Label

Senin, 27 Juni 2016

curang

Siapa yang tak senang jika memperoleh kemenangan. Bisa menggungguli orang lain, bisa mengalahkan dan membuktikan kalau kita lebih superior dari orang sekitar atau dari siapapun. Perasaan bahagia atau senang  yang timbul dan muncul saat menjadi pemenang di bidang apapun adalah manusiawi. Perjuangan dan pengorbanan untuk mendapatkan perasaan itu berbeda-beda pada setiap keadaan dan situasi. Perjuangan untuk memenangkan sebuah pertandingan besar, seperti tinju, balap motor, balap mobil, sepak bola, atau perlombaan atletik tentu sangat berbeda dengan perjuangan untuk memperoleh kebahagiaan dari sekedar bersendau gurau atau canda ringan tak tentu arah di warung kopi.

Kemenangan adalah sebuah cita-cita. Semua orang punya cita-cita, dan tidak semua orang memperoleh apa yang dicita-citakan. Ada yang gagal, ada yang kalah. Ada yang menerima kekalahan dengan lapang dada, ada yang tidak bisa menerima kekalahan dengan biasa-biasa saja. Ada juga yang menerima kekalahan dengan memendam dendam pada yang mengalahkan dengan cara-cara yang tidak sportif, baik di dalam lingkupnya atau pun sudah tak terkait topik. Melepas dendam karena kekalahan juga sebuah cita-cita. Dan jika sebuah cita-cita yang berkaitan dengan persaingan atau kompetisi, pasti ada yang harus menjadi pihak yang kalah. Dan, kekalahan akan selalu dihindari oleh siapa pun.

Menghindari ‘kekalahan’ itulah yang semua orang berusaha untuk tidak menimpanya. Semua berusaha menghindar dari kekalahan sampai pada batas dimana yang kalah dan yang menang ditentukan oleh aturan yang sebelumnya telah dibikin dan disepakati atau dipaksa untuk sepakat pada aturan yang dipakai. Aturan menjadi sangat penting untuk membatasi ruang gerak segala keinginan semua peserta kompetisi yang kesemuanya ingin menjadi pemenang. Dan selalu saja ada jalan untuk setiap orang yang berkemauan. Apakah jalan yang ditempuh itu cara sportif atau cara curang (unsportif). Pilihan jalan dengan cara sportif atau dengan cara curang, tergantung pada nurani masing-masing pelaku. Banyak orang yang memilih curang karena kemenangan menjadi hal yang menyenangkan dan menutup rasa ‘mengganjal’ karena berbuat curang. Rasa curang bisa membius hati dan pikiran sehingga lupa kalau dirinya di curangi pun akan kesal.

Orang yang berbuat curang, tetapi Ia tidak menang, Ia aka menderita setidaknya dua kali lipat. Pertama rasa bersalah karena berbuat curang, yang kedua kecewa usahanya tak berhasil meski dengan cara curang pun. Para pelaku curang biasanya orang yang kurang percaya diri. Ia sudah merasa akan kalah sebelum pertandingan di mulai. Padahal bisa saja jika tak curang pun bisa menang.
Orang yang kalah tapi Ia sudah melakukan tindakan sportif, akan juga tertimpa kekecewaan. Dan akan bertambah kesal jika tahu kalau Ia kalah karena di curangi. Menjadi ‘menerima’ dengan lapang dada sebuah kekalahan walaupun tahu kalah karena di curangi, membutuhkan hati yang besar, nglamprah dan nrima. Diperlukan juga sebuah keyakinan jika jalan Allah adalah jalan yang terbaik dan ada sekenari tersendiri dariNya.

Curang menjadi sebuah ‘kewajaran’ dalam kehidupan kita, baik kecurangan secara halus ataupun kecurangan yang kasar tak tahu malu. Menang, lolos, melewati, dll dengan cara curang seperti menjadi salah jalan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Si pelaku curang lupa dan melupakan ada banyak orang lain yang juga ingin tercapai cita-citanya dan akan kecewa jika tak tercapai.

Perbuatan curang bisa dilakukan sendiri atau bisa berkelompok. Bisa juga dalam tahap awal berbuat curang karena kemenangan di awal harus berkelompok. Tapi jika dalam kelompok yang menang itu kemudian terjadi harus ada yang kalah, maka terjadi lagi persaingan untuk menang yang dalam setiap individu tahu kalau kelompok mereka menang dengan cara curang. Saling curiga pasti akan terjadi dan akan saling menuduh jika si pemenang melakukan kecurangan.


Tak akan ada kecurangan yang memberikan kebahagiaan secara penuh. Jika menang pu, akan ada yang terasa mengganjal. Akan menjadi nikmat jika sebuah keberhasilan diperoleh dengan cara yang baik dan sportif. 

Sabtu, 18 Juni 2016

'toleransi'


Toleransi bisa diartikan, pemaafan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, tenggang rasa. Saat sekolah di SD dulu, atau di SMP saat mengikuti penataran P4 ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) kami sering diberi pengertian tentang toleransi dan contoh berperilaku toleransi. Kemudian berkembanglah arti toleransi di kepala setiap orang menurut penafsiran yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh pola pikir, wawasan, lingkungan bertempat tinggal, tokoh idola, agama, kepercayaan dan keyakinan.  Penekanan untuk bertoleransi karena perbedaan perilaku setiap orang dalam bersikap dan berreaksi dalam menghadapi setiap kejadian berbeda dalam berbagai situasi. Maka jika seseorang berbuat sesuatu dan menganggap perbuatannya masih ditoleransi oleh orang lain, sedangkan orang yang menjadi obyek toleransi, merasa orang tersebut tidak bertoleransi, akan terjadi gesekan emosi. Dan bila gesekan emosi itu sama-sama di pupuk amarah, bisa jadi terjadi sebuah kekerasan dalam mempertahankan ego dan kepuasannya masing-masing. Persepsi toleransi yang berbeda-beda terhadap sesuatu tindakan ini menjadi sebuah kerawanan dalam kehidupan sosial.

Kita sudah terbiasa ‘bertoleransi’ dengan para pelanggar. Seorang yang melanggar peraturan lalu lintas di jalan raya, seolah-olah kita harus pada posisi memakluminya, menganggap wajar dan jika Polantas menilangnya, Polantas itu yang sudah masuk perangkap ‘bahwa polisi itu menyebalkan’ dan disalahkan. Bahkan jika ada operasi lalu lintas di jalan raya, pengendara yang berpapasan atau orang yang berada di pnggir jalan memberi kode bahwa ada operasi lalu lintas. Sepertinya mereka menyetujui melanggar lalu lintas itu wajar dan mesti maklum dan petugas atau person yang mempermasalahkan itu tidak baik dan intoleran. Atau jika kita melihat ada orang mencuri kayu di hutan negara, orang-orang di sekitar atau yang melihat, seperti memaklumi dan membiarkannya. Dan menegurnya akan menjadi perdebatan penuh emosi yang mendidih. Seolah mencuri hak negara itu ‘wajar’ karena para pejabat negara juga melakukan pencurian (korupsi) dan melakukan pelanggaran yang kecil itu harus dimaklumi.

Saya pernah membaca status seseorang dalam media sosialnya, ‘polantas musuh besarku’. Saya hanya lihat sekilas dan tak mencermati berapa banyak yang me’like’ status itu. Dari sekilas membaca itu saya langsung berkesimpulan, Ia seorang pelanggar besar dalam berlalulintas. Mungkin bagi sebagian banyak orang, menulis status seperti itu sebagai hal yang wajar juga termaklumi dan lupa berpikir kalau bisa timbul rasa ‘benci’ itu karena apa. Kalau Ia selalu berkendaraan dengan benar dan berkelengkapan sesuai dengan aturan yang berlaku, Ia tak akan merasa terganggu dengan semua peraturan yang diterapkan oleh Polisi. Kasus lain; membuang sampah di kali atau membuang sampah sembarang tempat yang penting jauh dari rumahnya sendiri. Seorang yang membuang sampah di kali  dan kebetulan ada orang yang peduli dan berani menegurnya, bisa saja Ia mendapat jawaban dengan nada ketus dan kasar; “memangya harus di buang kemana lagi?! Sok lo.”, sambil matanya memerah menahan amarah. Kita sering melihat pengendara motor ataupun mobil yang dengan tanpa dosa membuang sampah seolah jalan raya sebagai tempat sampah yang setiap orang bebas membuang sampah. Dan kita dipaksa harus bertoleransi dengan keadaan seperti itu. ‘Menghormati’ suatu tindakan yang samasekali tak terhormat.

Kita menjadi terbiasa melanggar peraturan dan orang-orang di sekelilingnya juga merasa harus memaklumi pelanggaran kecil. Menegur orang yang melanggar peraturan sedangkan si penegur itu orang biasa atau bukan petugas, akan menjadi masalah sosial baru di antara mereka. Dan mengambil sikap membiarkan orang berbuat pelanggaran menjadi lebih aman ketibang melakukan kepedulian. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang telah terbiasa menjadi beranjak ke pelanggaran besar yang juga kemudian menjadi terbiasa. Menjadi merasa tidak berbuat salah karena telah terbiasa. Menjadilah sebuah kebudayaan. Kebudayaan melanggar. Kebudayaan yang untuk menghapusnya perlu waktu lama dan ada upaya terus menerus, berkesinambungan dengan semua pihak.

                                                                                                                                                                Juni 2016