Label

Kamis, 31 Januari 2019

MENGAKU JUJUR, BERSIH, PINTAR DLL


Menjelang pemilu serentak tanggal 17 April 2019, kita disuguhi begitu banyak calon legislatif yang menawarkan diri untuk dipilih. Gambar-gambar dengan beraneka warna, bermacam-macam ukuran, bermacam-macam pose dan bermacam-macam tulisan menyatakan diri sebagai orang yang bersih, jujur, pintar, dan semua hal yang baik-baik, ditata sedemikian rupa sehingga menurut mereka yang terpajang, akan membuat para pemilih tertarik. Cara itu efektifkah? Saya tak pernah melakukan survey untuk menjajagi seberapa besar baner dan foto-foto yang dipasang para caleg mempengaruhi pikiran untuk memilih. Karena memperkenalkan diri bahwa, saya sedang mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPD adalah hal yang perlu sekali. Jalan dan tempat umum yang sering dilewati orang menjadi pilihan untuk memperkenalkan diri dan berupaya agar banyak orang tertarik. Tidak semua orang bisa dan terbiasa mengakses media sosial atau media massa digital lain, dan inilah yang membuat kampanye berbentuk fisik menjadi pilihan utama meskipun biayanya lebih mahal.

Dan, lihatlah begitu banyak para caleg yang mengaku-ngaku yang dituliskan pada alat peraga kampanyenya. Pernahkah kita percaya seratus persen terhadap orang yang mengatakan, “saya jujur, pintar, bersih, peduli, merakyat, .....” 

Seseorang yang asli pintar, kemudian dia dengan semangat mengaku-ngaku pintar, itu akan membuat orang yang mendengar atau membacanya menjadi kurang percaya atau bahkan bisa berbalik menjadi tidak percaya kalau ‘dia’ pintar. Mereka yang mengaku-ngaku jujur, adakah orang yang mendengar atau membacanya langsung percaya kalau mereka benar-benar jujur? Mereka yang mengaku-ngaku bersih, mengaku-ngaku amanah, mengaku-ngaku berjuang dengan hati nurani, mengaku-ngaku merakyat, mengaku-ngaku peduli. Yang lebih aneh lagi, mengaku memberi bukti bukan janji, padahal ia belum pernah sekalipun menjadi anggota DPR. Bukti yang mana kalau ia sama sekali belum pernah jadi anggota DPR. Bukankah ‘bukti’ yang baru akan dilaksanakan nanti jika ia jadi, itu baru sebuah janji. Bukti akan terrealisasi jika janjinya dilaksanakan. Terus, kapan ia bisa membuktikan, ‘memberi bukti, bukan janji’ kalau ia belum pernah jadi DPR.

Demi mendapat simpati dan mendapat suara pada hari H, mereka bersombong-sombong sebagai orang yang paling pantas dipilih dibanding dengan para caleg lain. Nggak apa-apa, karena tak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk mengimbangi caleg lain. Hubungan kekerabatan, pertemanan dan hubungan sosial, tak cukup aman untuk memperoleh batas suara yang ditetapkan. Untuk memperoleh kekuasaan, segala cara harus ditempuh meski bertentangan dengan hati nurani.

Dan para pemilih, terpengaruhkan dengan cara mereka menawarkan diri untuk menjadi wakilnya? Atau tak peduli dengan gambar-gambar yang berserakan di pinggir jalan.

Percayakah kita pada orang jujur yang mengaku jujur di setiap tempat?
22.56­_29.01.2019

KEBENARAN BISA JADI HOAX


Hoax itu berita bohong. Kebenaran tentang hoax itu benar-benar sebuah hoax, jika berita itu nyata-nyata tidak benar atau hanya sebuah rekayasa berita. Jika sebuah berita yang sebenarnya kejadian itu ada, tapi sudah agak menyimpang kronologisnya karena penyampaian mulut ke mulut yang tidak sempurna karena faktor si penyampai yang mempunyai kecenderungan berpendapat dalam penyampaian, bisa saja di sebut hoax, karena ada faktor rekayasa (sengaja atau tidak sengaja), meskipun pada dasarnya kejadian itu ada yang membuat menjadi sebuah berita. Bisa saja sebuah hoax itu, hoax mutlak, setengah hoax, mirip hoax, seperempat hoax, mirip hoax dsb.

Hoax bisa saja disebarkan dengan sengaja untuk mempengaruhi opini publik. Hoax juga bisa tersebar karena dikaitkan dengan kejadian lain yang sedang menjadi pusat perhatian. Penyampaian yang sistematis dan seperti ada keterkaitan dengan kejadian lain dengan segala argumen dan alibi, memungkinkan sebuah hoax diyakini kebenarnannya oleh si penerima hoax.

Tak ada kebohongan yang sempurna. Selalu saja ada titik lemah sebuah berita yang menyebabkan terkuaknya sebuah hoax. Kita bisa mengetahui sebuah berita itu hoax atau bukan jika mau menelusurinya sampai ke titik awal pembuat berita. Dan, apakah kita sedemikian pedulinya mau menelusurinya jika itu tak berpengaruh terhadap kita secara individu?

Dalam perebutan kekuasan di ranah politik, hoax menjadi salah satu cara untuk menyerang lawan. Tak ada orang yang suka dengan hoax. Dengan tidak adanya orang yang suka hoax, meyebut pihak lawan adalah penyebar hoax, diharapkan orang yang tidak suka hoax akan memilih ikut kelompoknya. Ketika ada sedikit ketidaksesuaian berita, pihak lawan akan langsung menyebutnya hoax dengan segala macam argumen untuk mendukung pendapatnya. Jika berhasil mempengaruhi publik, maka jika ada berita yang melemahkan kelompoknya, kemudian menyebutnya hoax menjadikan publik bisa serta merta mengiyakan tanpa mesti pusing-pusing menelusuri. Dan, saling menuduh pihak seberang sebagai penyebar hoax dengan berbagai cara terus dilakukan entah sampai kapan. Bahkan sampai selesainya sebuah perebutan kekuasaan yang sudah ditentukan pemenangnya, sampai si pemenang sah berkuasa. Sampai orang tak percaya lagi bahwa sebuah hoax adalah benar-benar hoax.

21.51.30.01.2019

Selasa, 22 Januari 2019

LENGGER KLANGENAN


CERPEN.

Lengger Asih itu lengger hebat. Ia bisa menjadi pembicaraan sampai berjam-jam bagi para penggemar lengger. Ia memang lengger yang punya daya tarik khas. Setiap pentas Ia selalu membuat penontonnya enggan pulang –terutama penonton lelaki- dan jika pulang mereka membawa segudang rasa penasaran. Mereka bisa terus  tertawa-tawa, mentertawai kata-katanya sendiri, sambil membayangkan seluruh lekuk tubuh lengger Asih sambil menikmati kopi di warung Mbok Imah dengan rokok Djarum Coklat menjadi teman istimewa karena jika di rumah mereka cukup rokok lintingan dengan aroma kemenyannya yang khas. Setiap orang selalu berlomba mencari kalimat baru yang segar yang membawa orang ke ruang khayal tentang lengger Asih dan tentu supaya timbul tawa baru.
“Kalau lengger Asih jadi istri saya, semua orang yang berani mendekatinya, saya bunuh!”
“Kalau saya sih tak perlu ia jadi istri saya asal setiap saya butuh ia ada dan siap.”
“Enak aja, emang lengger Asih barang dagangan. Ia hanya pantas untuk lelaki yang perkasa dan hebat. Siapa yang paling kuat dia yang berhak memilikinya. Kita adakan sayembara, pertarungan.”
“Nggak usah pakai sayembara pertarungan, kalau saya, saya dikasih kesempatan berasyik mesra semalaman dengan lengger Asih terus besok paginya ditembak mati, saya mau.”
“Saya tak pernah lupa bagaiamana Ia menggoyangkan bokongnya. Andai saja bisa, saya ingin mengambil bokongnya untuk dipasang di meja kamar, cukup bokongnya saja, nggak apa-apa.”
“Kalau istrimu ngamuk?”
“Suruh dia bikin bokongnya seperti bokong lengger Asih.”
“Ha ha ha.”
“Ha ha ha.”
Besok malam di rumah Pak Sasmito, Lengger Asih mau ditanggap. Hampir tak ada yang terlupakan untuk dibicarakan semua tentang Lengger Asih. Bibirnya yang basah, suaranya yang merdu, pinggulnya yang nawon kemit, lehernya yang jenjang, lengannya yang panjang, matanya yang tajam, jari lentiknya dengan kuku yang terpelihara rapi, alisnya yang tebal bak lebah beriring, bahunya yang rata, cara menarinya yang membikin geregetan dan cara menanggapi kata-kata nakal dari para lelaki dengan senyumnya membikin mereka malu mengulangi, semua jadi bahan pembicaraan yang tak pernah membosankan.
Jika mereka tak ingin mengakhiri  obrolannya tentang lengger Asih, lain bagi seorang pemuda bernama Purwanto. Ia tak ingin lengger Asih menjadi bahan tertawaan dengan benak penuh khayalan seronok. Purwanto, lengkapnya Eko Purwanto, ingin menghentikan canda jorok mereka dengan cara apapun meski setiap kali niat itu dibatalkan. Karena Ia juga harus sadar, itu hak mereka untuk bersendau gurau, pelepas lelah sehabis seharian kerja di ladang atau sawah, lagi pula lengger Asih sudah menjadi milik para penggemarnya, milik para fans setia yang setiap pentas selalu bertambah deret hitungnya.
Purwanto jadi ingat tentang ronggeng Srintil (dari Dukuh Paruk), seorang bocah yang jadi incaran orang tua bajul buntung bau tanah busuk hanya karena Ia jadi seorang Ronggeng. Dan sekarang, di hadapan Purwanto, orang-orang tua tertawa terbahak membicarakan lengger Asih, ronggeng Asih, sampai gigi-gigi gerahamnya yang paling hanya seminggu sekali disikat terlihat semua dengan bau bangkai dan baju yang menabur aroma sengar rokok klembak menyan dan keringat basi.
Keyakinannya dengan cinta yang mampu memepengaruhi Asih telah dicoba. Berkali-kali.
“Mas Pur kan kenal saya setelah saya jadi ronggeng, jadi lengger, dan itu berarti Mas Pur sudah mengerti bagaimana resiko punya pacar seorang lengger. Kalau Mas Pur percaya sama saya, semua akan baik-baik. Dan saya bukan lengger seperti yang mereka bicarakan; gampangan!”
“Tapi, cap tentang lengger yang  itu gampangan, bisa diajak tidur, telah melekat di pikiran mereka.”
“Saya akan buktikan anggapan mereka salah!”
“Tak gampang merubah anggapan yang telah melekat turun temurun.”
“Itu salah mereka, bukan salah saya kan? Mereka yang gampangan memvonis.”
Purwanto diam, karena Ia tahu Asih masih mampu menjaga kehormatannya sebagai wanita meskipun predikat lengger tenar melekat padanya. Sama seperti yang sudah-sudah, telah berbagai cara untuk membujuk Asih berhenti jadi lengger tak sedikitpun ada tanda-tanda Asih tersentuh hati. Asih yang lulusan sekolah menengah karawitan, selalu bisa membawa arah pembicaraan ke hal lain yang lebih mengasyikan. Dan Purwanto terbawa arus obrolan Asih, asyik masyuk sampai malam menebar hawa dingin. Sampai jarum jam terlalu cepat berjalan dan sampai enggan pulang.
Tujuh setengah bulan berpacaran, mereka sudah merasa cukup untuk saling percaya, saling menjaga cinta untuk tetap bersama. Kadang juga mereka bicara masalah rumah tangga bahagia yang mereka akan bina dalam ruang khayal yang mereka cipta; keindahan romantisme cinta!
Meski Purwanto bisa mengambil kesimpulan, Asih akan menurutinya jika telah berstatus suami, membujuk Asih untuk berhenti jadi lengger adalah tantangan yang harus bisa dilewati. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menikahi Asih jika Asih telah berhenti jadi lengger, jadi Ia akan menikah bukan dengan lengger, tetapi telah benar-benar bukan lengger. Suara olok-olok seronok tentang lengger Asih disimpannya dalam hati, Ia anggap ujian untuk membuktikan cintanya pada Asih. Dan Ia tak tahu kapan Asih akan berhenti jadi lengger karena setiap membujuk dan mempengaruhinya belum ada tanda-tanda akan berhasil. Sampai kapan? Sebuah pertanyaan yang selalu mengganggui pikirannya.
Ia juga pernah mencoba menemui orang tua Asih agar mau ikut membantunya dan hasilnya sama saja. Meski orang tua Asih menyukai kesenian lengger, mereka tak ingin anaknya menjadi lengger dan mereka gagal menghentikan langkah Asih. “Kalau saya tahu akhirnya Ia jadi lengger, saya tak akan menyekolahkannya di lanjutan, cukup di SD atau SMP saja.”
Menurut orang-orang tua di desa itu, Asih telah ketiban indang lengger Mbah Kesih yang meninggal sepuluh tahun lalu. Mbah Kesih seorang lengger yang sangat terkenal ketika masa revolusi. Ketenarannya meluas sampai ke beberapa kabupaten di sekitarnya. Mbah Kesih dan Mbah Parjo (Tukang kendang yang juga suaminya) menjadi orang yang paling ditunggu di setiap pementasannya.
                                                     * * *
Pentas lengger Asih waktu perayaan perkawinan putri bungsu Pak Sasmito berakhir dengan keributan. Pementasan yang sedianya dua malam, harus dibubarkan ketika pertunjukan baru berjalan setengah waktu. Ketika malam mulai menebar angin dingin dan anak-anak yang sudah ngantuk mengajak ibunya pulang, para lelaki berebut joged di depan lengger Asih yang ditemani lengger Inah. Mereka sudaha tak tahan jika hanya sekedar terus memelototi jogedan lengger Asih atau juga karena juga mereka tak lagi malu dan risih pada anak-anak mereka yang telah pulang bersama ibunya. Mereka juga ikut bernyanyi senggakan seperti koor dengan penuh semangat meski dengan begitu suara lengger asih yang merdu mendayu harus tertimbun. Setiap hentakan bokong lengger Asih ke samping kanan atau ke samping kiri mengikuti ketukan suara kendang, suara mereka secara bersama-sama penuh semangat berteriak; domak ting ting joss, domak ting ting joss! Joss!
Bermula berebut tempat jogedan di depan muka lengger Asih berlanjut menjadi saling sikut dan mendorong. Semua berebut, yang muda tak kalah, yang tua tak mau keduluan. Tamu undangan kondangan yang sedang menikmati sajian hajatan sambil menonton, satu persatu mulai pulang benci melihat keributan. Tiga orang Hansip tak mampu meredam suasana yang terus merambat panas. Lengger Asih turun panggung diikuti lengger Inah. Saat telapak kaki lengger Asih menuruni anak tangga, Purwanto segera menjemput, menuntun tangannya bermaksud mengajaknya ke dalam rumah agar aman dari orang nakal yang iseng. Tapi rupanya ada yang tak setuju dengan maksud Purwanto.
“Hei. Tahu diri kamu! Anak kemarin sore mau nyalip. Saya dulu, baru kamu boleh bawa dia.”
Purwanto mendelik, bangsat! pikirnya, dasar tua-tua keparat tak tahu adat!
Ia terus menyeret lengger Asih dari tengah keributan ke rumah Pak Marjo, tetangga sebelah Pak Sasmito, sebelum tangan-tangan jahil berebut menggerayangi tubuh Asih. Mereka menggerumut seperti sekawanan lebah menyerang mangsanya. Biasanya jika terjadi sedikit keributan, selang beberapa waktu setelah lengger Asih turun panggung, mereka berusaha untuk tenang, saling mengendalikan diri agar lengger Asih mau naik panggung lagi atau pertunjukan harus berakhir jika tak juga kunjung tenang. Tetapi kali ini tidak. Ada saja orang yang berganti ganti terus membikin dan menyambung keributan. Sepertinya mereka tak mau suasana ribut dan kacau berakhir. Ada saja yang mereka pertengkarkan.
“Saya yang sawernya gede, masa kamu yang di depannya. Pakai jowal-jawil lagi! Goblok! Dasar kere!”
“Enak aja, saya yang sawernya gede. Paling kamu cuma sawer seribu perak.”
“Bangsat kamu. Ngece! Kamu nggak pantas di depan lengger Asih. Nanti dia ketularan jeleknya. Kamu itu biar duitnya segunung tetap saja jelek!”
Merasa tak bisa mengendalikan suasana, seorang hansip menghadap ke Pak Sasmito yang juga menjabat Carik di desanya.
“Maaf Pak, mungkin kita harus segera minta bantuan polisi. Mereka terus berebut untuk mendekati lengger Asih. Tak ada yang mau mengalah.”
“Siapa saja mereka?”
“Maaf Pak, saya kurang paham. Mereka bukan orang dari desa kita. Seingat saya mereka penayagan lengger Ratmi dari desa sebelah. Mungkin merasa tersaingi dan tersisih. Ada lebih dari sepuluh orang Pak.”
Keributan masih terus tak mereda. Panggung seluas lima kali lima meter berantakan. Para penayagan menyelamatkan alat-alat dari kemungkinan terinjak-injak. Puluhan penonton asing itu menyerobot masuk ke rumah Pak Marjo tempat Purwanto mengamankan Asih. Tak ada satupun yang mau mengalah untuk belakangan masuk, tak rela orang lain lebih dulu mendapatkan lengger Asih. Pintu berdaun dua rumah Pak Marjo yang hanya dibuka satu, jebol dan menjadikan ruang masuk bertambah lebar. Layaknya sebuah perburuan yang tak ingin mangsanya lari menjauh untuk lepas begitu saja.
Purwanto menyeret lengger Asih ke ruang tengah. Kaki lengger Asih yang dibalut kain membikinnya harus susah payah menyeret langkah. Selendang merah muda yang lepas dari leher dibiarkan terjatuh tanpa sempat dipungut. Segera pintu dikunci.
Ternyata di ruang tengah Purwanto dan lengger Asih tak mendapatkan keamanan. Mereka menggedor-gedor pintu sambil berteriak, “Buka! Cepat buka! Kalau tidak saya dobrak pintunya. Buka cepaaat...!”
Purwanto panik. Asih menggigil, kakinya gemetaran menyangga beban badan yang ketakutan.
“Mas Pur, kita hadapi saja mereka. Paling mereka  hanya ingin ketemu saya. Saya akan hadapi secara baik-baik.”
“Tidak! Saya sudah tahu maksud mereka. Mereka ingin menghancurkan kamu. Ingin membikin aib padamu, ingin mengotori citramu. Setelah itu mereka akan menyebar berita kalau kamu sama juga dengan lengger lainnya yang gampangan dan lenjeh. Saya tahu tanpa sengaja dari mereka tadi, sewaktu kamu pentas.”
Lewat pintu belakang Purwanto menyeret Asih untuk menghindar dari kejaran orang-orang yang sudah kerasukan setan. Di rerimbunan kebun pisang yang gelap Purwanto terus berusaha berlari dengan tangannya yang tak lepas menggenggam tangan kanan Asih. Purwanto dan Asih sama sekali tak menduga –karena sebelumnya tak pernah terjadi- orang-orang itu terus memburu. Kaki Asih yang dibebat kain membuatnya tak bisa berlari. Gelap malam sedikit membantu mereka bersembunyi untuk beristirahat sejenak.
Seperti memburu maling, orang-orang itu terus memburu sampai terdengar seseorang berteriak, “Ini dia, ketemu!”
“Maaf, kalian mau apa?” ucap lengger Asih pelan ramah.
“Hahaha! Jangan pura-pura kamu. Sok suci.”
“Maaf, maksud bapak apa?”
“Malam-malam dalam kegelapan berdua di kebun pisang begini, tentu asyik. Dan saya mau itu. Berasyik mesra dengan kamu. Gantian nggak apa-apa, maklum teman saya banyak. Antri biar nggak ribut.”
“Maaf, saya tidak bisa......”
“Nggak perlu jual mahal. Kami sudah tahu semua.”
Amarah Purwanto menggelegak. Darahnya mendidih naik ke ubun-ubun.
“Saya pilih mati daripada melayani keinginanmu!” kata lengger Asih setengah teriak.
* * *
Pagi hari, di kebun pisang di belakang rumah Pak Marjo sunyi, tak ada kicau burung prenjak sambil berlompatan atraktif di cabang pohon krinyu dengan bunga berserabut putih di setiap ujung rantingnya. Tak ada angin yang berani bertiup. Di setiap tepi daun pisang berleleran embun jatuh membasahi rumput di bawahnya. Di dekat rumpunan pohon pisang yang lebat, di rerumputan yang membisu, berceceran darah setengah membeku. Darah yang menetes dari luka tubuh Purwanto dan Asih yang jasadnya sudah dibawa pulang menjelang subuh. ***
                                                                                     Agustus 2004

Rabu, 16 Januari 2019

JEMPOL YANG DIMARTIL

Cerpen.

Jono menjadi nama yang paling sering dibicarakan di kampungnya dan di kampung sebelah. Berita tentang kasus korupsi penyelewengan dana milyaran triliyunan Rupiah di tivi kalah ramai. Kampung-kampung lain di sekitarnya pun segera menyerap dan segera mengekspos  berita tentang Jono.
 Orang-orang sering dan biasa memanggilnya Kopral Jono. Entah karena Ia selalu berpotong rambut model tentara atau karena ada judul film, Kopral Jono. Jono tak mempermasalahkan dan asik-asik saja.
Ia menjadi bahan pembicaraan yang laris karena ulahnya memartil jempol Hasim sampai gepeng dan cacat. Bermula ketika mereka sedang sama-sama gotong royong mendirikan rumah Pak Marga. Ketika tangan kanan Hasim sedang memegang sebuah balok dan jempolnya tergolek, tiba-tiba saja Jono memukulkan martil ukuran sedang ke jempol Hasim. Karuan saja Hasim langsung menjerit kaget dan kesakitan. Jempolnya remuk, darah menetes deras. Hasim berjingkrakan menahan sakit seperti orang kesurupan. Sebelum akhirnya Hasim pingsan, Hasim sempat berusaha memukul kepala Jono dengan martil yang lebih besar. Untung saja orang-orang di sekitarnya berusaha menahannya. Selamatlah Jono. Semakin penasaranlah Hasim.
Hasim dibawa ke dokter untuk diobati. Masalahnya tidak hanya berhenti di situ. Hasim dan Jono berlainan kampung tempat tinggalnya. Ketika orang-orang sekampung Hasim mendengar berita tersebut, serentak mereka berkumpul dan berbondong-bondong ke kampung Jono dengan memendam dendam membara di setiap dada. Berbagai senjata tajam mereka bawa; parang, golok, sabit, pedang,  celurit, linggis, gergaji, batang kayu, dan seluruh benda yang dapat dipakai untuk melukai manusia. Layaknya prajurit kerajaan yang berangkat perang, mereka berteriak-teriak membakar semangat sekawanannya.
Orang-orang yang menyerbu ke kampung Jono kebanyakan tak kenal muka Jono. Mereka hanya tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Ketika mereka melihat orang yang berciri-ciri sama dengan Jono, mereka langsung saja menyergap dan memukuli beramai-ramai tanpa menanyai terlebih dahulu. Untung saja Polisi segera datang menyelamatkannya.
Orang yang ketiban sial itu namanya Imam. Mukanya berdarah-darah, tubuhnya memar-memar dan kedua jempol tangannya remuk. Merasa dendamnya telah terbalaskan, mereka segera pulang dan bersembunyi dari kejaran polisi.
Imam meski belum sembuh benar segera menyiapkan acara balas dendam. Ia kumpulkan teman-teman, tetangganya dan sanak saudaranya. Jono pun tak luput dari ancaman Imam. Sebab menurut Imam perbuatan Jono-lah yang membikin Ia babak belur luka parah hanya karena ciri-cirinya mirip dengan Jono. Imam tak peduli Ia dan Jono masih satu kampung. Baginya Jono juga harus mengalami seperti yang ia alami.
Mendengar dirinya dianacam, Jono segera mencari perlindungan dari saudara-saudaranya dan tetangganya. Jono juga mendatangi kepala desa untuk menjelaskan duduk perkara itu.
“Sungguh Pak, saya nggak sengaja memartil jempol Hasim. Saya sendiri tak tahu sampai melakukan itu. Waktu itu tiba-tiba saja aku benci sekali sama jempol. Sebuah organ tubuh yang bikin orang bangga apabila diacungkan untuknya. Hingga orang kadang berbuat apa saja untuk mendapatkan acungan jempol. Kebetulan waktu itu jempol Hasim tampak bersih dan kukunya rapi. Tentu orang akan senang sekali jika diacungi jempolnya.”
Pak Kepala Desa manggut-manggut.  Entah mendengarkan, entah maklum, entah sependapat atau malah tak mengerti apa perkataan Jono.
“Bagus.”  kata Pak Kepala Desa sambil sedikit mengacung jempol.  Jono tercengang dan bangga. Pak Kepala Desa tersenyum simpul.
“Lantas kau mau apa datang kemari?”
“Saya ingin bapak maklum dan memberi pengertian pada pihak Hasim dan Imam tentang jempolnya yang telah remuk dan cacat. Kemudian, diminta agar orang-orangnya tidak saling bermusuhan. Untuk sama-sama berdamai, menghentikan permusuhan. Sebelum korban terus bertambah.”
“Hanya itu?”
“Mungkin”
“Kau akan maklum jika itu menimpa kamu?”
Jono diam sambil memandangi kakinya yang telanjang di atas ubin.
Permintaan Jono dikabulkan oleh Pak Kepala Desa. Mungkin karena Jono keponakannya atau karena ia pertimbangan lain tentang jempol.
Pertikaian masih terus berlanjut dan masing-masing pihak  tak mau mengalah dan menerima begitu saja perlakuan dari pihak lawan. Sebenarnya mereka telah lelah dihinggapi rasa was-was setiap saat. Dibebani rasa untuk selalu berhati-hati di setiap tempat. Mereka ingin segera mengakhiri pertikaian yang terus menambah jumlah korban. Tapi, rasa gengsi yang ada di dada menghalangi mereka untuk terlebih dahulu mengalah dan mengajak damai.  Meski selama ini mereka tampak akur satu sama lain, sebenarnya masing-masing punya rasa permusuhan. Dan Jono telah menyulut sumbu api permusuhan.
Korban terus bertambah dari waktu ke waktu. Mereka tak lagi melukai sembarang tubuh si korban, kecuali jika si korban melawan. Mereka hanya mengincar jempol untuk diamputasi paksa atau diremukan. Rasa patriotisme kedaerahan tempat tinggal telah ikut membakar amarah mereka. Banyak orang di kedua kampung itu yang banyak diantara mereka masih punya ikatan darah, telah tak punya jempol lagi. Banyak yang sama sekali hilang dan banyak pula yang cedera dan cacat hingga tak pantas untuk diacungkan untuk memuji seseorang.
Kubu Imam dalam menyerang lawan pun tak hanya orang yang ikut melukai dirinya. Semua orang yang dekat dengan Hasim berupaya membela diri bila diserang oleh kubu Imam. Kubu Imam juga menyerang Jono dan orang-orangnya seperti pada Hasim.  Ketika perlawanan dari Hasim  bertambah kuat  dan solid, Imam mengadakan perdamaian dengan Jono untuk kemudian menghadapi lawan dari kubu Hasim yang lain kampung. Meski begitu Imam masih tetap punya rencana  memotong jempol Jono jika kubu Hasim  bisa diatasi. Jono dengan berbagai cara masih  berhasil menyelamatkan  jempolnya dan itu masih menjadikan orang-orang marah, karena Jono-lah yang biang dari segala perseteruan yang mengincar keberadaan jempol. Setiap hari, setiap waktu orang-orang itu selalu disibukkan dengan masalah: bagaimana cara menghabisi jempol  lawan.
Cara mereka mengerjai jempol kemudian berubah, dengan tak lagi mengamputasinya, tetapi dengan cara hanya membuat si jempol cacat, cedera dan tak pantas jika diacungkan untuk menunjukkan sesuatu itu bagus. Itu mereka anggap lebih ringan dan tak sadis.
Jono masih bisa mempertahankan keberadaan jempolnya. Ia menyadari jika suatu saat nanti pasti ada orang yang mempermasalahkan keberadaan jempolnya. Jempol-jempol sebagian penduduk  desa itu telah buntung dan sebagian  yang lain cacat dan jelek. Itu membuat orang tak bisa memegang benda dengan sempurna.
Permusuhan terus berlanjut dan sulit ditebak kapan berhentinya. Sebagian orang yang jempolnya masih selamat  menyembunyikan jempolnya dengan cara dibalut kain perban agar seperti luka yang belum sembuh atau berusaha tidak terlihat oleh orang lain.
Saking lamanya perseteruan dan perburuan jempol itu, sampai-sampai orang yang jempolnya masih utuh, tak lebih dari sepuluh orang. Termasuk Kopral Jono pun tak bisa mempertahankan jempolnya. Jempol Jono dihantam dengan  batu sebesar kepala ketika  ia sedang tertidur kecapaian di pos ronda. Karuan saja  Jono marah-marah dan ngamuk. Semua orang yang berada di pos ronda  itu berlagak tak tahu dan tak memperdulikan  Jono. Ketika Jono membabi buta, orang-orang segera meringkusnya dan diamankan.
Mereka yang jempolnya masih utuh adalah: Kepala Desa, Danton Hansip, tiga orang Kepala Dusun dan empat tokoh masyarakat. Pak Sekdes pun jempolnya sedikit cacat karena salah sasaran dan terselamatkan ketika orang melihat wajahnya dengan jelas. Maklum saat itu malam hari.
Jono tak berhasil mempertahankan jempolnya. Jono bikin ulah kembali. Untuk berbicara dan meyakinkan orang, Jono memang jagonya. Ia kembali datang ke Kepala Desa untuk membicarakan masalah perseteruan antar kampung dan   di seluruh wilayah desanya  karena saling memburu jempol. Ia minta untuk dikumpulkan aparat desa dan tokoh masyarakat guna bermusyawarah.
“Maaf, Pak. Sebelum saya minta maaf. Dulu saya berbohong kalau ketika saya memartil jempol Hasim itu karena sebuah keinginan yang timbul begitu saja dan tanpa ada maksud apa-apa.
“Saya melihat orang-orang telah begitu  tergila-gila untuk mendapatkan acungan jempol  dari seseorang. Apalagi kalau orang itu orang penting, seorang tokoh, seorang pejabat,. Saya pikir kalau organ manusia yang telah membuat orang tergila-gila dihilangkan, dimusnahkan, maka tak ada lagi orang yang berbuat apa saja dan tak peduli orang lain, demi untuk mendapatkan acungan jempol. Persaingan itu saya lihat sudah tak sehat dan tak memperdulikan rakyat banyak.”
“Terus?” kata pak Kepala Desa.
“Saya minta Bapak untuk mensosialisasikan hal ini kepada seluruh penduduk desa ini. Mensosialisasikan bahwa, dengan keadaan jempol kita yang sekarang, sebagai pertanda acungan jempol, bukan hal yang perlu dipentingkan. Dan sekarang jempol mereka juga tak pantas untuk diacungkan. Saya pikir demi untuk keseragaman, juga bukan hanya sekedar itu, demi kebersamaan rasa dan jiwa, jempol Bapak juga harus dipotong atau dibikin cacat  seperti penduduk yang lain. Termasuk pak Danton Hansip, tiga Kepala Dusun dan tokoh masyarakat itu. Oh ya, pensosialisasian tentang;  bagaimana  hidup berdampingan mencari makan tanpa berseteru, tanpa saling sikut dan sikat untuk mendapatkan acungan jempol. Itu yang penting!”
“Jadi kamu mengajak musyawarah hanya untuk orang yang jempolnya masih utuh?”
“Oh tidak. Saya minta aparat desa dan tokoh masyarakat dan semua penduduk desa kita. Cuma itu sebuah kebetulan  kalau mereka jempolnya masih utuh. Kalau masih ada orang yang masih berjempol tentu orang masih saja berebut mendapat  acungan jempol  dan itu akan berakibat tidak baik, karana persaingan kita-kita belum sehat.”
“Jadi kau dulu memang berencana menghabisi jempol karena kau punya keinginan seperti yang kau katakan tadi?”
Jono merngangguk.
“Dan akibatnya sekarang orang-orang tak lagi bisa memegang sesuatu dengan sempurna. Kau melihatnya?”
Jono terdiam sebentar.
“Ya Pak.”
“Ajakan musyawarahmu untuk meminta saya dan orang yang masih punya jempol agar dipotong?”
“Bukan hanya itu….”
“Sudah! Sudah cukup rakyat berkorban waktu, tenaga, harta, demi untuk saling memburu jempol. Dan itu karena ulah kamu.”
“Tapi Pak, sekarang kan orang masih punya jari kelingking dan orang tentu tak mau jika diacungi jari kelingking. Mereka pasti akan bersaing demi untuk tidak mendapatkan acungan jari sialan itu.”
“Oh begitu.”
“Iya Pak!”
“Lalu?”
“Ya harus diantisipasi. Caranya, dipotong atau dibikin cacat jari kelingking itu. Sama seperti jempol.”
Pak Kepala Desa menghisap asap rokok dalam-dalam sebelum kemudian menenggelamkannya dalam asbak. Tangannya memberi isyarat pada seorang pesuruh kantor dan seorang hansip untuk mendekat.
“Potong jari kelingking Jono. Semuanya! Kanan kiri!”
Jono terhentak dan hendak membela diri. Tapi, Pak Hansip yang berbadan tegar dan kekar telah menyekapnya kuat-kuat. Jono tak berdaya dan pisau mengkilat putih terhunus di tangan pesuruh kantor. Kres. Kres.
Jono menjerit-jerit. Berjingkrakan kesakitan. Darah menetes di lantai, terciprat juga ke sepatu Pak Kepala Desa.
“Cukup darahmu yang menetes Jon! Bukan darah rakyatku yang tak tahu menahu.”  ***  
                                                                                    Januari 2004