Label

Sabtu, 23 Februari 2013

BIOGRAFI SINGKAT PRAMOEDYA ANANTA TOER

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Hoakiau di Indonesia
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Multikulturalis
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. (diambil dari Buletin Sastra Pawon).

Rabu, 13 Februari 2013

Perlu keUnikan


Keunikan sering menjadi pelepas kepenatan dan kelelahan pkiran. Rutinitas keseharian yang biasa-biasa saja dan itu-itu saja gampang sekali membuat kita jenuh. Sering perasaan jenuh itu kemudian melahirkan perilaku aneh yang muncul tak disangka-sangka dan tiba-tiba. Sering pelepasan kejenuhan oleh seseorang menimbulkan korban jiwa terhadap orang disekelilingnya. Beberapa kejadian penembakan membabibuta dengan perasaan tak bersalah sering kita dengar. Di Amerika contohnya. Tak jarang pelakunya adalah seorang yang berprestasi di sekolahnya atau seorang mahasiswa yang berprestasi dan cerdas. Sepertinya ada yang tersumbat di hati dan pkirannya sehingga si pelaku ingin melepasa sumbatan itu dan melakukannya dengan berperilaku seperti yang ada dalam imajinasinya. Ia menciptakan sendiri dunianya, kemudian menjadi tokoh yang Ia banggakan untuk melepas segala yang tersumpal dan tersumbat dalam benaknya.
Tak ada pelepasan dan penampungan hati yang gundah karena pemikiran yang tak juga memuaskan tentang saling keterkaitan pemikiran satu dengan pemikiran lain yang tak ada ujungnya. Pikiran manusia yang memang tak mampu untuk memahami kejadian-kejadian sebab akibat secara keseluruhan yang terjadi di alam dan pengingkaran terhadap kekuatan Allah SWT sering menjadikan manusia berbuat sesuatu yang menurutnya penemuan baru yang bisa menguak keajaiban alam. Kadang buah pemikiran itu seperti hanya untuk mengingkari pemikiran Kekuasaan dan Kekuatan Allah. Seperti sekedar untuk memberi argumen terhadap pernyataan yang telah  kadung dilepaskan dengan dibungkus aturan-aturan ilmiah. Semakin jauh mengingkari kekuasaan Allah SWT dan semakin ingin membuktikan bahwa manusia dengan kekuatan pikiran dan otaknya mampu menguak misteri alam, semakin jauh dan banyak pula hal-hal baru yang sebelumnya tak terpikirkan.
Berpikir unik, dengan sederhana tapi belum terjamah sebelumnya, sering menjadi titik awal dari pemikiran besar yang menguak sedikit misteri alam semesta. Sebuah apel yang jatuh dari pohon yang menurut orang lain sebuah kejadian biasa, menimbulkan pemikiran baru dari seorang Isaac Newton yang membuahkan hasil tentang tentang kekuatan gratifasi. Benda-benda unik bisa membuat hati dan pikiran terhibur. Para pemburu benda-benda unik rela berkorban waktu dan harta bendanya untuk mengoleksinya. Tempat-tempat unik menjadi tempat wisata yang menyedot perhatian para wisman yang perlu suasana baru di tengah rutinitas keseharian yang terus meners dan membosankan.
Sebuah buku catatan-catatan kecil yang dkoleksi dirawat dari, setelah berumur puluhan tahun menjadi hal yang mengasyikan untuk membacanya. Seperti menelusuri perjalanan yang telah dilalui di masa yang kita telah melupankannya. Saat membaca tulisan kita yang ketika masih remaja kita sering terhentak oleh pemikiran yang sederhana dan sekarang hal tersebut menjadi trend atau menjadi dasar sebuah kebudayaan yang sedang berlangsung. Jangan gampang membiarkan ide unik sederhana yang kadang muncul sembarang waktu dengan hanya mengandalkan daya ingat tanpa ditulis. Daya ingat kita sering kurang mampu memunculkan dengan cepat apa yang telah ditampung.
Hobi-hobi unik juga menjadi pelepasan kelelahan pikiran dan kelelahan hati. Hal-hal yang menurut orang lain tak ada gunanya dan mubadzir, menurut si penghobi, merupakan kesenangan yang tak bisa diukur dengan uang atau benda lain. Tak jarang hobi itu extrem dan menantang maut. Para penghobinya merasa semakin extrem dan semakin berbahaya, nilai kepuasannya semakin tinggi. Hal-hal semacam itu tak semuanya bisa dimengerti oleh yang  merasa tak bisa mengambil kenikmatan dengan melakuakan hal seperti itu.
 Dan, mencatatlah dengan keunikan.
Unique.

Temanku di Bali


Tentang Bali, aku sangat tertarik karena di berbagai gambar, -di kalender, di koran-koran, di majalah-majalah, di berita-berita, sangat menakjubkan. Juga teringat lagunya Slank Terimakasih Baliku, yang bercerita tentang terimaksihnya untk budaya dan alam, tentang cantik gadismu dan kerasnya arak Bali. Keterpaduan unik membuat penasaran.
Teringat juga tentang Bom Bali yang menggemparkan dunia. Bekas lukanya yang menganga terus menyelimuti langit Bali. Sebuah idealismen kepercayaan berusaha untuk mengahancurkan idealisme kepercayaan lain, dan korban jiwa berjatuhan. Bumi retak-retak luka. Hati teriris bertemu ujung dengan tetesan air mata di bawah jantung yang berdegup tak bernada. Mulut-mulut gemeretak mencerca. Dan api segera padam berembus bersama angin lewat celah jendela di dada yang menerima.
Suatu ketika. Aku sambangi Bali. Elok, sayang sampah masih seperti di tempat lain. Disepanjang jalan yang kanan-kirinya rimbun rerumputan dan pohon liar, mataku selalu berbinar. Benda-benda budaya menyambut sepanjang hari tak terputus. Relief-relief melambai-lambai seperti tangan penari Bali dengan ujung ujung-ujung jari berkuku rapi dan tatapan tajam seperti bulat bulan purnama. Lenggok lehernya bergerak lincah seperti ular mematuk mangsa. Bercerita tentang alam, bercerita tentang budaya, bercerita tentang kekuasaan Sang Pencipta. Di samping pintu masuk dan pintu keluar kasir-kasir toko menghitung uang. Di dalam, para pelayan berstrategi menyakinkan pembeli. Di perjalanan ke lokasi lain, agen perjalanan telah hafal di mana harus berbelok agar isi dompet tak sama tebal ketika pulang.
Temanku lagi di Bali. Menghiasi Bali dengan rerimbunan beton. Memasang benda-benda perusak ozon, membuat ruang tempat budaya-budaya asing beranak pinak dengan membawa dollar yang dipasang di ujung kail bermata jangkar. Burung-burung besi raksasa terbang datang pergi silih berganti. Membawa telur-telur budaya dari seantero dunia. Menyeruput madu pada bunga-bunga yang tumbuh berseri sepanjang hari. Membuahi putik-putik kembang di bukit-bukit yang selalu ramah, selalu tersenyum.
Tak kutanya kapan temanku pulang. Serangkain cerita tentang Bali yang aku nanti. Tentang pergerakan budaya. Tentang pintu terbuka yang menengadah langit. Tentang pagar-pagar yang terus ditumbuhi tumbuhan lain. Aku kangen cara temanku bertutur. Dari sisi pikirnya.
Bali. Gambar petanya tergambar di otakku.