Label

Rabu, 15 Agustus 2018

MENERIMA KEKALAHAN SEBUAH UTOPIA

Menerima sebuah kekalahan dengan lapang dada menjadi sebuah hal yang sulit, jika kemenangan yang terasa sudah sangat dekat tinggal ‘memetiknya’, ternyata saat usai perlombaan atau pertandingan, yang didapat adalah kekalahan. Sebuah advice yang didatangkan sendiri dari langit, hanya mengoles sedikit luka dan segera kembali menyayat. Semakin diingat, semakin menambah parah rasa dan menumbuhkan dendam terus bergemuruh. Mengingatnya, meski sudah tahu tidak baik dan hanya memupuk rasa kesal yang berkepanjangan, tapi nyatanya, membuang ingatan itu sebuah kesusahan yang malah menambah beban.
Lebih parah lagi jika kalah dalam merebut kekuasaan. Kalah dalam perebutan kursi dalam lingkup politik yang terus bergerak saling mecari posisi meraih kekuasaan. Mecela dan memaki pemenang menjadi salah satu jalan untuk melampiaskan kekesalan sambil terus memupuk dendam. Tak tersadari juga apa yang dilakukannya dalam berkompetisi merebut kekuasaan, dirinya pun, melakukan kecurangan. Curang yang dilakukan tertutup oleh mata batinnya sendiri dan lebih jelas melihat kecurangan yang dilakukan oleh lawan yang jadi pemenang. Intinya, kelompok seberang sana bermain curang dan banyak melakukan pelanggaran dan kesalahan, sedangkan kelompoknya sendiri bermain bagus, baik dan tak melanggar aturan. Pembahasannya, kelompok kami paling baik, kelompok di seberang sana tidak baik, curang dan licik. Kelompok yang berseberangan itu saling menuduh ketidabaikan dan enggan mengakui kebaikan lawan. Sepertinya, mengakui sebuah kebaikan lawan adalah hal tabu dan harus dihindari.
Semua yang ada dipihak yang berseberangan, ditelanjangi dan dicari sedetil sekecil apapun untuk menumpuk semua ketidakbaikan sebagai bahan untuk menyerang dan mempengaruhi orang lain agar pendapatnya disetujui dan sepakat. Begitu banyak waktu dan energi tersita hanya untuk memuaskan nafsu sesaat yang akan terus muncul dan tak pernah bisa berhenti jika tak dihentikan paksa. Seolah, semua kepuasan dapat diraih dengan merendahkan musuh, mencaci, mengumpat dan mendorongnya pada jurang kenistaan yang ada di ruang benaknya.
Sang lawan, diam dianggap kalah dan mengakui semua tuduhannya. Sang lawan membantas, diberondong lagi dengan kebencian lain yang terus menerus digali. Sang lawan berkomentar memaklumi, dipelintir lagi setiap kalimat dan disambungkan dengan paksa pada hal-hal jelek. Sang lawan tak memperdulikan, terus berteriak makin pedas  dan dituduh tak berani berdebat. Sang lawan balas menyerang, dituduhlah sebagai orang yang anti kritik. Sang lawan bertindak, dianggap represif dan tidak menghargai perbedaan. Sang lawan balik menyalahkan, dianggap tidak bertoleransi. Sang lawan tidak terima, dianggap tidak demokratis.
Tak ada yang benar bagi pihak lawan, hanya kawan yang paling benar dan harus diikuti oleh semua orang. Begitu repotnya orang hanya untuk menyalahkan orang yang telah membuatnya kalah dalam satu perebutan kemenangan. Betapa repotnya orang harus mau mengakui pihak lawan juga berkeinginan menang dan berhasil menang. begitu susahnya orang harus mengakui sebuah kemenangan dari pihak lawan untuk kemudian melupakan proses perlombaan dan kembali berjalan bersama berdampingan untuk kembali bertegur sapa dengan lapang hati.
Semua orang menyadari tentang sebuah perbedaan pemikiran, pendapat, keyakinan, pilihan dan keputusan. Tak banyak orang yang bisa menerima sebuah kemenangan dari pihak yang tidak sama dengan dirinya atau kelompoknya. Demokrasi baru sebatas proses untuk menentukan pemenang, belum pada proses menerima pemenang dari pihak mana pun.
Menerima kekalahan dengan lapang dada dan ikhlas itu sebuah utopia.

Kamis, 02 Agustus 2018

MEMPROVOKASI, CARA PICIK MEREKA?


Pemain muda Myanmar bernomor punggung 4, Thaw Zin Htet, itu sengaja menganggu kiper Indonesia, Ernando Ari Sutaryadi, dan membuat Ernando sedikit melakukan gerakan yang membuat pemain Myanmar itu memanfaatkan momen untuk terjatuh, dibuat terguling guling dan seperti merasa sangat kesakitan. Sebuah kelakuan yang menjijikkan. Tapi yang namanya usaha, apapun dilakukan meski dengan hal yang tidak enak dipandang. Dan rupanya, Thaw Zin Htet, berhasil mengelabui wasit sehingga wasit menunjuk titik putih dan mengkartu kuning kiper Garuda Muda. Terjadilah gol. Saya sendiri seandainya jadi pelatih, tidak akan membiarkan anak asuhnya bermain tidak sportif, diving dan sengaja memprovokasi lawan agar emosi dengan harapan lawan mendapat peringatan kartu dari wasit. Dan Ernando mestinya tak membuat sedikit gerakan yang dimanfaatkan pemain lawan yang memang sengaja memanfaatkan reaksi.
sangat konyol dan bodoh jika mengatakan
sebuah kelalaian memasang Bendera Indonesia dengan terbalik.
dan sangat bodoh jika mengatakan tidak tahu bendera Indonesia.
Anak-anak muda tim Garuda melakukan protes keras, beruntung kapten tim, David Maulana, berhasil meredakan rekan-rekannya dan kembali bermain dengan semangat penuh. Emosi masih terkendali dan menerima apapun keputusan wasit. Ya, menerima apapun keputusan wasit adalah cara yang harus dilakukan, karena wasit-lah yang memutuskan semua peraturan-peraturan yang diterapkan di lapangan.
Emosi pemain di lapangan saat bertanding kerap kali menjadi titik lemah tim dan berujung pada kekalahan. Rupanya gampangnya pemain Indonesia ( senior maupun junior) diprovokasi dimanfaatkan betul oleh pemain-pemain lawan. Malaysia sering sekali memanfaatkan ketidakastabilan pemian Indonesia mengontrol emosi saat diprovokasi. Permainan Indonesia yang sering dengan teknik yang lebih baik dari Malaysia, berujung dengan kekalahan karena terpancing provokasi lawan. Dan Malaysia tahu betul itu kelemahan Tim Indonesia.
Provokasi itu juga sekarang dilancarkan oleh anak kecil dari Malaysia yang juga masuk Tim AFF U-16 bernama Amirul Ashrafiq Hanifah. Hal sangat tidak santun dan memperlihatkan niatan tidak baik juga gambaran dari pendidikan yang kurang baik. Bagaimana mungkin di jaman yang semua bisa terhubung dengan internet, atau, -mungkin ia tidak bisa browsing tentang bendera di dunia- Ia sengaja mengunggah di instatory miliknya dengan memasang bendera Indonesia secara terbalik. Jika Ia benar-benar tidak tahu, ia benar-benar anak yang bodoh dan perlu belajar banyak. Menjadi timbul curiga juga jika Ia sengaja memasang bendera Indonesia secara terbalik untuk meprovokasi pemain Indonesia. Gambaran orang-orang negeri Jiran-kah? Semoga tidak.
Karena dalam Sea Games 2017 di malaysia pun, pemasangan bendera Indonesia dengan terbalik menjadi hal yang tidak mengenakkan. Pihak Malaysia pun meminta maaf atas insiden itu. Menurutnya tidak ada kesengajaan, dan sekarang, anak kecil itu melakukan ketidaksengajaan-kah? Jika sekedar hanya minta maaf, anak kecil umuran lima tahun pun bisa mengucapkan maaf, dan juga dengan alasan tidak sengaja, adalah alasan konyol yang sangat bodoh. Apakah berbuat konyol di negeri sana sebuah hal biasa dan kebiasaan?
Reaksi netizen Indonesia pun bermunculan menuliskan ketidaksenangan sampai ancaman pembunuhan terhadap Amirul Ashrafiq Hanifah. Ancaman tersebut membuat menpora malaysia, Syed Saddiq Abdul Rahman, menganggap ancaman seperti itu tak bisa ditolerir dan dan meminta FAM ( PSSI-nya Maaysia ) melaporkan pada pada AFF.
'kelalaian' juga? apa kecerobohan..?
Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Kita akan baik-baik saja jika tak ada kesengajaan provokasi. Sebuah penghinaan yang dilakukan dengan sadar dan tidak hanya sekali, itukah sebuah kelalaian? Apa mereka yang sengaja memprovokasi cukup meminta maaf kemudian berlari ke dapur sambil teriak-teriak, “Saya laporkan nanti..!”ketika ada rekasi dari sebuah provokasi. Memperbaiki diri mungkin akan lebih baik daripada hanya sekedar minta maaf untuk membuat kesalahan yang sama seperti seekor keledai.
Bagi Tim Garuda Muda, menjaga diri agar tidak terprovokasi lawan dan tetap bermain sesuai dengan arahan pelatih, itu hal yang selalu diingat bersama dengan rasa patriotisme yang tak pernah padam. Sengaja memprovokasi lawan adalah perbuatan hina yang menjijikan dan menandakan ketidakpercayaan diri. Biarkan musuh memprovokasi, anggap angin lalu, atau bila perlu manfaatkan provokasi lawan agar menjadi keuntungan kita.
Sangat disayangkan, ketika melawan Vietnam pun, pemain kita, Bagas Kaffa mendapat kartu merah karena diprovokasi dan tak bisa mengambil keuntungan ketika lebih dulu dipukul pemain Vietnam yang juga dikartu merah. Andai saja Bagas tak balas memukul dan “memanfaatkan” momen dirinya di pukul, mungkin hanya pemain Vietnam yang di kartu merah, meski cara seperti ini saya kurang begitu suka. Kontrol emosi dan menghormati apapun keputusan wasit dengan terus bertindak sportif, rupanya masih perlu ditekankan lebih intensif pada pemain kita.
Secara keseluruhan, permainan Garuda Muda pada gelaran Piala AFF U-16 saat melawan Vietnam, kontrol emosi cukup baik dan terkontrol, meski ternoda.
02082018

KOMENTAR DI MEDSOS



“Mas, pernah nggak kamu membaca komentar-komentar dari foto, video, artikel, berita atau apa saja yang di-upload di internet.”
“Sekali-kali pernah juga membacanya. Tapi kalau komentarnya sampai banyak sekali dari sebuah uplod-an, ya nggak semua dibaca. Memang kenapa?”
“Komentarnya pada sesuka hati. Seperti tidak tahu perasaan orang lain. Yang lebih mengerikan lagi, pada saling serang dan melecehkan, dan merendahkan. Apalagi kalau masalah politik atau beda kepercayaan dalam agama.”
“Ya, itu karena mereka yang terlibat pada merasa paling benar dan merasa taka ada kebenaran lain.”
“Terus saling menantang, saling mengancam, saling merasa paling berani, saling merasa tak ada yang boleh lebih dari ‘saya’, saling ini, saling itu..”
“Kamu ikut berkomentar?”
“Pernah hampir ikut koment. Baru saya tulis tapi urung saya post-kan, karena takut ikut terlibat emosi dan terbawa arus.”
“Kamu bisa netral nggak kalau baca begituan?”
“Selalu berusaha netral dan obyektif. Tapi, kadang terbawa emosi juga. Intinya, belum bisa seratus persen netral.”
“Itu karena kamu masih ikut terbawa kecenderungan untuk berpihak pada pendapat yang sama dengan kamu.”
“Sangat susah untuk tak berkecenderungan. Apalagi jika pendapat mirip dengan pendapat saya diserang dan dilecehkan. Rasanya gatal sekali untuk ikut membela dan menyerang.”
“Wajar saja, karena berkeinginan membaca juga lahir karena pengin tahu pendapat orang lain, apakah sama, apakah bertentangan atau apakah pendapat yang sama sekali di luar dugaan dan jauh dari pikiran.”
“Betul. Saya sering kaget juga, kadang ada pendapat yang di luar dugaan. Seperti lahir dari pikiran dunia lain yang tak terjamah.”
“Itu salah satu keasyikan berdiskusi, juga membaca. Kadang ada pemikiran semacam pencerahan dari tempat yang kita tidak duga-duga.”
“Bisa nggak yah untuk bersikap netral dan tak terbawa arus.”
“Bisa. Jika kamu dari awal tak punya pendapat apa-apa tentang sesuatu yang jadi bahan perbincangan. Tapi, apa mungkin? Jika kamu datang dengan tanpa pendapat pun, akan muncul juga kecenderungan untuk membela salah satu pendapat yang seide dengan pemikiranmu. Kan tidak mungkin kita tak punya pemikiran dari sebuah masalah yang diperdebatkan.”
“Berarti tetap saja kita terlibat dalam dukung mendukung?”
“Saya kira begitu. Cuma ada yang membedakan antara yang mendukung aktif dengan  mendukung tidak aktif.”
“Kalau bersikap obyektif, bisa nggak yah?”
“Obyektif atau tidak obyektif itu, tergantung pada si penilai. Jika si penilai punya pendapat yang cenderung sama, maka bisa saja ia tak bisa lepas dari membela pendapat orang lain yang sama dengan pendapatnya dan sebaliknya. Bisa saja kita sudah merasa obyektif, tapi bagi orang lain yang tak sependapat dianggap tidak obyektif.
Obyektif menurut keilmuan? Ilmunya siapa? Ilmu yang diyakini siapa? Bahkan bisa saja menjadi sangat obyektif jika subyektifitas terhadap sesutau karena berdasarkan keyakinan dengan landasan ilmu yang diyakini benar oleh si subyek.”
“Jadi bingung...”
“Yang penting jangan menambah komentar yang bikin panas dan berpotensi memunculkan komentar baru yang membuat lahir kembali perdebatan saling menyerang yang tidak sehat dan mengarah tidak bermutu dan tidak perlu.”
“Kadang komentar dan perdebatan saling mencaci berkembang jauh sekali dari topik awal.”
“Karena dilandasi dari ingin menyerang lawan dan ingin membuat lawan debat mengakui kesalahan, -satu hal yang tak mungkin- , itulah, maka nafsu ingin terus menyerang tak pernah padam.”
“Bikin capai dan tak perlu sebenarnya ya..?
“Betul!”
01082018