Toleransi bisa diartikan,
pemaafan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, tenggang rasa. Saat sekolah di
SD dulu, atau di SMP saat mengikuti penataran P4 ( Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila ) kami sering diberi pengertian tentang toleransi dan
contoh berperilaku toleransi. Kemudian berkembanglah arti toleransi di kepala
setiap orang menurut penafsiran yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh pola
pikir, wawasan, lingkungan bertempat tinggal, tokoh idola, agama, kepercayaan
dan keyakinan. Penekanan untuk bertoleransi
karena perbedaan perilaku setiap orang dalam bersikap dan berreaksi dalam
menghadapi setiap kejadian berbeda dalam berbagai situasi. Maka jika seseorang
berbuat sesuatu dan menganggap perbuatannya masih ditoleransi oleh orang lain,
sedangkan orang yang menjadi obyek toleransi, merasa orang tersebut tidak
bertoleransi, akan terjadi gesekan emosi. Dan bila gesekan emosi itu sama-sama
di pupuk amarah, bisa jadi terjadi sebuah kekerasan dalam mempertahankan ego
dan kepuasannya masing-masing. Persepsi toleransi yang berbeda-beda terhadap
sesuatu tindakan ini menjadi sebuah kerawanan dalam kehidupan sosial.
Kita sudah terbiasa
‘bertoleransi’ dengan para pelanggar. Seorang yang melanggar peraturan lalu
lintas di jalan raya, seolah-olah kita harus pada posisi memakluminya,
menganggap wajar dan jika Polantas menilangnya, Polantas itu yang sudah masuk
perangkap ‘bahwa polisi itu menyebalkan’ dan disalahkan. Bahkan jika ada
operasi lalu lintas di jalan raya, pengendara yang berpapasan atau orang yang
berada di pnggir jalan memberi kode bahwa ada operasi lalu lintas. Sepertinya mereka
menyetujui melanggar lalu lintas itu wajar dan mesti maklum dan petugas atau
person yang mempermasalahkan itu tidak baik dan intoleran. Atau jika kita
melihat ada orang mencuri kayu di hutan negara, orang-orang di sekitar atau
yang melihat, seperti memaklumi dan membiarkannya. Dan menegurnya akan menjadi
perdebatan penuh emosi yang mendidih. Seolah mencuri hak negara itu ‘wajar’
karena para pejabat negara juga melakukan pencurian (korupsi) dan melakukan
pelanggaran yang kecil itu harus dimaklumi.
Saya pernah membaca status
seseorang dalam media sosialnya, ‘polantas musuh besarku’. Saya hanya lihat
sekilas dan tak mencermati berapa banyak yang me’like’ status itu. Dari sekilas
membaca itu saya langsung berkesimpulan, Ia seorang pelanggar besar dalam
berlalulintas. Mungkin bagi sebagian banyak orang, menulis status seperti itu
sebagai hal yang wajar juga termaklumi dan lupa berpikir kalau bisa timbul rasa
‘benci’ itu karena apa. Kalau Ia selalu berkendaraan dengan benar dan
berkelengkapan sesuai dengan aturan yang berlaku, Ia tak akan merasa terganggu
dengan semua peraturan yang diterapkan oleh Polisi. Kasus lain; membuang sampah
di kali atau membuang sampah sembarang tempat yang penting jauh dari rumahnya
sendiri. Seorang yang membuang sampah di kali
dan kebetulan ada orang yang peduli dan berani menegurnya, bisa saja Ia mendapat
jawaban dengan nada ketus dan kasar; “memangya harus di buang kemana lagi?! Sok
lo.”, sambil matanya memerah menahan amarah. Kita sering melihat pengendara
motor ataupun mobil yang dengan tanpa dosa membuang sampah seolah jalan raya
sebagai tempat sampah yang setiap orang bebas membuang sampah. Dan kita dipaksa
harus bertoleransi dengan keadaan seperti itu. ‘Menghormati’ suatu tindakan
yang samasekali tak terhormat.
Kita menjadi terbiasa melanggar
peraturan dan orang-orang di sekelilingnya juga merasa harus memaklumi
pelanggaran kecil. Menegur orang yang melanggar peraturan sedangkan si penegur
itu orang biasa atau bukan petugas, akan menjadi masalah sosial baru di antara
mereka. Dan mengambil sikap membiarkan orang berbuat pelanggaran menjadi lebih
aman ketibang melakukan kepedulian. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang telah
terbiasa menjadi beranjak ke pelanggaran besar yang juga kemudian menjadi terbiasa.
Menjadi merasa tidak berbuat salah karena telah terbiasa. Menjadilah sebuah
kebudayaan. Kebudayaan melanggar. Kebudayaan yang untuk menghapusnya perlu
waktu lama dan ada upaya terus menerus, berkesinambungan dengan semua pihak.
Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar