Label

Selasa, 21 Desember 2021

JEJAK DIGITAL

Mengunggah tulisan, foto, video, dan suara pada jaman serba internet, semua orang yang nggak gaptek, bisa melakukannya. Asal menulis, hampir semua orang bisa, tetapi untuk menghasilkan tulisan yang baik dan enak dibaca perlu keahlian tersendiri. Lain halnya dengan merekam video, memfoto atau merekam suara, asal tahu aplikasi yang bisa dipakai dan tahu tobol-tombol yang harus dipencet, aktivitas merekam bisa dilakukan. Dan, internet siap manampung semua konten yang di upload, walau kemudian ada yang segera di down  oleh operator jika mengandung konten yang tidak semestinya atau melanggar aturan yang diterapkan pada negara tertentu. Hanya dengan sentuhan jari, selesai upload seluruh jagat raya yang terkoneksi internet dapat melihatnya. Tak peduli apakah sengaja mengupload  atau tidak sengaja, dunia digital telah mencatatnya dan jejak digital telah tergores.

Pengupload bisa saja kemudian memutuskan untuk menghapusnya, tapi jika ada pihak lain yang sudah mendownload atau menscreenshot dan menyebarkan ulang, kita hanya berharap semoga tidak terjadi apa-apa dengan apa yang kita upload.

Dengan mengunggah sesuatu ke internet ( media sosial dll ), semua tanggapan dan komentar yang muncul harus diterima karena kita tidak bisa mengendalikan semua orang yang membaca atau menonton yang dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda-beda.

Menanggapi dengan emosi komentar atau tanggapan yang tidak sesuai keinginan kita, akan menjadi semakin menambah dalam rasa jengkel dan menumbuhkan emosi baru yang bisa saja tak terkendali. Menyampaikan klarifikasi bisa menjadi salah satu cara untuk memberi pencerahan pada orang yang berkomentar atau menanggapi tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Tak jarang sebuah klarifikasi di tanggapi lagi dengan komentar yang lebih menyakitkan dan mengaduk-aduk ruang emosi. Atau terkadang sebuah komentar yang sepertinya dengan sengaja diarahkan untuk menyerang dan menyudutkan. Pertengkaran di dunia maya pun menjadi hal yang sering kita lihat dengan berbagai macam permasalahan, atau bahkan berawal hal-hal yang sepele pun bisa menjadi hal yang diperkarakan di ranah hukum.

Eksistensi diri menjadi dorongan yang kuat untuk menguplod foto, video dan tulisan. Seringkali rasa ingin itu menafikan resiko yang akan diterima, dan tersentak kaget saat muncul penolakan atau ketidaksenangan yang menyerang. Jika takut dengan segala resiko dari apa yang kita uplod , akan lebih aman jika di simpan dalam storige pribadi untuk dinikmati sendiri. Jika ingin orang lain tahu, bersiap saja untuk menerima apapun tanggapan orang yang tidak bisa kita kendalikan.

Jejak digital tidak seperti catatan dalam kertas yang bisa saja di hapus atau di buang, ia akan muncul di seluruh ruang dan waktu, dan tercatat kuat.

21:04 21.12.21

Jumat, 10 Desember 2021

TOLERANSI DOMINASI

 Karena perbedaan keyakinan dan cara yang tidak bisa disatukan menjadi satu ruang yang sama dalam memahami dan menjalani, muncullah ruang rasa penghubung yang disebut toleransi. Bahasa gampangnya, silahkan kamu begitu yang penting jangan mengganggu aku. Berbeda, perbedaan,  itu manusiawi, dan berkeinginan untuk mengarahkan yang berbeda supaya sama dengan apa yang diinginkan oleh ‘aku’ juga manusiawi. Pada taraf tertentu orang merasa bahwa segala apa yang diyakini dan dilakukan oleh ‘aku’ adalah yang paling ideal, nyaman dan membahagiakan. ‘Aku’nya kemudian tak sadar tumbuh pada ruang egois yang memutuskan; yang tidak seperti  ‘aku’ harusnya berubah ke arah seperti ‘aku’. Karena masing-masing berkeinginan menciptakan suasana seperti yang ‘aku’ inginkan, lahirlah ruang-ruang perkelompokan yang mempunyai rasa sama atau seridaknya mirip. Ruang-ruang perkelompokan itu tak bisa sama identik dengan perkelompokan yang lain. Dan kembali lagi, rasa egois telah dan akan terus menerus menimbulkan ‘tak bisa sama identik’ dengan semua yang di luar dirinya.

Rasa toleransi sebagai perekat perbedaan, tak juga bisa dimaknai sama antar sesama ‘aku’. Tetap saja akan lahir perasaan merasa paling toleran dan yang diluar ‘aku’ dan kelomopoknya tidak sebaik apa yang dilakukannya. Memaklumi bahwa, perbedaan itu manusiawi, itulah pokok awal tidak memungkinkan memaksakan semua perasaan dan pemikiran menjadi sama dan identik satu sama lain. Dari sini pula lahir rasa ingin lebih dominan dari kelompok lain. Supaya dominasi itu terwujud dan terus bisa bertahan mendominasi, dilakukan berbagai upaya seperti berkampanye meyakinkan pada kelompok lain, berargumen dengan disertai dasar dan alasan tentang segala yang dilakukannya. Dan, ketika lebih dari dua kelompok saling melakukan hal yang sama untuk merasa lebih dominan dari yang lain, perdebatan dan pergesekan tak terhindarkan.

Dari awal yang baik, bertujuan untuk saling bertoleran, bisa muncul pergesekan yang bisa memunculkan percik api jika tak rapi menjaga hati dan tindakan. Para “aku’ yang merasa anggota kelompoknya yang se’aku’ lebih banyak dari yang lain di sekitarnya, cenderung lupa bahwa ada yang lain yang tidak se’aku’ merasa terganggu. Ke-merasa-an terganggu ini muncul sedikit semacam benih dendam dan berusaha untuk mencari teman yang se’aku’.

Di setiap tempat, harus selalu ada permufakatan tentang bertindak dan berkelakuan toleransi yang bisa saling menjaga dengan tidak merasa paling toleran. Karena merasa paling toleran itu sendiri merupakan benih dari intoleran.

10122012 17:02