Label

Kamis, 31 Januari 2019

MENGAKU JUJUR, BERSIH, PINTAR DLL


Menjelang pemilu serentak tanggal 17 April 2019, kita disuguhi begitu banyak calon legislatif yang menawarkan diri untuk dipilih. Gambar-gambar dengan beraneka warna, bermacam-macam ukuran, bermacam-macam pose dan bermacam-macam tulisan menyatakan diri sebagai orang yang bersih, jujur, pintar, dan semua hal yang baik-baik, ditata sedemikian rupa sehingga menurut mereka yang terpajang, akan membuat para pemilih tertarik. Cara itu efektifkah? Saya tak pernah melakukan survey untuk menjajagi seberapa besar baner dan foto-foto yang dipasang para caleg mempengaruhi pikiran untuk memilih. Karena memperkenalkan diri bahwa, saya sedang mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPD adalah hal yang perlu sekali. Jalan dan tempat umum yang sering dilewati orang menjadi pilihan untuk memperkenalkan diri dan berupaya agar banyak orang tertarik. Tidak semua orang bisa dan terbiasa mengakses media sosial atau media massa digital lain, dan inilah yang membuat kampanye berbentuk fisik menjadi pilihan utama meskipun biayanya lebih mahal.

Dan, lihatlah begitu banyak para caleg yang mengaku-ngaku yang dituliskan pada alat peraga kampanyenya. Pernahkah kita percaya seratus persen terhadap orang yang mengatakan, “saya jujur, pintar, bersih, peduli, merakyat, .....” 

Seseorang yang asli pintar, kemudian dia dengan semangat mengaku-ngaku pintar, itu akan membuat orang yang mendengar atau membacanya menjadi kurang percaya atau bahkan bisa berbalik menjadi tidak percaya kalau ‘dia’ pintar. Mereka yang mengaku-ngaku jujur, adakah orang yang mendengar atau membacanya langsung percaya kalau mereka benar-benar jujur? Mereka yang mengaku-ngaku bersih, mengaku-ngaku amanah, mengaku-ngaku berjuang dengan hati nurani, mengaku-ngaku merakyat, mengaku-ngaku peduli. Yang lebih aneh lagi, mengaku memberi bukti bukan janji, padahal ia belum pernah sekalipun menjadi anggota DPR. Bukti yang mana kalau ia sama sekali belum pernah jadi anggota DPR. Bukankah ‘bukti’ yang baru akan dilaksanakan nanti jika ia jadi, itu baru sebuah janji. Bukti akan terrealisasi jika janjinya dilaksanakan. Terus, kapan ia bisa membuktikan, ‘memberi bukti, bukan janji’ kalau ia belum pernah jadi DPR.

Demi mendapat simpati dan mendapat suara pada hari H, mereka bersombong-sombong sebagai orang yang paling pantas dipilih dibanding dengan para caleg lain. Nggak apa-apa, karena tak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk mengimbangi caleg lain. Hubungan kekerabatan, pertemanan dan hubungan sosial, tak cukup aman untuk memperoleh batas suara yang ditetapkan. Untuk memperoleh kekuasaan, segala cara harus ditempuh meski bertentangan dengan hati nurani.

Dan para pemilih, terpengaruhkan dengan cara mereka menawarkan diri untuk menjadi wakilnya? Atau tak peduli dengan gambar-gambar yang berserakan di pinggir jalan.

Percayakah kita pada orang jujur yang mengaku jujur di setiap tempat?
22.56­_29.01.2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar