Seringkali kata sabar diucapkan berkaitan dengan waktu, berhubungan dengan tak perlu buru-buru, cenderung santai, tak perlu segera.
“Mas, cepetan…”
“Sabar mas, nyantai dikit napa?”
“Nanti kita telat.”
“Sabar mas, sebentar lagi.”
Atau juga kata sabar sebagai
ucapan agar tidak marah, emosi dan bisa mengendalikan diri.
“Sabar mas, semua akan baik-baik
saja. Tenang...”
“Tapi ini sudah keterlaluan. Ini nggak bisa diterima.”
“Makanya ekspetasimu jangan
terlalu tinggi. Biasa-biasa saja.”
“Biasa-biasa saja bagaimana? Coba kamu yang jadi aku, mungkin lebih
gila.”
Sebuah kata bisa punya makna
lebih dari satu atau homonim, tergantung kalimat yang mengiringi atau dalam
kontek pembahasan yang mengarahkan kata tersebut. Saya lebih cenderung kata
sabar bermakna siap menerima apapun hasil dari sebuah perjuangan, kerja keras,
ulet dan konsisten. Ini hanya sebagai ‘penolakan’
saya bahwa menunda waktu itu bukan
sebuah tindakan ‘sabar’. Kata ‘sabar’ dalam kontek tidak segera atau menunda
waktu seolah sebagai pembenaran kalau santai itu sebuah bentuk kesabaran.
Kata sabar agar tidak emosi,
sebagai bentuk peringatan terselubung agar jangan berharap terlalu pasti dan
tinggi, siap menerima sesuatu yang tidak seperti yang diharapkan. Biasanya harapan
terhadap orang lain yang berkaitan dengan keinginannya, harapan atau imajinasi
lain dalam benaknya tidak seperti yang diduga, akan memunculkan kemarahan. Sabar
di sini sebagai bentuk menerima apapun yang ada dari luar yang berkaitan dan
berhubungan dengan kita.
“Saya sudah melakukan semaksimal
mungkin, terus menerus, tak pernah menyerah. Saya akan terus berusaha. Dan,
apapun hasilnya saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk saya.”
“Itulah sabar yang meninggikan derajat kata sabar.”
22:01.30092020