Bulu-bulu
lembutnya sudah kusut, warna coklatnya tak lagi cerah seperti ketika baru beli.
Meski Mida menyadari hal itu, Ia tak pernah berpikir untuk beli penggantinya.
Berbagai peristiwa dalam arungan hidupnya di lalui bersamanya, boneka kucing.
Saksi yang sanggup menyimpan seluruh peristiwa yang Mida tak ingin orang lain
tahu. Saksi dan juga teman yang sanggup bercerita apa saja jika Mida mau. Bisa
menghibur, bisa diajak bercanda, ngrumpi, tanpa terbebani pamrih.
Mida tak ingat betul wajah orang
yang membelikan boneka kucing itu. Yang Ia ingat, Ia harus memanggilnya Oom.
Katanya orang itu sepupu ayah Mida. Sepupu dari silsilah mana, Mida tak tahu
pasti, sedang ayahnya saja Ia tak pernah tahu. Waktu itu Mida kelas lima esde
mau naik ke kelas enam. Tapi Mida tak ingat betul, apa sudah kelas enam atau
baru kelas empat. Mida tak ingat betul. Atau mungkin sudah esempe. Samar. Mida
paling tak suka kalau harus menjenguk masa lalu, apa itu indah atau
menyakitkan. Apapun.
Namanya Oom Wisko. Orang yang selama
ini menjadi pengasuhnya di rumah. Ia kadang mengantar Mida sekolah, sesekali
menjemput mengajak jalan-jalan. Tak jarang juga Oom Wisko menemani Mida tidur.
Sampai suatu pagi Mida tak lagi menemukan boneka kucingnya tak lagi di
pelukannya. Boneka kucing itu tergeletak
tenang di lantai. Di bulu-bulu halusnya ada cairan lengket yang bau aneh. Mida
memungutnya. Membersihkannya. Mida mencoba mengingat-ingat mimpi semalam.
Terbang ke langit tinggi dalam pelukan kuda yang perkasa bersayap lebar.
Terbang ke awan, berguling-guling di atasnya.
Ketika Mida hendak berdiri, rasa
nyeri menusuk pangkal pahanya. Mida kaget. Berjalan tertatih, membuka pintu
keluar kamar. Di ruang tengah Tante Ana sedang marah besar. Isi ruangan porak
poranda berantakan. Oom Wisko diam tak bersuara duduk di sofa. Sejak itu Oom
Wisko dan Tante Ana tak pernah akur. Sering bila Oom Wisko tak di rumah, Tante
Ana menerima tamu dan tidur bersama. Ancaman Tante Ana membuat membuat Mida
menjadi saksi yang baik bagi tante Ana. Mida tak tahu apa yang dikerjakan dua
orang lain jenis kelamin itu. Mida juga tak tahu pekerjaan Oom Wisko dan Tante
Ana. Bahkan Ia tak tahu nama lengkap Oom Wisko dan Tante Ana. Atau mungkin nama
itu bukan nama aslinya.
Mida kadang heran kenapa tak pernah
ketemu dengan orang yang mungkin ayahnya, atau mungkin ibunya atau benar-benar
ayah dan ibunya. Pernah hal itu Ia tanyakan pada Oom Wisko dan Tante Ana.
“ Ayahmu sedang pergi jauh. Juah
sekali. Nanti kalau pulang pasti jemput kamu. Bawa oleh-oleh banyak untuk
kamu,” jawab Oom Wisko.
“Kalau Ibu di mana Oom?”
“Ibumu sedang memijat Oom-Oom
gendut!” jawab Tante Ana ketus, menyambar jawaban. Bibirnya mencibir lengkap
dengan raut mukanya.
Mida melongo, diam dalam
ketidakpercayaan. Oom Wisko yang sudah mengangkat bibir tak jadi bicara. Ia hembuskan nafas dengan
sedikit disentak.
Yang Mida tak habis pikir, meski
Tante Ana selalu memarahi, Ia mau saja membayar sekolah Mida. Belakangan Mida
dengar-dengar kabar, kalau rumah yang ditempati bersama Oom Wisko dan Tante Ana
adalah milik orang tua Mida. Tapi, seperti apa orang tuanya, Mida tak pernah
ada bayangan. Tak satupun foto terpampang di tembok ataupun album agar Mida
bisa mengira-ira wajah yang paling mirip dengannya. Ada maksud apa Oom Wisko
dan tante Ana saling bertahan di rumah itu dengan sering sekali terjadi
pertengkaran dengan berbagai macam sebab. Apa mereka suami istri? Itu juga tak
pernah Mida tahu.
Pernah, pernah teman Tante Ana
merangsak masuk ke kamar Mida . Mida menjerit sekuat tenaga. Lelaki itu terus
memburu Mida, seperti robot menerkamnya. Mida berontak. Ia kehabisan kekuatan
dan gelap. Ketika terbangun ranjangnya berantakan. Ia bergegas memakai baju. Ia
peluk boneka kucingnya dan tidur dengan leluasa. Kadang Mida berpikir kenapa
harus susah-susah berontak kalau akhirnya
kalah juga, tak berdaya. Buang-buang tenaga. Buang-buang energi!
Suatu ketika Mida disuruh mengambil
tas dari seseorang di suatu tempat. Ia hanya diberi denah jalan. Sampai di
rumah Mida disambut bak pahlawan perang. Oom Wisko dan Tante Ana mendadak akur
dan mesra. Mida senang bisa berbuat itu. Ia Kemudian diberi kesempatan bertemu
pacar lebih lama. Uang saku pun bertambah. Apa isi tas itu tak bikin Mida
penasaran.
Di sekolah Mida tak pernah punya
kendala masalah kenaikan kelas ataupun
kelulusan, meski nilainya jeblok, Mida melenggang tak berbeban. Oom
Wisko biasa lobi sana-sini. Oom Wisko banyak teman dan pandai bergaul. Di luar
rumah Oom Wisko seorang yang ramah, pintar bicara, sopan, cekatan, simpatik,
semangat dan menyenangkan. Bergerak tak kenal lelah, energik.
Di sebuah pesta yang diadakan di
hotel termewah di kotanya, Oom Wisko, Tante Ana dan Mida datang bersama. Pesta
orang-orang bergengsi tinggi. Mida banyak kenal wajah-wajah teman pria Tante
Ana juga wajah-wajah teman-teman wanita
Oom Wisko yang sering datang ke rumah. Mereka tertawa-tawa. Mecemooh kebodohan
orang-orang di luar; di pinggiran, di tepi sungai kumuh, di terminal, di kolong
jembatan, di jalanan, di desa, di kampung, di pantai, di gunung, di sawah, di
ladang, di gubuk-gubuk reyot.
Di sudut ruangan, seseorang
berpakaian rapi, bertubuh sedang dengan rambut sedikit beruban disisir rapi,
duduk di sofa di kelilingi orang-orang bertampang borju. Matanya tak lepas
menatap Mida. Ada pancaran kerinduan dan kasih sayang tertahan yang ingin
sekali ditumpahakan tuntas. Oom Wisko mendatanginya. Sebentar berbincang. Orang
itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya, diberikan pada Oom Wisko: boneka
kucing, “Untuknya dan tolong jaga dia.”
Mida bingung, “Oom Ini boneka dari
siapa?”
“Dari bapak itu.” Telunjuknya
menunjuk lurus pada seseorang. Wajah yang Mida tak mengenal. Mida memandangi
lekat-lekat boneka kucing di tangan. Persis sama seperti yang ada di rumah.
Persis! Apa boneka kucing ini boneka yang di rumah dan orang itu membawanya
untukku? Apa aku tadi pergi membawa boneka kucingku, kemudian jatuh di jalan
dan orang itu memungutnya untukku? Tidak! Aku ingat betul, bonekaku kutaruh
diatas bantal samping selimut di ranjang tidur.
Boneka kucing yang kadang bisa berubah
menjadi makhluk yang mendengus-dengus, membelai, mencengkeram, membangunkan
dari mimpi. Boneka yang patuh tak akan bicara jika tak diminta. Takkan berhenti
bicara jika tak diminta. Boneka yang kadang Tante Ana merebut dengan paksa.
Di mana Tante Ana? Kenapa
menghilang? Membiarkan Mida dalam keterasingan. Meski Mida merasa sorot matanya
telah menjelajah ke seluruh ruangan, Ia tak menemukan Tante Ana. Kenapa wajah
wanita-wanita itu, tante-tante itu, semuanya sama. Apa Tante Ana juga telah
berganti rupa? Mida mengusap mata berkali-kali, tak percaya.
“Mida. Kau harus tahu. Di luar sana
dunia itu begitu lucu. Lucu yang kita telah lupa untuk mentertawakannya. Lucu
yang kita tak tahu bagaimana mentertawakannya. Begitu banyak aturan, begitu
banyak pelanggaran, begitu banyak biaya terbuang sia-sia, begitu banyak omong
kosong, begitu banyak hal yang kita harus hati-hati menghadapinya. Jangan mudah
percaya. Juga pada orang yang kamu sangat mempercayainya pun!”
Kata-kata Tante Ana yang Mida sudah
hafal dan bosan mendengarnya, kini Mida mendengar dari mulut-mulut
wanita-wanita kembar di sekeklilingnya. Mereka berkata bersama-sama. Seperti
koor. Seperti paduan suara. Seperti membaca puisi bersama-sama dengan penuh
penjiwaan. Dan para pria berbaju rapi asyik dengan gelas minumannya, ngobrol
dengan tawa-tawa terkendali.
Musik lembut mengisi ruangan dari
pelantun dan pemusik yang bersahaja dan menjiwai. Tak meledak-ledak. Pelan
membawa penikmatnya ke alam kedamaian. Tak ada orang yang berkata kotor
meski mabok berat. Semuanya berjalan
sesuai aturan dengan tak ada orang yang mencoba melanggarnya.
Mida tak tahu kapan pesta akan usai.
Ia keluar gedung tanpa pamit ke Oom Wisko atau Tante Ana. Di pintu gerbang Mida
mengganggukkan kepala memberi hormat pada dua orang satpam. Ketika Mida telah
membelakangi, kedua satpam itu hanya sedikit menghela nafas melihat boneka kucing yang ditentengnya.
Di luar, di depan jalan raya, Mida
tak tahu arah. Ia coba mencari bis yang trayeknya lewat depan rumahnya dengan
melihat papan trayek di jidat bis. Satu hal yang bikin Mida bingung tak habis
pikir lagi, banyak diantara orang-orang yang lewat mengendari mobil bagus lewat
di depannya, melihat tajam boneka kucing di tangannya. Mereka memandang cukup
lama dan tersenyum penuh misteri. Mida tak tahu bahasa tatapan mereka. Mida
terpaku dan tak terkonsentrasi membaca trayek bis yang lewat. Mida merasa
tenggorokannya kering. Tengak tengok kanan kiri mencari penjual air mineral. Di
seberang jalan, dengan pandangan mata terhalang lalulalang kendaraan lewat,
Mida melihat wanita-wanita berbaris menenteng boneka kucing. Ada yang seumur
Mida, lebih tua, lebih muda, ada yang masih anak-anak. Ia pandangi lekat-lekat.
Boneka kucing itu persis seperti punyaku! Sama. Di belakang mereka banyak
sekali wanita-wanita berjalan menenteng boneka kucing. Boneka yang sama seperti
di tangan Mida. Mereka berjalan ke seluruh penjuru arah dengan langkah biasa.
Langkah kaki mereka kompak. Kanan, kanan semua, kiri, kiri semua. Panjang
langkahnya sama. Sama! Dan warna dan pola bajunya sama, seperti punyaku.
Di
kanan kiri Mida telah berjejer wanita berbaju seragam menenteng boneka kucing.
Dibelakang Mida telah ada begitu banyak wanita-wanita itu. Mida bingung.
Pusing. Langit berputar-putar. Ia ingin berteriak, ingin sekali. Tapi, ia sadar
itu tak akan ada artinya. Ketika secara tak sadar menjerit, orang-orang di
sekitarnya tak sedikitpun menaruh perhatian. Mereka sibuk dengan kehidupannya
sendiri-sendiri. Apa aku mimpi? Apa aku sedang menghayal? Di Alam apa aku ini?
Mida berlari. Berlari kencang
sepanjang pinggir jalan raya. Di sambarnya sebotol minuman di pedagang asongan.
Ditenggak separuh, diguyurkan ke kepala. Ia terus berlari. Berlari sekuat
mengangkat kaki. Sepanjang jalan Ia berpapasan atau searah dengan wanita-wanita
yang menenteng atau memeluk boneka kucing. Di jalan, di mobil-mobil bagus,
pria-pria parlente memandanginya sambil tersenyum enteng.
Di depan sebuah pintu gerbang rumah
tubuh Mida ambruk. Ia tak sanggup lagi membagi energi ke kaki untuk menopang berdiri.
“Mida, ayo bangun, Mida. Masuk!
Mandi dan istirahat di rumah. Ayo!”
Suara Oom Wisko mengagetkan Mida.
“Ayo, saya bantu kamu berdiri,”
bujuk Tante Ana. “Ayo sayang. Semua akan baik-baik saja. Jangan biarkan
ilusi-ilusi itu mengganggumu. Kau harus buang jauh-jauh. Tak ada pesta itu. Tak
ada wanita-wanita itu. Tak ada.”
“Tante melihatnya?”
“Melihat apa?”
“Yang Tante tanyakan tadi.”
“Tanya apa?”
“Yang Tante katakan tadi.”
“Tidak sayang. Tidak ada itu.”
Kalau saya mimpi, kalau saya
berilusi, bagaiman Tante Ana bisa tahu, pikir Mida.
“Sudahlah, semua akan baik-baik
saja. Ibumu akan sedih kalau Ia tahu kamu begini. Ayolah bangun.”
“Ibu? Di mana ibu saya Tante?”
“E…..e..nggak. Nante kamu akan tahu
sendiri. Tahu sendiri tanpa perlu dikasih tahu.”
“Saya ingin tahu sekarang Tante.
Ingin Tante kasih tahu sekarang.”
“Belum saatnya.”
“Kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa.”
Di dalam kamarnya Mida mendapati
boneka kucing yang ditinggal di atas bantal terkulai lemas tertindih guling.
Mulutnya dilakban hitam.
“Tante, siapa yang melakukan ini?”
Tante Ana datang menghampiri. Ia
ulurkan sebuah apel pada Mida. “Kamu kan sudah dapat gantinya, Boneka kucing
yang baru kan lebih bagus.”
”Tidak. Aku mau yang ini.”
“Kamu bisa diam nggak?!”
“Diam!!”
Mida kaget. Boneka kucing di
tangannya membentak sambil bergetar. Dari lubang mulutnya menjulur sebua pisau
tajam. ***