soleh djayim
Seluruh isi tasnya kembali Ia periksa. Buku catatan
harian, agenda, ballpoin, ringkasan laporan, kalkulator, arsip, pensil,
pengaris, penghapus, staples dan isinya, semua diperiksa. Ia kembali duduk
mengingat-ingat kalau-kalau ada yang ketinggalan sambil memakai sepatu.
Ternyata sepatunya sudah lusuh perlu penyemiran kembali, waktu persiapan
lembali bertambah; Apa lagi yang belum ku masukkan dalam tas, jangan-jangan
nanti aku harus kembali pulang mengambil berkas yang ketinggalan. Rambutku
belum rapi, perlu menyisir rambut dulu. Aku harus meyakinkan diri kalau
pakaianku rapi, sopan dan menambah nilai plus bagi penampilanku.
“Herta, tadi pesannya Pak Nandar bagaimana?”
“Tadi kan sudah saya katakan Kak, apa perlu di ulangi
lagi?”
“Tadi kamu nggak nanya dari siapa?”
“Saya lupa Kak, tadi kan sudah saya katakan, lupa!”
“Ya sudah. Apa saja yang perlu dibawa katanya.”
“Dia nggak bilang supaya bawa apa, bawa apa.”
“Kamu yakin itu suaranya Pak Nandar?”
“Dengar suaranya saja baru kali ini, mana saya tahu. Dia
Cuma bilang Kakak harus segera menemuinya segera, penting katanya.”
“Orangnya suaranya kayak apa, berat atau sedikit
cempreng.”
“Agak berat Kak.”
Banyak sekali atasanku yang suaranya berat, pikirnya.
Kalau yang suaranya cempreng bisa ditebak-tebak, tak banyak. Kenapa pas aku
lagi ambil cuti begini. Apa tidak bisa ditunda sampai besok. Apa ada
kemungkinan supaya aku beralasan ini itu agar aku bisa tak usah berangkat.
Jangan-jangan ini akan bermanfat baik untukku, jika nanti aku tak memenuhi
panggilannya aku bisa rugi dan tak bisa lagi mendapatkan kesempatan emas itu.
“Herta! Tadi Bapak itu ngomong apa di telepon?”
“Kakak disuruh menemuinya sekarang! Tanpa alasan. Sekarang juga. Lho, Kakak
kok masih di sini, belum berangkat. Kenapa Kakak lama sekali?”
“Kakak lagi menyiapkan semua yang perlu dibawa.”
“Nggak usah bawa apa-apa saja Kak, bilang saja nggak tahu harus ada
yang dibawa.”
“Entar malah disuruh balik lagi. Repot. Memang Kakak sudah lama Ta,
saya pikir belum lima menit.”
“Uh, lima menit apaan, sudah hampir satu jam tahu!”
“Ah yang benar.”
Ia pandangi seluruh ruangan, lupa di mana tempat jam dinding menempel. “Ta,
nanti kalau ada yang ketinggalan, Kakak telepon, kamu antarkan, oke! Oh ya,
bilang sama istriku aku ke kantor.”
Ia kembali ingin menenangkan pikiran, menata emosi, mengatur degup jantung;
Kenapa aku nervous begini. Aku kan sudah biasa menghadapi pimpinan. Apa yang membuat
hal ini menjadi menekanku.
“Lho Kak, kenapa kakak belum berangkat. Sudah jam tiga kurang seperempat
Kak. Kantor sudah tutup!”
“Ah yang benar. Kamu bikin Kakak gugup saja.” Ia yakinkan waktu; jam sembilan seperempat.
Sudah cukup siang, belum tentu perjalanan lancar. Bisa saja motornya tidak
langsung hidup, belum tentu bensinnya cukup sampai ke kantor atau tahu-tahu
bannya kempes dan perlu ke bengkel motor.
Ia sambar jaket, helm. Aduh, ini kontak di mana lagi. Biasanya di atas
tivi. Tadi pagi Ayir main-main di sini, jangan-jangan dibawa-bawa dan lupa
naruhnya. Semua jadi tak nyaman, ada saja yang kurang dan bikin menghambat. Ia
cari kunci serep di lemari pakaian. Alhamdulillah ketemu, semoga tak ada lagi
kerikil-kerikill kecil yang mengganjal di hati, bikin kaki terantuk.
“Mas Kobar, mau ke mana nih. Sepertinya buru-buru.”
“Ke kantor.”
“Hlo, katanya cuti.”
“Iya. Tapi, tadi bos menelpon agar aku menemuinya. Mas Kasdut mau ke mana?”
Buru-buru kobar mengakhiri pembicaraan dengan pertanyaan sambil mendorong motor
keluar halaman rumah.
