Label

Senin, 27 November 2017

BUDAYA POP

Budaya pop atau budaya populer berjalan sangat cepat dan penuh kreatifitas yang tak terduga. Bergerak terus dan selalu muncul hal-hal baru yang mengejutkan. Kemunculannya yang sering tak terduga dan  jenisnya yang sering diluar dugaan itu menjadikan kita ‘tersadar’ ternyata hal yang dianggap sepele bisa menjadi sebuah trend pada kalangan tertentu atau bahkan pada semua kalangan.
Gangnam style, budaya pop korea selatan, sebuah kegiatan yang menurut saya sebuah kegilaan, menjadi virus yang menular hampir ke seluruh penjuru dunia. Suatu bentuk pelepasan kepenatan pada saat tertentu dengan melupakan semua kegiatan yang sedang dilakukan dengan menari sesukanya, tanpa bentuk, super cuek, tak teratur bahkan cenderung norak, itu dianggap sesuatu yang mengasyikan sehingga banyak orang yang ikut meniru dan melakukan dengan tambahan kreasi menurut kesukaannya sendiri. Sebuah ekspresi tanpa batas. Seperti itulah budaya pop. Tumbuh dari tempat yang tak perlu dipersiapkan secara njlimet agar apa yang dilahirkan dapat dinikmati.
Tak perlu nilai estetis, tak perlu nilai psikologi, tak perlu penafsiran dengan berbagai persepsi dengan pondasi keilmuan yang berkaitan dengan budaya pop yang sedang ngetren. Sebuah tarian yang mengikuti sebuah musik dengan gerakan-gerakan yang mengesankan, seperti goyang cesar, bisa tiba-tiba menjadi sebuah tarian yang banyak diikuti banyak orang dan menjadi tren. Nyanyian dangdut ala pantura yang mencomot lagu-lagu genre lain yang sedang populer kemudian didangdutkan dengan penuh hentakan-hentakan musik yang khas dengan teriakan-teriakan musikalisasi, menjadi sebuah musik yang mudah dinikmati dan mengajak seluruh bagian tubuh untuk bergoyang ikut menari. Sekelompok ana-anak muda yang tergabung dalam vokal grup ( boy band dan boy girl ) dengan dengan bermodalkan suara dan wajah-wajah imut yang menawan, menjadi sesuatu yang banyak digemari anak-anak muda. Sebuah ungkapan kalimat semacam ‘eta terangkanlah’ bahkan bisa saja tiba-tiba menjadi populer. Seorang anggota polisi bernama Norman kamaru tiba-tiba terkenal karena aksinya yang menari mengikuti nyanyian India di unggah di youtube, menjadi mewabah dan banyak ditiru orang. Oom tolelot oom, yang awalnya sebuah ucapan dri beberapa anak yang mengharapkan sopir bis atau truk untuk membunyikan klakson yang berbunyi tolelot, menjadi begitu terkenal dan banyak anak-anak sampai orang dewasa menirunya. Semacam itulah budaya pop.
Budaya pop seperti tidak begitu penting keberadaannya. Lewat begitu saja, hiruk pikuk sebentar, kemudian lenyap digantikan pop yang lain. Pop yang simpel dan gampang dinikmati itu menjadi banyak disukai banyak orang. Biasanya, budaya pop itu awalnya dibuat untuk menyenangkan dirinya sendiri kemudian baru untuk menyenangkan orang. Sifatnya yang gampang ditiru, menjadikan budaya pop gampang menyebar. Sedikit penambahan-penambahan kreasi menjadikan budaya pop itu bertahan sedikit lama. Banyak yang menilai budaya pop kurang bernilai. Tak perlu juga di gali nilai-nilai budaya yang terkandung dan tersirat di dalamnya.

Penyebaran budaya pop yang begitu cepat merambat dan gampang ditiru itulah yang membuat budaya pop menjadi tiba-tiba begitu populer dan banyak mempengaruhi perilaku masyarakat. Sering lahir dengan tidak sengaja dari sebuah keterkejutan atau kejenuhan budaya yang monoton. Budaya pop akan terus lahir, hilang, mati dan tumbuh silih berganti. Dinikmati dan segera terlupakan. Tercatat, terselip pada lembaran sejarah, sesekali terbaca.

Kamis, 23 November 2017

PENGACARA KONTROVERSIAL

Pengacara, advokat, lawyer adalah pembela secara hukum bagi orang yang disangkakan bersalah atas sebuah perbuatan yang melanggar hukum di suatu negara, baik hukum pidana maupun perdata. Ada pengacara yang sukarela tanpa perlu dibayar membela kliennya dengan segala pertimbangan kemanusiaan dan kebanyakan pengacara membela karena dibayar. Pengacara tidak bisa menghapus sebuah kesalahan yang telah dilakukan kliennya. Ia hanya bisa mengawal agar sebuah perbuatan yang dilakukan kliennya yang diduga atau disangkakan, berjalan dalam koridor hukum yang berlaku dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi  ancaman hukuman yang diancamkan pada kliennya.
Hal-hal detail peraturan dan undang-undang yang berlaku dan segala kelengkapan alat-alat hukum, dijadikan sebagai bahan untuk menolak ancaman hukuman. Keterkaitan peristiwa, alat bukti dan alibi di ramu sedemikian rupa sehingga tuntutan jaksa menjadi seperti kurang dan membuat hakim berkeputusan seperti keinginan pengacara. Itu tugas pengacara. Semakin hebat seorang pengacara, semakin besar biaya untuk mengontraknya. Semakin sering seorang pengacara memenangkan sebuah perkara, semakin terkenal dan kesohor-lah ia.
Sebuah perkara besar, semacam kasus korupsi milyaran atau bahkan triliyunan Rupiah atau kasus hukum yang melibatkan orang kaya, biasanya akan menyewa pengacara terkenal yang biayanya juga besar. Konon, biaya sewa advokat terkenal mencapai $500 atau sekitar 7-an Rupiah per jam, ditambah dengan biaya-biaya lainnya. Besarnya biaya sewa tentu sebanding dengan kemampuan dan prestasi yang telah didapat sebelumnya.
Seorang pengacara sering membuat sebuah kontroversi, menurut masyarakat umum, dengan statemen-statemen yang dilontarkan dengan berani dan bertentangan dengan opini masyarakat umum yang terlanjut sudah memvonis berdasarkan berita-berita beredar dan pendapat-pendapat dari tokoh yang diyakini benar pendapatnya. Benar dan tidaknya tokoh yang berstatemen menurut masyarakat umum, tergantung apakah pendapat itu se-ide dengan pikirannya atau tidak. Jika pendapat tokoh tidak sependat dengan masyarakat umum yang terlanjur memvonis, maka pendapat itu tak dipercaya dan dianggap menyimpang. Masyarakt umum yang begini, memang tidak obyektif tapi kekuatan pendapatnya yang didukung oleh begitu banyak orang yang terlanjur tidak suka pada person atau institusi tertentu di mana ia bernaung.
Pengacara yang mengeluarkan statemen yang bertentangan dengan opini publik yang kadung mevonis, akan membuat kesal, bukan membuat publik menyadari atau mau mengerti apa yang disampaikan pengacara tersebut. Publik yang tak mengerti hukum secara detail, seolah telah tahu dan merasa benar tentang vonisnya. Bahkan akan menambah keyakinan tentang vonisnya berdasarkan pendapatnya yang tak merasa perlu bukti-bukti hukum yang sah menurut hukum yang berlaku.
Jika bagi publik awam secara emosional marah dan tidak suka dengan polah tingkah pengacara yang seperti menganggap orang lain kurang mengerti hukum, itu bukan berarti pengacara itu tidak akan laku. Bisa saja polah tingkah pengacara itu tindakan yang disengaja sebagai iklan bagi dirinya. Dalam perdebatan di pengadilan, logika dan keterkaitan alat bukti hukum, cara penyampaian pengacara di pengadilan sangat mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan. Sebuah statemen-statemen yang kontroversial dan berani, bagi calon pengguna jasa pengacara boleh jadi sebagai salah satu pertimbangan untuk memilihnya, karena mereka butuh orangyang berani dan pintar memanfaatkan momen.
Dampak dari statemen-statemen yang berani dan kontroversial dari pengacara adalah simpati publik terhadap orang yang dibelanya menipis dan hilang. Lebih jauh lagi, vonis bersalahnya lebih dalam lagi dan mengaitkan ketidakbaikan lain yang mungkin saja tak ada hubungannya. Apalagi dalam kasus korupsi, begitu ada orang di duga melakukan tindakan korupsi oleh KPK, publik langsung mengecap dan memvonis tanpa perlu penjelasan dan bukti yang valid. Ini terjadi karena masyarakat kita telah begitu geram pada penyelenggaraan negara yang masih saja di kotori tindakan curang untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Publik telah begitu percaya kalau KPK tidak main-main dalam menentukan status seseorang. Bahkan kalau ada seorang tokoh yang menyangsikan tindakan KPK menangkap seseoramg terkait tindakan korupsi, tokoh tersebut seperti dianggap melindungi koruptor dan dituduh koruptif juga.
Nov 2017

Senin, 20 November 2017

PILIHAN KETUA RW

calon ketua RW berangkat ke TPS bersama-sama
 djayim.com
Jadi ketua itu amanah. Tanggungjawab dunia akherat, harus siap dikritik dan dicemooh jika melakukan kesalahan, meski tidak disengaja. Ketua dalam sebuah kelompok masyarakat level bawah seperti Rukun Tetangga ( RT ) atau Rukun Warga ( R W ) menjadi sebuah jabatan yang sering kali dihindari oleh penduduk setempat. Penghindaran ini karena jabatan ini sebuah pengabdian tanpa gaji setiap bulannya. Jika pun ada, hanya sekedar uang jajan yang jika diperbandingkan dengan jerih payah yang harus dilakukan, sangat jauh dari sekedar pantas. Karena tidak ada ongkos material atau finansial-lah, jabatan ini dihindari. Tapi, pemilihan seorang ketua RT atau RW yang banyak orang tak ingin menjabatnya, tetap saja menjadi hal yang menarik dalam “pesta demokrasi” rapat umum pemilihan ketua RW.


panggung calon ketua RW dan aparat desa yang hadir


Di lingkungan RW-ku, pemilihan ketua RW dibikin seperti pemilihan kepala desa. Ada panitia pemilihan sekaligus panitia pelaksanaan yang bekerja dengan sungguh-sungguh dengan dukungan dana yang digalang dari warga dalam wilayah. Dalam pelaksanaan juga berstandar pemilihan umum,  ada surat undangan pemilihan, ada surat suara, ada daftar pemilih, meja panitia dengan segala kelengkapan alat tulis, ada bilik suara, ada kotak suara,ada panggung calon ketua RW, ada saksi dari setiap ketua RT dan traktag untuk melindungi kegiatan tersebut dari panas atau hujan. Ada juga hiburan pentas tarian yang diiring kenthongan yang menyelingi dan menghibur masyarakat yang datang.
Dan yang tak kalah menarik, semua calon diberi kesempatan untuk menyampaikan visi dan misi jika terpilih. Dengan tanpa beban seperti penyampaian janji politik dalam pilkada, mereka satu persatu menyampaikan hal-hal yang biasa-biasa saja, ringan dan sering menimbulkan gelak tawa para pemilih dan pengunjung yang duduk di deretan kursi-kursi. Tak ada ambisi ‘harus jadi’ seperti dalam pilkada atau pilihan kepala desa. Semua siap kalah dan siap menerima siapa pun yang akan terpilih. Sebuah prosesi pemilihan ketua ( kepala ) wilayah yang berlangsung dengan menyenangkan.

