Banyak cara menyampaikan atau
mengajak banyak orang untuk mengingat atau menyukai sesuatu. Seperti iklan,
semua dibikin agar segalanya nampak indah, menyenangkan dan menghibur. Hal ini menjadikan kita merasa sadar atau
secara tak sadar sering greyengan pada
waktu dan tempat yang tak terduga. Karena, menghiburlah alam bawah sadar kita
terbawa susana yang bombong.
Kita sering mendengar shalawat Nabi
Muhammad SAW yang dikumandangkan dengan nada lagu (pop) dangdut yang sedang
populer di iringi musik hadroh yang khas . Salawat nabi itu menjadi sebuah
syair yang menghibur dan easy going.
Menjadikannya tembang tandakan di
saat kita menyamankan diri seperti saat kerja di kebun sambil nembang sekenanya,
seingatnya. Terbawalah kita dalam dunia pop yang tak perlu njlimet apa artinya,
apa maknanya, apa tujuannya dan esensi apa yang ingin disampaikan.
Sangat efektif memadukan nada
lagu yang sudah terkenal dengan syair yang sudah terkenal juga. Hasilnya
menjadikan syair itu menjadi sangat akrab di telinga, populer dan mudah
dinikmati. Ini jika tak memperdulikan makna dari syair yang ingin disampaikan.
Sinkretisme
Budaya Jawa sangat fleksibel. Ia
mampu dengan mudah menerima dan mengadaptasi budaya atau kebiasaan lain dari
luar basik budayanya sehingga muncul budaya atau cara baru dalam menyikapi atau
melakukan sesuatu. Perpaduan dari berbagai paham-paham atau aliran-aliran agama
atau kepercayaan lain menjadi sesuatu yang baru dan menjadi kebudayaan baru
(sinkretisme), terus menerus berjalan
sehingga secara tak tersadari kebudyaan baru lahir, menggantikan budaya yang
telah tertindih yang lambat laun terlupakan. Budaya yang telah tererosi itu
bisa muncul kembali pada masa yang berbeda, bahkan bisa menjadi tren yang pada
masa itu dianggap hal baru. Atau bisa saja hanya muncul sesaat, hanya sebagai
kenangan untuk membangkitkan nostalgia dari satu ‘kaum’ yang pernah
mengalaminya.
Secara budaya, syair Shalawat
Nabi yang dinyanyikan yang dikawinkan
dengan lagu ( pop ) dangdut yang familiar di telinga seluruh tingkatan generasi
dan mudah dinikmati, itu bukan sebuah permasalahan yang mengganjal pada proses
perjalanan roda budaya. Jika semua elemen masyarakat atau sebagian besar
masyarakat tidak merasa terganggu, itu akan berjalan terus dan bisa menjadi
benih dari lahirnya budaya baru yang akan tercatat oleh generasi selanjutnya.
Shalawat Nabi Muhammad SAW,
secara Islami adalah syair suci. Kalimat
sebagai penghormatan dan penjunjungan tinggi-tinggi ke-Rasul-an Nabi Muhammad
SAW. Sebuah penghormatan yang diharapkan mendapat syafaat bagi yang
mengucapkannya. Dan, kalimat suci itu, demi untuk dapat diterima dengan mudah,
menyenangkan dan menghibur, disajikan dengan nada lagu (pop) dangdut yang
sedang populer. Lagu yang dalam proses populernya ditayangkan dengan audio
visual menampilkan penyanyi berdandan seksi (seronok), bergoyang sensual
mengundang birahi dan suara yang di-seksi-seksi-kan.
Dilihat dari kacamata Islam yang sederhana pun, tampilan audio visualnya, jelas
tidak islami, ditambah lagi dengan suara yang sengaja berbumbu birahi. Lagu
seperti: sakitnya tuh di sini, cucak rowo, dll, disadur nadanya dikawinkan
dengan kalimat suci shalawat nabi, menjadikan kita terbawa pada aroma hiburan
dan melupakan esensi dari kalimat suci itu. Kita menjadi terhibur, menjadi
senang, terbius dan masuk dalam nuansa nada lagu yang menghantar syair. Nada
lagu itu menyajikan dan membawa imajinasi kepada penyanyi berjoget di panggung
berdandan seronok, bergoyang full
mengundang birahi dan auratis. Menguaplah makna syair suci itu.
Secara budaya; itulah hasil karya
cipta manusia. Secara seni, itulah sebuah keindahan, jika bisa dinikmati,
kenapa tidak? Tak perlu repot-repot memikirkan dan membahas sesuatu yang tidak
membahayakan kehidupan manusia. Toh pintu sorga tak tertutup hanya karena itu.
Juli
2016.
Komentar
Posting Komentar