Label

Rabu, 23 Mei 2018

CASING


Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, ”ajining raga saka busana”, artinya, raga atau badan akan nampak pengaji ( berharga ) dari apa yang dipakainya. Semakin bagus pakaian yang dikenakan akan menambah berwibawa, berkesan baik dan meningkatkan kesan sosial yang disandangnya. Makanya memilih pakaian yang digunakan pada saat-saat tertentu menjadi hal sulit dengan berbagai pertimbangan bagi sebagian orang.

Pakain itu bungkus badan sekaligus penghias. Penghias harus sesuai dengan apa yang dihiasnya. Jika tak sesuai bisa jadi akan malah mengurangi nilai estetika dan tak enak dipandang. Demikian juga bungkus-bungkus yang lain. Bisa bungkus berbentuk benda, bisa bungkus tak berbentuk benda. Bungkus tak berbentuk benda ini bisa berupa kata-kata yang halus, santun dan manis, bisa juga berbentuk perlakuan dalam tingkah laku. Kondisi bungkus, baik yang berbentuk benda maupun tidak berbentuk benda, sangat berpengaruh terhadap perspektif dari orang yang menilainya. Maka, bungkus menjadi bagian penyajian yang dikemas dengan penuh hati-hati agar menarik.
Sebuah benda produk pabrikan berupa barang elektronik, perabot, mainan, makanan, pakaian, obat, semuanya memerlukan bungkus yang baik jika ingin dikenal calon pembeli dan menjadi memutuskan untuk membelinya. Tanpa penampilan yang baik, ketertarikan calon pembeli minim dan perlu pengenalan ekstra agar tertarik, kecuali jika produk itu sudah dikenal banyak orang tentung fingsi dan kegunaannya yang sudah terbukti lama. Sehingga desian bungkus dan nama menjadi salah satu pilihan untuk membuat produk barang tersebut menjadi menarik dan banyak di lirik orang. Iklan dan pengenalan produk juga menjadi salah satu faktor yang menentukan laku dan tidaknya sebuah produk.
Akan menjadi lain jika yang di’bungkus’ bukan sebuah barang. Sebuah lagu yang sudah akrab di telinga dengan aransmennya yang khas, bagi sebagian orang menjadi lagu yang aneh jika diarransmen ulang yang berbeda, asing dan dirasa malah merusak. Bagi sebagian lain mungkin bisa merasa lebih enak didengar dan menjadi lebih greget. Segala yang berkaitan dengan rasa yang muncul dari panca indra memang sangat subyektif, meski pada tingkatan tertentu bisa hampir seragam. Karena perbedaan ‘rasa’ itulah yang membuat seseorang atau sekelompok orang melakukan perubahan agar di rasa lebih baik dari yang sudah ada. Sebuah perubahan tentu bertujuan agar menjadi lebih menarik, mudah diingat, berkesan dan terasa nyaman dirasa.  (‘lebih’ menurut mereka yang merasa perlu ada perubahan)
Ketika sebuah ‘perubahan’ yang bertujuan untuk menjadi baik terjadi, maka akan muncul beragam reaksi dari berbagai kalangan sesuai dengan latar belakang, wawasan dan tujuan. Akan menjadi lebih ramai lagi jika yang kena perubahan itu sebuah keyakinan beragama. Perdebatan bisa menjadi serius dan bisa merembet ke persinggungan fisik antar individu atau antar kelompok.
Dalam keyakinan agama, sebagian orang merasa perlu menjaga kemurnian ajaran dengan argumen atau dalil-dalil yang diyakini benar dan tidak sesat ( menurutnya ). Sebagian lain merasa perlu dan tidak apa-apa memberi casing baru selagi tidak melanggar aturan-aturan yang dipercayainya. Dalam berkreatifitas itulah sering timbul perdebatan mengenai boleh tidaknya memberi casing baru pada cara dan kegiatan dalam melakukan ritual ibadah. Kegiatan menambah dan tidak menambah, mempertahankan keaslian dengan berbagai argumen, berkreasi agar terasa lebih indah dan familiar, dilakukan dengan sadar dan dimengerti segala akibat yang muncul, baik dari yang pro maupun yang tidak.
Semua punya argumen, baik yang pro pemberian casing ataupun yang tidak pro, dan melahirkan perdebatan. Perdebatan menjadi rumit ketika semua dikaitkan dalam satu ruang debat dengan didasari keyakinan yang sama-sama merasa benar. Bahkan ketika ada semacam juri pun, akan dianggap tidak kredibel ketika pendapat juri tidak sama dengan keyakinannya. Akan menjadi lebih ramai lagi jika masing-masing merasa punya kepentingan untuk membuat yang berbeda pendapat diarahkan supaya mengikutinya, dan saling beradu argumen dengan masing-masing merasa paling benar.
Ketika sudah sampai pada tahap perdebatan, esensi dari yang diperdebatkan, kadang terlupakan dan mengikuti arus emosi yang terus mengalir. Membiarkan dan tidak membiarkan pun menjadi pertimbangan lain bagi yang merasa perlu menjaga kemurnian, atau yang berkreasi pun merasa tak merusak kemurnian karena merasa tak ada yang dilanggar.
Dalam kehidupan bermasyarakat, asalkan tidak ada yang dirugikan dan terganggu secara fisik dan materi, tak jadi masalah karena semua berkeyakinan akan ada pertanggungjawaban di akherat kelak setiap apa yang dilakukan di dunia. Ada menjadi masalah, karena melakukan pembiaran dianggap dosa dan melakukan upaya agar sesuai dengan apa yang diyakininya adalah merupakan pahala.
Solusinya, cukup saling membiarkan dan memaklumi kah?
23/05/2018

Selasa, 08 Mei 2018

SETNOV 15 TAHUN PENJARA


“Hebat yah bang, Pak Setnov dihukum limabelas tahun penjara menerima. Tidak mengajukan banding. Padahal sebelumnya, berbagai cara dilakukan agar bebas dari jeratan hukum.”
“Menurut kamu yang hebat itu menerima hukuman apa hebat korupsinya?”
“Jangan memelintir pernyataan bang. Kaya politikus lagi saling serang saja.”
“Hkkk... Mungkin Pak Setnov sudah sadar. Atau mungkin juga karena merasa sudah tidak bisa mengelak lagi. Sudah tidak bisa membuat trik-trik agar lolos dari hukuman.”
“Memang ada trik-trik agar lepas dari hukuman ya bang.”
“Menurut yang pernah saya baca dan saya dengar, ada berbagai cara untuk lepas dari jeratan hukuman.”
“Contohnya?”
“Kalau contoh saya tidak tahu, karena saya bukan pelaku.”
“Kok tahu ada cara-cara agar lepas dari jeratan hukum.”
“Mau saya ulangi lagi, menurut yang pernah saya baca dan saya dengar, ada berbagai cara untuk lepas dari jeratan hukuman.”
“Biasanya tindakan korupsi kan dilakukan dengan rencana yang matang agar tidak sampai terjerat hukum, kenapa banyak juga yang kena dan tertangkap ya bang?”
“Pernah dengar nggak, tak ada kejahatan yang sempurna.”
“Pernah. Tapi kan, mereka sudah tahu kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan apa saja  yang bisa dilakukan untuk lepas dari jeratan hukum. Setidaknya hukum dunia.”
“Itu bukti bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna.”
“Itu yang mungkin bikin Pak Setnov menerima putusan hakim, lima belas tahun penjara ya bang?”
“Bisa juga. Bisa jadi Pak Setnov sudah sadar bahwa akan ada pengadilan yang lebih sempurna di akherat nanti jika tak segera insyaf, sadar dan bertaubat.”
“Ternyata uang tak bisa mebeli segalanya ya bang?”
“Betul! Dengan banyak uang memang bisa membeli barang apa saja yang diinginkan,  tapi, ketenangan bathin, kedamain dan rasa bebas dari dosa tak bisa dibeli dengan uang.”
“Malu nggak ya bang, terbukti korupsi.”
“Pasti malu lah. Akan lebih malu lagi, berusaha menghindar tapi tetap tak lolos. Mending menerima hukuman, meminta maaf dan mencari ketenangan lain yang lebih nikmat. Toh kenikmatan dunia, sudah lama dinikmatinya.”
08052108

Senin, 07 Mei 2018

TV SWASTA CORONG PEMERINTAH


“Kok ada ya bang, tv swasta yang menjadi corong pemerintah.”
“Memang ada? Saya jarang sekali nonton tivi.”
“Nggak si menjadi corong banget, cuma, sepertinya selalu memuat berita tentang pembelaan dengan waktu lama dan sebentar jika berita yang kurang baik imbas bagi pemerintah.”
“Tapi nggak manipulasi kan?”
“Gimana yah. Jadi gini. Nadanya itu selalu mengarahkan untuk pembenaran pada setiap apa saja yang dilakukan pemerintah.”
“Jika itu benar, nggak masalah kan?”
“Tapi berat sebelah bang. Nggak berimbang. Nggak independent. Pernah nonton tivi Anu nggak bang.”
“Kayaknya pernah. Sebentar. Saya jarang nonton tivi. Acara-acara debat terus, nggak ada yang ngaku lawannya benar, dan mengaku dirinya sendiri yang kurang benar. Semua merasa paling benar. Jadi bingung mana yang benar-benar, benar.”
“Triple benar ya bang?”
“Maksudnya, yang benar sesungguhnya menurut fakta yang sesungguhnya atau menurut keilmuan yang diyakini keilmuannya.”
“Kalau media tivi sudah berpihak, kan jadi nggak obyektif bang?
“Mungkin sudah obyektif, cuma kamu saja yang nggak sepaham, jadi merasa apa yang disajikan tidak obyektif. Kamu pernah cross check sebuah kabar yang tayang di tivi Anu dengan kejadian apa sesungguhnya?”
Belum si bang. Cuma saya cross check dengan media lain.”
“Pasti media lainnya yang bersebrangan. Coba kalau dengan media yang se-arus.”
“Terus, mana yang harus saya percaya...?”
“Kan banyak referensi dari berbagai media. Kita bisa menyaring dan menalar dengan kejadian sesungguhnya yang ada di sekitar kita.”
“Kenapa banyak media yang berkepentingan dengan politik yang bang?”
“Mungkin pangsa pasarnya cukup membuat untung, dan akan lebih aman jika pro pemerintah.”
“Bukan masalah pro dan nggak pro bang. Kenapa obyektifitasnya pudar.”
“Menurut kamu, tivi yang tidak pro pemerintah, obyektif ngaak?”
“Nggak juga si bang. Nada suaranya berkecenderungan menyerang.”
“Berarti sama-sama nggak obyektif, kan.”
“Kenapa jadi begitu yah bang..?”
“Kan sasaran pasarnya berbeda-beda. Kepentingan sang pemilik juga berbeda.”
Jadi kalau mau pilih yang independen yang gimana bang?”
“Yang sesuai dengan keinginan kamu itu yang kamu pilih.”
“Berarti saya juga tidak obyektif kalau begitu bang.”
“Bisa juga.”
“Lho, terus bagaimana nih baiknya.”
“Yang menurut kamu baik saja, dan tak perlu memaksa orang lain untuk sama seperti kamu.”
“Berarti diam saja tak perlu komentar ya bang.”
“Komentar nggak apa-apa, tapi jangan menyerang.”
“Kalau nggak suka masa komentarnya harus senang dan setuju. Itu namanya munafik.”
“Kalau nggak suka, mending diam saja. Daripada dilaporkan ke polisi. Kamu bisa dihukum dengan berkomentar yang komentarnya tidak disukai oleh orang yang kamu komentari.”
“Repot yah bang. Kebebasan berpendapat dikekang lagi.”
“Bukan dikekang. Ini untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dengan berkomentar.”
“Tidak baik itu kan subyektif bang. Bisa saja menurut saya baik, menurut orang lain tidak baik. Sebuah pilihan harus diam, sama juga dengan dikekang, bang.”
“Bisa saja begitu.”
“Terus..?”
“Terus bagaimana maksudnya?”
“Berarti harus diam saja..? Tidak berkomentar?”
“Tidak komentar kan juga nggak apa-apa kan?”
“Nggak si, tapi kan pengin.”
“Penginnya di tahan.”
“Gitu yah bang?”
“Iya. Iya sajalah..”
07052018