Label

Sabtu, 24 Februari 2018

ALAM MENEPUK KITA


djayim.com
Alam serasa tidak bersahabat dan memposisikan kita harus waspada setiap saat. Saat musim penghujan, arus air yang melewati sungai-sungai, keruh, penuh sampah dan mengangkut lumpur dari bukit-bukit yang menggigil karena kulitnya terus mengelupas. Air yang lembut, bening, menyegarkan dan membawa kedamaian saat keluar dari mata air yang bersih, berubah menjadi sangat menakutkan ketika turun dari langit berjuta-juta kubik, bergerak cepat melibas semua yang dilewati. Tak pilih-pilih, batu, cadas, rumah, jalan, bukit, semua yang ada didepannya dibentur tak peduli apakah akan rusak atau tak apa-apa.  Air dari langit itu seperti ingin segera cepat sampai ke laut. Seperti enggan berlama-lama bertahan di bukit-bukit, enggan berlama-lama di lembah-lembah, enggan berlama-lama pada tanah yang sudah semakin rapuh dan kotor.

Manusia itu sebenarnya tahu, setiap hari bumi dan langit diracuni siang dan malam. Manusia itu sebenarnya tahu bahwa mengkhianati bumi yang telah begitu murah hati memberi ruang hidup dan segala kebutuhan sudah sepatutnya dihentikan. Manusia itu tahu, kalau merawat bumi dan langit dari segala bentuk racun adalah sebuah keharusan. Manusia itu sangat tahu kalau meracuni bumi dan langit sangat tidak baik bagi semua makhluk hidup. Manusia itu sebenarnya tahu, karena manusia itu makhluk berpikir. Tapi kenapa kegiatan meracuni bumi dan langit tetap saja terjadi terus menerus?
Menegur orang yang melakukan kegiatan polusi, kalau yang menegur bukan aparat atau lembaga yang berkepintingan, bisa menjadi masalah besar atau bahkan bisa balik memusuhi si penegur. Peracun bumi itu sebenarnya tahu itu tidak baik, nafsu dan ego-nyalah yang membuat merasa tak ada orang boleh mempersalahkan. Nafsu manusia untuk mempertahankan alasan apa yang dilakukan, akan dilakukan dengan berbagai cara meski naluri batiniyahnya menyadari apa yang dilakukan salah. Lebih jauh, nafsu mempertahankan bisa berkembang menjadi nafsu menyerang dan ingin menghabisi yang dianggap lawannya. Maka ‘pembiaran’ bagi orang yang melihat pelaku peracun bumi dan langit lebih karena mencari aman.

Manusia normal, sadar jika membuang sampah plastik dan sampah unorganik lainnya secara sembarangan akan membuat polusi bumi dengan berbagai akibat. Yang membuang sampah di sungai, tahu jika perbuatannya akan membuat sungai kotor dan bisa mengakibatkan banjir. Pemilik pabrik tahu jika membuang limbah beracun dari hasil olahan industrinya berakibat merusak alam dan meracuni semua makhluk hidup yang terkena. Mereka tahu itu tidak baik, mereka tahu seharusnya tidak dilakukan. Tapi kenapa mereka tetap saja masih banyak yang melakukan? Biasanya alasan utamanya, ( di industri ) karena biaya pengolahan limbah mahal yang berakibat menurunkan pendapatan laba. Ujungnya: uang yang didapat dari sebuah kegiatan harus maksimal.

Konsep bersih pada kita, kebanyakan masih pada bersih di sekitar tempat tinggal. Bersih hanya terpikirkan pada rumah dan halaman. Lingkungan di luar rumah dan halaman tak begitu terpikirkan. Maka mereka banyak yang membuang sampah di sungai, si pinggir hutan atau di punggir-pinggir jalan, yang penting rumah dan  halaman tempat tinggalnya bersih dari sampah. Membuang sampah sembarangan di sembarang tempat, bukan sebuah perasaan bersalah dan menganggap hal yang biasa-biasa saja. Yang terjadi, setiap habis ada pertunjukan atau kegiatan yang mengumpulkan banyak orang, sampah berserakan di setiap tempat. Bahkan di dekat tempat sampah yang di sediakan pun.

Di jalan raya juga kita masih sering melihat pengendara membuang sampah sembarangan dan menganggap jalan raya sebagai tempat sampah yang semua orang bisa membuang sampah sepanjang jalan. Di kanan kiri jalan, iklan-iklan berjejer semrawut dipaku di pohon-pohon hidup. Apa mereka tidak tahu kalau pohon juga makhluk hidup? Mereka itu bodo apa kurang ajar? Atau karena tidak ada aturan yang memberikan sanksi berat pada si pelanggar. Pelanggar? Melanggar itu kalau ada aturan yang membatasi dan mengaturnya. Sudah adakah aturan yang cukup dan sudahkah dijalankan dengan semestinya? Idealnya, bikin aturan yang tegas dengan sanksi yang berat bagi perusak alam dengan petugas yang militan tanpa mau menerima suap dalam bentuk apapun.

Sungai menjadi tempat favorit di sekitar pemukiman untuk membuang sampah. Dari hulu sampai muara, sampah dari makhluk hidup yang bernama manusia, terus menerus dibebankan pada badan sungai. Di bukit-bukit, di pegunungan, di lembah-lembah, di ladang-ladang, di sawah-sawah, bahan berbahaya dan beracun ( B3 ) setiap hari di tumpahkan. Semua dilakukan dengan tanpa rasa beban, meski pelaku tahu akibat perbuatannya.

Jika terjadi tanah longsor, banjir dan banjir bandang, pihak-pihak yang merasa bertanggungjawab saling menuding dan saling mencari kambing hitam. Karena manusia tidak mau dijadikan ‘manusia hitam’. Ramai-ramailah para pakar berdiskusi sampai larut malam. Sampai terkaget karena ujung kakinya terseret arus banjir. Sampai orang-orang di sekitar tertidur dan terbangun lagi saat rumahnya diterjang banjir bandang. Saat musim kemarau tiba, air menghilang. Kekeringan melanda dan membuat hamparan tanah yang kenyang racun, retak-retak menganga. Pakar-pakar lingkungan berdiskusi di rumah-rumah milik para peracun bumi. Tak ada tindakan untuk para pelanggar. Hanya himbauan untuk sadar, sampai yang mengharap para pelanggar sadar, mati kehilangan kesabaran.

Kekuasaan Uang.
Nafsu untuk hidup nyaman enak dan juga bisa membeli apa saja, melupakan akibat yang diperbutanya. Ketika menganggap fasilitas kenyamanan dan kesenangan bisa dibeli dengan uang dan berkembang dengan anggapan uang bisa membeli apa saja, termasuk kekuasaan dan fasilitas ekstra (sosial), maka manusia cenderung untuk berusaha memperoleh uang dengan berbagai cara, termasuk meracuni dan merusak bumi. Uang sangat berkuasa dan sebagai alat untuk menguasai yang sangat penting.

Jika sebuah lokasi bisa menghasilkan uang dari kandungan di dalamnya, sebuah perusakan segera terjadi. Lupa tentang akibat. Jika sebuah kegiatan menghasilkan banyak uang ( kegiatan industri dsb ) limbah yang dihasilkan, lupa atau sengaja lupa untuk dinetralisir agar tak jadi racun. Produksi sampah pun mulai tmabha lagi, lagi dan lagi. Uang membuat lupa tatanan hidup sesama manusia, sesama makhluk Tuhan lainnya.

Karena daya hebat uang itulah manusia berusaha mencarinya dengan berbagai cara, termasuk merusak dan meracuni alam dari imbas kegiatannya. Semua yang menghasilkan uang menjadi daya tarik yang sangat kuat untuk saling memperebutkannya. Semua berebut sampai tak ada batas yang jelas kapan berakhir. Sampai sadar kalau manusia tidak bisa makan uang! Sampai setiap langkah yang kita ayun tersandung sampah.

Sampai ada yang berani menghukum pembuang sampah sembarangan dihukum berat.
24022018. 21:23

Rabu, 14 Februari 2018

SUARA KEBENCIAN


djayim.com
Suara berupa ujaran kebencian atau ( agar nampak keren ) Hate Speech menjadi sesuatu yang dibatasi dengan terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE). Pemerintah bersama DPR RI, sepakat bahwa: Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), akan terkena sanksi hukuman.
Ujaran kebencian atau Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan, permusuhan, ketidaknyamanan, anarki dan sikap prasangka yang timbul karena lahirnya hate speech tersebut.
Ada pepatah mengatakan, lidah lebih tajam dari pedang. Dari lidah-lah lahir ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan orang lain merasa tidak nyaman, sakit hati dan rasa tidak suka yang bisa melahirkan tindakan yang merusak tatanan berkehiduapan atau merusak sarana.
Timbulnya kebencian dari sebuah ujaran, berbeda-beda bagi setiap individu. Sebuah ucapan yang sama persis, bagi seseorang atau sebagian orang mungkin biasa-biasa saja, tapi bagi orang lain atau kelompok lain, bisa merupakan ucapan yang menyakitkan dan menimbulkan rasa ingin memusuhinya dan dimungkan lahir ujaran kebencian baru sebagai balasan. Jika hal ini terjadi, saling meneyerang dengan hate speech, akan lahir sebuah permusuhan baru yang menimbulkan ketidaknyamanan. Permusuhan yang bukan hanya speech vs speech, tapi berkembang menjadi sebuah pergerakan vs pergerakan. Jika sampai pada tahap pergerakan, maka kegiatan dukung mendukung, kegiatan mencari dukungan dan kegiatan mempertahankan pendapat yang kadung disiarkan menjadi sebuah ajang pertempuran yang tidak diketahui kapan akan berakhir.

Sebuah peraturan atau undang-undang yang mengikat dan memberi sanksi pada pelanggarnya, lahir karena ada sebuah tindak tingkah laku manusia dalam berinteraksi dalam lingkungannya, baik lingkup lokal maupun lingkup negara, yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan sesama manusia. Peraturan diperlukan saat sebuah tindakan bisa menimbulkan tindakan lain yang merusak.

Mencari kepuasan.

Puas tidak akan ditemukan di mana pun, juga pada diri kita. Sebuah rasa kepuasan yang dirasa didapat saat sesuatu tujuan tercapai, akan muncul rasa ingin puas lagi pada tahap dan bentuk lain. Puas hanya sementara, sebagai penampung keinginan terhadap pencapaian pada tahap tertentu, untuk kemudian mencari lagi kepuasan lain. Jika ungkapan kebencian yang dilontarkan sebagai ajang untung mencari kepuasan, maka tak akan pernah terpenuhi rasa puas itu, karena akan lahir keinginan untuk mencari kepuasan baru yang tak akan ditemukan.

Rasa puas tidak akan berhenti jika kita tak membatasi dan mengendalikannya agar keinginan merasa puas tidak lahir dan tak terkendali. Mengendalikannya akan muncul sebuah keinginan yang wajar, bukan pemenuhan yang maksimal yang belum tentu bisa menikmatinya. Menikmati sebuah kepuasan dengan menebar kebencian, akan muncul ketakutan baru dari kemungkinan tindakan reaktif dari pihak yang diserang.

Hate speech yang dilontarkan dengan tujuan memenuhi hati agar merasa puas, akan berbenturan dengan pihak lain yang diserang dan akan terjadi saling serang. Jika tak ada tata aturan yang memberi sanksi pada pelontar hate speech, saling serang itu akan terjadi dimana-mana dan diberbagai media. Membatasi dengan sebuah undang-undang yang memberi sanksi bagi pelanggarnya, sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir lahirnya kejadian yang tidak produktif dan merusak.
01:14
14.02.2018

Rabu, 07 Februari 2018

MENYALAHKAN

Menyalahkan itu gampang dan mudah. Apalagi jika menyalahkannya tidak perlu argumen untuk perdebatan lebih jauh. Timbul rasa ingin menyalahkan pendapat orang lain, karena tidak sesuai dengan apa yang diyakininya. Sebuah keyakinan didasari oleh argumen dan alasan. Argumen dan alasan itu bisa sampai jauh berakar-akar ke bawah dengan segala alat pendukungnya yang semuanya diyakini benar dan berkaitan. Benar yang diyakini, karena argumen atau alasan lain tidak dianggap benar dan tidak sesuai.

Benarnya sebuah keyakinan, belum tentu dibenarkan oleh individu lain atau kelompok lain. Benar sebuah keyakinan berbeda sekali dengan benar yang telah ditetapkan dalam aturan-aturan tertentu yang telah disepakati bersama atau aturan yang harus, mau tidak mau, ditaati. Juga sangat berbeda dengan benar secara matematis. Dua kali dua itu empat, jika tidak empat salah, titik. Dan benar macam ini tidak dibantah. Atau bisa saja ini disebut betul. Bahkan kebenaran sebuah rasa atau yang berkaitan dengan panca indera, masih bisa ada perbedaan meskipun masih dalam satu lingkaran besar rasa yang sama. Rasa pedas bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Rasa sakit juga berbeda-beda. Sebuah lombok, bagi seseorang bisa terasa sangat pedas, tapi bagi orang lain hanya pedas biasa-biasa saja. Tentang rasa, tidak akan terjadi sebuah kesepakatan atau titik temu jika diperdebatkan. Dan itu memang semestinya tidak diperdebatkan.

‘Rasa’ kebenaran yang diaykini itu menjadi terasa hampa dan biasa-biasa saja jika benar yang diyakini tidak ada argumen dan alasan yang kuat kenapa memilih ‘kebenaran’ yang dipilihnya. Juga akan kurang mantap jika ternyata ada kebenaran yang diyakini orang lain yang berbeda dengan keyakinannya, mempunyai argumen dan alasan yang kuat. Argumen dan alasan itu bukan hanya sekedar untuk memberi rasa mantap pada diri sendiri, tetapi juga untuk membentengi diri jika ada yang mendebatnya dan untuk bisa mempengaruhi individu lain untuk ikut bersama dalam lingkaran ‘kebenaran’ yang diyakininya.

Merasa benar itu jika tidak terkontrol, bisa menjadi gampang menyalahkan pihak lain yang tidak sepakat dengan keyakinannya. Menyalahkan pihak lain tentu ada argumen dan alasan, karena setiap keputusan atau pilihan ada alasan, meskipun kadang minim. Berkeputusan memilih keyakinan yang dianggap benar dengan segala argumen dan alasan, karena menganggap keyakinan lain tidak benar, juga dengan argumen dan alasan. Jika tidak ada pilihan, karena tak ada alternatif lain, maka tak perlu ada argumen dan alasan. Pada kondisi ini, tidak akan terjadi perdebatan dan saling menyalhkan.
Menyalahkan kebenaran yang diyakini pihak lain akan menjadi sebuah perdebatan adu argumen jika dipertemukan. Masing-masing pihak akan tidak akan begitu saja menerima penyalahan dari pihak lain. Sebuah kepercayaan diri akan muncul dalam mengungkapkan kebenaran yang diyakininya. Lebih jauh, membuat pihak lain yang berbeda keyakinan kebenarannya, berubah arah dan ikut pilihannya.

Saling menyalahkan, jarang terjadi titik temu karena ego masing-masing pihak. Kalah atau mengalah karena kurang kuatnya argumen, akan ditutupi dengan berbagai cara. Kebenaran yang diyakininya akan dibela dengan mencari argumen-argumen lain yang kadang dipaksakan atau bisa jadi malah kontrproduktif.

Timbulnya menyalahkan, karena menganggap kebenaran yang diyakini pihak lain bisa berbahaya dan merugikan bagi kelompoknya, bagi wilayah tempat tinggalnya dan bagi kelangsungan hidup secara keseluruhan, tentu menurut dirinya atau kelompoknya.

Apakah dunia akan damai jika tidak saling menyalahkan? Bisa saja. Tapi, apakah begitu banyak keyakinan bisa berjalan bersama-sama tanpa ada benturan kepentingan dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda cara? Sebuah pertanyaan utopis.

00:48. 070218