Bagi sebagian banyak orang, berjalan jauh menempuh pematang tanah liat dan becek, menjadi hal yang tidak menyenangkan dan berusaha untuk meghindari. Karena menjadi kebiasaan dan hal yang harus dijalani setiap hari yang membuat Sani merasa tak punya beban. Ia menikmati semua pengaruh iklim pada sekitar tempat tinggalnya. Saat masih sekolah, Ia sama sekali tak malu dan tak mempermasalahkan sepatunya yang basah dan kotor saat musim hujan karena harus melewati pematang yang memisahkan tambak tempat orang tuanya dan sekitar limapuluhan kepala keluarga yang beternak ikan dan udang sebagai penghasilan utama keluarga. Sepeda yang Ia bawa saat musim kemarau, tak bisa leluasa di bawa karena tanah yang lengket menempel dan bekas roda motor membuat jalur sedalam dua puluh lima centi meter sepanjang pematang. Tak ada kesan menyenangkan jika musim penghujan melewati jalan yang juga pematang itu. Pepohonan di kiri kanan yang bersemi dan menghijau menjadi keindahan penyempurna riak air disapu angin.
Alam begitu akrab dan
membentuk kesempurnaan sikap pada tanah, air, hewan, tetumbuhan dan seluruh
musim. Sani bersahabat dengan ketulusan hati dan bercengkerama setiap saat
dengan bahasanya. Bahasa yang tak pernah Ia mengerti dan tak ada yang
mengajari. Tak pernah ada kebohongan dan tak pernah ada pengingkaran. Saat
menjelang senja, saat sinar mentari jatuh mendatar, Kariman, pemuda anak Pak
Hasbi, orang yang dituakan para petani tambak itu, selalu memandangi seluruh
gerak Sani dari rumahnya yang berjarak limapuluh meter, sambil sesekali
memandangi gagang pancingnya yang diseret ikan. Sani menyadari itu, Ia pun
merasa senang dan waktu begitu cepat berlalu memasuki malam. Dalam remang
lampu-lampu dari aliran listrik yang menyambung dari perkampungan berjarak tiga
kilo meter, Sani dan Kariman merajut jalan ke alam khayalnya, tak tentu ujung,
tak tentu arah. Angin lembut yang menyapa mereka berdua menyampaikan pesan
cinta pada keduanya. Berbungalah rerumputan di sekitar mereka berjalan.
Kariman jago memancing. Ia
juga pintar merawat tambak, paham perilaku udang dan banyak jenis
ikan yang diternak di tambak juga di sungai-sungai di sekitarnya sampai agak
jauh. Kecerdasan, rasa ingin mengerti, insting menelitinya yang tinggi didukung
rasa penasaran yang tak pernah padam menjadikan Ia semakin asyik mengamati
setiap apa yang ada di sekitarnya. Ini juga yang membuat Sani menjadi tambah
yakin tak ingin jauh-jauh darinya.
Ketika Sani memancing ikan duduk
di salah satu batu yang berjejer di bawah pohon Panggang yang rimbun di sungai
yang dua kilometer lagi bermuara di laut, Kariman mendatangi dengan dada
berdegup dan darah berdesir. Ia ajari cara memasang umpan, melempar pancing, saat
yang tepat menghentak joran dan mengajari jenis ikan dari cara bergerak di air.
Sani terpesona, terpana, Kariman berbunga bisa membuat Sani tampak bahagia.
Hari berikutnya menjadi seperti jadwal yang disepakati bersama, berdua
memancing dan menghitung ikan yang didapat saat petang meski tak pernah
mengingatnya berapa ikan yang di dapat. Hari berikut dan seterusnya,
berdatanganlah orang-orang mancing di sekitar mereka, entah karena Sani, entah
karena ikan yang didapat Kariman. Berjejerlah orang-orang berdagang.
Lapak-lapak pemancingan tumbuh pesat dan sampah plastik berserakan berpindah
tempat ditiup angin. Kesunyian di sore hari saat menjelang petang, hilang.
Canda tawa dan teriakan tak kenal waktu menjadi semakin terbiasa.
Kelihaian Kariman memancing
membuatnya banyak didatangi orang untuk berguru. Sering juga Ia di ajak untuk
memancing bersama di lokasi yang jauh berbeda. Di tempat asing dan baru pun, Ia
tetap mampu memperoleh ikan yang lebih banyak dari yang lain. Di air keruh dan
air bening pun tetap saja Ia piawai, juga di air yang deras mengalir atau air
tenang. Ia sangat tahu memperlakukan pancing pada setiap jenis ikan di dalam
air meski tak tampak. Memahami setiap gerakdan kebiasaan calon mangsanya.
Tiupan angin dan gerakan air menjadi petunjuk baginya. Dan hebatnya lagi, Ia
juga pintar menjala di segala macam air.
Kariman
menjadi jarang pulang, sibuk di undang sana-sini, dimintai bantuan oleh banyak
orang. Ia banyak mendapatkan teman dan uang. Ketika pulang, Ia masih
menyempatkan mancing bersama Sani, duduk bersebelahan di atas batu berjejer di
bawah pohon Panggang. Tempat khusus mereka berdua berbiasa.
“Aku merasa kamu berubah
Man,” Sani membuka lagi obrolan yang tertunda beberapa menit, tak seperti biasa
sebelumnya.
“Kau yang mungkin menjadi
perasa sekarang, Ni.”
Tak ada sautan. Hening.
Angin sore mengantar sinar mentari yang redup tenggelam di ujung batas bumi.
“Sudah masuk malam, kita
pulang. Tak baik malam-malam di luar berdua.”
“Aku ingin berdua di sini
bersamamu. Menikmati. Aku ingin bercerita banyak, tentang kita, sekarang sampai
nanti.”
Sani terdiam. Senyum
Kariman masih ajek, lugu dan sederhana meski ada sedikit garis di tarik ke atas
di ujung bibirnya. Kariman tersenyum tenang. Angin yang sedikit basah menyisir
ujung-ujung rambutnya dan malam membawanya pada dunia lain yang belum
dimengerti Sani. Saat bulan sabit menjelang tenggelam pinggir langit
barat, Kariman mulai merayu Sani.
“Kau
tak ingin ke kota bersamaku, San? Kau akan melihat keindahan dan kemewahan
dunia modern yang di sini nggak ada. Kau mau aku ajak ke sana? Banyak temanku
di sana sekarang. Ada yang jadi pejabat tinggi, ada jadi kontraktor, ada yang
jadi politisi, ada yang jadi preman, ada yang jadi pengusaha, macam-macam
pekerjaan teman-temanku. Kapan kau mau ikut, San?”
Sani
terdiam. Tak terpikirkan tentang kehidupan kota dan tak ingin menjawab kapan
waktunya.
“Jangan
khawatir dengan biaya San. Saya banyak uang
sekarang. Mereka memberiku banyak uang atas jasaku mengajari mereka
membaca situasi.”
“Apa
yang kau ajarkan?”
“Mereka
kurang paham bagaimana memancing, saya ajari mereka karena mereka juga
meminta.”
“Memancing
ikan?”
“Bukan
hanya itu. Itu hanya sebuah awal untuk langkah berikutnya yang kadang tak
terduga. Saya dapat banyak uang dari mereka. Aku ingin menikmatinya bersamamu.”
“Itu
bukan dunia saya.”
“Kau
akan masuk pada dunia itu jika kau mau bersamaku.”
Sani
segera bangkit berdiri dan beranjak, “aku pulang. Ibu dan ayah menungguku di
rumah.”
Kariman
diam melongo. Ia merasa gagal dan mengutuk diri sambil bergegas mengendarai
motor melaju ke arah kota dan menyempatkan berhenti, menelpon seseorang, “hallo
broo. Tolong jemput saya di tempat yang kemarin ya.” Ia mengembara di dunia
yang baru pada belantara bergemerlap, bisik-bisik dan nyanyian yang tidak semua
orang paham iramanya.
Setiap
Kariman pulang, Ia menggeser batu yang biasa menjadi tempat duduk berdua dengan
Sani menjadi lebih dekat dan Sani akan menggeser ke tempat semula jika
melihatnya.
“Batu
ini akan berada di pinggir halaman rumah wisata yang akan saya bangun di sini.”
“Kau
punya banyak uang?”
“Tidak.
Saya tidak punya uang, tapi saya punya cara agar mereka mau membiayai. Saya
pegang kunci mereka.”
“Kunci?”
“Ya.
Mereka takut saya bernyanyi. Mereka akan melakukan untuk itu.”
“Kamu
bisa bernyanyi sekarang?”
“Ya.
Dan kau mau tahu nyanyian itu?”
Sani
menggeleng, “Tidak. Saya tidak suka nyanyian seperti itu.”
Kariman
bergerak cepat hilir mudik ke kota. Orang-orang di pinggir jalan yang
dilewatinya menyapa akrab sambil menganggukkan kepala. Tak perlu menunggu
pemilu, alat-alat berat dan truk pengangkut batu dan semen berdatangan. Ruas
jalan baru yang lebar membentang bercabang-cabang. Kabel saluran listrik
menggelantung antar tiang yang tertanam
sepanjang pinggir jalan. Malam tak lagi gelap dan suara gangsir menepi
jauh menghindari gilasan roda. Dan, dua batu yang dijaga tempatnya oleh Sani,
mulai bergeser mendekat, Sani membiarkan, mulai menikmatinya berdua. Dua batu
yang dijaga tempatnya kadang bergeser menjauh, Sani tak berdaya dan menangis,
mengusap air mata yang sembab, berbaur dengan orang-orang di bawah lampu warna
warni yang terus berganti sampai pagi.
Air
tempat memancing mengeruh. Gerakan-gerakan riak air tak lagi bisa terbaca ikan
apa yang ada di dalamnya. Ular dan Sero berebut memangsa. Di atasnya,
orang-orang berteriak-teriak bernyanyi bergembira-gembira. Malam menjadi tidak
sunyi. Angin yang biasanya bertiup lembut menjadi kasar dan tajam. Air tambak
menyempit, aliran sungai terseok-seok mempopong sampah yang tak pernah
berhenti. Lantai beton menghampir terus melebar setiap detik. Uang terus
mengalir mengkamuflase kekumuhan dan bau sampah.
Sani
telah tergenggam ditangan Kariman terbawa pada ruangnya, dan tak hanya Sani, banyak
yang masuk dan tak bisa melepas karena sayapnya telah terikat.
Sesekali
Kariman pergi memancing untuk meyakinkan keahliannya dan mengajak anak-anak
saudaranya, mengajari cara dan memanfaatkan waktu. Di bawah pohon-pohon yang
pangkalnya di cekik lantai beton, mereka bersuka ria, menari dan tertawa tanpa
jiwa. Temaram senja hilang makna tertutup sorot lampu jalan dan taman. Malam
menjadi selalu hiruk pikuk, entah tertawa apa.
9:34,01/08/2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar