djayim.com
Saya begitu yakin sebelumnya, jika kucingku, kucing kesayangan sekeluarga berjenis kelamin laki-laki, jantan, karena sewaktu saya membawanya dari rumah sang pemberi, ia menyebutnya kucing jantan. Sampai kemudian saya menyempatkan untuk lebih meneliti jenis kelaminnya. Tentu dengan mengamati detail lokasi yang menentukan apakah kucingku cewek atau cowok. Dan, aku berkesimpulan ia perempuan, cewek, wanita. Wanita? Kayaknya ‘wanita’ hanya pas untuk orang. Masak ada kucing wanita. Terus, apa sebab saya harus meneliti jenis kelamin kucingku itu? Karena ia mengalami masa birahi yang nampaknya sangat menyiksa.
Saya begitu yakin sebelumnya, jika kucingku, kucing kesayangan sekeluarga berjenis kelamin laki-laki, jantan, karena sewaktu saya membawanya dari rumah sang pemberi, ia menyebutnya kucing jantan. Sampai kemudian saya menyempatkan untuk lebih meneliti jenis kelaminnya. Tentu dengan mengamati detail lokasi yang menentukan apakah kucingku cewek atau cowok. Dan, aku berkesimpulan ia perempuan, cewek, wanita. Wanita? Kayaknya ‘wanita’ hanya pas untuk orang. Masak ada kucing wanita. Terus, apa sebab saya harus meneliti jenis kelamin kucingku itu? Karena ia mengalami masa birahi yang nampaknya sangat menyiksa.
Kucing yang sebelunya jarang
sekali bersuara itu menjadi mengeong-ngeong agak keras berulang-ulang meski
tidak seperti kucing ras jawa. Ia sangat memerlukan pelepasan rasa birahi yang
datangnya pada masa tertentu dan nampaknya menjadi sebuah keharusan. Jika ia di
elus-elus punggungnya, ia memperlihatkan gerak menata diri untuk siap ‘menerima’
dengan gerakan-gerakan erotis ala kucing. Dengan niat ingin membantu dan kasihan
melihat raut mukanya, saya bawa ia ke rumah tetangga agak jauh yang punya kucing
sejenis.
Kucing punya tetanggaku ternyata
lebih besar, mungkin beda ras atau karena lebih gemuk. Mungkin kucing saya ras
Angora, yang punya tetangga ras Persia. Saya dekatkan dengan kucing tetanggaku
itu, tapi keduanya menebar sikap tak bersahabat. Seperti menemui musuh yang
harus dikalahkan satu sama lain. Sepertinya rasa birahi di kucingku sementara
hilang. Perlu pendekatan dan pengenalan dalam dua tiga hari mungkin, pikirku. Setengah
jam saya coba memulai untuk mengakrabkan. Misiku gagal, saya bawa pulang ia dan
sampai di rumah, si Bruno, kembali mengeong-ngeong ‘kegatelan’. Kasihan sekali
ia, sampai anak saya yang kelas tiga es-de berkali-kali menanyakan sambil
mengelus-ngelus bulunya yang menggemaskan, “Kamu kenapa Brun, sakit yah?”
Saya namai kucing saya Bruno,
kalau tidak salah Bruno III. Itu karena setiap saya punya kucing saya namai
Bruno. Tentu tidak ada kaitannya denga Frank Bruno petinju legendaris Inggris
itu. Bruno I saya namai pas ketika Frank Bruno masih malang melintang di dunia
adu jotos itu, sekira akhir tahun 80an. Kucing yang saya namai Bruno ketika itu
berjenis kelamin laki-laki. Bruno II juga laki-laki, pejantan. Keduanya kucing
ras jawa. Untuk Bruno III, saya ragu apakah ia jantan atau betina. Waktu saya
amati seperti betina, tapi waktu saya perbandingkan dengan gambar yang mbah
google punya, yang jantan pun posisi kelaminnya mirip dengan kucing saya. Saya tinggal
nunggu apakah ia hamil atau tidak, karena setelah tiga hari saya biarkan berkeliaran
mencari pasangan, ia kemudian tenang lagi dan tidak gorangganténgan. Jika tak hamil, berarti kucingku jantan atau ia
betina tapi tak ada kucing jawa yang ‘sudi’ melepas birahinya.
Nama Bruno akan tetap saya pakai
untuk menyebutnya, toh kucing tak akan protes apakah itu nama untuk betina atau
jantan. Atau barangkali sebenarnya ia protes, karena sering kali ketika saya
panggil Bruno, ia hanya melirik sedikit sinis. Kelak jika kucingku yang
sekarang hilang atau mati, saya akan tetap menamainya Bruno untuk kucing
penggantinya, dengan tidak memperdulikan jenis kelamin.
15 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar