah. Kaki lengger Asih yang dibalut kain membikinnya harus susah payah menyeret langkah. Selendang merah muda yang lepas dari leher dibiarkan terjatuh tanpa sempat dipungut. Segera pintu dikunci.
Ternyata di ruang tengah Purwanto dan lengger Asih tak mendapatkan keamanan. Mereka menggedor-gedor pintu sambil berteriak, “Buka! Cepat buka! Kalau tidak saya dobrak pintunya. Buka cepaaat...!”
Purwanto panik. Asih menggigil, kakinya gemetaran menyangga beban badan yang ketakutan.
“Mas Pur, kita hadapi saja mereka. Paling mereka  hanya ingin ketemu saya. Saya akan hadapi secara baik-baik.”
“Tidak! Saya sudah tahu maksud mereka. Mereka ingin menghancurkan kamu. Ingin membikin aib padamu, ingin mengotori citramu. Setelah itu mereka akan menyebar berita kalau kamu sama juga dengan lengger lainnya yang gampangan dan lenjeh. Saya tahu tanpa sengaja dari mereka tadi, sewaktu kamu pentas.”
Lewat pintu belakang Purwanto menyeret Asih untuk menghindar dari kejaran orang-orang yang sudah kerasukan setan. Di rerimbunan kebun pisang yang gelap Purwanto terus berusaha berlari dengan tangannya yang tak lepas menggenggam tangan kanan Asih. Purwanto dan Asih sama sekali tak menduga –karena sebelumnya tak pernah terjadi- orang-orang itu terus memburu. Kaki Asih yang dibebat kain membuatnya tak bisa berlari. Gelap malam sedikit membantu mereka bersembunyi untuk beristirahat sejenak.
Seperti memburu maling, orang-orang itu terus memburu sampai terdengar seseorang berteriak, “Ini dia, ketemu!”
“Maaf, kalian mau apa?” ucap lengger Asih pelan ramah.
“Hahaha! Jangan pura-pura kamu. Sok suci.”
“Maaf, maksud bapak apa?”
“Malam-malam dalam kegelapan berdua di kebun pisang begini, tentu asyik. Dan saya mau itu. Berasyik mesra dengan kamu. Gantian nggak apa-apa, maklum teman saya banyak. Antri biar nggak ribut.”
“Maaf, saya tidak bisa......”
“Nggak perlu jual mahal. Kami sudah tahu semua.”
Amarah Purwanto menggelegak. Darahnya mendidih naik ke ubun-ubun.
“Saya pilih mati daripada melayani keinginanmu!” kata lengger Asih setengah teriak.
* * *
Pagi hari, di kebun pisang di belakang rumah Pak Marjo sunyi, tak ada kicau burung prenjak sambil berlompatan atraktif di cabang pohon krinyu dengan bunga berserabut putih di setiap ujung rantingnya. Tak ada angin yang berani bertiup. Di setiap tepi daun pisang berleleran embun jatuh membasahi rumput di bawahnya. Di dekat rumpunan pohon pisang yang lebat, di rerumputan yang membisu, berceceran darah setengah membeku. Darah yang menetes dari luka tubuh Purwanto dan Asih yang jasadnya sudah dibawa pulang menjelang subuh. ***
                                                                                     Agustus 2004

Rabu, 16 Januari 2019

JEMPOL YANG DIMARTIL

Cerpen.

Jono menjadi nama yang paling sering dibicarakan di kampungnya dan di kampung sebelah. Berita tentang kasus korupsi penyelewengan dana milyaran triliyunan Rupiah di tivi kalah ramai. Kampung-kampung lain di sekitarnya pun segera menyerap dan segera mengekspos  berita tentang Jono.
 Orang-orang sering dan biasa memanggilnya Kopral Jono. Entah karena Ia selalu berpotong rambut model tentara atau karena ada judul film, Kopral Jono. Jono tak mempermasalahkan dan asik-asik saja.
Ia menjadi bahan pembicaraan yang laris karena ulahnya memartil jempol Hasim sampai gepeng dan cacat. Bermula ketika mereka sedang sama-sama gotong royong mendirikan rumah Pak Marga. Ketika tangan kanan Hasim sedang memegang sebuah balok dan jempolnya tergolek, tiba-tiba saja Jono memukulkan martil ukuran sedang ke jempol Hasim. Karuan saja Hasim langsung menjerit kaget dan kesakitan. Jempolnya remuk, darah menetes deras. Hasim berjingkrakan menahan sakit seperti orang kesurupan. Sebelum akhirnya Hasim pingsan, Hasim sempat berusaha memukul kepala Jono dengan martil yang lebih besar. Untung saja orang-orang di sekitarnya berusaha menahannya. Selamatlah Jono. Semakin penasaranlah Hasim.
Hasim dibawa ke dokter untuk diobati. Masalahnya tidak hanya berhenti di situ. Hasim dan Jono berlainan kampung tempat tinggalnya. Ketika orang-orang sekampung Hasim mendengar berita tersebut, serentak mereka berkumpul dan berbondong-bondong ke kampung Jono dengan memendam dendam membara di setiap dada. Berbagai senjata tajam mereka bawa; parang, golok, sabit, pedang,  celurit, linggis, gergaji, batang kayu, dan seluruh benda yang dapat dipakai untuk melukai manusia. Layaknya prajurit kerajaan yang berangkat perang, mereka berteriak-teriak membakar semangat sekawanannya.
Orang-orang yang menyerbu ke kampung Jono kebanyakan tak kenal muka Jono. Mereka hanya tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Ketika mereka melihat orang yang berciri-ciri sama dengan Jono, mereka langsung saja menyergap dan memukuli beramai-ramai tanpa menanyai terlebih dahulu. Untung saja Polisi segera datang menyelamatkannya.
Orang yang ketiban sial itu namanya Imam. Mukanya berdarah-darah, tubuhnya memar-memar dan kedua jempol tangannya remuk. Merasa dendamnya telah terbalaskan, mereka segera pulang dan bersembunyi dari kejaran polisi.
Imam meski belum sembuh benar segera menyiapkan acara balas dendam. Ia kumpulkan teman-teman, tetangganya dan sanak saudaranya. Jono pun tak luput dari ancaman Imam. Sebab menurut Imam perbuatan Jono-lah yang membikin Ia babak belur luka parah hanya karena ciri-cirinya mirip dengan Jono. Imam tak peduli Ia dan Jono masih satu kampung. Baginya Jono juga harus mengalami seperti yang ia alami.
Mendengar dirinya dianacam, Jono segera mencari perlindungan dari saudara-saudaranya dan tetangganya. Jono juga mendatangi kepala desa untuk menjelaskan duduk perkara itu.
“Sungguh Pak, saya nggak sengaja memartil jempol Hasim. Saya sendiri tak tahu sampai melakukan itu. Waktu itu tiba-tiba saja aku benci sekali sama jempol. Sebuah organ tubuh yang bikin orang bangga apabila diacungkan untuknya. Hingga orang kadang berbuat apa saja untuk mendapatkan acungan jempol. Kebetulan waktu itu jempol Hasim tampak bersih dan kukunya rapi. Tentu orang akan senang sekali jika diacungi jempolnya.”
Pak Kepala Desa manggut-manggut.  Entah mendengarkan, entah maklum, entah sependapat atau malah tak mengerti apa perkataan Jono.
“Bagus.”  kata Pak Kepala Desa sambil sedikit mengacung jempol.  Jono tercengang dan bangga. Pak Kepala Desa tersenyum simpul.
“Lantas kau mau apa datang kemari?”
“Saya ingin bapak maklum dan memberi pengertian pada pihak Hasim dan Imam tentang jempolnya yang telah remuk dan cacat. Kemudian, diminta agar orang-orangnya tidak saling bermusuhan. Untuk sama-sama berdamai, menghentikan permusuhan. Sebelum korban terus bertambah.”
“Hanya itu?”
“Mungkin”
“Kau akan maklum jika itu menimpa kamu?”
Jono diam sambil memandangi kakinya yang telanjang di atas ubin.
Permintaan Jono dikabulkan oleh Pak Kepala Desa. Mungkin karena Jono keponakannya atau karena ia pertimbangan lain tentang jempol.
Pertikaian masih terus berlanjut dan masing-masing pihak  tak mau mengalah dan menerima begitu saja perlakuan dari pihak lawan. Sebenarnya mereka telah lelah dihinggapi rasa was-was setiap saat. Dibebani rasa untuk selalu berhati-hati di setiap tempat. Mereka ingin segera mengakhiri pertikaian yang terus menambah jumlah korban. Tapi, rasa gengsi yang ada di dada menghalangi mereka untuk terlebih dahulu mengalah dan mengajak damai.  Meski selama ini mereka tampak akur satu sama lain, sebenarnya masing-masing punya rasa permusuhan. Dan Jono telah menyulut sumbu api permusuhan.
Korban terus bertambah dari waktu ke waktu. Mereka tak lagi melukai sembarang tubuh si korban, kecuali jika si korban melawan. Mereka hanya mengincar jempol untuk diamputasi paksa atau diremukan. Rasa patriotisme kedaerahan tempat tinggal telah ikut membakar amarah mereka. Banyak orang di kedua kampung itu yang banyak diantara mereka masih punya ikatan darah, telah tak punya jempol lagi. Banyak yang sama sekali hilang dan banyak pula yang cedera dan cacat hingga tak pantas untuk diacungkan untuk memuji seseorang.
Kubu Imam dalam menyerang lawan pun tak hanya orang yang ikut melukai dirinya. Semua orang yang dekat dengan Hasim berupaya membela diri bila diserang oleh kubu Imam. Kubu Imam juga menyerang Jono dan orang-orangnya seperti pada Hasim.  Ketika perlawanan dari Hasim  bertambah kuat  dan solid, Imam mengadakan perdamaian dengan Jono untuk kemudian menghadapi lawan dari kubu Hasim yang lain kampung. Meski begitu Imam masih tetap punya rencana  memotong jempol Jono jika kubu Hasim  bisa diatasi. Jono dengan berbagai cara masih  berhasil menyelamatkan  jempolnya dan itu masih menjadikan orang-orang marah, karena Jono-lah yang biang dari segala perseteruan yang mengincar keberadaan jempol. Setiap hari, setiap waktu orang-orang itu selalu disibukkan dengan masalah: bagaimana cara menghabisi jempol  lawan.
Cara mereka mengerjai jempol kemudian berubah, dengan tak lagi mengamputasinya, tetapi dengan cara hanya membuat si jempol cacat, cedera dan tak pantas jika diacungkan untuk menunjukkan sesuatu itu bagus. Itu mereka anggap lebih ringan dan tak sadis.
Jono masih bisa mempertahankan keberadaan jempolnya. Ia menyadari jika suatu saat nanti pasti ada orang yang mempermasalahkan keberadaan jempolnya. Jempol-jempol sebagian penduduk  desa itu telah buntung dan sebagian  yang lain cacat dan jelek. Itu membuat orang tak bisa memegang benda dengan sempurna.
Permusuhan terus berlanjut dan sulit ditebak kapan berhentinya. Sebagian orang yang jempolnya masih selamat  menyembunyikan jempolnya dengan cara dibalut kain perban agar seperti luka yang belum sembuh atau berusaha tidak terlihat oleh orang lain.
Saking lamanya perseteruan dan perburuan jempol itu, sampai-sampai orang yang jempolnya masih utuh, tak lebih dari sepuluh orang. Termasuk Kopral Jono pun tak bisa mempertahankan jempolnya. Jempol Jono dihantam dengan  batu sebesar kepala ketika  ia sedang tertidur kecapaian di pos ronda. Karuan saja  Jono marah-marah dan ngamuk. Semua orang yang berada di pos ronda  itu berlagak tak tahu dan tak memperdulikan  Jono. Ketika Jono membabi buta, orang-orang segera meringkusnya dan diamankan.
Mereka yang jempolnya masih utuh adalah: Kepala Desa, Danton Hansip, tiga orang Kepala Dusun dan empat tokoh masyarakat. Pak Sekdes pun jempolnya sedikit cacat karena salah sasaran dan terselamatkan ketika orang melihat wajahnya dengan jelas. Maklum saat itu malam hari.
Jono tak berhasil mempertahankan jempolnya. Jono bikin ulah kembali. Untuk berbicara dan meyakinkan orang, Jono memang jagonya. Ia kembali datang ke Kepala Desa untuk membicarakan masalah perseteruan antar kampung dan   di seluruh wilayah desanya  karena saling memburu jempol. Ia minta untuk dikumpulkan aparat desa dan tokoh masyarakat guna bermusyawarah.
“Maaf, Pak. Sebelum saya minta maaf. Dulu saya berbohong kalau ketika saya memartil jempol Hasim itu karena sebuah keinginan yang timbul begitu saja dan tanpa ada maksud apa-apa.
“Saya melihat orang-orang telah begitu  tergila-gila untuk mendapatkan acungan jempol  dari seseorang. Apalagi kalau orang itu orang penting, seorang tokoh, seorang pejabat,. Saya pikir kalau organ manusia yang telah membuat orang tergila-gila dihilangkan, dimusnahkan, maka tak ada lagi orang yang berbuat apa saja dan tak peduli orang lain, demi untuk mendapatkan acungan jempol. Persaingan itu saya lihat sudah tak sehat dan tak memperdulikan rakyat banyak.”
“Terus?” kata pak Kepala Desa.
“Saya minta Bapak untuk mensosialisasikan hal ini kepada seluruh penduduk desa ini. Mensosialisasikan bahwa, dengan keadaan jempol kita yang sekarang, sebagai pertanda acungan jempol, bukan hal yang perlu dipentingkan. Dan sekarang jempol mereka juga tak pantas untuk diacungkan. Saya pikir demi untuk keseragaman, juga bukan hanya sekedar itu, demi kebersamaan rasa dan jiwa, jempol Bapak juga harus dipotong atau dibikin cacat  seperti penduduk yang lain. Termasuk pak Danton Hansip, tiga Kepala Dusun dan tokoh masyarakat itu. Oh ya, pensosialisasian tentang;  bagaimana  hidup berdampingan mencari makan tanpa berseteru, tanpa saling sikut dan sikat untuk mendapatkan acungan jempol. Itu yang penting!”
“Jadi kamu mengajak musyawarah hanya untuk orang yang jempolnya masih utuh?”
“Oh tidak. Saya minta aparat desa dan tokoh masyarakat dan semua penduduk desa kita. Cuma itu sebuah kebetulan  kalau mereka jempolnya masih utuh. Kalau masih ada orang yang masih berjempol tentu orang masih saja berebut mendapat  acungan jempol  dan itu akan berakibat tidak baik, karana persaingan kita-kita belum sehat.”
“Jadi kau dulu memang berencana menghabisi jempol karena kau punya keinginan seperti yang kau katakan tadi?”
Jono merngangguk.
“Dan akibatnya sekarang orang-orang tak lagi bisa memegang sesuatu dengan sempurna. Kau melihatnya?”
Jono terdiam sebentar.
“Ya Pak.”
“Ajakan musyawarahmu untuk meminta saya dan orang yang masih punya jempol agar dipotong?”
“Bukan hanya itu….”
“Sudah! Sudah cukup rakyat berkorban waktu, tenaga, harta, demi untuk saling memburu jempol. Dan itu karena ulah kamu.”
“Tapi Pak, sekarang kan orang masih punya jari kelingking dan orang tentu tak mau jika diacungi jari kelingking. Mereka pasti akan bersaing demi untuk tidak mendapatkan acungan jari sialan itu.”
“Oh begitu.”
“Iya Pak!”
“Lalu?”
“Ya harus diantisipasi. Caranya, dipotong atau dibikin cacat jari kelingking itu. Sama seperti jempol.”
Pak Kepala Desa menghisap asap rokok dalam-dalam sebelum kemudian menenggelamkannya dalam asbak. Tangannya memberi isyarat pada seorang pesuruh kantor dan seorang hansip untuk mendekat.
“Potong jari kelingking Jono. Semuanya! Kanan kiri!”
Jono terhentak dan hendak membela diri. Tapi, Pak Hansip yang berbadan tegar dan kekar telah menyekapnya kuat-kuat. Jono tak berdaya dan pisau mengkilat putih terhunus di tangan pesuruh kantor. Kres. Kres.
Jono menjerit-jerit. Berjingkrakan kesakitan. Darah menetes di lantai, terciprat juga ke sepatu Pak Kepala Desa.
“Cukup darahmu yang menetes Jon! Bukan darah rakyatku yang tak tahu menahu.”  ***  
                                                                                    Januari 2004