Menerima sebuah kekalahan dengan lapang dada menjadi sebuah
hal yang sulit, jika kemenangan yang terasa sudah sangat dekat tinggal
‘memetiknya’, ternyata saat usai perlombaan atau pertandingan, yang didapat
adalah kekalahan. Sebuah advice yang didatangkan sendiri dari langit, hanya
mengoles sedikit luka dan segera kembali menyayat. Semakin diingat, semakin
menambah parah rasa dan menumbuhkan dendam terus bergemuruh. Mengingatnya,
meski sudah tahu tidak baik dan hanya memupuk rasa kesal yang berkepanjangan,
tapi nyatanya, membuang ingatan itu sebuah kesusahan yang malah menambah beban.
Lebih parah lagi jika kalah dalam merebut kekuasaan. Kalah
dalam perebutan kursi dalam lingkup politik yang terus bergerak saling mecari
posisi meraih kekuasaan. Mecela dan memaki pemenang menjadi salah satu jalan
untuk melampiaskan kekesalan sambil terus memupuk dendam. Tak tersadari juga
apa yang dilakukannya dalam berkompetisi merebut kekuasaan, dirinya pun,
melakukan kecurangan. Curang yang dilakukan tertutup oleh mata batinnya sendiri
dan lebih jelas melihat kecurangan yang dilakukan oleh lawan yang jadi
pemenang. Intinya, kelompok seberang sana bermain curang dan banyak melakukan
pelanggaran dan kesalahan, sedangkan kelompoknya sendiri bermain bagus, baik
dan tak melanggar aturan. Pembahasannya, kelompok kami paling baik, kelompok di
seberang sana tidak baik, curang dan licik. Kelompok yang berseberangan itu
saling menuduh ketidabaikan dan enggan mengakui kebaikan lawan. Sepertinya, mengakui
sebuah kebaikan lawan adalah hal tabu dan harus dihindari.
Semua yang ada dipihak yang berseberangan, ditelanjangi dan
dicari sedetil sekecil apapun untuk menumpuk semua ketidakbaikan sebagai bahan
untuk menyerang dan mempengaruhi orang lain agar pendapatnya disetujui dan
sepakat. Begitu banyak waktu dan energi tersita hanya untuk memuaskan nafsu
sesaat yang akan terus muncul dan tak pernah bisa berhenti jika tak dihentikan
paksa. Seolah, semua kepuasan dapat diraih dengan merendahkan musuh, mencaci,
mengumpat dan mendorongnya pada jurang kenistaan yang ada di ruang benaknya.
Sang lawan, diam dianggap kalah dan mengakui semua
tuduhannya. Sang lawan membantas, diberondong lagi dengan kebencian lain yang
terus menerus digali. Sang lawan berkomentar memaklumi, dipelintir lagi setiap
kalimat dan disambungkan dengan paksa pada hal-hal jelek. Sang lawan tak
memperdulikan, terus berteriak makin pedas
dan dituduh tak berani berdebat. Sang lawan balas menyerang, dituduhlah
sebagai orang yang anti kritik. Sang lawan bertindak, dianggap represif dan
tidak menghargai perbedaan. Sang lawan balik menyalahkan, dianggap tidak
bertoleransi. Sang lawan tidak terima, dianggap tidak demokratis.
Tak ada yang benar bagi pihak lawan, hanya kawan yang paling
benar dan harus diikuti oleh semua orang. Begitu repotnya orang hanya untuk
menyalahkan orang yang telah membuatnya kalah dalam satu perebutan kemenangan.
Betapa repotnya orang harus mau mengakui pihak lawan juga berkeinginan menang
dan berhasil menang. begitu susahnya orang harus mengakui sebuah kemenangan
dari pihak lawan untuk kemudian melupakan proses perlombaan dan kembali
berjalan bersama berdampingan untuk kembali bertegur sapa dengan lapang hati.
Semua orang menyadari tentang sebuah perbedaan pemikiran,
pendapat, keyakinan, pilihan dan keputusan. Tak banyak orang yang bisa menerima
sebuah kemenangan dari pihak yang tidak sama dengan dirinya atau kelompoknya.
Demokrasi baru sebatas proses untuk menentukan pemenang, belum pada proses
menerima pemenang dari pihak mana pun.
Menerima kekalahan dengan lapang dada dan ikhlas itu
sebuah utopia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar