Label

Selasa, 25 Desember 2018

KEKUASAAN dan UANG MERUBAH POLA PIKIR.


Kekuasaan pada seseorang atau kelompok, bisa merubah dan sangat berpengaruh pada pola pikir dan merubah perspektif. Sangat jarang orang yang tiba-tiba mendapatkan kekuasaan atau diberi kekuasaan, pola pikirnya tetap ajeg. Apalagi terhadap kelompok atau seseorang yang memberinya, memfasilitasi, ikut mendukung dan menjadi bagian dalam proses memperoleh kekuasaan.
Kekuasaan itu nikmat, menyenangkan dan membius serta mendatangkan uang. Maka untuk mempertahankannya, harus disusun strategi dan segala langkah yang harus ditempuh agar kekuasaan tetap bisa digenggamannya dan selalu membuat pihak yang ingin merebut kekuasaan menjadi lemah. Selalu ada pihak lain yang ingin merebut kekuasaan dan selalu ada muncul energi yang menggelora untuk mempertahankan kekuasaan.
Bagi orang yang tak bisa menjadi leader dalam sebuah koloni kekuasaan, harus ada cara agar ia kebagian posisi dalam lingkaran penguasa. Ditempuhnya; mendekat, mengelu-elukan, memuja, memberi muka, membela, bahkan menjilat pun dilakoninya demi untuk memperoleh kursi kekuasaan. Bila kekuasaan telah didapatnya, menikmatinya sambil terus berjaga-jaga supaya kekuasaan yang didapatnya tak direbut oleh lawan dan juga tak disingkirkan oleh kawan. Mereka berkelompok mempertahankan kekuasaan kelompoknya juga mempertahankan kekuasan individunya. Berkelompok agar menjadi kuat, tapi setiap individu dalam satu kelompok ber-egois satu sama lain. Tak ada teman, yang selalu ada: kepentingan dirinya sendiri. Teman dan yang lainya adalah teman untuk bersama menjadi kuat dan pesaing dalam kelompoknya.
Saat seoarng pencari kekuasaan yang berada di luar lingkaran penguasa, melemahkan sang penguasa adalah upaya yang akan terus dilakukan sampai didapatkan kursi kekuasaan. Jika kemudian dengan tiba-tiba sang oposan atau sang perebut kekuasaan diberi kursi kekuasaan oleh sang penguasa, maka segala pandangan terhadap sang pemberi kursi akan serta merta berubah dan segala kritiknya berubah menjadi puja puji, penuh pembelaan dengan segala argumen untuk menyatakan bahwa sang pemberi kekuasaan itu baik dan tak ada yang lebih baik darinya.
Dalam ruang politik, hal semacam diatas kerap terjadi, menjadi lumrah dan wajar. Mereka penikmat kekuasaan tak akan malu dan merasa risi pandangan dan pola pikirnya berubah dan berbalik arah menjadi pembela setelah mendapatkan kekuasaan, karena tujuannya memang mendapatkan kekuasaan.
Ketika yang melemahkan penguasa dan yang mempertahankan kekuasaan saling serang dan saling bertahan, statemen dari pihak mana yang bisa dipercaya?
Rakyat yang punya hak pilih, hanya alat dan ajang bagi mereka para politisi untuk memperoleh kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Bertanya mana yang bisa dipercaya janji-janji dan statemennya, jawabnya, tak perlu-lah bertanya semacam itu. Mereka hanya menyerang dan bertahan demi kekuasaan kelompoknya dan dalam lingkaran kelompoknya sama-sama berebut dan bertahan agar bisa selama mungkin berkuasa, selama mungkin mendapatkan uang, selama mungkin bertahta.
22:13. 25.12.2018

Senin, 10 Desember 2018

MENJUAL SOEHARTO



djayim.com
Selalu ada pro dan kontra terhadap sebuah kepemimpinan. Selalu ada yang merasa senang dan tidak senang terhadap sebuah ruang dan waktu dari sebuah rezim. Yang merasa senang dan diuntungkan, akan membawa seabrek argumen kalau apa yang disenanginya beralasan, dan juga sebaliknya. Perasaan suka itulah yang bisa dibangkitkan lagi dengan menempatkan pada ruang memori kerinduan dan romantisme masa lalu. Romantisme ini akan timbul dan menjadi lebih berasa jika sudah ditinggalkan dan ternyata keadaan yang diharapkan tidak seperti dalam angan-angan.
Menjelang pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April 2019, nama Soeharto nampaknya laku “dijual” untuk mendulang suara pada saat pemilu. Presiden kedua Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun dalam masa yang disebut orde baru, tumbang di tahun 1998 karena krisis moneter dan ketaksanggupannya mempertahankan kekuasaan dari para lawan politiknya yang sudah sedemikian gatal untuk segera mengganti rezimnya. Lahirlah kemudain apa yang disebut orde reformasi. Kran demokrasi yang selama orde baru mampet, dibuka lebar-lebar dan semua orang berkoar-koar meneriakan segala ide dan kegundahan. Rakyat Indonesia seperti merasa sudah sampai pada pintu gerbang sebuah hamparan taman dengan segala keindahan dan kesejahteraan bagi seluruh penghuninya.
Dua puluh tahun orde baru tumbang dan reformasi yang diawal-awal begitu bangga disebutkan, tak juga membawa Indonesia pada keindahan impian ketika lepas dari orde baru, tak ada lagi sebutan orde reformasi atau reformasi digaung-gaungkan atau diagung-agungkan. Harapan-harapan itu entah kemana, mengambang seperti tak tergapai. Mereka yang dulu berteriak “reformasi” sibuk mengurusi dirinya dan kelompoknya masing-masing. KKN yang di jaman orde baru begitu dimusuhi dan dijadikan alat untuk menyerang rezim masa itu, tetap saja sekarang ada dan tak jauh beda, hanya bentuk dan caranya yang lain. Bisa juga malah lebih parah. Mereka yang dulu ‘disandangi’ gelar aktivis, berlari berebut kursi kekuasaan dan duduk manis dikursi menikmati hidangan lezat di meja di depannya. Berteriak membela rakyat, hanya sebagai anak tangga untuk menggapai cita-citanya. Lepaslah ‘gelar’ aktivis, karena mereka hanya berkedok saat merebut kekuasaan dari pesaingnya agar mendapat simpati dari rakyat yang terbohongi.
Arus informasi yang di masa orde baru mampet karena media masa hanya sebagai corong pemerintah, sekarang tak jauh beda. Media massa hanya berkabar tentang pemerintah karena owner-nya sedang punya hajat untuk memenangkan petahana, tentu dengan tujuan kekuasaan dan hidangan roti yang akan didapat jika menang. ucapan yang baik dan benar hanya ucapan yang menjunjung dan mengagungkan petahana, selain itu itu, ada yang bersiap melaporkan dengan berbagai alasan.
Sebuah kondisi yang berlarut-larut dan tidak membuat nyaman banyak orang, akan melahirkan keinginan suasana baru atau keinginan untuk mebangkitkan romantisme lama untuk dihadirkan lagi disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Berpuluh-puluh tahun PDIP selalu menghadirkan roh Soekarno dengan dibumbui retorika untuk menarik simpati rakyat. Gambar, kata-katanya, pidatonya dan tulisannya dibawa-bawa kemana-mana agar orang yang merasa satu ide dan satu nasib tetap bertahan dalam kelompoknya untuk kepentingan kekuasaan. Bahkan di jaman Soeharto, gambar Soekarno seolah sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa.
Sesuatu yang hilang dan harapan baru yang tidak seperti yang ada di angan-angan, membawa orang pada suasan masa lalu kemudian menghadirkannya dalam emosi romantisme; ‘seandainya dulu....”. Bagi keluarga Soeharto, kerabat, orang dekat, orang yang diuntungkan saat Soeharto berkuasa dan semua yang merasa ternyata sekarang tak lebih baik dari era Soeharto, menghadirkan sosok Soeharto dirasa bisa menjadi magnet untuk meraup suara pada pemilu April 2019 nanti. Jika tak ada aturan yang melarang ‘menghadirkan’ seorang tokoh masa lalu, ini sah-sah saja. Perhitungan untung rugi menjadi pertimbangan, apakah menghadirkan roh dan karisma Soeharto, akan mendapatkan suara melimpah atau malah sebaliknya.
Karisma Soekarno telah terbukti membawa Megawati dengan partai PDIPnya sebagai salah satu partai besar yang sekarang menjadi penguasa. Ini juga menjadi masa pembuktian apakah karisma Soekarno yang diagung-agungkan oleh pendukungnya dan dipertahankan ‘terus hidup’ berhasil mengangkat Indonesia dan menjadikan rakyatnya hidup makmur sejahtera di tanah kepulauan yang gemah ripah loh jinawi. Jika banyak rakyat yang kecewa, akan ada peralihan suara ke kelompok yang lain yang salah satunya menawarkan roh dan karisma Soeharto.
Para politikus yang tidak setuju dan memperlihatkan penolakan, justru memperlihatkan kepanikan, paranoid. Tak perlulah berkoar-koar kalau masa rezim Soeharto buruk. Rakyat tahu dan bisa memilih dengan tanpa ada campur tangan ide dan pendapat dari luar kepalanya, apalagi dari luar kelompoknya. Menunjukkan penolakan yang masif dan terus menerus, akan menjadi blunder. Tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang kejelekan Soeharto dan era Soeharto, karena rakyat kebanyakan juga sudah tahu. Dan dalam menentukan pilihan, pasti sudah punya pertimbangan. Sedikit sekali suara rakyat yang terpengruh oleh pendapat orang lain untuk berganti pilihan, meski banyak politikus yang berpindah partai dan berganti dukung mendukung.
Jika menjual Soekarno bisa menang dan berkuasa, menjual Soeharto, kenapa tidak? Jika era sekarang yang partai penguasa selalu mengusung roh dan karisma Soekarno, rakyat merasa nyaman, damai, sejahtera, adil dan makmur, maka ‘menjual’ Soeharto dengan berbagai cara apa pun, akan sulit mengalahkan.
Kita lihat saja.
10 des 2018







