Label

Jumat, 17 November 2017

MASJID DI PINGGIR KOTA

sebuah Cerpen. 

Langkah Kakek Ma’ruf  ke masjid menjadi lebih bergairah. Meski sebelumnya juga selalu tanpa beban jika menuju masjid. Senyumnya pun lebih sumringah dan cerah. “Semoga mereka benar-benar mendengarkan dan menjalani perintah Allah,” doa Kakek Ma’ruf setiap seusai sholat. Semoga kejadian yang menyengsarakan ini dapat menjadi jembatan bagi mereka untuk lebih dekat lagi kepada Allah.
Suaranya yang sudah lemah dan parau saat mengumandangkan adzan dalam dua tiga hari ini agak jarang terdengar. Bukan karena Ia tak mau lagi menyuarakan adzan, itu karena setiap waktu sholat tiba sudah ada orang yang siap mengumandangkan adzan. Tidak seperti sebelumnya, hanya Ia dan dua anak muridnya  - yang lebih sering telat ke masjid- yang biasanya bergantian. Murid yang kadang melanggar ajaran gurunya tanpa beban.
Masjid lumayan besar itu dibangun oleh seorang pejabat putra daerah. Waktu masih baru, cukup banyak orang yang datang beribadah dan mengaji. Bertambah waktu, terus berkurang sampai kemudian tinggal Kakek Ma’ruf yang kadang ditemani beberapa orang tetangga masjid dan satu dua bocah yang dipaksa mengaji oleh orangtuanya. Kakek Ma’ruf rajin membersihkan sekelilingi masjid, merawat dan menjadikannya tidak tampak seperti gedung tua tanpa penghuni.
Banjir yang enggan surut telah memberikan Kakek Ma’ruf banyak teman di masjid. Meski tujuan mereka menghindar dari genangan air yang menenggelamkan kaki-kaki rumahnya. Kakek Ma’ruf jadi betah lama-lama di masjid. Kadang Ia memberi ceramah agama atau mengajari baca tulis huruf arab kepada anak-anak kecil. Ia sering bercerita tentang masa lalu kotanya yang tak pernah banjir, tentang kali yang mengalirkan air jernih dengan beraneka macam ikan yang hidup di dalamnya, tentang masa mudanya yang katanya tak disia-siakan seperti kebanyakan anak muda sekarang, tentang guru mengajinya, tentang perjuangan segenerasinya mempertahankan kesatuan negara. Jika bercerita Ia selalu bersemangat hingga tak memberi kesempatan pada orang lain untuk ikut  bercerita. Bukan Ia tak bisa bicara masalah ajaran Agama Islam dan segala isinya. Ini sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian orang dan menyelipkan sedikit demi sedikit ajaran agamanya.
Masjid itu memang cukup besar untuk menampung seratusan orang. Halaman depan dan samping kanan kirinya juga cukup untuk mendirikan tenda-tenda darurat. Dulu pipa-pipa airnya normal di setiap kran yang tersebar di beberapa tempat dan sekarang hanya di tempat wudlu dan kamar kecil yang masih berfungsi. Itu pun karena Kakek Ma’ruf yang selalu menjaga dan menggantinya jika rusak. Kakek Ma’ruf tak cukup biaya untuk menggantinya semua, maklum Ia dan istrinya hanya berjualan kecil-kecilan di rumahnya yang terselip di gang sempit.
Jika datang waktu sholat, tak seluruh orang dewasa yang mengungsi di masjid itu mengerjakan sholat berjamaah. Mungkin mereka belum terketuk hatinya untuk melaksanakan kewajiban sholat, atau mungkin ada yang beda kepercayaan. Itu tak jadi masalah bagi Kakek Ma’ruf. Sekali dua kali canda anak-anak kecil yang berlarian sambil berteriak ketika sedang berusaha khusu sholat Ia maklumi. Tetapi ketika terus menerus setiap sedang sholat dan orang tua mereka membiarkan, Kakek Ma’ruf ingin juga menegur orang tuanya, meski setelah melalui berbagai pertimbangan Ia membatalkannya.
Ia baru pulang ke rumah setelah menjelang tengah malam. Kadang lebih malam lagi jika hujan dan lupa tak membawa payung. Sebelum Kakek Ma’ruf berbelok ke arah gang menuju rumahnya, Ia menyempatkan melihat masjid yang masih ada nyala terang lampu di ruangan dalam –biasanya hanya di teras depan- berisi para pengungsi yang penuh khawatir dengan sisa waktu kehidupan dirinya dan keluarganya. Kadang terdengar tangis bayi kedinginan di dalam tenda. Di serambi, beberapa lelaki bermain kartu menghibur diri melewati waktu lembab, memberikan hukuman jahil bagi yang dianggap kalah.
Tidak semua orang mau bersikap bersih terhadap keadaan sekitar masjid. Banyak diantaranya yang jorok dan bersikap tak peduli dan menimbulkan keadaan yang risih di mata. Kakek Ma’ruf dengan sabar dan telaten membersihkan sampah dan mengepel lantai masjid dengan harapan mereka yang melihat merasa tak enak hati dan menjaga kebersihan. Dan mereka tetap saja tak berubah. Mungkin mereka berpikir; toh hujan tak akan terus menerus. Sebentar lagi air akan surut dan kita segera kembali ke rumah.
Bertambah waktu, keadaan masjid bertambah kotor. Lantai halaman menjadi penuh lumpur dari kaki-kaki yang melewat jalan becek. Sampah basah berserakan di setiap tempat. Kakek Ma’ruf tak mampu maksimal membersihkan dan merawatnya meski sesekali satu dua orang membantunya. Ia kadang membawa dua anak muridnya untuk membantu. Keadaan itu tak membuatnya bersedih dan kecewa. Baginya sesuatu harus dikerjakan dengan ikhlas agar tak merasa jadi beban. Ia juga masih terhibur dengan masih ada beberapa orang yang mau mengaji dan mengerjakan sholat. Ia selalu menegaskan kepada dua anak muridnya; berbuat baiklah kepada semua orang dengan ikhlas!
Ketika bantuan bahan pangan dan obat-obatan datang, Kakek Ma’ruf harus bersiap-siap bekerja keras untuk membersihkan lantai masjid dan halamannya yang penuh sampah. Biasanya Ia memperhatikan para dermawan dari balik jendela masjid. Ia senang dengan masih ada orang yang mau memperhatikan kesusahan dan penderitaan orang lain. Para dermawan itu datang dengan mobil-mobil bagus, pakaian bagus, gemerlap perhiasan dan serombongan wartawan media cetak juga media elektronik.
Kakek Ma’ruf suka melihat anak-anak yang berebut tempat jika kamerawan televisi mencari sasaran atau fotografer yang berburu nuansa kemanusiaan, menuangkan seni dari lingkar penderitaan. Tawa riangnya seakan melepas simpul-simpul tali penderitaan orang tuanya yang harus menjaga kesehatan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Anak-anak itu mungkin tak mengerti kalau ayah atau ibunya selalu ketakutan akan keadaan rumah dan segala perabotannya yang ditinggalkan. Bisa saja banyak yang rusak atau ada pencuri yang memanfaatkan keadaan. Mereka juga mungkin tak pernah mengerti kalau para orang tua juga harus tak berlama-lama mangkir kerja kalau tak ingin dipecat. 
Masjid itu menjadi terkenal setelah pemberitaan di berbagai media massa. Maka para pemburu berita berdatangan silih berganti. Mereka mencari sisi unik yang belum dituangkan di media lain. Sejarah masjid itu pun segera ditelusuri. Membubunglah nama pejabat yang membangunnya. Apalagi pejabat itu juga ikut menyumbangkan dana untuk korban banjir yang mengungsi di masjid itu. Ia menjadi tokoh yang sering dibicarakan dalam hal menangani masalah korban banjir. Pejabat itu mendapat angin baik. Ia segera dipromosikan ke jabatan lebih tinggi.
Tak tersebut nama Kakek Ma’ruf dengan jenggot yang memutih dan kulit muka mengeriput dalam berita manapun. Kakek Ma’ruf juga tak pernah tahu kalau pejabat yang jadi berita itu yang memiliki saham cukup besar di perusahaan koran dan stasiun televisi. Ia juga tak merasa ingin dan perlu tahu. Darimana pejabat itu bisa punya saham di beberapa perusahaan, tak pernah terlintas di benak Kakek Ma’ruf untuk tahu.
Banjir mulai sedikit surut. Hujan yang turun, meski sering, tidak lebat dan deras seperti sebelumnya. Halilintar masih sering garang menyalak. Satu dua keluarga yang letak rumahnya agak lebih tinggi mulai pulang. Mereka mulai membersihkan rumah dari segala kotoran. Untuk menjaga kesehatan anak-anaknya yang masih kecil ada yang tak segera membawa  pulang keluarganya, hanya pulang untuk menengok dan membersihkan rumah.
Ma’mum Kakek Ma’ruf terus menyusut, seperti menyusutnya air yang menggenangi rumah-rumah mereka. Sedikit anak-anak masih ada yang mendengarkan cerita dengan nuansa ajaran Islam. Entah, mereka mengambil hikmah seperti yang dikehendaki Kakek Ma’ruf atau tidak. Senda gurau satu dua anak kadang lebih menjadi perhatian yang lain.
Di siang hari, para lelaki dewasa dan ibu-ibu yang tak punya anak kecil, pergi mencari uang. Malam harinya, dari mulai petang, tidur melepas lelah setelah seharian bergelut dengan kehidupan dunia. Ya, hanya tidur, karena lebih jauh dengan istri sangat tak memungkinkan dalam kondisi seperti itu.
Kakek Ma’ruf merasa kesepian di antara orang-orang yang berserakan tidur tak teratur di lantai masjid, di serambi dan tenda-tenda di halaman. Jam dinding di atas ruang imam menunjukan jam sembilan kurang seperempat. Orang terakhir yang diajak ngobrol tertidur menyandar di tembok. Gerimis lembut berjatuhan, terbang terbawa angin. Kakek Ma’ruf melangkah pulang dengan sedikit mengangkat kain sarungnya. Ia menutupi kepalanya dengan sajadah karena lupa tak membawa payung. Seperti biasa, sebelum Ia berbelok memasuki gang, Ia menyempatkan memandang masjid dengan nyala redup di dalamnya.
                                                * * *
Banjir telah benar-benar surut. Para pengungsi semuanya telah pulang meninggalkan kenangan, sampah dan kotoran. Tiga hari Kakek Ma’ruf dan dua anak muridnya membersihkan seluruh bagian masjid.
Sehabis sholat Isya, ketika menunggu hujan sedikit reda, di teras depan, Kakek Ma’ruf termenung sendirian. Di hatinya ada rasa kangen pada orang-orang dan anak-anak yang sempat tinggal sementara di masjidnya. Dan Ia bergumam,”Mereka datang hanya ketika dalam kesusahan.”  ***
                                                                                    Maret 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar