Label

Senin, 30 September 2019

KEGELISAHAN


berharap itu lumrah, manusiawi, wajar tanpa pengecualian. Berbuat sesuatu tanpa punya harapan itu sebuah keistimewaan yang lebih ke arah anomali. Bahkan berbuat sesuatu dengan sangat ikhlas pun, masih berharap kepada Alloh SWT yang akan membalasnya. Berharap kepada Alloh SWT dalam kontek ikhlas pun, masih berharap lagi, semoga Alloh memberikan seperti yang diharapkannya.

Ketika harapan tidak sesuai dengan keinginan, akan lahir sebuah kegelisahan. Kegelisahan akan membuat siksaan baru jika harapan yang tidak sesuai dianggap sebagai kesialan. Lebih parah lagi ditambah dengan diingatnya kesialan-kesialan lain di masa lalu yang sengaja di hadirkan agar anggapan dirinya itu “sial” itu benar-benar sial.

Berpasrah diri sebagai cara untuk membuang kegelisahan. Pasrah dengan tidak melakukan apa-apa adalah sebutan yang tidak tepat untuk disebut ‘pasrah’. Melakukan sesuatu dengan maksimal dan terus berusaha dengan menikmati proses usaha, menjadikan setiap waktu yang dilalui menjadi terasa berguna dan nikmat. Berdoa sebagai arah harapan yang kita inginkan, sebagai peyakin diri, karena sesungguhnya subyek yang kita mintai, sudah tahu apa yang kita harapkan.

Itu kegelisahan berkesinambungan dengan harapan pada individu.

Lebih melebar, harapan beberapa orang, sekelompok orang atau orang-orang yang berkelompok karena ada kesamaan keinginan pada suatu tatanan sosial masyarakat atau lebih luasnya dalam cakupan negara dan bangsa, menjadi sebuah tarik menarik kepentingan dalam menentukan arah kebersamaan dalam sebuah wadah negara dan bangsa. Dalam kebersamaan itu diperlukan pengorbanan banyak pihak karena tidak semua harapan dan keinginannya terpenuhi secara utuh. Ambil jalan tengah, menjadi solutif yang tak memberi kepuasan semua pihak dan masih berpotensi lahir kegelisahan.

Sebuah kegelisahan yang di rasa bagi sekelompok orang yang berpandangan dan berkeinginan sama atau setidaknya mirip, akan muncul aksi protes agar apa yang menjadikannya gelisah diperbarui seperti apa yang diinginkan. Dan, tidak semua keinginan akan terpenuhi, karena banyak pihak yang berkeinginan dan berkepentingan dengan argumen yang berbeda-beda.

Akan tetap ada kegelisahan sosial, ketika masih ada perbedaan dalam suatu wadah bernegara dan kemungkinan unjuk kegelisahan dengan berdemontrasi menjadi hal yang bukan mustahil jika cara dialog berakhir buntu.

Selama masih ada perasaan harapan akan diiringi pula sebuah kemungkinan kegelisahan.

Kamis, 26 September 2019

TOLERANSI PADA INTOLERAN


Belakangan ini, ‘toleransi’ menjadi sebuah kata yang sensitif dalam pembahasan. Orang tidak boleh berkata, menulis atau mengungkapkan kata, berbuat atau bergerak yang dianggap intoleran oleh orang yang tidak seide, sekeinginan, sekeyakinan dan berseberangan. Berbuat sedikit saja yang dianggap intoleran akan menjadi masalah besar jika ingin dibesar-besarkan oleh pihak yang tidak senang. Perebutan kekuasaan, Pipres, Pileg dan pertarungan politik, menambah bergairahnya penggorengan isyu atau bukan isyu tentang intoleran.


Media sosial menjadi tempat yang subur dan amat sangat cepat berpengaruh untuk membuat suasana yang diinginkan, jika seseorang menuduh seseorang atau kelompok tertentu intoleran. Ketokohannya juga iku berpengaruh untuk menggoreng langit pendapat. Menjadi simpang siur atau kemudan saling bertabrakan, sangat mungkin untuk diskenariokan.


Kita menjadi pada posisi harus maklum dan mengerti apapun yang ada di depan kita, di lingkungan kami bahkan di semua bawah langit. Harus senang dan maklum meskipun kita tidak suka atau bahkan merasa keyakinannnya terlecehkan.


Anehnya, yang menuduh orang lain atau kelompok lain itu intoleran, sepertinya tidak menyadari kalau Ia juga telah berlaku intoleran. Jika Ia orang yang benar-benar punya toleransi, Ia juga harus mau menerima dan mengerti orang lain yang berlaku (menurutnya) intoleran. Jika Ia merasa terganggu, orang lain yang dianggapnya menganggu, bisa saja merasa si penuduh telah berlaku intoleran.


Sebuah keyakinan, apalagi menyangkut agama, akan sangat susah untuk mengikuti semua kemauan orang yang ada di sekitar demi apa yang di sebut toleransi. jika ada seseorang yang merasa apa yang diinginkan atau diangankan harus sesuai keinginannya, dan menganggap intoleransi jika tidak sesuai, ia telah berlaku egois dan intoleransi. Diperparah lagi dengan membesar-besarkannya di media sosial seolah Ia-lah yang paling toleran. Toleransi itu juga harus toleran terhadap orang yang (dianggap) intoleran.


Merasa paling toleran adalah intoleransi. Toleransi itu juga bertoleran terhadap yang intoleran.