Matahari tak tampak. Angin bertiup lambat. Ia pandangi langit; di mana
posisi matahari. Apa benar kata Herta sekarang sudah jam tiga sore? Ia kembali
masuk rumah.
“Herta, tadi bos telepon jam berapa?”
“Jam setengah sembilan. Lho Kakak belum berangkat juga. Nanti kena marah
lho Kak, bisa mampus!”
Kenapa kita harus terikat oleh batasan-batasan waktu yang kita bikin
sendiri. Kenapa kalau ke kantor tengah
hari kita di vonis terlambat. Bukankah kalau kita sepakat bertemu, kapanpun, di
manapun; jadi! Bisa! Ini, kita sendiri yang terjebak oleh kesepakatan turun
temurun tentang jam kantor, jam istirahat, jam makan, jam tidur, hari libur,
saat harus berlaku sopan, saat boleh santai rilek, saat harus buru-buru. Semua.
Semua harus menerima kesepakatan warisan dan mengingkarinya adalah tindakan
konyol. Apalagi ini bersangkutan dengan bos. Orang yang dengan segala
kebijaksanaannya bisa sangat berpengaruh dengan ekonomi rumah tangga. Ya,
karena uangnya, ia punya kekuasaan dan aku adalah salah seorang yang tunduk
pada setiap keputusannya, pada perkataannya, selagi aku masih perlu uangnya.
Kalau aku tak lagi butuh uangnya, aku bisa saja bantah perintahnya; malas, cuti
kan waktunya istirahat, waktunya tak perlu ke kantor, waktunya tak perlu mikir
segala tetek bengek pekerjaan menjemukan, emang lu siapanya gue.
Kobar menghidupkan motornya. Tak perlu dipanasi seperti biasanya. Kaki
waktu berlari cepat sekali, Kobar terpontang panting mengejarnya. Kobar memburu
waktu dan waktu berjalan di tempat menertawainya. Jalanan begitu sempit untuk
menampung motornya yang berlari mencari celah diantara ribuan kendaraan yang
diperkosa majikannya mengantar keinginan manusia.
Aku harus bisa menemui bos pada waktu yang berkenan baginya. Aku sudah
terus memaksa laju kendaraan dan ia tak mampu memenuhi keinginanku. Manusia
perlu mememukan alat yang bisa melontarkan orang tepat ke sasaran yang
diinginkan dengan sekali pencet, seperti remote control, tanpa terjadi
benturan di udara. Dengan begitu tak perlu membikin jalan yang lebar-lebar yang
makan tempat dan biaya. Cukup untuk orang berjalan kaki jika ingin berolah raga
atau keperluan kecil.
Lampu merah di traficlight lama sekali. Masa nyala sampai sudah
hampir setengah jam belum juga berganti hijau! Ini harus diprotes, diadukan
pada pihak yang berkepentingan. Mereka merasa perlu mementingkan ini nggak
yah? Mungkin saja mereka tak peduli dengan lampu merah yang nyala lama sekali,
toh jika normal pun orang-orang seenaknya melanggar sambil berlari mencemooh.
Daripada terus-terusan dicemooh mendingan dibiarkan, agar mereka lebih
leluasa melanggar lampu merah.
Thii….tt. Thiiithiii…..th.. Klakson menjerit . Kobar kaget. Di
depannya puluhan motor melesat memburu arah. Ia tarik handle gas pol.
Hampir menabrak motor di depannya. Di belakangnya sebuah mobil direm hentak,
“Hey, mau mampus ya!!” Kobar pura-pura tak dengar. Lari, zig zag, mengacak
jalan. Sirene mobil polisi meraung di belakangnya. Kobar berlari dengan
kecepatan maksimal tenaga motornya. Angin menamparnya keras mengingatkan
tentang keselamatannya. Jaketnya berkibar berkelebat-kelebat, helmnya hampir
terlontar, tasnya bersembunyi tenang di balik punggung. Jalan yang dilaluinya
menjadi begitu panjang dari biasanya. Di tikungan tajam Kobar hampir rebah.
Lututnya mengena aspal. Dengan segala ketrampilannya Ia menguasai keadaan
motornya. Ia tinggalkan kengerian orang-orang di sekitarnya. Lari melaju
memburu. Waktu tak mungkin kembali meski sedetik pun untuk dihadiahkan padanya.
Ia memarkir kendaraannya seperti biasanya. Oh, masih banyak motor, berarti
jam kantor belum usai. Tapi, motor yang diparkir kok beda dari biasanya. Apa
teman-temanku telah ganti motor baru semua. Baru tiga hari aku cuti, mereka
ganti motor baru, dapat tambahan dari mana? Wah, cair! Mungkin aku dipanggil
untuk keperluan ini. Aku bisa jual ini untuk keperluan rumah tangga dan besok aku
pakai motor baru. Dan, mobil-mobil yang diparkir di sana pun bagus-bagus, ada
yang nampak masih baru. Moga-moga aku dapat jatah mobil karena prestasi kerjaku
dan kesetiaan terhadap perusahaan. Tuhan, kabulkan permohonanku. Atau ada tamu
dari perusahaan lain untuk keperluan bisnis dan aku adalah salah satu karyawan
yang sangat dibutuhkan. Aku harus tampil elegan, tenang, berwibawa dan yang
pasti nggak grogi apalagi nervous.
Kobar mencari Pak Rohmat, penjaga kantor, untuk mencari tahu keadaan
kantor. Tidak mungkin Ia melongok sana-sini lewat jendela, tidak sopan,
kekanak-kanakan dan kalau di dalam pas ada tamu tentu ini menjadi hal yang
sangat memalukan. Ini bisa merusak prestise. Di depan gudang belakang tempat
biasa Pak Rohmat beristirahat, tak ditemukan, di mushola tak ada orang, di pos
penjagaan sepi, di warung depan tinggal pemilik warung dan seorang pelayan.
Di dalam masih ada orang. Kobar memutuskan untuk masuk. Ada Mba Ima
sekretaris perusahaan yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Mba, Bos ada?”
“Ada. Ada perlu apa Pak? Lho, Pak Kobar kan sedang cuti?”
“Iya, tapi Bos memanggilku. Aku disuruh menghadap.”
“Tapi, saya nggak disuruh Bos untuk memanggil Pak Kobar.”
“Bos sendiri yang telepon.”
“Apa katanya?”
“Nggak tahu, adikku yang menerimanya. Boleh saya masuk sekarang?”
“Silahkan.”
Di depan pintu langkahnya terhenti. Kakinya terasa berat. Degup jantung
yang tak teratur menggetarkan tubuh dan memeras kantong keringat. Ruangan
terasa gelap, Ia mengerjapkan mata beberapa kali dan ruangan kembali terang. Aku
harus akhiri keadaan ini secepatnya. Lebih cepat lebih baik.
“Thok…thok..thok..” Tak ada jawaban. Apa kurang keras aku mengetoknya
“Permisi Pak.”
“Silahkan masuk.”
Kobar ragu; benarkah itu suara bos atau aku salah dengar? Apa aku mesti
ulangi lagi. Kalau mengulangi lagi dan ternyata tadi suara bos, apa nanti tidak
bikin bos dongkol. Apa harus minta tolong Mba Ima untuk menyampaikan pada bos
untuk menghadap. Ah, kayak tamu perusahaan saja, nanti dikira sok.
Salah itu manusiawi. Aku harus mengulangi lebih keras lagi.
“Thok..thok..thok.. Permisi Pak!” Suara kobar menggema ke seluruh ruangan.
Memekakan telinga. Aduh, suaraku terlalu keras, tentu bos aka marah dan pasti
aku dicap karyawan yang tidak baik, tidak sopan, tidak menghargai pimpinan,
tidak menghargai Bos. Ia tengok ke arah Mba Ima, Mba Ima masih sibuk dengan
pekerjaannya.
Kobar mendengar suara dari dalam ruangan Bos. Meski Kobar kembali ragu
dengan suara itu, Ia memutuskan untuk masuk.
Pintu dibuka pelan. “Permisi Pak,” suara kobar pelan dan sopan dengan
anggukan kepala.
Kobar terpaku, diam dan mengawasi seluruh ruangan. Pojok kanan, ke kiri ke
samping kiri, ke samping kanan, tak ada orang. Di mana Bos, apa dia sedang ke
kamar kecil? Apa aku harus duduk di kursi di depan meja Bos atau aku harus terus
berdiri sampai Bos datang dan memepersilahkan aku duduk. Di meja semuanya telah
rapi. Ini nggak beres. Tak ada orang di sini. Tak ada. Bos pasti sudah pulang.
Listrik sudah dimatikan semua. AC sudah mati, komputer sudah mati, kursi sudah
rapi.
Kobar berbalik arah, keluar. Di meja sekretaris tak ada orang. Mba Ima
sudah pulang. Di meja ada secarik kertas bertuliskan; ditunggu boss di rumah!
Segera. Kobar blingsatan, aku harus segera ke sana, segera! Sebelum semuanya
terlambat. Sebelum kesempatan itu hilang dan tak pernah kembali lagi. Sebelum
berubah arah.
Kobar berlari. Berlari di jalan, saling mendahului, berpacu. Berlari.
Januari,
2004
Nonet; Bahasa
lokal daerah penulis yang berarti
bergegas tergesa dengan segera menuju sesuatu tujuan.