para pemilih yang menunggui sampai penghitungan suara selesai

Karena tidak mendapatkan gaji yang memadai itulah yang membuat jabatan ketua RW atau RT menjadi kursi yang tidak diperebutkan. Kontradiktif dengan jabatan kepala daerah ( Bupati / walikota, gubernur ) atau kepala desa yang  jabatan ini sebuah prestise dan ada finansial yang bisa diperoleh di sana. Maka, berbagai upaya untuk bisa terpilih menjadi bupati, gubernur dan kepala desa, dilakukan oleh para calon. Bahkan jauh-jauh hari sudah melakukan kampanye terselubung untuk mendapatkan simpati dari para calon pemilih. Maka tak mengherankan jika sepanjang proses dan setelah pemilihan tersebut sering terjadi gesekan-gesekan sosial yang tak jarang muncul tindakan anarkis atau tindakan kecurangan dari pihak-pihak yang ikut berkompetisi, baik dari si calon atau dari pendukungnya.

reapitulasi perolehan suara
Jika saja sebuah proses pemilihan kepala daerah (kepala desa, Bupati / walikota, gubernur) berjalan seperti pemilihan ketua RW atau RT, kegaduhan politik yang banyak sekali menguras energi, tentu dapat dihindari dan menjadi energi yang positif dalam berkehidupan bernegara. Saling mengisi dan mendukung untuk kemajuan yang baik dan sejahtera bagi semua. Dan, nampaknya itu hanya sebuah ‘jika saja’. Karena uang dan prestise, yang menyebabkan pemilihan ketua RW / RT menjadi berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Uang menjadi alasan sesuatu tujuan yang sama ( memperoleh kursi ) menjadi berbeda dalam proses pelaksanaan dan setelahnya. Kenyamanan sebuah pelaksanaan demokrasi sangat terpengaruh oleh uang. Uang menjadi bisa untuk membeli segalanya, termasuk jabatan dan harga diri. Dan prestise ikut ‘mendukung’ kemampuan uang.


Jumat, 17 November 2017

MASJID DI PINGGIR KOTA

sebuah Cerpen. 

Langkah Kakek Ma’ruf  ke masjid menjadi lebih bergairah. Meski sebelumnya juga selalu tanpa beban jika menuju masjid. Senyumnya pun lebih sumringah dan cerah. “Semoga mereka benar-benar mendengarkan dan menjalani perintah Allah,” doa Kakek Ma’ruf setiap seusai sholat. Semoga kejadian yang menyengsarakan ini dapat menjadi jembatan bagi mereka untuk lebih dekat lagi kepada Allah.
Suaranya yang sudah lemah dan parau saat mengumandangkan adzan dalam dua tiga hari ini agak jarang terdengar. Bukan karena Ia tak mau lagi menyuarakan adzan, itu karena setiap waktu sholat tiba sudah ada orang yang siap mengumandangkan adzan. Tidak seperti sebelumnya, hanya Ia dan dua anak muridnya  - yang lebih sering telat ke masjid- yang biasanya bergantian. Murid yang kadang melanggar ajaran gurunya tanpa beban.
Masjid lumayan besar itu dibangun oleh seorang pejabat putra daerah. Waktu masih baru, cukup banyak orang yang datang beribadah dan mengaji. Bertambah waktu, terus berkurang sampai kemudian tinggal Kakek Ma’ruf yang kadang ditemani beberapa orang tetangga masjid dan satu dua bocah yang dipaksa mengaji oleh orangtuanya. Kakek Ma’ruf rajin membersihkan sekelilingi masjid, merawat dan menjadikannya tidak tampak seperti gedung tua tanpa penghuni.
Banjir yang enggan surut telah memberikan Kakek Ma’ruf banyak teman di masjid. Meski tujuan mereka menghindar dari genangan air yang menenggelamkan kaki-kaki rumahnya. Kakek Ma’ruf jadi betah lama-lama di masjid. Kadang Ia memberi ceramah agama atau mengajari baca tulis huruf arab kepada anak-anak kecil. Ia sering bercerita tentang masa lalu kotanya yang tak pernah banjir, tentang kali yang mengalirkan air jernih dengan beraneka macam ikan yang hidup di dalamnya, tentang masa mudanya yang katanya tak disia-siakan seperti kebanyakan anak muda sekarang, tentang guru mengajinya, tentang perjuangan segenerasinya mempertahankan kesatuan negara. Jika bercerita Ia selalu bersemangat hingga tak memberi kesempatan pada orang lain untuk ikut  bercerita. Bukan Ia tak bisa bicara masalah ajaran Agama Islam dan segala isinya. Ini sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian orang dan menyelipkan sedikit demi sedikit ajaran agamanya.
Masjid itu memang cukup besar untuk menampung seratusan orang. Halaman depan dan samping kanan kirinya juga cukup untuk mendirikan tenda-tenda darurat. Dulu pipa-pipa airnya normal di setiap kran yang tersebar di beberapa tempat dan sekarang hanya di tempat wudlu dan kamar kecil yang masih berfungsi. Itu pun karena Kakek Ma’ruf yang selalu menjaga dan menggantinya jika rusak. Kakek Ma’ruf tak cukup biaya untuk menggantinya semua, maklum Ia dan istrinya hanya berjualan kecil-kecilan di rumahnya yang terselip di gang sempit.
Jika datang waktu sholat, tak seluruh orang dewasa yang mengungsi di masjid itu mengerjakan sholat berjamaah. Mungkin mereka belum terketuk hatinya untuk melaksanakan kewajiban sholat, atau mungkin ada yang beda kepercayaan. Itu tak jadi masalah bagi Kakek Ma’ruf. Sekali dua kali canda anak-anak kecil yang berlarian sambil berteriak ketika sedang berusaha khusu sholat Ia maklumi. Tetapi ketika terus menerus setiap sedang sholat dan orang tua mereka membiarkan, Kakek Ma’ruf ingin juga menegur orang tuanya, meski setelah melalui berbagai pertimbangan Ia membatalkannya.
Ia baru pulang ke rumah setelah menjelang tengah malam. Kadang lebih malam lagi jika hujan dan lupa tak membawa payung. Sebelum Kakek Ma’ruf berbelok ke arah gang menuju rumahnya, Ia menyempatkan melihat masjid yang masih ada nyala terang lampu di ruangan dalam –biasanya hanya di teras depan- berisi para pengungsi yang penuh khawatir dengan sisa waktu kehidupan dirinya dan keluarganya. Kadang terdengar tangis bayi kedinginan di dalam tenda. Di serambi, beberapa lelaki bermain kartu menghibur diri melewati waktu lembab, memberikan hukuman jahil bagi yang dianggap kalah.
Tidak semua orang mau bersikap bersih terhadap keadaan sekitar masjid. Banyak diantaranya yang jorok dan bersikap tak peduli dan menimbulkan keadaan yang risih di mata. Kakek Ma’ruf dengan sabar dan telaten membersihkan sampah dan mengepel lantai masjid dengan harapan mereka yang melihat merasa tak enak hati dan menjaga kebersihan. Dan mereka tetap saja tak berubah. Mungkin mereka berpikir; toh hujan tak akan terus menerus. Sebentar lagi air akan surut dan kita segera kembali ke rumah.
Bertambah waktu, keadaan masjid bertambah kotor. Lantai halaman menjadi penuh lumpur dari kaki-kaki yang melewat jalan becek. Sampah basah berserakan di setiap tempat. Kakek Ma’ruf tak mampu maksimal membersihkan dan merawatnya meski sesekali satu dua orang membantunya. Ia kadang membawa dua anak muridnya untuk membantu. Keadaan itu tak membuatnya bersedih dan kecewa. Baginya sesuatu harus dikerjakan dengan ikhlas agar tak merasa jadi beban. Ia juga masih terhibur dengan masih ada beberapa orang yang mau mengaji dan mengerjakan sholat. Ia selalu menegaskan kepada dua anak muridnya; berbuat baiklah kepada semua orang dengan ikhlas!
Ketika bantuan bahan pangan dan obat-obatan datang, Kakek Ma’ruf harus bersiap-siap bekerja keras untuk membersihkan lantai masjid dan halamannya yang penuh sampah. Biasanya Ia memperhatikan para dermawan dari balik jendela masjid. Ia senang dengan masih ada orang yang mau memperhatikan kesusahan dan penderitaan orang lain. Para dermawan itu datang dengan mobil-mobil bagus, pakaian bagus, gemerlap perhiasan dan serombongan wartawan media cetak juga media elektronik.
Kakek Ma’ruf suka melihat anak-anak yang berebut tempat jika kamerawan televisi mencari sasaran atau fotografer yang berburu nuansa kemanusiaan, menuangkan seni dari lingkar penderitaan. Tawa riangnya seakan melepas simpul-simpul tali penderitaan orang tuanya yang harus menjaga kesehatan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Anak-anak itu mungkin tak mengerti kalau ayah atau ibunya selalu ketakutan akan keadaan rumah dan segala perabotannya yang ditinggalkan. Bisa saja banyak yang rusak atau ada pencuri yang memanfaatkan keadaan. Mereka juga mungkin tak pernah mengerti kalau para orang tua juga harus tak berlama-lama mangkir kerja kalau tak ingin dipecat. 
Masjid itu menjadi terkenal setelah pemberitaan di berbagai media massa. Maka para pemburu berita berdatangan silih berganti. Mereka mencari sisi unik yang belum dituangkan di media lain. Sejarah masjid itu pun segera ditelusuri. Membubunglah nama pejabat yang membangunnya. Apalagi pejabat itu juga ikut menyumbangkan dana untuk korban banjir yang mengungsi di masjid itu. Ia menjadi tokoh yang sering dibicarakan dalam hal menangani masalah korban banjir. Pejabat itu mendapat angin baik. Ia segera dipromosikan ke jabatan lebih tinggi.
Tak tersebut nama Kakek Ma’ruf dengan jenggot yang memutih dan kulit muka mengeriput dalam berita manapun. Kakek Ma’ruf juga tak pernah tahu kalau pejabat yang jadi berita itu yang memiliki saham cukup besar di perusahaan koran dan stasiun televisi. Ia juga tak merasa ingin dan perlu tahu. Darimana pejabat itu bisa punya saham di beberapa perusahaan, tak pernah terlintas di benak Kakek Ma’ruf untuk tahu.
Banjir mulai sedikit surut. Hujan yang turun, meski sering, tidak lebat dan deras seperti sebelumnya. Halilintar masih sering garang menyalak. Satu dua keluarga yang letak rumahnya agak lebih tinggi mulai pulang. Mereka mulai membersihkan rumah dari segala kotoran. Untuk menjaga kesehatan anak-anaknya yang masih kecil ada yang tak segera membawa  pulang keluarganya, hanya pulang untuk menengok dan membersihkan rumah.
Ma’mum Kakek Ma’ruf terus menyusut, seperti menyusutnya air yang menggenangi rumah-rumah mereka. Sedikit anak-anak masih ada yang mendengarkan cerita dengan nuansa ajaran Islam. Entah, mereka mengambil hikmah seperti yang dikehendaki Kakek Ma’ruf atau tidak. Senda gurau satu dua anak kadang lebih menjadi perhatian yang lain.
Di siang hari, para lelaki dewasa dan ibu-ibu yang tak punya anak kecil, pergi mencari uang. Malam harinya, dari mulai petang, tidur melepas lelah setelah seharian bergelut dengan kehidupan dunia. Ya, hanya tidur, karena lebih jauh dengan istri sangat tak memungkinkan dalam kondisi seperti itu.
Kakek Ma’ruf merasa kesepian di antara orang-orang yang berserakan tidur tak teratur di lantai masjid, di serambi dan tenda-tenda di halaman. Jam dinding di atas ruang imam menunjukan jam sembilan kurang seperempat. Orang terakhir yang diajak ngobrol tertidur menyandar di tembok. Gerimis lembut berjatuhan, terbang terbawa angin. Kakek Ma’ruf melangkah pulang dengan sedikit mengangkat kain sarungnya. Ia menutupi kepalanya dengan sajadah karena lupa tak membawa payung. Seperti biasa, sebelum Ia berbelok memasuki gang, Ia menyempatkan memandang masjid dengan nyala redup di dalamnya.
                                                * * *
Banjir telah benar-benar surut. Para pengungsi semuanya telah pulang meninggalkan kenangan, sampah dan kotoran. Tiga hari Kakek Ma’ruf dan dua anak muridnya membersihkan seluruh bagian masjid.
Sehabis sholat Isya, ketika menunggu hujan sedikit reda, di teras depan, Kakek Ma’ruf termenung sendirian. Di hatinya ada rasa kangen pada orang-orang dan anak-anak yang sempat tinggal sementara di masjidnya. Dan Ia bergumam,”Mereka datang hanya ketika dalam kesusahan.”  ***
                                                                                    Maret 2004


Kamis, 16 November 2017

kereta sore

dua garis baja di bawah itu, sudah berpuluh kali mengantarku.
juga ribuan yang lain.
di kanan kiri, sepanjang yang terlewati. tertera banyak sekali cerita
di musim penghujan ini, para petani sudah turun ke sawah, bercengkerama dengan air dan tanah. dengan lumpur berbau harum daun-daun busuk yang menyegarkan. keringat yang luluh bersama air hujan, tak membekas di baju. caping yang dipakai, tak cukup mampu menjaga kulit kepala dan  rambut agar tetap kering. langit yang berair dan angin yang membuat jarum-jarum hujan turun miring, membuat mereka tak tahu waktu, kapan harus pulang, untuk
menyiapkan makan malam.
memberi makan kambing, mengandangkan ayam dan itik. menutup jendela, menyalakan lampu di ruang tengah. karena, anaknya yang masih sekolah belum pulang. karena yang sudah lulus sekolah telah lama di kota, tak mau jadi mau petani seperti ayah ibunya. karena menjadi petani susah untuk menjadi kaya.

di gerbong-gerbong eksekutif, para juragan menghitung modal dan untung saat musim panen. duduk bersilang kaki, berbatuk kecil dan tersenyum sedikit di salah satu ujung bibir. menjentikan ujung jari dan berucap. ‘terimakasih’.

16 Nop 2017

Senin, 06 November 2017

BONEKA KUCING

Bulu-bulu lembutnya sudah kusut, warna coklatnya tak lagi cerah seperti ketika baru beli. Meski Mida menyadari hal itu, Ia tak pernah berpikir untuk beli penggantinya. Berbagai peristiwa dalam arungan hidupnya di lalui bersamanya, boneka kucing. Saksi yang sanggup menyimpan seluruh peristiwa yang Mida tak ingin orang lain tahu. Saksi dan juga teman yang sanggup bercerita apa saja jika Mida mau. Bisa menghibur, bisa diajak bercanda, ngrumpi, tanpa terbebani pamrih.
            Mida tak ingat betul wajah orang yang membelikan boneka kucing itu. Yang Ia ingat, Ia harus memanggilnya Oom. Katanya orang itu sepupu ayah Mida. Sepupu dari silsilah mana, Mida tak tahu pasti, sedang ayahnya saja Ia tak pernah tahu. Waktu itu Mida kelas lima esde mau naik ke kelas enam. Tapi Mida tak ingat betul, apa sudah kelas enam atau baru kelas empat. Mida tak ingat betul. Atau mungkin sudah esempe. Samar. Mida paling tak suka kalau harus menjenguk masa lalu, apa itu indah atau menyakitkan. Apapun.
            Namanya Oom Wisko. Orang yang selama ini menjadi pengasuhnya di rumah. Ia kadang mengantar Mida sekolah, sesekali menjemput mengajak jalan-jalan. Tak jarang juga Oom Wisko menemani Mida tidur. Sampai suatu pagi Mida tak lagi menemukan boneka kucingnya tak lagi di pelukannya. Boneka  kucing itu tergeletak tenang di lantai. Di bulu-bulu halusnya ada cairan lengket yang bau aneh. Mida memungutnya. Membersihkannya. Mida mencoba mengingat-ingat mimpi semalam. Terbang ke langit tinggi dalam pelukan kuda yang perkasa bersayap lebar. Terbang ke awan, berguling-guling di atasnya.
            Ketika Mida hendak berdiri, rasa nyeri menusuk pangkal pahanya. Mida kaget. Berjalan tertatih, membuka pintu keluar kamar. Di ruang tengah Tante Ana sedang marah besar. Isi ruangan porak poranda berantakan. Oom Wisko diam tak bersuara duduk di sofa. Sejak itu Oom Wisko dan Tante Ana tak pernah akur. Sering bila Oom Wisko tak di rumah, Tante Ana menerima tamu dan tidur bersama. Ancaman Tante Ana membuat membuat Mida menjadi saksi yang baik bagi tante Ana. Mida tak tahu apa yang dikerjakan dua orang lain jenis kelamin itu. Mida juga tak tahu pekerjaan Oom Wisko dan Tante Ana. Bahkan Ia tak tahu nama lengkap Oom Wisko dan Tante Ana. Atau mungkin nama itu bukan nama aslinya.
            Mida kadang heran kenapa tak pernah ketemu dengan orang yang mungkin ayahnya, atau mungkin ibunya atau benar-benar ayah dan ibunya. Pernah hal itu Ia tanyakan pada Oom Wisko dan Tante Ana.
            “ Ayahmu sedang pergi jauh. Juah sekali. Nanti kalau pulang pasti jemput kamu. Bawa oleh-oleh banyak untuk kamu,” jawab Oom Wisko.
            “Kalau Ibu di mana Oom?”
            “Ibumu sedang memijat Oom-Oom gendut!” jawab Tante Ana ketus, menyambar jawaban. Bibirnya mencibir lengkap dengan raut mukanya.
            Mida melongo, diam dalam ketidakpercayaan. Oom Wisko yang sudah mengangkat bibir  tak jadi bicara. Ia hembuskan nafas dengan sedikit disentak.
            Yang Mida tak habis pikir, meski Tante Ana selalu memarahi, Ia mau saja membayar sekolah Mida. Belakangan Mida dengar-dengar kabar, kalau rumah yang ditempati bersama Oom Wisko dan Tante Ana adalah milik orang tua Mida. Tapi, seperti apa orang tuanya, Mida tak pernah ada bayangan. Tak satupun foto terpampang di tembok ataupun album agar Mida bisa mengira-ira wajah yang paling mirip dengannya. Ada maksud apa Oom Wisko dan tante Ana saling bertahan di rumah itu dengan sering sekali terjadi pertengkaran dengan berbagai macam sebab. Apa mereka suami istri? Itu juga tak pernah Mida tahu.
            Pernah, pernah teman Tante Ana merangsak masuk ke kamar Mida . Mida menjerit sekuat tenaga. Lelaki itu terus memburu Mida, seperti robot menerkamnya. Mida berontak. Ia kehabisan kekuatan dan gelap. Ketika terbangun ranjangnya berantakan. Ia bergegas memakai baju. Ia peluk boneka kucingnya dan tidur dengan leluasa. Kadang Mida berpikir kenapa harus susah-susah berontak kalau akhirnya  kalah juga, tak berdaya. Buang-buang tenaga. Buang-buang energi!
            Suatu ketika Mida disuruh mengambil tas dari seseorang di suatu tempat. Ia hanya diberi denah jalan. Sampai di rumah Mida disambut bak pahlawan perang. Oom Wisko dan Tante Ana mendadak akur dan mesra. Mida senang bisa berbuat itu. Ia Kemudian diberi kesempatan bertemu pacar lebih lama. Uang saku pun bertambah. Apa isi tas itu tak bikin Mida penasaran.
            Di sekolah Mida tak pernah punya kendala masalah kenaikan kelas ataupun  kelulusan, meski nilainya jeblok, Mida melenggang tak berbeban. Oom Wisko biasa lobi sana-sini. Oom Wisko banyak teman dan pandai bergaul. Di luar rumah Oom Wisko seorang yang ramah, pintar bicara, sopan, cekatan, simpatik, semangat dan menyenangkan. Bergerak tak kenal lelah, energik.
            Di sebuah pesta yang diadakan di hotel termewah di kotanya, Oom Wisko, Tante Ana dan Mida datang bersama. Pesta orang-orang bergengsi tinggi. Mida banyak kenal wajah-wajah teman pria Tante Ana  juga wajah-wajah teman-teman wanita Oom Wisko yang sering datang ke rumah. Mereka tertawa-tawa. Mecemooh kebodohan orang-orang di luar; di pinggiran, di tepi sungai kumuh, di terminal, di kolong jembatan, di jalanan, di desa, di kampung, di pantai, di gunung, di sawah, di ladang, di gubuk-gubuk reyot.
            Di sudut ruangan, seseorang berpakaian rapi, bertubuh sedang dengan rambut sedikit beruban disisir rapi, duduk di sofa di kelilingi orang-orang bertampang borju. Matanya tak lepas menatap Mida. Ada pancaran kerinduan dan kasih sayang tertahan yang ingin sekali ditumpahakan tuntas. Oom Wisko mendatanginya. Sebentar berbincang. Orang itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya, diberikan pada Oom Wisko: boneka kucing, “Untuknya dan tolong jaga dia.”
            Mida bingung, “Oom Ini boneka dari siapa?”
