Ini sudah menjelang subuh atau masih dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama saja. Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak tentu nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut agar bisa tidur dan melepas lelas sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para pekerja keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur menjadi sebuah kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu. Tak ada tanda atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura jadi orang gila agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan hartanya. Tapi untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu agak lama untuk belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang mengasyikan menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan akan menjadi permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku telah begitu banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap kedamaian dan keindahan mendekat pada sang pencipta.
Pagi menjelang siang. Meski kabut masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti, duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas. Suara adzan subuh membawaku ke masa kecil. Ketika menjelang maghrib kami berlari-lari menuju masjid untuk maghrib berjamaah dan seusai shalat mengaji dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin seperti dia. Semua polah tingkahnya mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku ingin mengaji kembali. Masih ingatkah Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat maklum. Tak ada yang mengenal aku sekarang.
Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Saya sangat kangen pada suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali pupusnya harapan untuk memilikinya. Hal yang tak perlu diingat, buang-buang waktu dan tak bermanfaat. Yang terpenting sekarang, aku harus mendapatkan makanan, dan para penjaja makanan pagi hari sudah siap di lapaknya masing-masing, bukan hal yang sulit bagiku untuk mendapatkannya, dan itu hal yang selalu ingin dihindari, selalu berjanji untuk yang terakhir kali. Keadaan selalu menjadi alasan.
Pada sebuah proyek pembangunan mall dua puluh lantai aku melamar untuk menjadi kuli. Tak perlu bersusah payah untuk bisa diterima. Tak perlu daftar riwayat hidup, tak perlu surat lamaran yang dilampiri ijazah dan sertifikat ini itu, cukup memperlihatkan niat untuk bekerja kasar. Saya di terima oleh mandor yang sepertinya aku mengenal wajahnya. Banyak sekali orang yang berwajah sekilas mirip, saya tak tertarik untuk menelusurinya, tapi aku ingat sebuah nama, Jarkun. Ini sebuah awal untuk baik, pikirku, walau sebenarnya saya bisa saja tak perlu kerja keras sepanjang hari untuk mendapatkan uang. Banyak sekali material proyek yang saya bisa ambil dan para penjaga tak tahu. Sebuah keahlian yang tak saya suka sebenarnya.
“Darimana mas?” tanya seseorang ketika menjelang malam di dalam bedeng tempat kami berdesakan tidur seperti ikan di kolam penampungan. Pertanyaan yang sulit aku jawab. Saya tak punya alamat yang tetap. Tak ada kepala desa atau lurah yang punya catatan namaku. Saya jawab sekenanya.
“Dari sini saja.”
“Masa orang sini mau kerja macam beginian.”
Saya hanya tersenyum, merasa tidak perlu penjelasan panjang lebar.
“Kemarin kerja dimana mas?”
“Di sana. Proyek perkantoran,” jawabku sekenanya. Saya membetulkan sarung dan menuju tidur melepas lelah raga dan berharap tak ada lagi pertanyaan yang tak penting lagi. Semoga nyamuk tak mengganggu, doaku.
Berbulan-bulan, lupa berapa hari berapa minggu, bekerja, istirahat, makan, tidur tanpa dengar berita dan tanpa nonton tivi terasa nikmat tak terganggu. Aku menikmati sehat yang Tuhan berikan dan lelah yang mengantarku tidur nyenyak.
Seorang pelayan warung makan, tempat biasa kami makan dan berutang, yang juga anak empunya warung, memperlihatkan rasa hatinya padaku. Lama saya biarkan, Ia malah tambah penasaran. Pernikahanku yang pertama yang umurnya dua tahun kurang dua bulan dua hari, membuat aku bersikap biasa-biasa saja terhadap wanita yang menampakkan cintanya padaku. Kami nekat kawin lari. Orang tua Liswati, nama istriku dulu, tak merestui. Saya maklum, saya tak punya kerjaan tetap, hanya berpenghasilan dari kerja serabutan, kadang berjualan asongan, di pasar, di terminal. Cinta memang buta, saya sudah membujuk Wati untuk menurut orangtuanya karena saya tak sanggup membahagiakan secara materi, Ia malah ngotot makin nekat. Ia minta saya menunjukkan cintaku dengan berani kawin lari. Jadilah kami nikah siri. Saya tak tahu apakah itu sah menurut agama atau tidak, yang penting saya merasa nyaman dan aman dengan memegang buku nikah entah palsu atau tidak. Seseorang yang pandai ngomong bahasa Islami, dengan do’a-do’a berbahasa arab, memakai pakaian pemuka agama, mengantar kami menjadi suami istri.
Tiga bulan kami menikmati cinta dengan kesederhanaan. Di kontrakan yang hanya satu kamar, makan seadanya, pakaian yang itu-itu saja. Semua nikmat, indah, penuh cinta, penuh canda tawa, dan sering mentertawakan orang-orang yang harus bersusah payah kerja keras mencari uang untuk membeli kebahagiaan, padahal bisa didapat dengan gampang, kapan saja, di mana saja, dengan kondisi apa saja. Ah, begitu riang dan ringannya hidup kami kala itu. Dan waktu menggerus semua itu. Sesuatu yang sederhana yang dapat kami nikmati menjadi membosankan bagi istriku. Ia ingin kebahagiaan lain lagi, ingin seperti yang lain, yang lebih, yang belum ada. Kami mulai berbeda pandangan, berbeda filosofi. Mencoba terus bertahan, menjadi tak bisa dipertahankan ketika istriku mencari kebahagiaan dengan orang lain, dengan lelaki lain. Saya cukup melupakannya dan tak perlu repot-repot ke pengadilan untuk proses perceraian. Sebuh kemudahan dari kawin siri, cukup membuang buku nikah, membuang cinta. Tak perlu dirasa tentang hati yang lara.
Kini, Saidah bin Kusnam mengajak hatiku untuk hidup berdua. Dengan pandangan matanya yang sayu hanya padaku, mengharap sepenuhnya, bahwa dunia akan indah bersamaku. Saya membalas dalam hati, ‘aku tak bisa meramal tentang keindahaan waktu di masa nanti.’ Ia tak mengerti, karena memang aku tak memberinya tahu. Bila Ia kusapa dengan sederhana, Ia akan bergairah sepanjang hari, di matanya terpampang kesuksesan usaha jika bersamaku. Aku mengerti, teman-teman kerjaku menyemangati, “Ayolah, jangan bikin nona manis putri pemilik warung langganan kita kecewa. Nanti kita tak boleh mengutang jika Ia kecewa. Kau akan menjadi menantu kebanggaan Pak Kusnam. Kau akan dibikinkan warung lagi dan tak perlu kerja jadi kuli seperti sekarang ini.” Tiga bulan aku biarkan keadaan itu, menggantung hati Saidah pada awang-awang yang tak terbaca.
Aku memutuskan untuk pergi sebelum Saidah benar sepenuhnya memutuskan untuk hidup bersamaku. Saya merasa akan banyak masalah, saya merasakan itu. Ketika malam baru selangkah melewati puncaknya, saya beringsut pergi. Beberapa pakaian saya bawa dalam tas punggung yang tidak begitu besar, dan yang lain saya biarkan. Seisi barak tak ada yang melihatku pergi saya rasa.
Ketika pagi belum sempurna melepas kabut, saya terbangun di emperan toko di pinggir pasar agak ke ujung timur. Suara wanita menjerit histeris dan kerumunan warga membawa langkahku ke pusat suara. Seorang wanita perawan terbunuh. Darah mengucur di perut dan di sela payudaranya dan dibagian tengkuk kepala. Wajahnya masih utuh, terpejam tak rapat dengan mulut sedikit terbuka menebar senyum. Saya terlonjak, wajah itu kenal, sangat kenal, Sidah. Saidah binti Kusnam. Kenapa Ia harus mati di sini? Kenapa harus di dekat saya? Kenapa ada yang tega membunuh gadis secantik dia?
Ada penyesalan menyembul di ruang dadaku. Jika saja aku tak pergi, mungkin Saidah tak mengikutiku dan tidak terbunuh di sini. Mungkin para begundal telah memperkosa dan membunuhnya selagi Ia hampir menemukanku. Mungkin jika saya tetap di sana dan melindunginya, Ia tak akan seperti ini. Cepat-cepat saya berlari mengabari Pak Kusnam. Ia melongo, terhuyung kemudian saya bimbing duduk. Istrinya langsung pingsan jatuh pada sisi meja menggelosor ke lantai, luluh seperti tak bertulang. Saya ikut berbelasungkawa dengan ikut sibuk mengurusi jenazah Saidah, seorang yang berani menyatakan cinta tanpa bertitip kata, dengan sedikit menunduk tersipu penuh makna.
Aku melanjutkan pergi, seperti biasa, sesal adalah hal yang dengan gampang aku membuangnya. Begitu banyak hal yang telah bikin saya bisa begitu. Tapi, Saidah terasa lain. Aku menghampiri tempat Saidah ditemukan saat malam hampir membungkus senja. Tiba-tiba sekawan polisi menyergapku. Merasa akan kalah, aku tak melawan dan tak bicara. Ada empat, atau lima, mungkin enam polisi meringkusku dan mendorong dengan kasar ke dalam mobil yang kanan kirinya berjendela kawat. “Kamu ditahan! Semua barang bukti yang kami temukan mengarah padamu. Kau tersangka utama pembunuh Saidah”
“Tidak mungkin Pak, dia mencintai saya dan saya sangat tidak mungkin melukai orang yang mencintai saya.”
“Semua alat yang dipakai untuk membunuh Saidah, punya kamu.”
Di kantor Polisi, saya melihat baju, topi, dan palu sebesar kepal yang biasa saya pakai berlumur darah. Aku diam. Sesorang telah memakai itu agar tuduhan mengarah ke saya. Saya mencurigai seseorang sebagai dalangnya dan juga seseorang sebagai esksekutornya. Saya yakin, persaingan dagang dan cinta yang diabaikan menjadi pemicunya.
Sikapku yang diam, tanpa perlawanan, tanpa banyak bicara, tenang, membuat penjagaan agak longgar. Tak sulit bagiku untuk mengelabui mereka dan berlari menghilang. Sekelebatan saya bisa mengambil kunci borgol yang tergantung dipinggang polisi terdekat dan melesat menghilang di kegelapan malam dengan lampu-lampu penerang jalan.
Seperti biasa kesukaanku memulai, sesaat selepas puncak malam, saya telah menemui jejaknya. Ia tampaknya sedang bergembira terbebas dari kejaran polisi, tertawa-tawa sambil bermain kartu disebuah pos ronda yang jarang dipakai. Sebilah besi sebesar ibu jari kaki saya sabetkan di tengkuknya. Ia terjerembab langsung tak bergerak. Tiga temannya kaget, hendak melawan tapi langsung saya ancam. Mereka mundur, saya pegang lehernya salah satu, yang dua lari terbirit. Saya pergi dengan langkah seorang penjudi yang menang, meninggalkan seorang yang berdiri terpaku menatap mayat yang masih hangat. Saya tak berlari sembunyi. Membiarkan saja seperti tak ada apa-apa. Batang besi saya lemparkan pada sebuah got sedalam setengah meter dengan air hitam berbau, satu setengah kilo dari tempat aku mengeksekusi mati. Mau ditemukan polisi juga tak masalah, tidak ditemukan pun, biasa saja. Masker yang kukenakan tak cukup untuk mereka mengenaliku. Jika mereka mengenal pun, bukan persoalan.
Penjara tak jadi soal. Tak ada orang yang akan menangisi, tak ada orang yang merasa kehilangan, banyak temanku menunggu di sana. Apa Saidah merasa senang dengan yang saya lakukan, aku tak mengerti. Saya hanya ingin menghilangkan orang yang tak punya hati.
Di terminal antar kota, aku tidur pada sebuah bangku tunggu penumpang. Gigitan dan suara nyamuk yang mendesing terus menganggu. Aku tak lelap tidur, sampai sebuah bis paling awal di hari itu berangkat. Saya melompat naik, duduk di kursi paling belakang yang masih kosong dan melanjutkan tidur dan gagal. Mesin bis menderu menerobos udara dingin berkabut yang lembab. Pepohonan di kanan kiri jalan diam tidur tak menggerakkan sedikit pun daunnya, membiarkan satu dua kendaraan yang melaju bisu. Sebuah perjalanan panjang. Tak ada klakson menjerit. Di beberapa tempat di depan perkantoran atau perumahan, satpam membikin perapian untuk menghangatkan badan.
Tak tahu berapa waktu yang telah tertempuh, berapa tanjakan, tikungan, berapa kali berhenti mendadak. Sudah banyak penumpang, lebih dari setengah bis. Pada sebuah jalan yang kanan kirinya terbentang padang rumput dengan pohon-pohon rindang yang tak begitu rapat, bis berhenti. Kondektur menghampiriku dan mempersilahkan saya untuk turun.
“Katanya mau turun di sini, Bang?”
Saya bingung, melongo, kaget. Saya merasa tak pernah minta untuk diturunkan dimana pun. Tak perlu komen, tanpa merasa terbebani kakiku melangkah turun menapaki tangga pintu bis. Matahari baru saja terbit. Sinar semburat-kuningnya mewarnai seluruh alam. Bayangan pohon yang tumbuh jarang di padang rumput menari-nari. Sebatas mata memandang, ada nampak pemukiman di ujung savana. Masih dengan kaki yang sama, aku berjalan. Mengikuti bayangku sendiri yang semakin lama semakin tak panjang. Langit di atas kepalaku selalu berubah warna, meski tetap biru.
Seorang wanita, nampaknya seorang gadis, berlari kearahku dengan muka yang tertutup rambutnya yang ditiup angin selatan. Ia langsung memelukku dengan erat.
“Saidah? Kau masih hidup?” yang ditanya bingung. Tapi Ia bukan Saidah, atau Ia Wati, Cici, Dini, Yayu, Sri, Eka, Dwi, Ceuceu, Mi, Mao, Na, Janah, Sumi, Sisi, Sasa, Tata, Rindu, Ayu, Nur, Imah, Yayah, Nita, Nia, Ati, Siti, Susi, Nana, Kanti, Nunu? Bukan. Wajahnya berubah-rubah. Angin yang terus mengurai rambutnya membuat aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya yang terus didesakkan di bahu kiri.
“Aku akan membawamu Mas?” Suara yang pernah aku kenal, entah siapa, mungkin suara tukang sayur yang sering lewat sambil teriak-teriak menawarkan sayurannya, yang kemudian jatuh cinta padaku dengan membabi buta dan rela melakukan apa saja demi untuk bercinta denganku. Tapi, bukan. Aku terdiam dan tak mengerti. Mau dibawa ke mana aku, sedang Ia sendiri tampak tak beres. Mungkin saya akan dibawa ke alamnya, alam kematian.
“Saya tak tahu arah di sini, seperti dimana pun begitu. Jika kau bawa aku ke langit yang berbeda. Yang bukan hanya langit biru dan jingga.”
Angin berhembus tak tentu arah, sinar Matahari meredup, angin berhenti di sekelilingku. Aku renggangkan pelukannya agar bisa melihat wajahnya. Wajah yang aku kenal dengan senyum datar di kedua sudut bibir, tapi aku lupa entah siapa.
“Mari.” bisiknya.
Seketika, angin dari seluruh penjuru berlari ke arahku. Berdua kami terbang melesat dibawa angin. Langit diatasku berwarna-warni, berjuta warna. Di bawah, kendaraan berjalan tertib teratur di jalan-jalan yang kanan kirinya penuh pepohonan. Sungai-sungai mengalirkan airnya yang jernih leluasa ke laut. Hewan-hewan beristirahat santai di bawah pepohonan. Rumah-rumah temapt istirahat tertata rapi.
Aku semakin tinggi, langit semakin indah, di bawah, semakin nampak hijau.
“Kita akan kemana?” tanyaku.
Tak ada jawaban. Tak ada yang menjawab. Tak ada siapa-siapa.
Juli 2015