Membaca sebuah buku
yang sedang diselesaikan bacanya oleh anakku, jadi kembali teringat kira-kira
dua puluh lima tahun yang lalu (kalau tidak salah ingat 1994), ketika membaca
sebuah buku berjudul, Soe Hok Gie Catatan
seorang demonstran. Buku ini diberi judul Soe Hok Gie ...Sekali lagi,
bergambar close up wajah Gie, Diatas
judul buku ada tulisan; Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Di pojok kiri
atas ada tulisan; Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan
R.
Saya baca sekilas
buku tersebut, acak, tak banyak dan hanya sedikit sekali yang saya baca. Ada
yang sempat saya baca tentang bagaimana sosok Soe Hok Gie dijadikan sebuah film
yang diproduseri oleh Mira Lesaman dan disutradai Riri Reza. Sekilas lain tentang
bagaimana kejadian ketika Soe Hok Gie Meninggal saat mendaki gunung Semeru yang
katanya keracunan.
Saya tak akan
membahas tentang buku yang dibaca anakku, juga tentang buku yang dua puluh lima
tahun yang lalu saya baca. Yang ada dalam pikiran dan angan-angan saya, jika
seorang Soe Hok Gie hidup pada jaman sekarang dengan segala kecerdasan,
semangat dan keberaniannya. Seorang muda yang tanpa takut melawan dan
meyuarakan ketidakadilan dan kecurangan. Terus menerus bersemangat menulis dan
menginspirasi orang-orang disekitarnya. Dijamannya, menurut yang saya baca, Ia
begitu hebat dan kecerdasannya dimnfaatkan dengan sangat baik untuk terus menerus
berjuang membangun area yang bersih dari kekotoran, kecurangan dan kelicikan.
Kita bisa
membayangkan kehebatannya jika Ia bertindak dan melakukan pada jaman sekarang.
Bisa saja kita menyangka kehebatannya karena Ia berkelakuan dan bertindak tepat
ketika masa tahun 60an dan tidak akan sehebat itu jika diterapkan pada masa
sekarang. Tetapi kehebatannya pada masa itu karena terpengaruh oleh sosial
budaya dan segala gaya hidup yang tumbuh di sekitarnya. Ia disebut cerdas,
tentu ada komparasi dari orang lain yang hidup di jamannya. Jika Ia hidup di
masa sekarang pun, mungkin sekali Ia lebih hebat lagi karena didukung fasilitas
komunikasi dan banyaknya bahan bacaan yang bisa jadi referensi dalam menulis
dan bertindak. Dan tentu ada banyak resiko bagi siapapun orang yang berani
terhadap sebuah rezim. Kematiannya Soe Hok Gie yang masih sangat muda, ketika
sedang mendaki Gunung Semeru, pun menjadi misteri. Atau, bisa saja karena
kematiannya itulah yang membuat nama Soe Hok Gie menjadi termasyhur, dan akan
biasa-biasa saja jika Ia tidak mati di saat sedang menjadi perbincangan banyak
orang kala itu. Keterkenalan akan menjadi lebih masyhur ketika terjadi tragedi
yang mengakhiri keterkenalannya.
Diperlukan
orang-orang kritis dan berani menyampaikan ketidakadilan, ketimpangan,
kecurangan atau segala hal yang melanggar aturan yang telah ditetapkan, atau
norma dan etika yang ada di masyarakat. Aktivis itu perlu di dalam setiap
rezim, juga oposisi. Aktivis diperlukan sebagai penyeimbang dan pemberi
peringatan jika rezim yang berkuasa atau pihak oposisi melakukan tindakan yang
salah atau melanggar aturan yang ada. Aktivis tak berpihak pada penguasa dan
juga tidak berpihak pada oposan. Oposisi diperlukan, juga agar rezim berkuasa
bertindak kebablasan karena tidak ada pihak lain yang mengawasi dan
memperhatikan. Oposisi ada bukan sekedar untuk menampung syahwat politik untuk
mengganti kekuasaan yang sedang dinikmati oleh kubu lawan. Oposisi ada sebagai penampung
dan penyeru pada hal-hal yang bisa merugikan rakyat atau bisa melemahkan
negara. Siapapun rezim yang sedang berkuasa, oposisi tetap harus ada sebagai
penyeimbang.
Aktivis sejati tidak
akan pernah tergiur oleh kursi kekuasaan. Ia akan terus berteriak-teriak jika
ada ketidakberesan. Ia tak akan mau dilemahkan dan ditundukkan oleh kenyamanan
dan uang yang ditawarkan. Jika Ia berteriak teriak di jalan karena lapar, kemudian
masuk arena kekuasaan dan duduk manis di kursi belakang meja dengan beraneka
macam menu, gugurlah sebutan aktivis, dan sebutan aktivis yang pernah
disandangnya berubah menjadi nama menjadi topeng. Bertopeng aktivis dalam
berebut kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan, yang menang akan disebut pahlawan
oleh penguasa, dan yang kalah akan disebut pemberontak atau disebut melakukan
tindakan makar yang perlu disingkirkan.
Saya mengangankan,
ada aktivis yang kritis, obyektif, cerdas dan tidak tergiur oleh uang dan kursi
kekuasaan, terus menerus ada di setiap generasi. Realitas kehidupan membuat
para aktivis lebih suka memilih uang, kenyamanan dan kekuasaan ketika sadar
bahwa hidup berkeluarga beranak pinak memerlukan uang yang banyak dan cukup
untuk biaya gaya hidup. Sangat jarang aktivis yang bertahan terus menerus tetap
menjadi aktivis dengan segala idealismenya sampai akhir hayatnya. Karena
aktivis yang vokal di setiap rezim akan dipinggirkan, disisihkan dan tak nyaman.
Idealis versus realistis dalam jiwa aktivis akan terus berkecamuk sampai
kemudian menyerah untuk menghidupi keluarga yang dibangun.
21:29 21022019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar