Label

Kamis, 21 Juli 2016

SYAIR SYIAR YANG MENGHIBUR

Banyak cara menyampaikan atau mengajak banyak orang untuk mengingat atau menyukai sesuatu. Seperti iklan, semua dibikin agar segalanya nampak indah, menyenangkan dan menghibur.  Hal ini menjadikan kita merasa sadar atau secara tak sadar sering greyengan pada waktu dan tempat yang tak terduga. Karena, menghiburlah alam bawah sadar kita terbawa susana yang bombong.

Kita sering mendengar shalawat Nabi Muhammad SAW yang dikumandangkan dengan nada lagu (pop) dangdut yang sedang populer di iringi musik hadroh yang khas. Salawat nabi itu menjadi sebuah syair yang menghibur dan easy going. Menjadikannya tembang tandakan di saat kita menyamankan diri seperti saat kerja di kebun sambil nembang sekenanya, seingatnya. Terbawalah kita dalam dunia pop yang tak perlu njlimet apa artinya, apa maknanya, apa tujuannya dan esensi apa yang ingin disampaikan.

Sangat efektif memadukan nada lagu yang sudah terkenal dengan syair yang sudah terkenal juga. Hasilnya menjadikan syair itu menjadi sangat akrab di telinga, populer dan mudah dinikmati. Ini jika tak memperdulikan makna dari syair yang ingin disampaikan.

Sinkretisme

Budaya Jawa sangat fleksibel. Ia mampu dengan mudah menerima dan mengadaptasi budaya atau kebiasaan lain dari luar basik budayanya sehingga muncul budaya atau cara baru dalam menyikapi atau melakukan sesuatu. Perpaduan dari berbagai paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan lain menjadi sesuatu yang baru dan menjadi kebudayaan baru (sinkretisme), terus menerus  berjalan sehingga secara tak tersadari kebudyaan baru lahir, menggantikan budaya yang telah tertindih yang lambat laun terlupakan. Budaya yang telah tererosi itu bisa muncul kembali pada masa yang berbeda, bahkan bisa menjadi tren yang pada masa itu dianggap hal baru. Atau bisa saja hanya muncul sesaat, hanya sebagai kenangan untuk membangkitkan nostalgia dari satu ‘kaum’ yang pernah mengalaminya.

Secara budaya, syair Shalawat Nabi yang dinyanyikan yang dikawinkan  dengan lagu ( pop ) dangdut yang familiar di telinga seluruh tingkatan generasi dan mudah dinikmati, itu bukan sebuah permasalahan yang mengganjal pada proses perjalanan roda budaya. Jika semua elemen masyarakat atau sebagian besar masyarakat tidak merasa terganggu, itu akan berjalan terus dan bisa menjadi benih dari lahirnya budaya baru yang akan tercatat oleh generasi selanjutnya.

Shalawat Nabi Muhammad SAW, secara Islami adalah syair suci.  Kalimat sebagai penghormatan dan penjunjungan tinggi-tinggi ke-Rasul-an Nabi Muhammad SAW. Sebuah penghormatan yang diharapkan mendapat syafaat bagi yang mengucapkannya. Dan, kalimat suci itu, demi untuk dapat diterima dengan mudah, menyenangkan dan menghibur, disajikan dengan nada lagu (pop) dangdut yang sedang populer. Lagu yang dalam proses populernya ditayangkan dengan audio visual menampilkan penyanyi berdandan seksi (seronok), bergoyang sensual mengundang birahi dan suara yang di-seksi-seksi-kan. Dilihat dari kacamata Islam yang sederhana pun, tampilan audio visualnya, jelas tidak islami, ditambah lagi dengan suara yang sengaja berbumbu birahi. Lagu seperti: sakitnya tuh di sini, cucak rowo, dll, disadur nadanya dikawinkan dengan kalimat suci shalawat nabi, menjadikan kita terbawa pada aroma hiburan dan melupakan esensi dari kalimat suci itu. Kita menjadi terhibur, menjadi senang, terbius dan masuk dalam nuansa nada lagu yang menghantar syair. Nada lagu itu menyajikan dan membawa imajinasi kepada penyanyi berjoget di panggung berdandan seronok, bergoyang full mengundang birahi dan auratis. Menguaplah makna syair suci itu.

Secara budaya; itulah hasil karya cipta manusia. Secara seni, itulah sebuah keindahan, jika bisa dinikmati, kenapa tidak? Tak perlu repot-repot memikirkan dan membahas sesuatu yang tidak membahayakan kehidupan manusia. Toh pintu sorga tak tertutup hanya karena itu.

                                                                                                Juli 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar