Label

Kamis, 02 Agustus 2018

KOMENTAR DI MEDSOS



“Mas, pernah nggak kamu membaca komentar-komentar dari foto, video, artikel, berita atau apa saja yang di-upload di internet.”
“Sekali-kali pernah juga membacanya. Tapi kalau komentarnya sampai banyak sekali dari sebuah uplod-an, ya nggak semua dibaca. Memang kenapa?”
“Komentarnya pada sesuka hati. Seperti tidak tahu perasaan orang lain. Yang lebih mengerikan lagi, pada saling serang dan melecehkan, dan merendahkan. Apalagi kalau masalah politik atau beda kepercayaan dalam agama.”
“Ya, itu karena mereka yang terlibat pada merasa paling benar dan merasa taka ada kebenaran lain.”
“Terus saling menantang, saling mengancam, saling merasa paling berani, saling merasa tak ada yang boleh lebih dari ‘saya’, saling ini, saling itu..”
“Kamu ikut berkomentar?”
“Pernah hampir ikut koment. Baru saya tulis tapi urung saya post-kan, karena takut ikut terlibat emosi dan terbawa arus.”
“Kamu bisa netral nggak kalau baca begituan?”
“Selalu berusaha netral dan obyektif. Tapi, kadang terbawa emosi juga. Intinya, belum bisa seratus persen netral.”
“Itu karena kamu masih ikut terbawa kecenderungan untuk berpihak pada pendapat yang sama dengan kamu.”
“Sangat susah untuk tak berkecenderungan. Apalagi jika pendapat mirip dengan pendapat saya diserang dan dilecehkan. Rasanya gatal sekali untuk ikut membela dan menyerang.”
“Wajar saja, karena berkeinginan membaca juga lahir karena pengin tahu pendapat orang lain, apakah sama, apakah bertentangan atau apakah pendapat yang sama sekali di luar dugaan dan jauh dari pikiran.”
“Betul. Saya sering kaget juga, kadang ada pendapat yang di luar dugaan. Seperti lahir dari pikiran dunia lain yang tak terjamah.”
“Itu salah satu keasyikan berdiskusi, juga membaca. Kadang ada pemikiran semacam pencerahan dari tempat yang kita tidak duga-duga.”
“Bisa nggak yah untuk bersikap netral dan tak terbawa arus.”
“Bisa. Jika kamu dari awal tak punya pendapat apa-apa tentang sesuatu yang jadi bahan perbincangan. Tapi, apa mungkin? Jika kamu datang dengan tanpa pendapat pun, akan muncul juga kecenderungan untuk membela salah satu pendapat yang seide dengan pemikiranmu. Kan tidak mungkin kita tak punya pemikiran dari sebuah masalah yang diperdebatkan.”
“Berarti tetap saja kita terlibat dalam dukung mendukung?”
“Saya kira begitu. Cuma ada yang membedakan antara yang mendukung aktif dengan  mendukung tidak aktif.”
“Kalau bersikap obyektif, bisa nggak yah?”
“Obyektif atau tidak obyektif itu, tergantung pada si penilai. Jika si penilai punya pendapat yang cenderung sama, maka bisa saja ia tak bisa lepas dari membela pendapat orang lain yang sama dengan pendapatnya dan sebaliknya. Bisa saja kita sudah merasa obyektif, tapi bagi orang lain yang tak sependapat dianggap tidak obyektif.
Obyektif menurut keilmuan? Ilmunya siapa? Ilmu yang diyakini siapa? Bahkan bisa saja menjadi sangat obyektif jika subyektifitas terhadap sesutau karena berdasarkan keyakinan dengan landasan ilmu yang diyakini benar oleh si subyek.”
“Jadi bingung...”
“Yang penting jangan menambah komentar yang bikin panas dan berpotensi memunculkan komentar baru yang membuat lahir kembali perdebatan saling menyerang yang tidak sehat dan mengarah tidak bermutu dan tidak perlu.”
“Kadang komentar dan perdebatan saling mencaci berkembang jauh sekali dari topik awal.”
“Karena dilandasi dari ingin menyerang lawan dan ingin membuat lawan debat mengakui kesalahan, -satu hal yang tak mungkin- , itulah, maka nafsu ingin terus menyerang tak pernah padam.”
“Bikin capai dan tak perlu sebenarnya ya..?
“Betul!”
01082018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar