Label

Sabtu, 26 April 2025

DUA BATU BERGESER


Bagi sebagian banyak orang, berjalan jauh menempuh pematang tanah liat dan becek, menjadi hal yang tidak menyenangkan dan berusaha untuk meghindari. Karena menjadi kebiasaan dan hal yang harus dijalani setiap hari yang membuat Sani merasa tak punya beban. Ia menikmati semua pengaruh iklim pada sekitar tempat tinggalnya. Saat masih sekolah, Ia sama sekali tak malu dan tak mempermasalahkan sepatunya yang basah dan kotor saat musim hujan karena harus melewati pematang yang memisahkan tambak tempat orang tuanya dan sekitar limapuluhan kepala keluarga yang beternak ikan dan udang sebagai penghasilan utama keluarga. Sepeda yang Ia bawa saat musim kemarau, tak bisa leluasa di bawa karena tanah yang lengket menempel dan bekas roda motor membuat jalur sedalam dua puluh lima centi meter sepanjang pematang. Tak ada kesan menyenangkan jika musim penghujan melewati jalan yang juga pematang itu. Pepohonan di kiri kanan yang bersemi dan menghijau menjadi keindahan penyempurna riak air disapu angin.

Alam begitu akrab dan membentuk kesempurnaan sikap pada tanah, air, hewan, tetumbuhan dan seluruh musim. Sani bersahabat dengan ketulusan hati dan bercengkerama setiap saat dengan bahasanya. Bahasa yang tak pernah Ia mengerti dan tak ada yang mengajari. Tak pernah ada kebohongan dan tak pernah ada pengingkaran. Saat menjelang senja, saat sinar mentari jatuh mendatar, Kariman, pemuda anak Pak Hasbi, orang yang dituakan para petani tambak itu, selalu memandangi seluruh gerak Sani dari rumahnya yang berjarak limapuluh meter, sambil sesekali memandangi gagang pancingnya yang diseret ikan. Sani menyadari itu, Ia pun merasa senang dan waktu begitu cepat berlalu memasuki malam. Dalam remang lampu-lampu dari aliran listrik yang menyambung dari perkampungan berjarak tiga kilo meter, Sani dan Kariman merajut jalan ke alam khayalnya, tak tentu ujung, tak tentu arah. Angin lembut yang menyapa mereka berdua menyampaikan pesan cinta pada keduanya. Berbungalah rerumputan di sekitar mereka berjalan.

Kariman jago memancing. Ia juga pintar merawat tambak, paham perilaku udang dan banyak jenis ikan yang diternak di tambak juga di sungai-sungai di sekitarnya sampai agak jauh. Kecerdasan, rasa ingin mengerti, insting menelitinya yang tinggi didukung rasa penasaran yang tak pernah padam menjadikan Ia semakin asyik mengamati setiap apa yang ada di sekitarnya. Ini juga yang membuat Sani menjadi tambah yakin tak ingin jauh-jauh darinya.

Ketika Sani memancing ikan duduk di salah satu batu yang berjejer di bawah pohon Panggang yang rimbun di sungai yang dua kilometer lagi bermuara di laut, Kariman mendatangi dengan dada berdegup dan darah berdesir. Ia ajari cara memasang umpan, melempar pancing, saat yang tepat menghentak joran dan mengajari jenis ikan dari cara bergerak di air. Sani terpesona, terpana, Kariman berbunga bisa membuat Sani tampak bahagia. Hari berikutnya menjadi seperti jadwal yang disepakati bersama, berdua memancing dan menghitung ikan yang didapat saat petang meski tak pernah mengingatnya berapa ikan yang di dapat. Hari berikut dan seterusnya, berdatanganlah orang-orang mancing di sekitar mereka, entah karena Sani, entah karena ikan yang didapat Kariman. Berjejerlah orang-orang berdagang. Lapak-lapak pemancingan tumbuh pesat dan sampah plastik berserakan berpindah tempat ditiup angin. Kesunyian di sore hari saat menjelang petang, hilang. Canda tawa dan teriakan tak kenal waktu menjadi semakin terbiasa.

Kelihaian Kariman memancing membuatnya banyak didatangi orang untuk berguru. Sering juga Ia di ajak untuk memancing bersama di lokasi yang jauh berbeda. Di tempat asing dan baru pun, Ia tetap mampu memperoleh ikan yang lebih banyak dari yang lain. Di air keruh dan air bening pun tetap saja Ia piawai, juga di air yang deras mengalir atau air tenang. Ia sangat tahu memperlakukan pancing pada setiap jenis ikan di dalam air meski tak tampak. Memahami setiap gerakdan kebiasaan calon mangsanya. Tiupan angin dan gerakan air menjadi petunjuk baginya. Dan hebatnya lagi, Ia juga pintar menjala di segala macam air.

Kariman menjadi jarang pulang, sibuk di undang sana-sini, dimintai bantuan oleh banyak orang. Ia banyak mendapatkan teman dan uang. Ketika pulang, Ia masih menyempatkan mancing bersama Sani, duduk bersebelahan di atas batu berjejer di bawah pohon Panggang. Tempat khusus mereka berdua berbiasa.

“Aku merasa kamu berubah Man,” Sani membuka lagi obrolan yang tertunda beberapa menit, tak seperti biasa sebelumnya.

“Kau yang mungkin menjadi perasa sekarang, Ni.”

Tak ada sautan. Hening. Angin sore mengantar sinar mentari yang redup tenggelam di ujung batas bumi.

“Sudah masuk malam, kita pulang. Tak baik malam-malam di luar berdua.”

“Aku ingin berdua di sini bersamamu. Menikmati. Aku ingin bercerita banyak, tentang kita, sekarang sampai nanti.”

Sani terdiam. Senyum Kariman masih ajek, lugu dan sederhana meski ada sedikit garis di tarik ke atas di ujung bibirnya. Kariman tersenyum tenang. Angin yang sedikit basah menyisir ujung-ujung rambutnya dan malam membawanya pada dunia lain yang belum dimengerti Sani. Saat bulan sabit menjelang tenggelam pinggir langit barat, Kariman mulai merayu Sani.

“Kau tak ingin ke kota bersamaku, San? Kau akan melihat keindahan dan kemewahan dunia modern yang di sini nggak ada. Kau mau aku ajak ke sana? Banyak temanku di sana sekarang. Ada yang jadi pejabat tinggi, ada jadi kontraktor, ada yang jadi politisi, ada yang jadi preman, ada yang jadi pengusaha, macam-macam pekerjaan teman-temanku. Kapan kau mau ikut, San?”

Sani terdiam. Tak terpikirkan tentang kehidupan kota dan tak ingin menjawab kapan waktunya.

“Jangan khawatir dengan biaya San. Saya banyak uang  sekarang. Mereka memberiku banyak uang atas jasaku mengajari mereka membaca situasi.”

“Apa yang kau ajarkan?”

“Mereka kurang paham bagaimana memancing, saya ajari mereka karena mereka juga meminta.”

“Memancing ikan?”

“Bukan hanya itu. Itu hanya sebuah awal untuk langkah berikutnya yang kadang tak terduga. Saya dapat banyak uang dari mereka. Aku ingin menikmatinya bersamamu.”

“Itu bukan dunia saya.”

“Kau akan masuk pada dunia itu jika kau mau bersamaku.”

Sani segera bangkit berdiri dan beranjak, “aku pulang. Ibu dan ayah menungguku di rumah.”

Kariman diam melongo. Ia merasa gagal dan mengutuk diri sambil bergegas mengendarai motor melaju ke arah kota dan menyempatkan berhenti, menelpon seseorang, “hallo broo. Tolong jemput saya di tempat yang kemarin ya.” Ia mengembara di dunia yang baru pada belantara bergemerlap, bisik-bisik dan nyanyian yang tidak semua orang paham iramanya.

Setiap Kariman pulang, Ia menggeser batu yang biasa menjadi tempat duduk berdua dengan Sani menjadi lebih dekat dan Sani akan menggeser ke tempat semula jika melihatnya.

“Batu ini akan berada di pinggir halaman rumah wisata yang akan saya bangun di sini.”

“Kau punya banyak uang?”

“Tidak. Saya tidak punya uang, tapi saya punya cara agar mereka mau membiayai. Saya pegang kunci mereka.”

“Kunci?”

“Ya. Mereka takut saya bernyanyi. Mereka akan melakukan untuk itu.”

“Kamu bisa bernyanyi sekarang?”

“Ya. Dan kau mau tahu nyanyian itu?”

Sani menggeleng, “Tidak. Saya tidak suka nyanyian seperti itu.”

Kariman bergerak cepat hilir mudik ke kota. Orang-orang di pinggir jalan yang dilewatinya menyapa akrab sambil menganggukkan kepala. Tak perlu menunggu pemilu, alat-alat berat dan truk pengangkut batu dan semen berdatangan. Ruas jalan baru yang lebar membentang bercabang-cabang. Kabel saluran listrik menggelantung antar tiang yang tertanam  sepanjang pinggir jalan. Malam tak lagi gelap dan suara gangsir menepi jauh menghindari gilasan roda. Dan, dua batu yang dijaga tempatnya oleh Sani, mulai bergeser mendekat, Sani membiarkan, mulai menikmatinya berdua. Dua batu yang dijaga tempatnya kadang bergeser menjauh, Sani tak berdaya dan menangis, mengusap air mata yang sembab, berbaur dengan orang-orang di bawah lampu warna warni yang terus berganti sampai pagi.

Air tempat memancing mengeruh. Gerakan-gerakan riak air tak lagi bisa terbaca ikan apa yang ada di dalamnya. Ular dan Sero berebut memangsa. Di atasnya, orang-orang berteriak-teriak bernyanyi bergembira-gembira. Malam menjadi tidak sunyi. Angin yang biasanya bertiup lembut menjadi kasar dan tajam. Air tambak menyempit, aliran sungai terseok-seok mempopong sampah yang tak pernah berhenti. Lantai beton menghampir terus melebar setiap detik. Uang terus mengalir mengkamuflase kekumuhan dan bau sampah.

Sani telah tergenggam ditangan Kariman terbawa pada ruangnya, dan tak hanya Sani, banyak yang masuk dan tak bisa melepas karena sayapnya telah terikat.

Sesekali Kariman pergi memancing untuk meyakinkan keahliannya dan mengajak anak-anak saudaranya, mengajari cara dan memanfaatkan waktu. Di bawah pohon-pohon yang pangkalnya di cekik lantai beton, mereka bersuka ria, menari dan tertawa tanpa jiwa. Temaram senja hilang makna tertutup sorot lampu jalan dan taman. Malam menjadi selalu hiruk pikuk, entah tertawa apa.

9:34,01/08/2021 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar