Alam serasa tidak bersahabat dan memposisikan kita harus
waspada setiap saat. Saat musim penghujan, arus air yang melewati
sungai-sungai, keruh, penuh sampah dan mengangkut lumpur dari bukit-bukit yang
menggigil karena kulitnya terus mengelupas. Air yang lembut, bening,
menyegarkan dan membawa kedamaian saat keluar dari mata air yang bersih,
berubah menjadi sangat menakutkan ketika turun dari langit berjuta-juta kubik,
bergerak cepat melibas semua yang dilewati. Tak pilih-pilih, batu, cadas,
rumah, jalan, bukit, semua yang ada didepannya dibentur tak peduli apakah akan
rusak atau tak apa-apa. Air dari langit
itu seperti ingin segera cepat sampai ke laut. Seperti enggan berlama-lama
bertahan di bukit-bukit, enggan berlama-lama di lembah-lembah, enggan
berlama-lama pada tanah yang sudah semakin rapuh dan kotor.
Manusia itu sebenarnya tahu, setiap hari bumi dan langit
diracuni siang dan malam. Manusia itu sebenarnya tahu bahwa mengkhianati bumi
yang telah begitu murah hati memberi ruang hidup dan segala kebutuhan sudah
sepatutnya dihentikan. Manusia itu tahu, kalau merawat bumi dan langit dari
segala bentuk racun adalah sebuah keharusan. Manusia itu sangat tahu kalau
meracuni bumi dan langit sangat tidak baik bagi semua makhluk hidup. Manusia
itu sebenarnya tahu, karena manusia itu makhluk berpikir. Tapi kenapa kegiatan
meracuni bumi dan langit tetap saja terjadi terus menerus?
Menegur orang yang melakukan kegiatan polusi, kalau yang
menegur bukan aparat atau lembaga yang berkepintingan, bisa menjadi masalah
besar atau bahkan bisa balik memusuhi si penegur. Peracun bumi itu sebenarnya
tahu itu tidak baik, nafsu dan ego-nyalah yang membuat merasa tak ada orang
boleh mempersalahkan. Nafsu manusia untuk mempertahankan alasan apa yang dilakukan,
akan dilakukan dengan berbagai cara meski naluri batiniyahnya menyadari apa
yang dilakukan salah. Lebih jauh, nafsu mempertahankan bisa berkembang menjadi
nafsu menyerang dan ingin menghabisi yang dianggap lawannya. Maka ‘pembiaran’
bagi orang yang melihat pelaku peracun bumi dan langit lebih karena mencari
aman.
Manusia normal, sadar jika membuang sampah plastik dan
sampah unorganik lainnya secara sembarangan akan membuat polusi bumi dengan
berbagai akibat. Yang membuang sampah di sungai, tahu jika perbuatannya akan
membuat sungai kotor dan bisa mengakibatkan banjir. Pemilik pabrik tahu jika
membuang limbah beracun dari hasil olahan industrinya berakibat merusak alam
dan meracuni semua makhluk hidup yang terkena. Mereka tahu itu tidak baik,
mereka tahu seharusnya tidak dilakukan. Tapi kenapa mereka tetap saja masih
banyak yang melakukan? Biasanya alasan utamanya, ( di industri ) karena biaya
pengolahan limbah mahal yang berakibat menurunkan pendapatan laba. Ujungnya:
uang yang didapat dari sebuah kegiatan harus maksimal.
Konsep bersih pada kita, kebanyakan masih pada bersih di
sekitar tempat tinggal. Bersih hanya terpikirkan pada rumah dan halaman.
Lingkungan di luar rumah dan halaman tak begitu terpikirkan. Maka mereka banyak
yang membuang sampah di sungai, si pinggir hutan atau di punggir-pinggir jalan,
yang penting rumah dan halaman tempat
tinggalnya bersih dari sampah. Membuang sampah sembarangan di sembarang tempat,
bukan sebuah perasaan bersalah dan menganggap hal yang biasa-biasa saja. Yang
terjadi, setiap habis ada pertunjukan atau kegiatan yang mengumpulkan banyak
orang, sampah berserakan di setiap tempat. Bahkan di dekat tempat sampah yang
di sediakan pun.
Di jalan raya juga kita masih sering melihat pengendara
membuang sampah sembarangan dan menganggap jalan raya sebagai tempat sampah
yang semua orang bisa membuang sampah sepanjang jalan. Di kanan kiri jalan,
iklan-iklan berjejer semrawut dipaku di pohon-pohon hidup. Apa mereka tidak
tahu kalau pohon juga makhluk hidup? Mereka itu bodo apa kurang ajar? Atau
karena tidak ada aturan yang memberikan sanksi berat pada si pelanggar.
Pelanggar? Melanggar itu kalau ada aturan yang membatasi dan mengaturnya. Sudah
adakah aturan yang cukup dan sudahkah dijalankan dengan semestinya? Idealnya,
bikin aturan yang tegas dengan sanksi yang berat bagi perusak alam dengan
petugas yang militan tanpa mau menerima suap dalam bentuk apapun.
Sungai menjadi tempat favorit di sekitar pemukiman untuk
membuang sampah. Dari hulu sampai muara, sampah dari makhluk hidup yang bernama
manusia, terus menerus dibebankan pada badan sungai. Di bukit-bukit, di
pegunungan, di lembah-lembah, di ladang-ladang, di sawah-sawah, bahan berbahaya
dan beracun ( B3 ) setiap hari di tumpahkan. Semua dilakukan dengan tanpa rasa
beban, meski pelaku tahu akibat perbuatannya.
Jika terjadi tanah longsor, banjir dan banjir bandang,
pihak-pihak yang merasa bertanggungjawab saling menuding dan saling mencari
kambing hitam. Karena manusia tidak mau dijadikan ‘manusia hitam’.
Ramai-ramailah para pakar berdiskusi sampai larut malam. Sampai terkaget karena
ujung kakinya terseret arus banjir. Sampai orang-orang di sekitar tertidur dan
terbangun lagi saat rumahnya diterjang banjir bandang. Saat musim kemarau tiba,
air menghilang. Kekeringan melanda dan membuat hamparan tanah yang kenyang
racun, retak-retak menganga. Pakar-pakar lingkungan berdiskusi di rumah-rumah
milik para peracun bumi. Tak ada tindakan untuk para pelanggar. Hanya himbauan
untuk sadar, sampai yang mengharap para pelanggar sadar, mati kehilangan
kesabaran.
Kekuasaan Uang.
Nafsu untuk hidup nyaman enak dan juga bisa membeli apa
saja, melupakan akibat yang diperbutanya. Ketika menganggap fasilitas
kenyamanan dan kesenangan bisa dibeli dengan uang dan berkembang dengan
anggapan uang bisa membeli apa saja, termasuk kekuasaan dan fasilitas ekstra (sosial), maka manusia cenderung untuk berusaha memperoleh uang dengan berbagai
cara, termasuk meracuni dan merusak bumi. Uang sangat berkuasa dan sebagai alat
untuk menguasai yang sangat penting.
Jika sebuah lokasi bisa menghasilkan uang dari kandungan di
dalamnya, sebuah perusakan segera terjadi. Lupa tentang akibat. Jika sebuah
kegiatan menghasilkan banyak uang ( kegiatan industri dsb ) limbah yang
dihasilkan, lupa atau sengaja lupa untuk dinetralisir agar tak jadi racun. Produksi
sampah pun mulai tmabha lagi, lagi dan lagi. Uang membuat lupa tatanan hidup
sesama manusia, sesama makhluk Tuhan lainnya.
Karena daya hebat uang itulah manusia berusaha mencarinya
dengan berbagai cara, termasuk merusak dan meracuni alam dari imbas
kegiatannya. Semua yang menghasilkan uang menjadi daya tarik yang sangat kuat
untuk saling memperebutkannya. Semua berebut sampai tak ada batas yang jelas
kapan berakhir. Sampai sadar kalau manusia tidak bisa makan uang! Sampai setiap
langkah yang kita ayun tersandung sampah.
Sampai ada yang berani menghukum pembuang sampah sembarangan
dihukum berat.
24022018. 21:23