Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, ”ajining raga saka busana”,
artinya, raga atau badan akan nampak pengaji ( berharga ) dari apa yang
dipakainya. Semakin bagus pakaian yang dikenakan akan menambah berwibawa,
berkesan baik dan meningkatkan kesan sosial yang disandangnya. Makanya memilih
pakaian yang digunakan pada saat-saat tertentu menjadi hal sulit dengan berbagai
pertimbangan bagi sebagian orang.
Pakain itu bungkus badan sekaligus penghias. Penghias harus
sesuai dengan apa yang dihiasnya. Jika tak sesuai bisa jadi akan malah
mengurangi nilai estetika dan tak enak dipandang. Demikian juga bungkus-bungkus
yang lain. Bisa bungkus berbentuk benda, bisa bungkus tak berbentuk benda.
Bungkus tak berbentuk benda ini bisa berupa kata-kata yang halus, santun dan
manis, bisa juga berbentuk perlakuan dalam tingkah laku. Kondisi bungkus, baik
yang berbentuk benda maupun tidak berbentuk benda, sangat berpengaruh terhadap
perspektif dari orang yang menilainya. Maka, bungkus menjadi bagian penyajian
yang dikemas dengan penuh hati-hati agar menarik.
Sebuah benda produk pabrikan berupa barang elektronik,
perabot, mainan, makanan, pakaian, obat, semuanya memerlukan bungkus yang baik
jika ingin dikenal calon pembeli dan menjadi memutuskan untuk membelinya. Tanpa
penampilan yang baik, ketertarikan calon pembeli minim dan perlu pengenalan
ekstra agar tertarik, kecuali jika produk itu sudah dikenal banyak orang
tentung fingsi dan kegunaannya yang sudah terbukti lama. Sehingga desian
bungkus dan nama menjadi salah satu pilihan untuk membuat produk barang
tersebut menjadi menarik dan banyak di lirik orang. Iklan dan pengenalan produk
juga menjadi salah satu faktor yang menentukan laku dan tidaknya sebuah produk.
Akan menjadi lain jika yang di’bungkus’ bukan sebuah barang.
Sebuah lagu yang sudah akrab di telinga dengan aransmennya yang khas, bagi
sebagian orang menjadi lagu yang aneh jika diarransmen ulang yang berbeda,
asing dan dirasa malah merusak. Bagi sebagian lain mungkin bisa merasa lebih
enak didengar dan menjadi lebih greget. Segala yang berkaitan dengan rasa yang
muncul dari panca indra memang sangat subyektif, meski pada tingkatan tertentu
bisa hampir seragam. Karena perbedaan ‘rasa’ itulah yang membuat seseorang atau
sekelompok orang melakukan perubahan agar di rasa lebih baik dari yang sudah
ada. Sebuah perubahan tentu bertujuan agar menjadi lebih menarik, mudah
diingat, berkesan dan terasa nyaman dirasa. (‘lebih’ menurut mereka yang merasa perlu ada
perubahan)
Ketika sebuah ‘perubahan’ yang bertujuan untuk menjadi baik
terjadi, maka akan muncul beragam reaksi dari berbagai kalangan sesuai dengan
latar belakang, wawasan dan tujuan. Akan menjadi lebih ramai lagi jika yang
kena perubahan itu sebuah keyakinan beragama. Perdebatan bisa menjadi serius
dan bisa merembet ke persinggungan fisik antar individu atau antar kelompok.
Dalam keyakinan agama, sebagian orang merasa perlu menjaga
kemurnian ajaran dengan argumen atau dalil-dalil yang diyakini benar dan tidak
sesat ( menurutnya ). Sebagian lain merasa perlu dan tidak apa-apa memberi casing baru selagi tidak melanggar
aturan-aturan yang dipercayainya. Dalam berkreatifitas itulah sering timbul
perdebatan mengenai boleh tidaknya memberi casing
baru pada cara dan kegiatan dalam melakukan ritual ibadah. Kegiatan menambah dan
tidak menambah, mempertahankan keaslian dengan berbagai argumen, berkreasi agar
terasa lebih indah dan familiar, dilakukan dengan sadar dan dimengerti segala
akibat yang muncul, baik dari yang pro maupun yang tidak.
Semua punya argumen, baik yang pro pemberian casing ataupun
yang tidak pro, dan melahirkan perdebatan. Perdebatan menjadi rumit ketika
semua dikaitkan dalam satu ruang debat dengan didasari keyakinan yang sama-sama
merasa benar. Bahkan ketika ada semacam juri pun, akan dianggap tidak kredibel
ketika pendapat juri tidak sama dengan keyakinannya. Akan menjadi lebih ramai
lagi jika masing-masing merasa punya kepentingan untuk membuat yang berbeda
pendapat diarahkan supaya mengikutinya, dan saling beradu argumen dengan
masing-masing merasa paling benar.
Ketika sudah sampai pada tahap perdebatan, esensi dari yang diperdebatkan,
kadang terlupakan dan mengikuti arus emosi yang terus mengalir. Membiarkan dan
tidak membiarkan pun menjadi pertimbangan lain bagi yang merasa perlu menjaga
kemurnian, atau yang berkreasi pun merasa tak merusak kemurnian karena merasa
tak ada yang dilanggar.
Dalam kehidupan bermasyarakat, asalkan tidak ada yang
dirugikan dan terganggu secara fisik dan materi, tak jadi masalah karena semua
berkeyakinan akan ada pertanggungjawaban di akherat kelak setiap apa yang
dilakukan di dunia. Ada menjadi masalah, karena melakukan pembiaran dianggap
dosa dan melakukan upaya agar sesuai dengan apa yang diyakininya adalah
merupakan pahala.
Solusinya, cukup saling membiarkan dan memaklumi kah?
23/05/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar