Siapa yang tak senang
jika memperoleh kemenangan. Bisa menggungguli orang lain, bisa mengalahkan dan
membuktikan kalau kita lebih superior dari orang sekitar atau dari siapapun.
Perasaan bahagia atau senang yang timbul
dan muncul saat menjadi pemenang di bidang apapun adalah manusiawi. Perjuangan dan
pengorbanan untuk mendapatkan perasaan itu berbeda-beda pada setiap keadaan dan
situasi. Perjuangan untuk memenangkan sebuah pertandingan besar, seperti tinju,
balap motor, balap mobil, sepak bola, atau perlombaan atletik tentu sangat
berbeda dengan perjuangan untuk memperoleh kebahagiaan dari sekedar bersendau
gurau atau canda ringan tak tentu arah di warung kopi.
Kemenangan adalah
sebuah cita-cita. Semua orang punya cita-cita, dan tidak semua orang memperoleh
apa yang dicita-citakan. Ada yang gagal, ada yang kalah. Ada yang menerima
kekalahan dengan lapang dada, ada yang tidak bisa menerima kekalahan dengan
biasa-biasa saja. Ada juga yang menerima kekalahan dengan memendam dendam pada
yang mengalahkan dengan cara-cara yang tidak sportif, baik di dalam lingkupnya
atau pun sudah tak terkait topik. Melepas dendam karena kekalahan juga sebuah
cita-cita. Dan jika sebuah cita-cita yang berkaitan dengan persaingan atau
kompetisi, pasti ada yang harus menjadi pihak yang kalah. Dan, kekalahan akan
selalu dihindari oleh siapa pun.
Menghindari ‘kekalahan’
itulah yang semua orang berusaha untuk tidak menimpanya. Semua berusaha
menghindar dari kekalahan sampai pada batas dimana yang kalah dan yang menang
ditentukan oleh aturan yang sebelumnya telah dibikin dan disepakati atau
dipaksa untuk sepakat pada aturan yang dipakai. Aturan menjadi sangat penting
untuk membatasi ruang gerak segala keinginan semua peserta kompetisi yang
kesemuanya ingin menjadi pemenang. Dan selalu saja ada jalan untuk setiap orang
yang berkemauan. Apakah jalan yang ditempuh itu cara sportif atau cara curang
(unsportif). Pilihan jalan dengan cara sportif atau dengan cara curang,
tergantung pada nurani masing-masing pelaku. Banyak orang yang memilih curang
karena kemenangan menjadi hal yang menyenangkan dan menutup rasa ‘mengganjal’ karena
berbuat curang. Rasa curang bisa membius hati dan pikiran sehingga lupa kalau
dirinya di curangi pun akan kesal.
Orang yang berbuat
curang, tetapi Ia tidak menang, Ia aka menderita setidaknya dua kali lipat. Pertama
rasa bersalah karena berbuat curang, yang kedua kecewa usahanya tak berhasil
meski dengan cara curang pun. Para pelaku curang biasanya orang yang kurang
percaya diri. Ia sudah merasa akan kalah sebelum pertandingan di mulai. Padahal
bisa saja jika tak curang pun bisa menang.
Orang yang kalah tapi
Ia sudah melakukan tindakan sportif, akan juga tertimpa kekecewaan. Dan akan
bertambah kesal jika tahu kalau Ia kalah karena di curangi. Menjadi ‘menerima’ dengan
lapang dada sebuah kekalahan walaupun tahu kalah karena di curangi, membutuhkan
hati yang besar, nglamprah dan nrima. Diperlukan
juga sebuah keyakinan jika jalan Allah adalah jalan yang terbaik dan ada
sekenari tersendiri dariNya.
Curang menjadi sebuah ‘kewajaran’
dalam kehidupan kita, baik kecurangan secara halus ataupun kecurangan yang
kasar tak tahu malu. Menang, lolos, melewati, dll dengan cara curang seperti menjadi
salah jalan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Si pelaku curang lupa dan
melupakan ada banyak orang lain yang juga ingin tercapai cita-citanya dan akan
kecewa jika tak tercapai.
Perbuatan curang bisa
dilakukan sendiri atau bisa berkelompok. Bisa juga dalam tahap awal berbuat
curang karena kemenangan di awal harus berkelompok. Tapi jika dalam kelompok yang
menang itu kemudian terjadi harus ada yang kalah, maka terjadi lagi persaingan
untuk menang yang dalam setiap individu tahu kalau kelompok mereka menang
dengan cara curang. Saling curiga pasti akan terjadi dan akan saling menuduh
jika si pemenang melakukan kecurangan.
Tak akan ada kecurangan
yang memberikan kebahagiaan secara penuh. Jika menang pu, akan ada yang terasa
mengganjal. Akan menjadi nikmat jika sebuah keberhasilan diperoleh dengan cara
yang baik dan sportif.