Label

Senin, 13 Juli 2020

MENJELANG MENYAMBUT MAGHRIB

soleh djayim.

Air sungai yang mengalir hampir selalu keruh, tak begitu deras, tak juga tenang, tapi sering mengalir deras seperti banjir bandang pada saat waktu yang tak terduga, meskipun ketika tak musim penghujan. Tak tahu kenapa dan tak juga banyak orang  ingin tahu. Di bawah jembatan, agak di samping, seorang kakek hampir setiap hari di situ memancing. Di bawah pohon Kersen yang kulit batangnya sudah tampak tua dan banyak luka, Ia menggantungkan peralatan dan bekal memancing. Selalu tak lupa membawa buku. Sekira dua puluh kilo meter, aliran air akan sampai pada muara untuk berbaur dengan lautan luas dengan ombak yang selalu bergulung-gulung setiap waktu.

Berbagai jenis, bentuk dan macam joran tertata di tas khusus yang boleh dikata setiap hari berganti-ganti. Berganti tas, berganti joran, berganti gulungan senar, berganti warna dan jenis senar, berganti sarung tangan, bergati pancing, berganti umpan, juga topi yang selalu dikenakan. Tak ada habisnya persediaan yang dibawa. Dari yang model lama sampai yang baru keluar, ada, komplit warna-warni. Meski begitu, kakek Bara selalu berada di satu tempat, duduk di atas batu sedikit lempeng dan selalu menghadap ke arah barat, arah yang memungkinkan melihat lalu lalang orang melewat di jembatan. Rumput di sekitarnya hijau berbeda dengan yang di seberang. Hujan yang kadang turun, tak membuatnya beranjak, Ia akan tancapkan payung besar dan tetap memegangi joran. Jika air banjir tak sampai membahayakan, Ia akan tetap di situ sampai menjelang gelap, sampai udara terasa lembab dan dingin.

“Saya boleh duduk di sini, kek?”

“Boleh. Tapi kamu nggak boleh mengganggu kakek. Kalau membantu, boleh.”

“Bantu apa kek?”

“Nanti kalau kakek butuh bantuan. Kalau..”

“Siap. Boleh pinjam pancingnya satu kek?”

“Kalau yang di sini nggak boleh. Kalau kamu mau, beli saja. Ini uangnya?”

“Kenapa kek? Di sini juga ada, kenapa harus repot-repot beli?”

Kakek Bara hanya tersenyum, tak segera menjawab sambil menyodorkan selembar uang ratusan ribu. “Kau tak perlu tahu. Atau, belum perlu tahu.”

“Nggak usah Kek, saya pakai ini saja. Maaf, saya ingin cobain joran yang kelihatannya bagus. Maaf Kek.”

“Nggak apa. Nyantai saja, tak perlu terpikirkan. Kamu dari mana? Sengaja mancing di sini? Biasa di mana?”

“Dari sekitar sini Kek, dekat tapi lain desa. Perbatasan. Sengaja cari tempat yang asyik. Saya sering di sini. Setiap lewat sering lihat kakek di sini, jadi pengin ke sini. Sepertinya menarik.”

Kakek Bara mengusap daguya. Janggutnya yang sebagian memutih agak tertata kembali. “Kakek hanya menunggu maghrib datang, untuk pulang, mandi dan pergi tidur.”

“Kapan Kakek tidur?”

“Tak tahu, tak pernah tahu. Tahu-tahu kakek sudah terbangun pada waktu yang berbeda. Hal yang selalu ingin kakek ketahui; tahu sendiri kapan saya tertidur, pada jam berapa, menit keberapa, detik keberapa?”

“Saat beranjak tidur, Kakek berdoa agar terbangun lagi?”

“Kadang berdoa begitu, lebih sering lupa. Lagian, apa kita punya kekuatan untuk bangun di saat tidur? Jika kemudian tak juga bangun selamanya, apa daya kita untuk bangun lagi?”

Pembicaraan terhenti.

Entah karena ada apa, di atas jembatan terjadi keriuhan. Banyak orang berkerumun saling memaki, salin dorong dan saling bentak. Air yang mengalir di bawahnya, tenang-tenang saja, tak cepat, tak lambat, dan tak ada riak gelombang kecil karena arus angin. Belasan capung warna warni terbang pada satu tempat dengan sesekali menukik menyentuh air. Biang berdiri memanjangkan lehernya, melongok  sambil terus menajamkan mata.

“Ada yang berantem kek?”

“Biarin aja. Itu kerjaan mereka.”

“Saya mau lihat kek. Saya mau naik. Kakek nggak mau lihat?”

“Yang lebih dari itu, sudah sering Kakek lihat.”

“Kakek pernah ribut-ribut?”

“Kenapa kau tanya begitu? Tampang kakek tukang ribut?”

“Hmmm... sepertinya.., eh, nggak juga Kek.”

“Kau lihat dan perhatikan. Sebentar lagi ada sesuatu yang dilempar ke bawah. Ke sungai, ke air.”

“Kakek yakin?”

“Pernah lihat, pernah mengalami, pernah terlibat.”

“Maksud Kakek?”                                                                                   

Kakek Bara hanya tersenyum. Ia mengangkat joran memindahkan pancing pada tempat lain. Seekor capung merah mengikuti arah pancing mencelup dan berhenti terbang bertahan diatasnya. Gelombang ombak lembut menyebar membuat lingkaran sampai pada dinding-dinding sungai. Seekor ikan berkulit perak menyembulkan kepalanya di sisi kiri, menari sebentar, berputar seputaran dan menyelam dengan meninggalkan cipratan air dari ekornya yang menggelepar. Kakek Bara acuh, tak peduli, Biang terpesona dan berteriak, “Itu Kek....” Ia tak tertarik, malah mengalihkan pembicaraan.

“Kau hobi mancing?”

“Nggak juga, Kek. Cuma, kadang-kadang pengin mancing. Di rumah terus jenuh.”

“Orang tua-mu di mana?”

“Mereka sibuk cari uang. Sibuk cari teman.”

Kakek Bara tersenyum. Biang tak mengerti senyumnya. Diam, hening sesaat di sekitarnya. Di atas jembatan keributan masih belum reda dan tiba-tiba, “Blouaarrrrrr.....!” sebuah benda sebesar tivi tabung 21 inch meluncur deras dari atas jembatan menghantam air dan melayang tenggelam ke dasar sungai. Orang-orang  di atas jembatan memandanginya. Biang agak terusik tapi Kakek Bara tetap duduk santai mengamati pelampung pancing.

“Terbukti kan yang Kakek bilang tadi.”

Biang tersadar, “Iya yah....,” pikirnya.

Hampir separuh yang ada di atas jembatan berlari turun ke sungai. Memberosot melewati ilalang dan semak liar berduri. Dari yang berpakain necis lengkap dengan dasi dan sepatu jenggel mengkilap sampai yang hanya berkaos singlet tanpa alas sepatu. Dengan sekejap mereka sudah berada di bibir kanan kiri sungai, memandangi air sungai yang sudah tenang tanpa bekas, siap terjun menyelam.

Kakek Bara berdiri, menyerahkan joran pada Biang, berjalan sepuluh langkah dan berdehem pelan dengan nada rendah. Seketika semua orang yang berada di bibir sungai bersorot mata mengarah ke satu titik. Tak ada yang bergerak, tak satupun yang bersuara, sepertinya nafas pun mereka tahan. “Kalian semua pulanglah. Kotak itu isinya tak diperlukan kalian semua. Saya tahu itu. Pulang, jangan mau tertipu. Jangan buang-buang energi dan mengabaikan waktu hanya untuk sebuah kotak.”

Satu persatu mereka bergerak membalikkan badan, beranjak perlahan kemudian berjalan bergegas menuju jalan. Tak ada suara membantah. Sesampai di atas jembatan, mereka berderet pada pagar jembatan memandangi tempat jatuhnya kotak. Dan mereka telah berganti baju, entah kapan. Baju-baju yang bagus warna-warni dengan gambar, simbol dan tulisan penyemangat. Mereka mengelompok sesuai warna baju yang dikenakan. Sinar matahari yang telah memanjangkan bayangan dua kali lipat, memapar agak sedikit kasar. tak sampai sepuluh menit, mereka bosan dan pergi. Baju-baju yang mereka pakai dilepas, ditaruh pada tempat yang berbeda-beda sesuai warna. Di bawah jembatan, Biang terpana, mulutnya terbuka sedikit lupa mingkem.

“Mereka kenal kakek?”

“Mungkin mereka salah lihat, saya dilihatnya seperti orang yang mereka takuti dan taati.”

“Nggak mungkin kek. Saya yakin mereka kenal kakek.”

“Jangan terlalu yakin. Kau akan sangat kaget jika keyakinanmu ternyata salah. Biasa saja.”

“Tapi kek....”

“Lihat,” Kakek Bara menarik jorannya perlahan dan menggulung tali senar perlahan. “jika terasa berat, menariknya harus dengan seni dan perhitungan yang matang, pelan-pelan, sabar. Jika tidak, senar akan putus dan mangsa akan hilang.” Yang terperangakap pancing Kakek Bara besar dan berat, tapi tak ada gerakan berontak melepas kail. Saat terangkat ke permukaan, Biang terkejut.

“Kotak yang tadi jatuh dari atas, Kek.!”

Kakek Bara hanya tersenyum, “Iya.” Jawabnya pendek tanpa tekanan nada. Biang segera membantu mengangkatnya. Meski baru dua kali pertemuan, mereka akrab seperti sudah lama. Susah payah berdua mengangkatnya selama sembilan menit.

“Begini cara mbukanya.” Kakek Bara membuka tutup kotak yang tampak rapat dan kencang hanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya setelah Biang gagal meski dengan sepenuh tenaga. Dua kali congkelan kanan kiri, tutup terbuka. Di dalamnya, tertata rapi tumpukan kertas dan benda-benda antik seperti peninggalan kerajaan kuno. Ada juga tumpukan album foto dari yang bersampul hitam putih pudar sampai yang bersampul warna-warni cerah. Tak ada yang rusak dan basah, semua masih baik, “Catatan dan arah sejarah bisa berubah jika saya buka semua yang ada di sini.”

Biang terdiam, bingung. Dahinya mengerut berusaha mencoba memahami. “Ini semua isinya tentang apa kek?” Kakek Bara tak menjawab, Ia malah sibuk mengambil handphone di saku celana kiri dan segera menelpon.

“Kamu segera ke sini. Ke tempat kemarin!”

Tak sampai sepuluh menit sebuah mobil berkaca gelap mendecit menahan laju. Dua orang berbadan kekar dan kerempeng turun ke tepi sungai menuju Kakek Bara.

“Apa yang harus kami lakukan, boss?”

“Angkat kotak ini. Tak ada yang boleh membukanya. Siapa pun. Kalian harus lawan jika ada orang yang memaksa ingin tahu.”

“Siapp Boss...”

“Segera bawa ke rumah, taruh di kamar nomor dua dari selatan. Ingat, hati-hati di perjalanan, jangan ada satupun orang curiga.”

“Siap Boss.”

“Buktikan! Bukan hanya siap boss, siap boss, melulu.”

“Siap Boss.”

“Okeh, langsung..!”

Dua orang itu segera membawa kotak ke dalam mobil. Selepas suara pintu di tutup, suara knalpot menderu melesatkan mobil. Kakek Bara melanjutkan lagi mancing. “Kau ingin tahu apa yang ada di kotak itu nak?” Biang terkaget. Pikirannya yang sedang melayang putus benang, kembali pada raganya. Ia tak segera menjawab pertanyaan. Diam, mengernyitkan dahi, merapatkan kelopak mata, mencari kalimat yang tepat.

“Apa ada gunanya saya tahu Kek? Jika saya tahu atau jika tidak tahu, apa pengaruhnya bagi saya, bagi sekitar saya, bagi kami berdua, bagi kita semua?”

“Pertanyaan saya tadi sederhana, kau ingin tahu yang ada di kotak itu? Tinggal jawab iya atau tidak. Kenapa kamu ribet begitu?”

Biang salah tingkah. Ia menempatkan lagi mata pancingnya pada bidang air yang sedikit beriak. Ia menggali lagi pertanyaan untuk Kakek Bara yang sudah tenggelam di dunianya.

“Kenapa Kakek nggak bikin kolam pemancingan di dekat rumah?”

Kakek Bara menengok, “Di dekat rumah ada, tapi saya tidak suka mancing di situ.” Kakek Bara menyentakkan joran, seekor ikan sebesar ibu jari terangkat, menggelepar berontak di ujung tali senar, dan terlepas, segeralah ia menyelam menghilang dari pandangan. Diperiksanya umpan di kail, masih belum berkurang. “Jika saya mancing di dekat rumah, burung-burung piaraan saya suka bernyanyi. Bernyanyi terus sepanjang saya mancing. Saya jadi risih. Tetangga kami sudah mulai mengerti nyanyian burung-burung saya. Semua suara burung sudah dipahami. Saya ingin melepasnya, tapi khawatir jika bernyanyi di sembarang pohon. Saya tak mungkin mematikannya, itu lebih berbahaya. Kau ingin mendengarnya?”

“Ingin Kek. Hal yang menarik. Kapan kakek ada waktu?”

“Besok jam dua-an bisa. Eh, Apa saya sudah tampak tua, kau panggil aku kakek?”

“Maaf, biar tambah akrab saja. Kalau manggil ‘pak’, semua orang laki-laki di sana bisa saya panggil pak.”

Dua meter di atas kaki langit sebelah barat matahari sudah bersiap meninggalkan siang. Kakek Bara berkemas pulang, “Saya tunggu kau besok. Ini alamat rumahku.” Biang menerima lembar kertas kecil, kartu nama. Mereka berjalan beriring ke jalan untuk berpisah karena berbeda arah pulang.

“Kakek belum tahu nama saya kan? Saya Bianglala, biasa dipanggil Biang, tapi banyak orang memanggil saya Biang Keladi.”

“Kamu Biang Keladi?”

“Iya Kek.”

“Biang Keladi itu?”

Biang memandangi Kakek Bara. Sorot matanya mengiyakan.

“Kau telah banyak tahu tentang aku.”

“Tidak juga. Saya nggak tahu dan nggak ngerti.”

Kakek Bara mempertegas langkahnya, “Sedikit yang kau tahu, sudah terlalu banyak.”

***

Tengah hari, ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun dengan suhu 35 celcius, Kakek Bara duduk bersila di pinggir kolam berair keruh di tengah jalan yang rusak. Ia memancing di situ, berkaca mata hitam, betopi putih seperti topi pemain tenis profesional. Peralatan mancingnya tergeletak di sisi kanan. Pengendara yang lewat sibuk menghindari setelah memandanginya heran. Biang yang melihatnya segera menghampiri.

“Kek?” Kakek Bara sedikit mendongak dengan tatapan tajam.

“Kamu pasti menganggap saya gila.”

Biang diam sejenak, “Itu kalimat yang saya duga.”

Asap dan suara knalpot, debu, deru kendaraan, lengkingan klakson, membaur membubung ke langit. 

“Saya ikut mancing di sini, Kek.”

22.31.26.04.2019

PURNAMA DI AKAR MANGROVE


Saat kaki Purnama masih terendam air sebatas mata kaki diatas pasir yang lembut dan anak-anak penyu berjalan menuju sarang meninggalkan bekas kaki di pasir basah,  Matahari bersiap meninggalkan hari. Warna jingga, kuning kemerahan, coklat gelap, dan kuning tak sepenuhnya kuning, mengantar ke persinggahan malam. Ia masih berdiri, berjalan perlahan seperti menghitung bekas tapak kakinya yang tergambar di pasir lembut kecoklatan. Angin berkesiur, deduanan pohon bakau yang akarnya mengelilingi batang pohon menancap di tanah pantai, berbisik bernyanyi, timbul tenggelam oleh ombak yang tak pernah berhenti. 

Tak pernah bersemangat jika Purnama pergi meninggalkan batas laut dan daratan. Ia sering tertidur di pantai, di batu-batu tempat bersandar menghadap batas langit. Seorang kakek tua selalu menunggunya dengan sabar di gubuk kecil di atas pohon Panggang raksasa yang dahan-dahannya bergelantungan akar-akar kekar, diantara rerimbunan pohon bakau.

“Kau tak ingin pulang ke kampungmu nak?”

Pertanyaan yang sama ketika Purnama tampak diam merenung diri, dan jawabannya selalu singkat dan jelas, “tidak kek. Saya ingin selalu di sini.”

“Tapi, di sini sepi.”

“Saya suka sepi ini.”

Maka diam mengambil alih. Sedikit angin bergerak, dedaunan berdecit lembut. Debur ombak bersorak menemui pantai. Burung-burung berkaki panjang berjingkat-jingkat memangsa buruannya. Pada muara yang semakin dangkal, Purnama tak pernah bosan datang. Memandangi air keruh yang datang membawa sampah-sampah setiap saat. Plastik-plastik yang sombong, angkuh, menjijikan tertawa nyinyir mecemooh Purnama yang benci memandanginya. Meski Ia setiap hari tetap berperhatian padanya, dipungutinya, dikumpulkan di bawah sebuah pohon teramat rindang yang dedaunannya menutupi seluruh cabang dan ranting-ranting. Pohon yang saat malam ranting-rantingnya luruh ke bawah dan daunnya menutupi seluruh tanah di bawahnya dan ketika siang mengangkat kembali. Di mana pun Ia menemukan benih pohon, Ia selalu menanamnya pada tempat yang terbuka kemudian menjaganya, mengakrabi, berbalas senyum setiap waktu.

Sebuah kemustahilan telah membawanya ke sini. Bergulung-gulung pada air keruh penuh lumpur coklat kehitaman, tubuh kecil mungil yang dingin berbaju koyak mengapung. Kadang menyangkut pada rumpun bambu, pada akar-akar, berpusar di curug, terbentur batu-batu, terlempar pada dinding-dinding sungai. Tangannya yang kecil tak pernah melepas pelukannya pada batang pohon pisang. Jika sesekali terlepas, tangan lembut yang kuat memeganginya dengan sigap. Satu setengah malam satu hari Ia bertahan pada kedinginan dengan air keruh berlumpur dan air yang terus berlari ke muara yang mulai dangkal tak cukup ruang menahan lumpur gerusan erosi. Tersangkutlah Ia di akar mangrove, terkulai dengan nafas satu dua jarang-jarang.

Menjelang senja berlangit gelap dengan hujan yang menggerujuk deras, awal dari keterpisahan Ia dari keluarganya yang hidup penuh dengan fasilitas di sebuah perumahan elit yang terhampar di punggung bukit yang tak lagi tertutup dedaunan. Ayahnya yang kontrkator sukses dan ibunya seorang pengacara kondang, baginya tak jelas keberadaannya sekarang, ada dan tak ada tak ada pembeda. Kesibukan orang tuanya menjadi sebuah aturan, juga kewajiban untuk dimaklumi dan tak boleh protes. Mereka berdua mendapatkan uang dan barang-barang yang diminta seperti sebagai wakil dari kehadiran dan perhatian. Benda-benda tak berperasa dan mainan yang tak bisa berkomunikasi, membawa kakak beradik itu pada ruang hamparan bisu, hampa, menyesakkan. Saat sesekali liburan, seperti dikejar waktu yang terus menerus memberi batas merampas kenyamanan.

Ketika itu, Ia hanya berdua dengan adiknya yang masih kelas satu esde. Hujan yang mengguyur sepanjang setengah hari, sangat lebat dan seperti tak pernah berniat untuk berhenti, mengelupaskan lapisan tanah pada sisi bukit. Berjumpaitanlah rumah-rumah yang ada di atasnya. Petir tak pernah berhenti meledak-ledak. Aliran listrik terputus. Pipa-pipa air patah menyemburkan air. Hanya sedikit penghuni perumahan yang ada di rumah, selamat. Mereka tergulung-gulung air dan lumpur, tertimbun, terseret arus, tak kuasa menyelamatkan diri. Terpisahlah Ia dengan adiknya karena ketika itu ada di ruangan lain dan tak bisa menjaganya. Selamat ataukah tertimbun? Tak tahulah sedang apa kedua orang tua mereka.

Tergulung terus menerus di air yang begitu keruh bercampur lumpur, Purnama setengah bernafas, setengah pingsan. Suara yang berat itu selalu membuatnya sadar dan bertahan. Ia selalu bercerita menyela di gemuruh air dan hujan yang kejam.

“Manusia sudah terlalu angkuh untuk diperingati oleh sesama. Menjadi penjajah bagi makhluk yang lain.”

Ia membuka mata perlahan. Ada wajah bijak di sampingnya terguncang-guncang arus air, “begitukah kek?”

“Ya.”

Gemuruh arus air coklat kehitaman terus dan terus berlari membawa tubuh kecil tak berdaya. Purnama menggapai tubuh yang dirasa disampingnya, tapi tak tersentuh. Tak juga tampak. “Penjajah? Maksud kakek?”

“Bumi di racun dan dirusak setiap hari. Air diracun setiap hari. Langit diracun setiap hari. Udara diracun setiap saat. Tak ada yang berani menghentikan. Hanya sedikit, tapi kalah dan mundur.”

“Apa saya salah satu korban dari murka alam ini kek?”

“Mungkin.”

“Ko’ kakek ragu.”

“Kakek tak bisa bilang, pasti.”

Air keruh banjir terus dan terus berlari seperti buru-buru harus cepat sampai sebelum batas waktu yang telah disepakati.

Mata si kakek nanar memandang langit yang masih terus menerus menebar air. Mata yang sedari tadi redup, tiba-tiba berkilat mengeluarkan cahaya melesat membelah langit di atasnya, dan seketika suara gelegar lari menjauh mencacah awan. Laju air berhenti menjadi seperti bebatuan cadas warna coklat sepanjang sungai. Serasa sunyi sesaat. Ia terhentak lemas hilang tenaga. Tangannya tak kuat lagi berpegangan. Kakek itu memegangnya kuat-kuat. Dipapahnya ke gubuk kecil di atas pohon, dibaringkan pada kasur dedaunan kering. Dengan penuh perhatian kakek itu menyuapkan segelas air putih pada pinggir bibir yang mengeriput pucat. Perlahan anak kecil itu minum. Seperti terasa berat, ditelan perlahan dan sesaat nafas tersengal dan hampir muntah. Seluruh pakaian yang basah diucuti. Dengan sehelai kain sarung, tubuh kecil itu diselimuti dan dibiarkan tidur. Di pojokan sebelah kanan berbinar cahaya dari sumbu sebesar jari kelingking yang ujung satunya terendam di minyak kelapa pada mangkuk kecil.

“Ini di mana kek?”

“Ini rumahku. Lihatlah, bulan purnama menyambut kedatanganmu di sini, ia bulat penuh, tersenyum akbrab untukmu. Aku akan memanggilmu Purnama.”

Ia tersenyum, entah setuju, entah senang. Kemudian lahirlah banyak pertanyaan dari mulutnya yang mungil. Kakek tua berbadan kekar itu menjawab seluruh pertanyaannya dengan pelukan, Purnama menikmati kehangangatan.

Dua hari dua malam dalam kebingungan dan kedinginan, hari ketiganya, dengan berpakaian serba kebesaran ( punya kakek ) Purnama sudah berlari-lari di pantai, bercengkerama dengan ombak kecil yang datang dan pergi terus menerus seperti meledek. Dan Ia selalu tertawa ketika air tak bisa menyentuh kulit kakinya, tetapi sudah kembali lagi ke laut. Anak-anak penyu yang berlarian menyentuh air dan meninggalkan bekas kaki dua baris di atas pasir, selalu menjadi perhatiannya dan mengawalnya sampai terbawa arus balik ombak. Tak rasa terpikirkan tentang orangtua dan keluarganya yang mungkin sibuk mencarinya.

“Aku ingin pantai ini selalu bersih, selalu seperti ini, dan sepanjang sungai ini bersih, tak ada sampah kek. Bisa nggak ya kek?”

“Bisa.”

“Apa yang kakek lakukan sampai tempat ini bersih dan menyenangkan?”

“Kakek selalu menghargai alam. Merawatnya. Menyingkirkan semua yang membuatnya terganggu, membuatnya sedih, membuatnya jadi tak indah, membuatnya jadi tak cantik."

“Aku ingin seperti kakek!”

“Nanti pasti kakek ajari.” Kakek itu jongkok menyesuaikan posisi muka Purnama, “Ingat, saat hari mulai malam, kau tidak boleh di bawah pohon itu.” Ia menunjuk sebuah pohon berjarak dua puluh meter dari gubuk.

Paginya, dan sejak saat itu, Purnama selalu bersama kakek menyisir pantai menikmati alam, menikmati waktu sambil terus memungut seluruh sampah unorganik di setiap tempat yang ditemuinya. Sampai lupa waktu, sampai lupa jarak, sampai lupa seberapa berat yang bisa dibawanya. Lain waktu, mereka berdua menyusuri sungai, menyapa ikan-ikan, menikmati gemericik air, bercanda, bersenda gurau dengan batu-batu yang bergembira. Dipanggulnya sampah dalam karung. Dikumpulkan disebuah pohon rindang berdaun lebat, berwarna hijau padat dengan pinggir daun bergerigi halus. Sehari bisa enam sampai delapan karung dihimpun dan ditumpahkan. Jangan berpikir berapa tinggi tumpukan karung sampah itu yang setiap hari dikumpulkan Purnama dan kakeknya. Karena, ketika pagi menjelang, sampah itu sudah tak ada, hanya ada bekas sedikit berwarna cokelat  yang jika terpapar matahari di siang hari akan lenyap. Mulanya Purnama kaget dan selalu bertanya-tanya kemana sampah itu di bawa.

“Guguran daun itu telah melenyapkannya.” Jawab kakek ketika Purnama terus mendesak ingin tahu.

“Daun-daun itu telah memakannya kek?”

“Duan-daun itu jatuh dan melebur menjadi satu, menyerapnya. Melunturkannya, menjadikan sampah-sampah itu terurai kembali ke asal muasalnya. Kembali tanah. Seperti kita yang akan kembali menjadi tanah.”

“Boleh nanti malam aku melihatnya kek?”

“Kau tak akan bisa melihatnya. Hanya akan bisa merasakannya dan tak sekali langsung bisa.”

“Pohon apa itu kek?”

“Kau boleh beri nama pohon itu, siapa pun boleh menamai. Dan kakek tidak akan memaksa orang lain untuk menyebut nama pohon itu seperti yang kakek sebut.”

“Kakek menamainya pohon apa?”

“Belum.”

“Kakek dapat dari mana pohon itu?”

Dari sebutir biji yang jatuh ke tangan kakek. Kakek merawatnya dengan hati senang, menjaganya setiap saat, menjaganya seluruh waktu. Seperti menajaga tubuh kakek, seperti menjagamu. Ia sangat sayang denganku dan sebaliknya. Kami sangat akrab.”

“Kakek bisa bicara dengan pohon itu?”

Kakek menjawabnya dengan senyuman. “Kau juga nanti akan bisa menanam pohon seperti itu.”

“Bisa kek?”

“Bisa. Semua orang bisa. Akan Kakek namai pohon Bajik, dan kau boleh menamainya pohon Purnama, seperti namamu.”

Purnama berlari ke arah pohon rindang. Ia memandanginya. Seluruh daun menyambutnya dengan menyanyi. Dahan dan rantingnya lemah gemulai menari.

2017-05:14.04.04.2019