                                                                    

Selasa, 27 November 2018

PUASA DENGAR BERITA


Jika ingin merasa negara kita dalam kondisi baik-baik saja, jangan tonton tivi dan baca berita. Apalagi berita seputar politik. Anggap saja tidak ada apa-apa, anggap saja semua baik-baik saja. Anggap saja tidak ada pihak lain atau seklopok orang lain yang sedang ingin menguasai kita dan memanfaatkan kekuasaannya jika sudah berkuasa. Anggap saja semua akan baik-baik saja sampai berpuluh-puluh tahun ke depan dan kita tetap akan selamat dan aman dari siapaun. Anggap saja idelisme kita dan ideologi kita tetap terjaga, tetap tak akan ada yang mengusik sampai kapanpun.
Sekitar rentang waktu dua bulan, saya tak begitu memperdulikan berita politik dan berita lainnya yang terkait dengan statemen yang menyangkut perebutan kekuasaan dan semua intrik politik, menjadi terasa tak sedang terjadi apa-apa dalam kehidupan bernegara kita. Seperti tidak sedang berlangsung perebutan kekuasan melalui pemilu tahun depan (2019). Poster-poster calon presiden dan calon anggota legislatif kabupaten, propinsi dan pusat, seperti terlihat mengganggu pemandangan dan terasa tak perlu. Sedikit timbul pertanyaan; apakah gambar foto dan sedikit tulisan promosi mempengaruhi orang yang tidak kenal mau memilihnya pada saat pemilu nanti? Biar saja, itu cara mereka untuk mencoba meraih suara.

Jika karena dengan mendengar dan membaca berita politik kita menjadi terasa riweh negara ini, kemudian kita memilih menghindar untuk kemudian cuek saja terhadap apapun yang ada di sekitar kita, apakah eksistensi kita, eksistensi negara, ideologi dan idelisme kita akan tetap terjaga dan aman-aman saja? Eksistensi negara, siapapun yang berjiwa patriotik pasti akan menjaganya dengan segala kemampuannya. Pertanyaanya, apakah ada sebagian orang atau beberapa orang atau sekelompok orang yang tidak peduli dengan eksistensi bangsa ke depan sedang berusaha untuk merebut kekuasaan?

Setiap orang, setiap kelompok orang, setiap ikatan orang yang membentuk kelompok karena punya kepentingan yang secara garis besar sama, akan mencari cara agar terperoleh cita-citanya yang menguntungkan kelompoknya. Berbagai cara akan dilakukan untuk mencapai cita-citanya. Cita-cita akan semakin dekat jika mereka dekat dengan kekuasaan, menjadi penentu pengaruh dalam kekuasaan, atau bahkan menjadi pemegang kekuasan.

Proses perebutan kekuasaan itulah yang menimbulkan berbagai intrik dan strategi. Kemudian media mem-blow-up berita-berita yang dirasa menurut mereka bisa menarik perhatian dengan  harapan viewer-nya berjuta-juta sehingga pendapatan uangnya meningkat. Orang-orang yang terlibat dalam perebutan kekuasaan menjadi obyek berita dan uang telah berhasil memporak-porandakan netralitas media karena juragan mereka terlibat dalam perebutan kekuasaan. Maka jika para pembaca yang ikut terlibat dalam dukung mendukung salah satu kubu dan atau terlibat dalam kecenderungan program dan harapan-harapan, akan terpancing emosi ketika ada sebuah berita yang disajikan untuk kepentingan kubu yang tidak didukungnya menurutnya dipelintir. Perasaan emosi itu akan selalu ada jika tidak diredam dengan kemengertian dan maklum. Salah satu cara untuk meredam emosi politik adalah dengan puasa tidak mendengar atau menonton berita tetang politik, dengan resiko menjadi tidak mengerti tentang posisi, kondisi dan situasi negara dalam lingkup regional maupun internasional. Tapi cara itu akan membuat apatis dan apriori yang akan membuat buta tentang keadaan negara sesungguhnya.

Dengan berpikir bijak, memahami, mengerti dan tidak emosinal dalam menghadapi sebuah perbedaan pendapat bisa membawa kita pada posisi yang tidak grasa grusu gampang menyalahkan kubu yang tidak sepaham. Banyak sekali pola pikir dan pendapat yang berbeda yang harus didengar dan diterima meski tak sependapatt. Berhenti mendengar berita membawa pada tempat sunyi pada ruang keriuhan. Kita bisa memilihnya dengan resiko yan berbeda dan tak bisa dihindari.
22:09. 27/11/2010.

Rabu, 10 Oktober 2018

KOH


‘Koh’ kwe basa Banyumasan. Cara ning Basa Indonesia kwe kata sambung, utawa kata konjungsi, gunane nggo nyambung kalimat sing ning ngarep mburi kon nyambung karo kalimat sing ning mburine. Ning Basa Indonesia, kata konjungsi kwe kaya : Atau,  Tetapi, Namun, Sedangkan, Sehingga, Agar, Jika, Ketika, Seandainya, Karena, Bahwa.

Nah, kata ‘koh’ ning Basa Indonesia ora ana sing pada. Ora ana sing pas lan mathuk tekan ati. Tek njajal-njajal mbok ana sing pas, ya ora cocok karo ‘koh’. Ukara lanjutane ‘koh’ ning basa Banyumas, kwe wis ana ning pikiran senajan ora de omongna. Pikirane wong sing ngrungu angger ana wong ngomong ana ‘koh’, kwe de lanjutna maring kelakunan subyek (subyek basa banyumase apa yah?) sing ora pas karo sing kudune, sing de karepna, sing kayane pas. 
Angger wis nganti ana ‘koh’ brarti?  
Contone:
Jere kyai koh, ..........
Ustadz koh, .........
Kaji koh, .......
Guru koh, .............
Hansip koh, .......
RT koh, ......
Lurah, .......
Camat koh, .....
Presiden, koh.....
Jere ‘kae’, koh.....

Mbok.???

Tapi ana ‘koh’ sing mandeg ora de lanjutna. Kur nggo kata penegas. Contone; “njijihi koh....”

Angger ana omongan, “Koh, deneng kaya kue,.....” kwe brarti ana sing ora pas karo sing dekarepna karo sing ngomong.

Terus, “jebule,............”


Jumat, 05 Oktober 2018

RATNA SARUMPAET


djayim.com
Ketika seorang Ratna Sarumpaet, saya baca di sebuah berita, masuk dalam tim kampanye capres cawapres Prabowo – Sandi, saya kecewa. Sebuah kekecewaan yang biasa dan sama sekali tak berpengaruh pada konstalasi perpolitikan di Indonesia. Kekecewaan seorang saya tak ada yang mendengar dan tak akan ada yang merasa perlu untuk memperdulikan. Inipun sekedar pengin ditulis dan berungkap rasa. Kekecewaan ini pun bukan karena saya berharap Ratna Sarumpaet menjadi bagian dari tim Jokowi – Ma’ruf. Kecewa saya hanya keinginan untuk melihat selalu ada sosok yang berani tetap diluar kelompok politik yang tetap konsisten kritis pada situasi dan rezim apapun. Dan Ratna Sarumpaet, saya lihat selama ini konsisten berada di luar penguasa, siapapun penguasa, dan selalu memberi kritikan dan pandangan sebagai seorang aktivis.

Meskipun ketika Ia baru masuk dalam daftar tim kampanye Prabowo – Sandi yang bukan penguasa, dengan bergabung dengan salah satu kubu politik yang sedang bertarung memperebutkan kursi kekuasaan, netralitas sebagai aktivis akan hilang dan kecenderungan untuk membela kubunya semakin besar yang menggerus obyektivias dalam berprespektif. Di akhir tahun 90an, ketika Orde Baru dengan pemimpinnya seorang Soeharto yang bangunan kekuasaannya begitu kokoh dan kemudian muncul para aktivis-aktivis muda yang dengan berani melakukan perlawanan, saya begitu kagum ada orang yang berani menentang hegemoni kekuasaan Orde Baru, memberikan kritikan, melakukan pergerakan dan perlawanan. Dengan didukung oleh sebagian besar rakyat dan kondisi perekonomian yang buruk, Soeharto dan jaringan kekuasaannya tumbang.

Banyak yang berharap Indonesia akan menjadi lebih baik dengan berlandaskan demokrasi yang diagung-agungkan dan lahirlah sebuah orde yang disebut sebagai orde reformasi menggantikan orde baru yang sepertinya telah membosankan bagi sebagian kalangan yang tak ikut menikmati kue kekuasaan. Sistem kekuasaan yang dipakai orde baru dirubah dan diedit sana-sini. Dan para aktivis muda dari kalangan mahasiswa, tampak mulai merapat pada kubu-kubu partai politik dan ikut aktif berebut kursi kekuasaan. Dan bagi saya, saat mereka mulai masuk politik, label aktivisnya mulai hilang dan laun berubah muncul sebutan menjadi seorang pemberontak yang berebut kursi kekuasaan. Saat di awal, sepertinya mereka membela rakyat, tapinya nyatanya mereka sedang manaiki satu persatu tangga kekuasaan. Mereka sedang ingin mengganti kekuasaan yang dikuasai orang lain agar bisa dikuasai olehnya.

Dan Ratna Sarumpaet adalah salah satu aktivis yang konsisten di luar kekuasaan, seperti tak tertarik untuk ikut berebut kursi empuk kekuasaan, sampai kemudian bergabung dengan tim pemenangan capres cawapres Prabowo – Sandi. Begitu Ia bergabung, cap aktivisnya mulai luntur.

Dan, yang lebih menyedihkan lagi, Ratna Sarumpaet membuat hoax tentang pengakuannya dipukuli orang tak dikenal di sekitar bandara Husein Sastranegara Bandung pada tanggal 21 September 2018. Walau kemudian Ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf, kelakuannya ini menjadi hal terasa lebih menjijikan karena Ia bergabung menjadi tim kampanye, sebuah tim untuk berebut kekuasaan. Beredar kabar juga, Ia menggunakan rekening yang pernah digunakan untuk menampung bantuan bencana tenggelamnya kapal di danau Toba sebagai biaya operasi plastiknya, saat bersamaan ketika Ia mengaku jadi korban pemukulan. Jika pun uang yang tersimpan dalam rekening untuk biaya operasi plastiknya uang pribadi, kecurigaan publik langsung pada tuduhan yang tidak baik; ‘ia menggunakan dana bantuan untuk keperluan pribadi yang tidak perlu’.

Ranah politik telah membawa pada suasana saling menyerang dan saling mencari peluang untuk menjungkalkan lawan dan berebut simpati rakyat. ‘Kawasan politik telah meleburkan seorang yang disebut aktivis menjadi pencari kursi kekuasaan’. Dengan sendirinya, label aktivis yang tertera pada seorang aktivis, akan hilang ketika ia memilih untuk mencari jalan agar bisa duduk di kursi kekuasaan. Apalagi ketika sudah duduk dikursi legislatif atau kursi eksekutif dari sebuah partai, ia membela semua keputusan rekan partainya dengan berbagai alasan dengan tujuan kursinya dan kursi rekan-rekannya tetap lama bisa dinikmati.

Aktivis sejati tak pernah mau masuk pada lingkaran kekuasaan dan akan tetap mengkritisi setiap rezim yang dianggapnya tidak berpihak pada rakyat yang baik dan perlu dibela.

Aktivis yang kemudian dalam perjalanannya bergabung pada kubu politik adalah politikus yang dari awal menyamar untuk ikut berebut kursi kekuasaan. Aktivis sejati, jika pun Ia dipilih jadi pejabat oleh pemenang perebutan kekuasaan, Ia takkan pernah takut kursi kekuasaan hilang jika harus berkeputusan membela rakyat, membela bangsa dan negara.

Adakah akitivis sejati itu?
5 Oktober 2018

Sabtu, 29 September 2018

SMS dan PANGGILAN PENIPUAN.



Akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018, warga Indonesia yang menggunakan nomor telepon seluler diwajibkan oleh pemerintah untuk mendaftarkan nomornya sesuai dengan alamat yang ada di kartu keluarga ( KK ) atau KTP. Himbaun untuk segera mendaftar dan ancaman akan dilakukan pemblokiran jika tidak mendaftarkan nomornya pada batas waktu yang telah ditentukan, terus menerus dilakukan. Peregisteran nomor telepon seluler itu, katanya, agar jika ada nomor yang digunakan ilegal dan melawan hukum, bisa diketahui identitas penggunanya. Jumlah nomor pada satu operator seluler yang dapat diregister dengan identitas yang sama pun dibatasi.
Pemanfaatan telelpon seluler dalam komunikasi yang merongrong dan membahayakn negara, akan diketahui pelakunya, jika nomor telepon diregister sesuai identitas yang benar. Ini salah satu upaya pemerintah untuk membatasi ruang gerak para pemberontak dan para teroris yang selalu saja muncul dan memberi ketakutan pada warga negara Indonesia dan juga meneror pemerintah yang sedang berkuasa. Juga untuk bisa melacak siapa-siapa yang melakukan kegiatan ilegal dan melawan hukum seperti kegiatan perdaangan narkoba, human tarficking, korupsi, penipuan, dll.
Ada banyak orang yang meragukan niat pemerintah dan membantahnya, karena data itu katanya disimpan oleh pihak asing yang tidak berada di dalam negeri dan data tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain yang bisa membahayakan warga negara, bisa membahayakan kelompok tertentu atau bahkan bisa membahayakan negara, karena lalu lintas komunikasi bisa disadap yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang ingin memanfaatkan Indonesia.
Dari awal beli kartu seluler, saya sudah merigister nomor saya sesuai dengan identitas yang legal, karena saya tak berniat untuk digunakan pada hal-hal yang tidak baik. Dan saya setuju dengan mewajibkan register nomor telepon seluler. Ini karena saya sangat terganggu dengan sms atau panggilan telepon yang sering sekali muncul untuk mencoba menipu. Panggilan telepon yang mengabarkan saudara atau anak kita kecelakaan dengan memancing kita untuk kalut dan menstranfer uang pada rekeningnya, sering muncul dan sangat mengganggu. Meski saya tak terperangkap, faktanya ada saja yang terkena tipu dan menstrafer uang sampai puluhan juta. Maka kenyamanan mempunyai HP menjadi hal penting, tidak terusik bahkan terteror. Saya merasa dengan semua nomor kartu seluler telepon teregister, tak akan lagi ada sms penipuan dan panggilan pasang perangkap.
Sempat juga terpikir sepakat pada orang-orang yang tidak setuju peregisteran menyeluruh nomor telepon seluler yang menurut mereka ada maksud-maksud dari sekelompok orang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan data pemilik telepon seluler untuk keperluan yang bisa saja merugikan kita sebagai warga negara secara individu atau bisa juga merugikan negara dari kegiatan lanjutannya. Ada juga yang merasa tercampuri privasinya dengan peregisteran itu. Bahkan ada pula yang berpendapat ada kepentingan politik untuk memetakan populasi warga dalam perebutan kekuasaan. Ada banyak argumen pada setiap pendapat dan akan menjadi pendapat yang hampa jika tidak ada argmuen yang kuat untuk mendukungnya.
Jika memang meregister nomor telepon seluler bertujuan untuk meminimalisir kegiatan jahat dan ilegal melaui jaringan telepon, saya setuju dan mengharapkan tak ada lagi sms dan panggilan telepon penipuan.
Dan, ternyata sampai sekarang, 29 September 2018, tujuh bulan setelah batas akhir registarsi, tanggal 28 Februari 2018, sms dan panggilan penipuan masih saja muncul. Beberapa kali sms penipuan terkirim di HP saya dan cerita tentang panggilan telepon bertujuan menipu, masih seperti sebelum peregisteran nomor. Meski sudah banyak orang yang sadar tentang itu dan tak menanggapi saat ada sms atau panggilan penipuan, tetap saja para penipu itu melakukan upaya terus menerus. Adanya upaya terus menerus ini membuktikan masih ada orang-orang yang terperangkap dan kegiatan para penipu masih menghasilkan uang. Tidak mugkin sebuah kegiatan yang memerlukan biaya akan terus dilakukan jika tidak menghasilkan uang.
Dan, jika kegiatan para penipu masih terus meneror, apa fungsi dari peregisteran nomor? Apa mungkin benar pendapat orang-orang yang tidak setuju pergisteran nomor HP? Apakah para petugas yang bertanggungjawab terhadap cyber crime tak tahu kegiatan itu? Apakah para penipu itu punya cara agar kegiatannya tak terlacak? Atau hanya akan bergerak jika ada laporan dari korban? Padahal banyak korban yang enggan melaporkan karena merasa akan banyak urusan dan ribet.
Banyak pertanyaan ketika sebuah kegiatan ternyata tak sesuai dengan harapan di awal.
Sabtu, 29 Sept 2018


Sabtu, 22 September 2018

BENCANA


Cerpen.
BENCANA
Oleh: soleh djayim

Ini bencana besar kedua yang aku alami. Jam dinding di tembok kamar rumah kontrakanku yang sedang menunjuk pukul enam kurang empat menit tiba-tiba bergoyang kemudian terpental jatuh. 27 Mei 2006 Bumi bergoyang. Gempa! Suara gemuruh megiringi terdengar begitu panjang dan berat. Aku seret istriku keluar rumah. Kami berlari terhuyung dan hampir terjerembab. Dua detik setelah kami keluar lebih dari separoh genteng jatuh, dinding batu bata yang belum disemen runtuh dan posisi rumah miring ke kanan. Meski barang-barang di dalam rumah terancam terkubur reruntuhan gedung, kami tak berani masuk untuk menyelamatkannya. Gempa bisa saja datang lagi atau tiba-tiba rumah runtuh terjerembab ke tanah.
Bencana besar pertama yang kualami ketika gempa Nias. Dalam perjalanan misi dakwah, ketika kami belum sampai ke tujuan semula ke pulau Sinabang karena kapal penyeberangan yang akan kami tumpangi kehabisan bahan bakar. Sebuah perjalanan terpanjang yang baru aku alami. Dari Jogja ke pelabuhan Merak manghabiskan waktu semalam. Dilanjutkan perjalanan laut selama dua hari tiga malam. Kami tiba  di Pelabuhan Belawan jam dua siang. Perjalanan dilanjutkan ke Singkil. Menjelang subuh kami sudah sampai. Di sebuah Masjid berjarak limaratus meter dari laut, kami bermalam. Jam sebelas malam di malam kedua, ketika kami sedang tidur lelap, terjadi guncangan hebat. Gempa. Dan segala trauma Tsunami Aceh datang begitu cepat membangkitkan segala potensi rasa takut. Gempa itulah yang membuat kami batal ke pulau Sinabang dan tiket yang telah kami beli pun tak terpakai.
Kami segera berlari keluar masjid dan berusaha naik ke atas genteng. Tak begitu menemui kesulitan karena di teras belakang ada tangga. Jika gempa merobohkan Masjid tentu kami akan berada di antara reruntuhannya. Tapi, Alloh berkehendak lain. Masjid tetap berdiri tegak. Di depan Masjid, sebuah rumah cukup bagus ambruk terjerembab rata dengan tanah. Lampu padam. Suara rumah-rumah roboh terdengar di sekelilingi kami. Tak lama berselang, Tsunami kecil datang. Meski tak menimbulkan kerusakan yang berarti, datangnya air setinggi kurang dari dua meter dari laut itu telah membuat begitu panik orang-orang yang takut mati.
Pagi hari kami mendapat cerita dari santri Masjid yang kami tempati, kalau rumah-rumah yang roboh sebagian besar adalah milik orang-orang yang jauh dari Alloh, termasuk rumah di depan Masjid yang sering terdengar suara musik keras kedebukan tak peduli siang malam atau waktu Sholat. Seorang anaknya yang masih remaja tewas tertimpa reruntuhan tembok, dan yang lain luka-luka dan bisa dibawa ke rumah sakit untuk di obati. Kami juga mendapat berita kalau di Pulau Nias keadaannya lebih parah.
Sungguh, Alloh hanya memberi peringatan agar kita tidak lalai dan melupakanNya. Jika Dia berkehendak, tentu kami tak lagi mendapat kesempatan untuk bertaubat dan selalu memperbaiki hidup. Aku merasa semakin yakin dengan Kekuasaan Alloh dan kesombongan manusia adalah nafsu yang menjijikan dan sangat tak tahu diri sebagai makhluk Alloh.
Rombongan kami tak melanjutkan perjalanan ke Pulau Sinabang seperti tujuan semula. Kami memutuskan untuk membantu segala kepayahan orang-orang di sekitar Masjid tempat kami menginap. Semoga bencana dapat menyadarkan mereka yang selama ini jauh dari Alloh. Keadaan bangunan tempat tinggal yang porak poranda membuat kami berpikir, orang-orang yang terkena kesusahan akan mudah terbuka hatinya untuk mengakui kekuasaan Alloh dan mendekatNya.
Sebulan kami bertujuh berdakwah islahiyah semampu kami. Aku sendiri masih sangat dangkal pengetahuan tentang Islam. Aku sangat ingin memperbaiki diri dengan menerapkan ajaran Islam dalam setiap nafasku, sepanjang hidup. Itulah makanya aku berusaha terus untuk dekat dengan orang-orang yang shaleh. Kami sangat bersyukur dengan perlakuan saudara seiman yang menerima kami dengan baik tanpa prasangka dan curiga. Seminggu sebelum kami pulang, seseorang dari rombongan lain yang baru seminggu datang memberi kami biaya untuk pulang dengan naik pesawat. Rupanya Ia diberi kemudahan dalam mencari rejeki.  Dan itulah pertama kali aku naik pesawat terbang.
***
Hampir semua rumah yang berdinding tembok roboh atau retak-retak. Yang tidak roboh pun penghuninya tak berani masuk karena keadaannya mengkhawatirkan. Rumah-rumah kayu berdinding bilik bambu kebanyakan hanya gentengnya yang menggelosor berjatuhan atau sedikit rusak tapi tidak separah rumah tembok. Mereka yang baru sadar ada anggota keluarganya masih terjebak di reruntuhan rumah, menangis histeris.
Aku menoleh ke utara. Gunung merapi masih seperti biasa, tenang, membisu dan mengepulkan asap. Sepertinya tidak telah terjadi letusan yang dashyat yang menimbulkan gempa. Aku merasa begitu kecil, bahkan dari sebutir debu yang paling lembut pun, dengan kekuasaan Alloh yang aku lihat sekarang. Dengan sepenuh hati aku mengucap Allohuakbar. Sebuah rumah megah yang biasanya menghalangi pandangan mataku melihat Merapi tak tampak lagi dan telah terjerembab menimbun seluruh perabot dan harta berharga di dalamnya. Taman di halaman depan yang luas tak sedap lagi dipandang. Empat orang penghuninya mondar mandir dihalaman sambil terus berteriak memanggil dua nama yang tidak berada bersamanya.
Ditengah kesusahan kekacauan pikiran tentang sanak saudara yang belum kelihatan dan segala barang yang belum terselamatkan, dari arah selatan terdengar suara teriakan; Tsunami datang! Tsunami! Tsunami...... Kami berada tujuh belas kilometer dari pantai, tentu Tsunami akan melibas kami jika tetap di sini. Dengan segera aku beranikan diri masuk rumah dan mengeluarkan motor. Meski lemari sudah roboh, kontak motor yang kutaruh di atasnya dapat aku temukan tak begitu lama. Meski aku telah pasrah sepenuhnya terhadap kehendak Alloh, berusaha menyelamatkan diri adalah kewajiban yang harus aku jalani.
Bersama istriku aku putuskan menuju sebuah pondok pesantren tempat kami sering mengaji, berjarak kira-kira dua puluh kilometer dan berada di sebuah bukit yang cukup tinggi. Di tengah jalan, dari arah utara terdengar lagi isu Gunung Merapi meletus. Berbondong-bondong orang berlarian dari utara. Di jalan-jalan terjadi kekacauan dan kesemrawutan kendaraan bermotor yang begitu besar. Kepanikan tampak di setiap muka. Entah isu apa yang harus dipercayai. Aku teringat tentang kiamat. Orang-orang kebingungan, panik dan tak lagi teringat keselamatan sanak saudaranya.  Keselamatan diri sendiri menjadi hal penting. Aku menyebut Allohuakbar dengan seluruh iman.
Seorang ibu yang tak kukenal menghentikan laju motorku dan menitipkan anaknya pada kami. Kami yang sudah setahun menikah dan belum ada tanda-tanda dikaruniai anak, segera menyambutnya. Istriku mendekapnya dan berusaha menghentikan tangisnya. Dengan penuh hati-hati dan selalu berdzikir, aku kendarai motor berseliweran dengan kendaraan lain dari dan ke berbagai arah. Tak ada kerusakan jalan berat yang menghambat perjalanan kami.
Sampai di pondok gempa masih terasa. Kerusakan di sini tak begitu parah. Ada beberapa retakan di dinding dan genteng yang jatuh. Di sini aku semakin merasa dekat dengan Alloh. Aku lihat wajah-wajah bersinar dan tenang menghadapi bencana. Berbeda sekali dengan wajah-wajah panik yang kutemui di jalan. Setelah berwudlu, aku membaca Al-Qur’an di masjid sambil menunggu waktu dzuhur tiba. Istriku ku sarankan untuk merawat anak titipan yang mengaku bernama Ifah.
Aku bermalam di pondok itu. Pengurus pondok yang telah kukenal dengan baik mempersilahkan kami sebuah kamar untuk ditempati. Esoknya setelah menyempatkan sholat Dhuha, aku, istriku dan Ifah kembali ke rumah kontrakan di Bantul. Mungkin masih ada barang atau surat-surat penting yang masih bisa diselamatkan. Gempa kecil kadang masih terasa, atau kadang kami merasa perasaan kami saja karena trauma. Di sepanjang perjalanan itulah aku melihat begitu banyak bangunan yang roboh atau rusak berat. Bangunan-bangunan yang telah menelan biaya milyaran rupiah hancur dan tak terpakai hanya dalam beberapa menit. Seperti aku dan istriku, sekarang begitu banyak orang yang menjadi tak punya rumah. Aku menjadi semakin tersadar kalau harta duniawi hanya titipan Illahi.
Di jalan tempat kemarin dicegat untuk dititipi Ifah, kami dihadang oleh seorang ibu yang langsung menubruk Ifah di pangkuan istriku. Rupanya Ia sejak pagi  atau mungkin sejak kemarin telah menunggui kami lewat. Jika kami menginap sampai beberapa malam mungkin si Ibu ini setiap saat akan terus menunggu.
“Akhir kamu kembali nak. Ibu sangat mengkhawatirkan kamu nak,” kata si Ibu sambil terus mengusap air matanya yang mengalir deras dan mendekap erat anaknya, “terimakasih Mas, Mba. Mari mampir dulu ke rumah saya dulu, eh, kami sudah tak punya rumah, itu bekas rumah saya, yang pagar besinya warna pink. O ya, Mas dan Mba namanya siapa? Nanti kalau ada sempat mampir ke sini. Terimakasih Mas, Mba. Terimakasiiiiiiiiih sekali.”
Kami melanjutkan perjalanan. Semua memang akan pulang.
Aku baru sempat menulis ini sekarang.***
                                                                                                Juni 2006

CERPEN YANG LAIN
ular ular mematuk mata
Ibu menunggu di stasiun
Bulu bulu yang lepas diajak terbang
Masjid di pinggir kota


Rabu, 19 September 2018

ULAR-ULAR MEMATUK MATA


Cerpen.
Oleh: soleh djayim


Tak ada sedikit pun tempat yang aman baginya untuk menyembunyikan badannya dari segala ancaman yang selalu mengintai. Makanya Ia tak lagi merasa perlu berusaha untuk sembunyi. Menghadapi segala ancaman adalah satu-satunya keputusan. Ia selalu mecipta cita rasa seni di setiap bahaya yang siap menelannya.
Satu pertanyaan yang selalu menggantung di benaknya; aku harus bagaimana? Sedangkan jawaban begitu banyak tersedia yang selalu diikuti resiko. Ia tak pernah mengerti kenapa perjalanan hidupnya datang di tempat yang selalu ada ancaman. Ia merasa tak punya hak untuk menguasai ‘hidup’, tetapi Ia merasa tak menjalankan kewajiban jika pasrah dan menyerah kalah dari setiap ancaman yang bisa membuatnya mati. Bertahan hidup dan menjalaninya adalah ibadah dan ujud rasa tanggungjawab.
“Kau akan kalah, menderita dan tak akan merasakan nikmatnya perjuangan hidup. Kau akan meratapinya dan menyesal. Aku akan menyaksikan itu. Kau akan menyesal tidak seperti aku!”
“Tidak! Aku tak akan pernah hidup yang hanya sekali menjadi orang selemah kamu. Silau!”
“Ingat dan dengar Galaid, kau akan meratapi setiap langkah yang kau tinggalkan tanpa berbuat seperti aku.”
“Hidup dalam pengabdian busuk semacam kamu adalah telah menjadi bangkai busuk sebelum mati!”
* * *
Hanya ingin sekedar tahu awalnya, tak lebih dari itu, apalagi untuk mengambil keuntungan besar. Ia selalu punya rasa ingin mengetahui sesuatu yang disembunyikan. Semakin rapat sesuatu itu disembunyikan Ia akan makin tinggi rasa ingi tahunya. Jadilah Ia pengoleksi berita-berita besar. Semua berita; skandal perselingkuhan pejabat, korupsi, pemalsuan data, mark up proyek, perseteruan tak sehat para konglomerat, persetujuan gelap para kontraktor dan pejabat.
Semua berita itu Ia dapat dari koran dan majalah atau tabloit yang Ia jajakan setiap pagi dan sore dan juga berbagai sumber yang tak banyak orang tahu. Meski kadang hanya sekilas Ia akan mengulanginya dan lebih mencermati jika ada sedikit waktu luang. Lebih sering Ia hanya sebatas sekilas baca.
Naluri memahami berita besar yang disembunyikan para pelakunya semakin terasah tanpa disadari. Bahkan Galaid hanya cukup memandang sorot mata dari sang pelaku atau orang yang bersangkut paut. Ia sanggup membaca apa yang akan dan telah dilakukan orang-orang kotor berbaju rapi dan berpenampilan klimis. Orang-orang yang sering Ia lihat di lampu merah tempat Ia menjajakan koran.
Jika saja Ia seorang pengamat ekonomi atau politik, pasti Ia laris manis diwawancarai di semua industri berita. Ia pasti kerepotan melayani permintaan tulisan dari ribuan penerbit surat kabar. Sayang, Galaid tak pandai merangkai kata untuk dijadikan tulisan atau merangkai ucapan mengungkapkan semua yang diketahuinya. Ia hanya sekedar bisa bicara seperti bicaranya orang-orang di terminal menunggu bis datang atau di pos ronda mengisi waktu membuang kantuk mengomentari peristiwa politik dan ekonomi. Melompat-lompat, hinggap sana sini mengikuti arus kata yang meluncur tanpa pagar.
Keunggulan Galaid pada pengungkapan yang sering mengejutkan pendengarnya. Pengungkapan yang tidak hanya sekedar menuturkan dari mulut ke mulut atau mengadopsi pendapat orang lain. Tak jarang komentar Galaid terabaikan karena dianggap sok tahu dan apriori. Apalagi tak ada tampang yang meyakinkan untuk meyakinkan kata-katanya. Seorang penjual koran paling hanya menuturkan apa yang dibacanya di koran sebelum dijajakan. Dan Galaid merasa tak perlu orang lain yakin kalau itu pendapat dan praduga yang orisinil dari dirinya.
* * *
Hidup Galaid terancam. Meski Ia yakin kematian tak bisa ditolak kedatangannya di manapun, Ia merasa bertanggung jawab terhadap perekonomian keluarganya untuk membantu kedua orang tuanya yang kuli pabrik yang kerepotan membiayai sekolah ketiga adiknya. Ia selalu melawan jika ada orang yang mengancam keselamatannya. Ia pernah pasrah dan menuruti segala apa yang diinginkan dari orang yang menyeretnya ke dalam mobil dan membawanya ke tempat yang asing baginya.
“Berapapun uang yang kau minta akan kami berikan asalkan kamu bisa menutup mulutmu,” tawar salah seorang berkaca mata hitam dari tiga orang kekar yang menculiknya.
“Maaf, saya memang orang susah. Tapi kami pantang memakai uang yang tak jelas asal-usulnya.”
“Asalnya dari kami!”
“Maaf, tak diberi uang pun saya akan diam seperti yang kalian kehendaki. Kalau saya terus diam bagaimana saya menjajakan koran Oom?”
“Goblok!! Bukan diam asal diam! Kau tutup mulut, diam tak berbicara segala sesuatu yang berhubungan politik, jabatan, ekonomi, semuanya!”
“Saya tak tahu apa-apa tentang semua itu Oom. Yang saya tahu, bagaimana saya harus menjual koran sampai habis.”
“Oke, sekarang semua koran kamu saya beli semuanya. Semuanya setiap hari. Asal kamu tutup mulut.”
“Memang saya sering berkata apa Oom? Yang Oom tak suka! Dan untuk apa Oom memborong semua koran saya? Apa itu cara Oom menutup mulut saya? Maaf Oom kalau untuk itu.”
“Atau kau memilih mati!?”
“Bunuhlah saya Oom. Maka apa yang Oom takutkan akan tersebar luas, cepat secepat sinar matahari pagi. Banyak, bahkan lebih banyak dari yang Oom duga."  
Kata-kata itulah yang selalu menyelamatkan jiwanya. Beratus kali dan selalu berganti orang, Ia diseret ke dalam mobil dibawa ke tempat asing di paksa untuk tutup mulut. Galaid sendiri tak mengerti apa yang harus ia tak bicara. Ia merasa hanya berkata-kata menjajakan koran dan tak ada yang lain jika di jalan atau terminal. “Apa aku sering berkata-kata yang aku tak menyadarinya?” pikir Galaid. Maka Galaid berkeputusan menutup mulutnya dengan lakban saat berjualan koran.
Cara itu tak juga membuatnya selamat dari orang-orang yang menyeretnya ke dalam mobil membawanya pergi dan membuang waktu kesempatan berjualan koran.
“Aku tak suka tangan kamu nunjuk-nunjuk muka ke Bos-ku jika beliau lewat.”
Galaid diam. Ia merasa tak pernah nunjuk muka sekali pun pada seseorang. Dan menjawabnya adalah mustahil akan dipercaya. “Apa saya harus menjajakan koran dengan tangan terikat Oom?”
Galaid pun menjual koran dengan mengikat kedua tangannya. Korannya Ia letakan diatas meja di pinggir terminal. Dengan cara itu pun tak membuat korannya tak terjual. Semua langganannya telah hafal dan tahu apa yang sedang dihadapi Galaid. Ia berharap tak ada lagi orang yang menyeretnya ke dalam mobil dan membawanya pergi jauh.
Dengan begitu pun Galaid masih terus diseret paksa.
“Saya tak suka mata kamu memandang. Membikin ganjalan di hati Bos-Bos kami. Dan kau tahu, semua mata yang memandang matamu, semua bisa membaca semua yang kau baca lewat sorot matamu. Layaknya membaca berita di lembaran-lembaran koran. Kau telanjangi Bos-Bos kami dengan sorot matamu!”
“Saya tak pernah punya niat untuk memberi tahu mereka. Saya juga tak pernah mengajari mereka untuk bisa membaca sorot mata saya. Saya malah baru tahu sekarang. Sungguh!”
“Alaaah… Banyak alasan kamu! Ikut aku. Cepat.”
Sebelum Galaid sempat berontak ketiga orang berbadan tegap itu menyeret tubuh Galaid yang mungil dibungkus kaos oblong bertuliskan kata-kata plesetan ala Jogja. 
Galaid dimasukan ke sebuah bis dengan fasilitas lengkap dan mewah. Belum pernah Galaid melihat Bis semewah ini. Semua serba ada, serba mengkilap, luas, serba otomatis dan penuh dengan pelayan yang selalu bertindak hormat. Sebuah istana mini yang berjalan di antara jejalan mobil dan motor yang berebut lewat.
Di dinding bis berderet orang-orang berdasi duduk di kursi putar yang empuk menghadapi meja penuh dengan sajian makanan dan aneka buah-buah segar.
Galaid diam tegap meredam getar yang begitu mengguncang hati. Seorang berdasi berpakaian jas rapi menjulurkan lidahnya mencipratkan ludah warna merah darah. Galaid mengusap mata tak percaya. Sekejap mata dibuka, semua orang di depannya menjulurkan lidahnya yang  terbelah dua, memperlihatkan taring dengan lubang bisa di ujungnya. Semua bersorot mata tajam, setajam ujung jarum. Galaid tak mampu menatapnya. Ia menutup matanya dengan dua telapak tangannya rapat-rapat. Badannya menggigil menahan ngeri.
Ketika telapak tangannya dibuka untuk meyakinkan penglihatannya, Galaid lebih kaget lagi; tak ada lagi orang-orang dengan mata tajam menjulurkan lidah-lidah yang terbelah dengan ujung-ujungnya yang lancip seperti lidah ular.
 Di dalam bis, di depan Galaid telah penuh dengan ular yang siap terbang menerjang Galaid. Galaid terbelalak. Tak mau kehilangan kesempatan keburu mata Galaid mengerejap, seratus ular terbang mematuk bola mata Galaid. Galaid terdorong ke belakang bersama kursi yang Ia duduki. Darah mengucur dari matanya. Tapi Galaid tak sampai mati. Ular-ular itu segera menolongnya dan merawat lukanya. Karena Galaid tak boleh mati, karena jika Ia mati, seluruh alam akan mengabarkan siapa yang membunuhnya. Dan seluruh tempat yang pernah disinggahi Galaid akan muncul tulisan semua yang Galaid tahu. ****         
                                                                                    Juni 2004.  





           



Jumat, 07 September 2018

JANGAN GAMPANG PERCAYA BERITA POLITIK DI MEDSOS

Koneksi internet yang semakin bagus dan penggunaan alat tekhnologi yang semakin luas serta pemakainnya yang semakin gampang, membuat begitu banyak orang tersambung dengan dunia maya. Dunia yang setiap detik bertambah jangkauannya dan bertambah kualitas koneksinya. Smartphone yang semakin murah dan biaya koneksi data yang semakin terjangkau membuat begitu banyak orang, dengan tak terbatasi oleh usia, tersambung satu sama lain dalam dunia penuh berjubel segala informasi dari berbagai sumber dengan berbagai tujuan dan latar belakang kepentingan.
Dengan segala fasilitas yang ada, maka seolah dunia ada dalam genggaman. Kita bisa mengakses semua informasi, bisa berdiskusi, sharing pendapat tanpa harus bertatap muka. Kemudahan itu mendorong orang untuk memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya.
Dunia politik memanfaatkan sebuah wahana yang tersedia dengan begitu luas dan terus berkembang. Begitu banyak propaganda yang setiap hari diunggah untuk mempengaruhi pembaca agar meyakini apa yang diunggahnya adalah sesuatu yang benar, wajar, obyektif, baik dan harus diikuti. Perebutan kekuasaan, pemanfaatan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan yang  dilakukan dengan memanfaat tekhnologi informasi, terus menerus dilakukan dengan mengunggah secara rutin informasi yang menunjukkan kebaikan kelompoknya dan megesampingkan kelompok lawan dengan membawa image bahwa lawan politiknya tidak baik, curang, melanggar aturan dan segala ketidakbaikan lainnya.
Seperti tak ada kata sepaham antar kubu yang berbeda. Setiap yang dianggap baik oleh kubu yang satu, kubu yang lain akan mengoreknya dan berusaha menelanjangi agar sisi jelek kubu lawan terungkap. Bahkan menyampaikan informasi yang sengaja tak sesuai dengan kejadian sesungguhnya pun, dilakukan. Tujuannya agar si pembaca mempercayai apa yang disampaikannya dan bersimpati pada dirinya. Saling serang selalu ada pada ruang yang berbeda. Dan, media sosial menjadi salah satu tempat untuk berdebat, tempat untuk mengunggah informasi, tempat untuk saling mencurahkan informasi yang menguntungkan pihaknya, menguntungkan kubunya, dan selalu ditambahi embel-embel yang tujuannya menyerang lawannya.
Mengunggulkan kubunya sendiri yang tergabung dalam satu koalisi, menjadi tema utama dan tujuan pertama mengunggah tulisan dalam media sosial. Lihatlah di twitter atau facebook, media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia. Jika ada yang mengunggah masalah politik dari salah satu kubu, kubu yang pro akan terus menyanjung dan kubu yang kontra akan terus berusaha menyangkal denga berbagai dalih pada komentar di bawahnya. Aroma nyinir dan kata-kata tidak sopan, seperti lepas begitu saja tanpa beban sosial. Banyak juga komentar yang sepertinya muncul dari ide yang sama yang dimungkinkan dari akun palsu yang sengaja meramaikan agar opini publik yang membaca percaya pada semua apa yang diunggah kubunya.
Ada banyak kasus yang sama, menjadi sangat berbeda beritanya ketika muncul di media. Bahkan berubah arah menjadi fitnah yang menjerumuskan pembaca. Seperti tak ada rasa risi menyebarkan berita ataupun pnedapat yang disimpangkan dan dimanipulasi. Hati dan pikirannya hanya terfokus untuk menyerang denga tujuan membuat lawan sakit dan kalah. Kata-kata nyinyir, kalimat-kalimat menyerang dan melecehkan begitu mudah keluar dari pikiran-pikiran orang Indonesia yang setahu saya punya etika sopan santun yang baik serta punya toleransi yang tinggi.
Jika kita membacanya dengan kecenderungan mendukung salah satu kubu ( misalnya dalam kontek capres cawapres 2019 ), dipastikan kita akan terbakar amarah dan tergoda untuk berkomentar dengan nada setidaknya membela untuk menyerang balik. Berusaha meluruskan, tapi yang “diluruskan” seperti mau meledek dan terus menyerang. Karena mereka memang ber-‘profesi’ untuk mengompori kubu lawan dan mencari simpati orang yang kurang tahu atau ada kemungkinan tergiur untuk percaya dan bergabung dengan kubunya. Hilang rasa hati dan etika bersosial.
Semua bertujuan untuk sebuah kekuasaan. Kekuasaan yang melenakan. Kekuasaan yang sangat erotis untuk diperebutkan, untuk dipertahankan dan untuk dimanfaatkan.
Maka, jangan gampang percaya berita politik yang bersumber dari kubu tertentu yang berkepentingan dan berhubungan dengan kekuasaan.

7 sept 2018

Rabu, 15 Agustus 2018

MENERIMA KEKALAHAN SEBUAH UTOPIA

Menerima sebuah kekalahan dengan lapang dada menjadi sebuah hal yang sulit, jika kemenangan yang terasa sudah sangat dekat tinggal ‘memetiknya’, ternyata saat usai perlombaan atau pertandingan, yang didapat adalah kekalahan. Sebuah advice yang didatangkan sendiri dari langit, hanya mengoles sedikit luka dan segera kembali menyayat. Semakin diingat, semakin menambah parah rasa dan menumbuhkan dendam terus bergemuruh. Mengingatnya, meski sudah tahu tidak baik dan hanya memupuk rasa kesal yang berkepanjangan, tapi nyatanya, membuang ingatan itu sebuah kesusahan yang malah menambah beban.
Lebih parah lagi jika kalah dalam merebut kekuasaan. Kalah dalam perebutan kursi dalam lingkup politik yang terus bergerak saling mecari posisi meraih kekuasaan. Mecela dan memaki pemenang menjadi salah satu jalan untuk melampiaskan kekesalan sambil terus memupuk dendam. Tak tersadari juga apa yang dilakukannya dalam berkompetisi merebut kekuasaan, dirinya pun, melakukan kecurangan. Curang yang dilakukan tertutup oleh mata batinnya sendiri dan lebih jelas melihat kecurangan yang dilakukan oleh lawan yang jadi pemenang. Intinya, kelompok seberang sana bermain curang dan banyak melakukan pelanggaran dan kesalahan, sedangkan kelompoknya sendiri bermain bagus, baik dan tak melanggar aturan. Pembahasannya, kelompok kami paling baik, kelompok di seberang sana tidak baik, curang dan licik. Kelompok yang berseberangan itu saling menuduh ketidabaikan dan enggan mengakui kebaikan lawan. Sepertinya, mengakui sebuah kebaikan lawan adalah hal tabu dan harus dihindari.
Semua yang ada dipihak yang berseberangan, ditelanjangi dan dicari sedetil sekecil apapun untuk menumpuk semua ketidakbaikan sebagai bahan untuk menyerang dan mempengaruhi orang lain agar pendapatnya disetujui dan sepakat. Begitu banyak waktu dan energi tersita hanya untuk memuaskan nafsu sesaat yang akan terus muncul dan tak pernah bisa berhenti jika tak dihentikan paksa. Seolah, semua kepuasan dapat diraih dengan merendahkan musuh, mencaci, mengumpat dan mendorongnya pada jurang kenistaan yang ada di ruang benaknya.
Sang lawan, diam dianggap kalah dan mengakui semua tuduhannya. Sang lawan membantas, diberondong lagi dengan kebencian lain yang terus menerus digali. Sang lawan berkomentar memaklumi, dipelintir lagi setiap kalimat dan disambungkan dengan paksa pada hal-hal jelek. Sang lawan tak memperdulikan, terus berteriak makin pedas  dan dituduh tak berani berdebat. Sang lawan balas menyerang, dituduhlah sebagai orang yang anti kritik. Sang lawan bertindak, dianggap represif dan tidak menghargai perbedaan. Sang lawan balik menyalahkan, dianggap tidak bertoleransi. Sang lawan tidak terima, dianggap tidak demokratis.
Tak ada yang benar bagi pihak lawan, hanya kawan yang paling benar dan harus diikuti oleh semua orang. Begitu repotnya orang hanya untuk menyalahkan orang yang telah membuatnya kalah dalam satu perebutan kemenangan. Betapa repotnya orang harus mau mengakui pihak lawan juga berkeinginan menang dan berhasil menang. begitu susahnya orang harus mengakui sebuah kemenangan dari pihak lawan untuk kemudian melupakan proses perlombaan dan kembali berjalan bersama berdampingan untuk kembali bertegur sapa dengan lapang hati.
Semua orang menyadari tentang sebuah perbedaan pemikiran, pendapat, keyakinan, pilihan dan keputusan. Tak banyak orang yang bisa menerima sebuah kemenangan dari pihak yang tidak sama dengan dirinya atau kelompoknya. Demokrasi baru sebatas proses untuk menentukan pemenang, belum pada proses menerima pemenang dari pihak mana pun.
Menerima kekalahan dengan lapang dada dan ikhlas itu sebuah utopia.

Kamis, 02 Agustus 2018

MEMPROVOKASI, CARA PICIK MEREKA?


Pemain muda Myanmar bernomor punggung 4, Thaw Zin Htet, itu sengaja menganggu kiper Indonesia, Ernando Ari Sutaryadi, dan membuat Ernando sedikit melakukan gerakan yang membuat pemain Myanmar itu memanfaatkan momen untuk terjatuh, dibuat terguling guling dan seperti merasa sangat kesakitan. Sebuah kelakuan yang menjijikkan. Tapi yang namanya usaha, apapun dilakukan meski dengan hal yang tidak enak dipandang. Dan rupanya, Thaw Zin Htet, berhasil mengelabui wasit sehingga wasit menunjuk titik putih dan mengkartu kuning kiper Garuda Muda. Terjadilah gol. Saya sendiri seandainya jadi pelatih, tidak akan membiarkan anak asuhnya bermain tidak sportif, diving dan sengaja memprovokasi lawan agar emosi dengan harapan lawan mendapat peringatan kartu dari wasit. Dan Ernando mestinya tak membuat sedikit gerakan yang dimanfaatkan pemain lawan yang memang sengaja memanfaatkan reaksi.
sangat konyol dan bodoh jika mengatakan
sebuah kelalaian memasang Bendera Indonesia dengan terbalik.
dan sangat bodoh jika mengatakan tidak tahu bendera Indonesia.
Anak-anak muda tim Garuda melakukan protes keras, beruntung kapten tim, David Maulana, berhasil meredakan rekan-rekannya dan kembali bermain dengan semangat penuh. Emosi masih terkendali dan menerima apapun keputusan wasit. Ya, menerima apapun keputusan wasit adalah cara yang harus dilakukan, karena wasit-lah yang memutuskan semua peraturan-peraturan yang diterapkan di lapangan.
Emosi pemain di lapangan saat bertanding kerap kali menjadi titik lemah tim dan berujung pada kekalahan. Rupanya gampangnya pemain Indonesia ( senior maupun junior) diprovokasi dimanfaatkan betul oleh pemain-pemain lawan. Malaysia sering sekali memanfaatkan ketidakastabilan pemian Indonesia mengontrol emosi saat diprovokasi. Permainan Indonesia yang sering dengan teknik yang lebih baik dari Malaysia, berujung dengan kekalahan karena terpancing provokasi lawan. Dan Malaysia tahu betul itu kelemahan Tim Indonesia.
Provokasi itu juga sekarang dilancarkan oleh anak kecil dari Malaysia yang juga masuk Tim AFF U-16 bernama Amirul Ashrafiq Hanifah. Hal sangat tidak santun dan memperlihatkan niatan tidak baik juga gambaran dari pendidikan yang kurang baik. Bagaimana mungkin di jaman yang semua bisa terhubung dengan internet, atau, -mungkin ia tidak bisa browsing tentang bendera di dunia- Ia sengaja mengunggah di instatory miliknya dengan memasang bendera Indonesia secara terbalik. Jika Ia benar-benar tidak tahu, ia benar-benar anak yang bodoh dan perlu belajar banyak. Menjadi timbul curiga juga jika Ia sengaja memasang bendera Indonesia secara terbalik untuk meprovokasi pemain Indonesia. Gambaran orang-orang negeri Jiran-kah? Semoga tidak.
Karena dalam Sea Games 2017 di malaysia pun, pemasangan bendera Indonesia dengan terbalik menjadi hal yang tidak mengenakkan. Pihak Malaysia pun meminta maaf atas insiden itu. Menurutnya tidak ada kesengajaan, dan sekarang, anak kecil itu melakukan ketidaksengajaan-kah? Jika sekedar hanya minta maaf, anak kecil umuran lima tahun pun bisa mengucapkan maaf, dan juga dengan alasan tidak sengaja, adalah alasan konyol yang sangat bodoh. Apakah berbuat konyol di negeri sana sebuah hal biasa dan kebiasaan?
Reaksi netizen Indonesia pun bermunculan menuliskan ketidaksenangan sampai ancaman pembunuhan terhadap Amirul Ashrafiq Hanifah. Ancaman tersebut membuat menpora malaysia, Syed Saddiq Abdul Rahman, menganggap ancaman seperti itu tak bisa ditolerir dan dan meminta FAM ( PSSI-nya Maaysia ) melaporkan pada pada AFF.
'kelalaian' juga? apa kecerobohan..?
Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Kita akan baik-baik saja jika tak ada kesengajaan provokasi. Sebuah penghinaan yang dilakukan dengan sadar dan tidak hanya sekali, itukah sebuah kelalaian? Apa mereka yang sengaja memprovokasi cukup meminta maaf kemudian berlari ke dapur sambil teriak-teriak, “Saya laporkan nanti..!”ketika ada rekasi dari sebuah provokasi. Memperbaiki diri mungkin akan lebih baik daripada hanya sekedar minta maaf untuk membuat kesalahan yang sama seperti seekor keledai.
Bagi Tim Garuda Muda, menjaga diri agar tidak terprovokasi lawan dan tetap bermain sesuai dengan arahan pelatih, itu hal yang selalu diingat bersama dengan rasa patriotisme yang tak pernah padam. Sengaja memprovokasi lawan adalah perbuatan hina yang menjijikan dan menandakan ketidakpercayaan diri. Biarkan musuh memprovokasi, anggap angin lalu, atau bila perlu manfaatkan provokasi lawan agar menjadi keuntungan kita.
Sangat disayangkan, ketika melawan Vietnam pun, pemain kita, Bagas Kaffa mendapat kartu merah karena diprovokasi dan tak bisa mengambil keuntungan ketika lebih dulu dipukul pemain Vietnam yang juga dikartu merah. Andai saja Bagas tak balas memukul dan “memanfaatkan” momen dirinya di pukul, mungkin hanya pemain Vietnam yang di kartu merah, meski cara seperti ini saya kurang begitu suka. Kontrol emosi dan menghormati apapun keputusan wasit dengan terus bertindak sportif, rupanya masih perlu ditekankan lebih intensif pada pemain kita.
Secara keseluruhan, permainan Garuda Muda pada gelaran Piala AFF U-16 saat melawan Vietnam, kontrol emosi cukup baik dan terkontrol, meski ternoda.
02082018

KOMENTAR DI MEDSOS



“Mas, pernah nggak kamu membaca komentar-komentar dari foto, video, artikel, berita atau apa saja yang di-upload di internet.”
“Sekali-kali pernah juga membacanya. Tapi kalau komentarnya sampai banyak sekali dari sebuah uplod-an, ya nggak semua dibaca. Memang kenapa?”
“Komentarnya pada sesuka hati. Seperti tidak tahu perasaan orang lain. Yang lebih mengerikan lagi, pada saling serang dan melecehkan, dan merendahkan. Apalagi kalau masalah politik atau beda kepercayaan dalam agama.”
“Ya, itu karena mereka yang terlibat pada merasa paling benar dan merasa taka ada kebenaran lain.”
“Terus saling menantang, saling mengancam, saling merasa paling berani, saling merasa tak ada yang boleh lebih dari ‘saya’, saling ini, saling itu..”
“Kamu ikut berkomentar?”
“Pernah hampir ikut koment. Baru saya tulis tapi urung saya post-kan, karena takut ikut terlibat emosi dan terbawa arus.”
“Kamu bisa netral nggak kalau baca begituan?”
“Selalu berusaha netral dan obyektif. Tapi, kadang terbawa emosi juga. Intinya, belum bisa seratus persen netral.”
“Itu karena kamu masih ikut terbawa kecenderungan untuk berpihak pada pendapat yang sama dengan kamu.”
“Sangat susah untuk tak berkecenderungan. Apalagi jika pendapat mirip dengan pendapat saya diserang dan dilecehkan. Rasanya gatal sekali untuk ikut membela dan menyerang.”
“Wajar saja, karena berkeinginan membaca juga lahir karena pengin tahu pendapat orang lain, apakah sama, apakah bertentangan atau apakah pendapat yang sama sekali di luar dugaan dan jauh dari pikiran.”
“Betul. Saya sering kaget juga, kadang ada pendapat yang di luar dugaan. Seperti lahir dari pikiran dunia lain yang tak terjamah.”
“Itu salah satu keasyikan berdiskusi, juga membaca. Kadang ada pemikiran semacam pencerahan dari tempat yang kita tidak duga-duga.”
“Bisa nggak yah untuk bersikap netral dan tak terbawa arus.”
“Bisa. Jika kamu dari awal tak punya pendapat apa-apa tentang sesuatu yang jadi bahan perbincangan. Tapi, apa mungkin? Jika kamu datang dengan tanpa pendapat pun, akan muncul juga kecenderungan untuk membela salah satu pendapat yang seide dengan pemikiranmu. Kan tidak mungkin kita tak punya pemikiran dari sebuah masalah yang diperdebatkan.”
“Berarti tetap saja kita terlibat dalam dukung mendukung?”
“Saya kira begitu. Cuma ada yang membedakan antara yang mendukung aktif dengan  mendukung tidak aktif.”
“Kalau bersikap obyektif, bisa nggak yah?”
“Obyektif atau tidak obyektif itu, tergantung pada si penilai. Jika si penilai punya pendapat yang cenderung sama, maka bisa saja ia tak bisa lepas dari membela pendapat orang lain yang sama dengan pendapatnya dan sebaliknya. Bisa saja kita sudah merasa obyektif, tapi bagi orang lain yang tak sependapat dianggap tidak obyektif.
Obyektif menurut keilmuan? Ilmunya siapa? Ilmu yang diyakini siapa? Bahkan bisa saja menjadi sangat obyektif jika subyektifitas terhadap sesutau karena berdasarkan keyakinan dengan landasan ilmu yang diyakini benar oleh si subyek.”
“Jadi bingung...”
“Yang penting jangan menambah komentar yang bikin panas dan berpotensi memunculkan komentar baru yang membuat lahir kembali perdebatan saling menyerang yang tidak sehat dan mengarah tidak bermutu dan tidak perlu.”
“Kadang komentar dan perdebatan saling mencaci berkembang jauh sekali dari topik awal.”
“Karena dilandasi dari ingin menyerang lawan dan ingin membuat lawan debat mengakui kesalahan, -satu hal yang tak mungkin- , itulah, maka nafsu ingin terus menyerang tak pernah padam.”
“Bikin capai dan tak perlu sebenarnya ya..?
“Betul!”
01082018