            “Dari bapak itu.” Telunjuknya menunjuk lurus pada seseorang. Wajah yang Mida tak mengenal. Mida memandangi lekat-lekat boneka kucing di tangan. Persis sama seperti yang ada di rumah. Persis! Apa boneka kucing ini boneka yang di rumah dan orang itu membawanya untukku? Apa aku tadi pergi membawa boneka kucingku, kemudian jatuh di jalan dan orang itu memungutnya untukku? Tidak! Aku ingat betul, bonekaku kutaruh diatas bantal samping selimut di ranjang tidur.
            Boneka kucing yang kadang bisa berubah menjadi makhluk yang mendengus-dengus, membelai, mencengkeram, membangunkan dari mimpi. Boneka yang patuh tak akan bicara jika tak diminta. Takkan berhenti bicara jika tak diminta. Boneka yang kadang Tante Ana merebut dengan paksa.
            Di mana Tante Ana? Kenapa menghilang? Membiarkan Mida dalam keterasingan. Meski Mida merasa sorot matanya telah menjelajah ke seluruh ruangan, Ia tak menemukan Tante Ana. Kenapa wajah wanita-wanita itu, tante-tante itu, semuanya sama. Apa Tante Ana juga telah berganti rupa? Mida mengusap mata berkali-kali, tak percaya.
            “Mida. Kau harus tahu. Di luar sana dunia itu begitu lucu. Lucu yang kita telah lupa untuk mentertawakannya. Lucu yang kita tak tahu bagaimana mentertawakannya. Begitu banyak aturan, begitu banyak pelanggaran, begitu banyak biaya terbuang sia-sia, begitu banyak omong kosong, begitu banyak hal yang kita harus hati-hati menghadapinya. Jangan mudah percaya. Juga pada orang yang kamu sangat mempercayainya pun!”
            Kata-kata Tante Ana yang Mida sudah hafal dan bosan mendengarnya, kini Mida mendengar dari mulut-mulut wanita-wanita kembar di sekeklilingnya. Mereka berkata bersama-sama. Seperti koor. Seperti paduan suara. Seperti membaca puisi bersama-sama dengan penuh penjiwaan. Dan para pria berbaju rapi asyik dengan gelas minumannya, ngobrol dengan tawa-tawa terkendali.
            Musik lembut mengisi ruangan dari pelantun dan pemusik yang bersahaja dan menjiwai. Tak meledak-ledak. Pelan membawa penikmatnya ke alam kedamaian. Tak ada orang yang berkata kotor meski  mabok berat. Semuanya berjalan sesuai aturan dengan tak ada orang yang mencoba melanggarnya.
            Mida tak tahu kapan pesta akan usai. Ia keluar gedung tanpa pamit ke Oom Wisko atau Tante Ana. Di pintu gerbang Mida mengganggukkan kepala memberi hormat pada dua orang satpam. Ketika Mida telah membelakangi, kedua satpam itu hanya sedikit menghela nafas melihat  boneka kucing yang ditentengnya.
            Di luar, di depan jalan raya, Mida tak tahu arah. Ia coba mencari bis yang trayeknya lewat depan rumahnya dengan melihat papan trayek di jidat bis. Satu hal yang bikin Mida bingung tak habis pikir lagi, banyak diantara orang-orang yang lewat mengendari mobil bagus lewat di depannya, melihat tajam boneka kucing di tangannya. Mereka memandang cukup lama dan tersenyum penuh misteri. Mida tak tahu bahasa tatapan mereka. Mida terpaku dan tak terkonsentrasi membaca trayek bis yang lewat. Mida merasa tenggorokannya kering. Tengak tengok kanan kiri mencari penjual air mineral. Di seberang jalan, dengan pandangan mata terhalang lalulalang kendaraan lewat, Mida melihat wanita-wanita berbaris menenteng boneka kucing. Ada yang seumur Mida, lebih tua, lebih muda, ada yang masih anak-anak. Ia pandangi lekat-lekat. Boneka kucing itu persis seperti punyaku! Sama. Di belakang mereka banyak sekali wanita-wanita berjalan menenteng boneka kucing. Boneka yang sama seperti di tangan Mida. Mereka berjalan ke seluruh penjuru arah dengan langkah biasa. Langkah kaki mereka kompak. Kanan, kanan semua, kiri, kiri semua. Panjang langkahnya sama. Sama! Dan warna dan pola bajunya sama, seperti punyaku.    
            Di kanan kiri Mida telah berjejer wanita berbaju seragam menenteng boneka kucing. Dibelakang Mida telah ada begitu banyak wanita-wanita itu. Mida bingung. Pusing. Langit berputar-putar. Ia ingin berteriak, ingin sekali. Tapi, ia sadar itu tak akan ada artinya. Ketika secara tak sadar menjerit, orang-orang di sekitarnya tak sedikitpun menaruh perhatian. Mereka sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Apa aku mimpi? Apa aku sedang menghayal? Di Alam apa aku ini?
            Mida berlari. Berlari kencang sepanjang pinggir jalan raya. Di sambarnya sebotol minuman di pedagang asongan. Ditenggak separuh, diguyurkan ke kepala. Ia terus berlari. Berlari sekuat mengangkat kaki. Sepanjang jalan Ia berpapasan atau searah dengan wanita-wanita yang menenteng atau memeluk boneka kucing. Di jalan, di mobil-mobil bagus, pria-pria parlente memandanginya sambil tersenyum enteng.
            Di depan sebuah pintu gerbang rumah tubuh Mida ambruk. Ia tak sanggup lagi membagi energi ke kaki untuk menopang berdiri.
            “Mida, ayo bangun, Mida. Masuk! Mandi dan istirahat di rumah. Ayo!”  Suara Oom Wisko mengagetkan Mida.
            “Ayo, saya bantu kamu berdiri,” bujuk Tante Ana. “Ayo sayang. Semua akan baik-baik saja. Jangan biarkan ilusi-ilusi itu mengganggumu. Kau harus buang jauh-jauh. Tak ada pesta itu. Tak ada wanita-wanita itu. Tak ada.”
            “Tante melihatnya?”
            “Melihat apa?”
            “Yang Tante tanyakan tadi.”
            “Tanya apa?”
            “Yang Tante katakan tadi.”
            “Tidak sayang. Tidak ada itu.”
            Kalau saya mimpi, kalau saya berilusi, bagaiman Tante Ana bisa tahu, pikir Mida.
            “Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Ibumu akan sedih kalau Ia tahu kamu begini. Ayolah bangun.”
            “Ibu? Di mana ibu saya Tante?”
            “E…..e..nggak. Nante kamu akan tahu sendiri. Tahu sendiri tanpa perlu dikasih tahu.”
            “Saya ingin tahu sekarang Tante. Ingin Tante kasih tahu sekarang.”
            “Belum saatnya.”
            “Kenapa?”
            “Nggak kenapa-kenapa.”
            Di dalam kamarnya Mida mendapati boneka kucing yang ditinggal di atas bantal terkulai lemas tertindih guling. Mulutnya dilakban hitam.
            “Tante, siapa yang melakukan ini?”
            Tante Ana datang menghampiri. Ia ulurkan sebuah apel pada Mida. “Kamu kan sudah dapat gantinya, Boneka kucing yang baru kan lebih bagus.”
            ”Tidak. Aku mau yang ini.”
             “Kamu bisa diam nggak?!”
            “Diam!!”

            Mida kaget. Boneka kucing di tangannya membentak sambil bergetar. Dari lubang mulutnya menjulur sebua pisau tajam. ***

pekerja di bawah umur

salahkah saya, karena masih usia sekolah, berangkat kerja pagi pulang malam
saya butuh uang, butuh banyak untuk membeli.
untuk beli pulsa, beli quota internet, beli baju, beli sepatu, beli makan enak.
setidaknya saya tak perlu minta pada ibu, karena ia telah begitu capai, begitu lelah.
lelah hati, lelah pikiran, lelah tenaga. pasrah yang tak bertumpuan.
terduduk bersimpuh di lantai semen yang mluduk dan bertambal. bersandar pada dinding berjendela kecil rapuh yang harus berhati-hati jika membuka dan menutupnya.
ia tak juga cukup bisa menyisakan uang untuk bayar sekolah dan seragam. dan uang jajan yang setiap pagi tak pernah absen.
bukan saya tak mau sekolah, bukan. saya kasihan ibu yang matanya kering karena ingin aku senang.
karena saya pengin cari uang. karena uang itu.
karena, meski saya harus berdesakan hidup di kampung kumuh dengan air got yang tak mengalir, dengan lorong gang sempit yang pengap yang di atasnya bergelantungan jemuran, yang ketika malam ribuan nyamuk memburu kulit manusia.
saya pengin juga pergi ke mall berbelanja rupa-rupa, seperti mereka yang bersepatu tinggi mengkilap. seperti di sinetron-sinetron  yang ceritanya berputar-putar seperti kebingungan.
tapi, jika bisa, saya pilih bersekolah dan menunda keinginan.

jangan salahkan mereka yang menampung saya kerja. jangan salahkan siapa-siapa.
para aktivis itu, yang menebar keprihatinan, yang mengumbar penyesalan. itu,
; saya juga ingin sekolah. kalian mau menyekolahkan saya? kalian berani berkorban?
katanya ilmu itu mahal. mahal juga untuk membelinya.
ijazah itu mahal. mahal juga untuk mendapatkannya.
saya tahu itu, ijazah yang membedakan gaji-gaji. bukan tangan-tangan yang cekatan.
orang pintar tanpa ijazah, tak terlihat di sini.
saya terima itu. tidak apa-apa.
karena harus ada orang seperti saya agar bos-bos itu cepat kaya. agar gampang ditakut-takuti dan tak banyak protes.

jika saya tak mengganggu kalian, biarkan saya kerja.
jika mau bantu saya, sekolahkan saya.
berbicara di depan mikropon itu, tak membuat saya bisa berangkat sekolah. tak bisa membantu ibu yang keleahan mencari uang.

sudahlah, ini nasib saya. apalagi smapai menyalahkan pemerintah. saya takut dihukum.
saya takut nanti ibu menggigil ketakutan,


Sabtu, 04 November 2017

REGISTRASI KARTU SELULER PRABAYAR Vs HOAX

Peraturan Menteri Kominfo No 21 Tahun 2017 yang mewajibkan para pelanggan prabayar operator seluler untuk meregistrasi ulang dengan mengirim nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK), banyak yang tidak setuju dan mengajak untuk tidak meregistrasi.

Ketidaksetujuan mereka dengan melakukan berbagai upaya seperti menyebar berita kalau kewajiban meregistrasi adalah hoax dan tak perlu. Ada juga yang mengkaitkan dengan kepentingn politik yaitu pilpres 2019 dengan argumen yang dikait-kaitkan agar tampak argumentis. Mengajak kaum muslim untuk tidak meregistrasi agar operator seluler merugi dan menakut-nakuti jika kita mengirim NIK dan nomor KK akan bisa dicuri data-data kita di bank tempat kita menyimpan uang. Apa pengelola bank sedemikian bodohnya sehingga akan mudah dicuri data-data nasabahnya yang dilindungi undang-undang. Apa tidak perangkat lain untuk melindungi transaksi keuangan lewat internet banking atau ATM. Dengan berganti password dan PIN secara berkala, kemungkinan tabungan di bank di bobol sangat kecil, apalagi jika hanya dengan mengambil data dari telepon seluler yang dikaitkan dengan data di bank.

Ada juga yang protes karena omset penjualan kartu perdana menurun drastis. Bisa dimaklumi, tapi, untuk sebuah kepentingan yang lebih besar, apa keuntungan yang didapat dari sedikit orang akan mengorbankan kenyamanan dan keperluan yang lebih besar.

Saya sendiri sering merasa terganggu oleh para penipu yang mengabari mendapat undian, mama minta pulsa, anak kecelakaan dan hal lain, yang bagi sebagian orang ada yang masuk perangkapnya. Di tempat saya ada yang ketipu sepuluh juta karena dikabari anaknya yang diperantauan kecelakaan dan baru sadar setelah menelpon anaknya yang sedang baik-baik saja. Dengan cara-cara yang di seting sedemikian rupa dan si calon korban di telepon dengan back sound seolah sedang terjadi kecelakaan. Saya sendiri pernah di telepon dan dikabari anak saya mengalami kecelakaan. Suara si penelepon di bikin kadang jelas kadang tidak jelas, seperti menunggu si calon korban menyebut nama. Saya biarkan, beberapa saat nelpon lagi. Saya sadar itu modus penipuan, maka saya berpura-pura jadi calon korban yang masuk perangkapnya. Entah dari mana mereka nomor telepon untuk mencari korban.

Saya kira, ajakan untuk tidak meregistrasi ulang nomor seluler pasti orang-orang yang tidak punya niat baik. Jika kita tak berbuat macam-macam yang merugikan orang lain, kenapa harus menyembunyikan identitas?
Dengan terigistrasi secara benar sesuai data identitas yang ada, para pelaku penipuan dan kejahatan yang memanfaatkan telepon seluler akan mudah terlacak. Maka kenyamanan mempunyai telepon seluler akan terjamin. Tidak ada lagi sms tengah malam yang isinya penipuan dan mencari calon korban.


Jika kita benar, kenapa takut?