Label

Minggu, 17 September 2017

KURSI GOYANG, TIGA PEREMPUAN

cerpen
djayim.com

“Tidak semua buku yang ada harus kau buka, tidak semua buku yang kau buka harus kau baca, tidak semua yang baca harus kau ingat, tidak semua.”
“Apa maksud Nenek?”
“Tidak semua yang kau dengar, kau harus tahu. Jika kau tahu pun tidak harus semua didengarkan.”
“Kenapa Nek? Kenapa? Kenapa Nek? Apa aku nggak boleh tahu? Kalau nggak boleh tahu, kenapa Nenek mengucapkannya?”
Si nenek diam. Ada pandangan kosong yang selalu ada di setiap awal melihat sesuatu. Garis wajahnya pada kulit keriput menjadi semakin dalam jika ia tersenyum. Di ujung bibirnya selalu nampak garis kesinisan sekaligus penyesalan yang tak mudah terbaca karena berubah-rubah setiap saat.
“Aku khawatir padamu cucuku yang manis?”
“Apa yang dikhawatirkan denganku Nek? Apa aku, menurut nenek akan jadi seorang selalu kalah? Aku nampak seperti itu nek?”
“Tidak. Tidak sama sekali. Kau terlalu jauh berpikir seperti itu untuk seusiamu”
“Terus?”
“Belum saatnya kau tahu.”
“Nenek selalu saja begitu. Selalu! Aku sudah terus bertambah besar Nek. Aku sudah bukan anak TK lagi Nek, bahkan sudah banyak tahu yang Nenek tak pernah menduganya. Banyak Nek, buanyaak.”
“Ah, kau cucuku satu-satunya. Yang cantik, manis, pintar..”
“Nek, boleh nggak aku tanya lagi pertanyaan yang selalu Nenek menunda untuk menjawab?”
“Tentang apa?”
“Ibu.”
Si nenek terbatuk atau lebih pas kalau disebut sengaja batuk untuk kemudian menyuruh cucunya mengambilkan segelas air putih di dapur. Kemudian langit di depannya membuka lagi begitu banyak cerita. Banyak sekali yang Ia ingin buang, banyak juga yang ingin Ia kenang untuk membangkitkan senyum yang tak mudah untuk dimaknakan. Ada awan yang bergerak cepat kemudian pecah menjadi berkeping-keping hilang, ada yang bergerak perlahan mengumpul berubah menjadi hitam dan segera menjadi mendung dan menjadi hujan yang begitu deras membuat banjir bandang di bumi, ada yang bergerombol kecil-kecil bergerak perlahan mengiringi angin sepoi membelai lembut wajah-wajah kelelahan dan mengantarkan ke tidur yang nyaman. Angin selalu saja merubah arah awan atau juga merubah warna. Mengantarnya kemana saja yang tak pernah terduga. Angin terlalu sering memberi kabar yang tak pernah terduga. Kabar tentang cerita burung-burung yang bernyanyi di setiap pagi dan berhenti tanpa ada yang mengganggu. Kabar tentang anak kecil yang kehilangan orang tuanya karena perang kayakinan dan gengsi. Kabar tentang anak-anak jalanan yang ingin pulang ke rumah tanpa tahu di mana mereka harus pulang. Kabar tentang nyanyian di pagi hari yang mengantar orang-orang berangkat kerja tanpa khawatir anak-anak di rumah akan kena musibah. Kabar tentang pekerja-pekerja malam yang selelu bergelut dengan pekat dan dinginnya malam yang membisu dan tak mau tahu. Kabar tentang sesuatu yang sering tak di mengerti. Kabar tentang sesuatu yang sangat dibenci. Kabar tentang sesuatu yang sangat dinanti.
Tak ada seorang ibu yang tega mencelakakan anaknya sendiri. Tak ada! Bisik nenek hampir bergumam dan segera menutupi dengan gerakan melap mukanya agar tak ketahuan cucunya yang pasti sudah siap mencecarnya. Aku tak pernah bermaksud mencelakakan anakku yang manis, wanita tercantik di dunia, pada satu tempat yang sampai saat ini Ia tak bisa keluar darinya. Atau malah Ia tak pernah berusaha untuk mengakhiri cara kehidupannya. Anak yang manis dan penurut itu telah mandiri dan tak pernah lagi mendengar kata-kataku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia hanya akan mendengar apa yang cocok dengan pikiran dan egonya.
“Ibu sendiri yang telah mengantarkan aku ke sana, kenapa Ibu sekarang melarang. Apa Ibu ngiri karena Ibu dulu tidak seperti saya sekarang! Atau sebenarnya Ibu merasa kurang dengan uang yang saya berikan sementara Ibu sudah tak punya tabungan lagi?”
“Ibu tak pernah mengantarkanmu ke sana, tak pernah. Jangan kau sakiti aku dengan kata-katamu nak, jangan. Ibu sudah cukup menderita. Sudah sangat menderita.”
“Maaf, saya minta maaf. Tapi, bukankah Ibu yang selalu mengajari agar aku menjadi orang yang punya pendirian dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain? Ibu yang mengajariku agar selalu mengambil setiap kesempatan yang datang, bahkan dengan berlari menjemputnya? Jangan membiarkan satupun kesempatan yang ada. Jangan berharap kesmpatan kedua akan datang dan rakuslah terhadap kesempatan. Ibu kan yang mengajari? Dan sekarang Ibu, kesempatan itu masih ada, masih terbuka, dan aku akan tetap berada di sana sampai tak ada lagi kesempatan yang bisa di raih dengan keadaan saya. Ibu yang yang mengajari aku untuk menikmati setiap keadaan yang ada tak perlu memepedulikan omongan orang karena orang lain akan senang jika melihat kita sengsara.”
“Cukup anakku, cukup. Itu aku ingat semua, aku ingat. Tapi, di mana kau berada sekarang, di mana? Jangan sampai terlambat. Jangan terlambat, jangan sepertiku. Jangan seperti aku anakku. Ibumu!”
“Sama seperti Ibu dulu, di situ tempatku. Dan Ibu sudah tahu itu. Ibu memang tak pernah mengantarnya ke sana. Tapi jika kemudian tiba-tiba saya berada di sana dan aku merasa masih betah di sana, apakah aku harus mengingkarinya?”
“Sudah, sudah. Aku tak mau bertengkar denganmu. Kasihan kalau anakmu terbangun. Ia nampak lelap sekali. Seharian ia bermain-main dengan teman-temannya. Berlarian kesana kemari. Ia sepertimu waktu kecil dulu.”
Rasa penyesalan kembali menggelayut di ingatan nenek itu. Bagaimana Ia dulu sering menelantarkan anaknya, di titipkan pada tetangga, kenalan, saudara, ditinggal berhari-hari. Selalu saja Ia ingin segera  melupakan kegetiran itu dengan membaca. Membaca tentang apa saja.
“Nenek melamun lagi? Nenek ingat Mama ya? Iya? Kok Mama lama sekali nggak pulang ya Nek? Yang suka datang memeluk aku, itu, Mama aku bukan Nek? Kok kaya orang asing begitu. Kalau datang selalu bertengkar dengan Nenek. Masa ibu sama anak selalu bertengkar? Kenapa Bapak saya tak pernah datang Nek? Bapak saya seperti siapa sih Nek? Kok Nenek tak pernah cerita. Kenapa Nek?”
Pertanyaan yang sama muncul lagi di mulut yang berbeda. Dulu, Ibunya anak ini selalu bertanya tentang Bapaknya yang tak pernah di lihatnya. Ia kemudian bercerita tentang seorang lelaki pengembara yang gagah yang selalu mengembara adalah Bapaknya yang tak pernah pulang dalam pengembaraannya. Cerita pengembaraan itu selalu berakhir berbeda di setiap malam sampai kemudian anaknya tertidur dan lupa pada pertanyaannya.
Nenek itu mengambil sebuah buku di atas meja di samping kursi goyangnya. Ia mengambil sekenanya dari sekian banyak yang tercecer. Dibacanya sebentar dari awal halaman yang dilipat. Beberapa menit kemudian Ia mengambil pulpen dan menulis di pinggiran halaman yang sedang Ia baca; ‘nasib seperti ini tak akan mungkin dialami oleh kaum lelaki. Adil??’ 
Apa sebenarnya yang harus dijaga? Apa jika aku menjaganya dengan baik dan berhasil, mereka akan menanggung semua kebutuhan hidupku? Atau aku yang begitu berprasangka buruk pada kehidupan yang sebenarnya sangat bersahabat dan indah? Aku sedang kembali mungkin ini, kembali kemana ini? Aku tak mengerti dan sulit sekali mengerti. Begitu berbeda pikiranku kah dengan pikiran mereka? Mereka nampak normal dan bergairah menghadapi hidup yang terus dipenuhi persaingan. Mereka bergembira seperti cucuku yang bermian-main dengan teman-temannya dan tak pernah merasa cukup selesai sehari untuk kemudian mengulanginya esok hari. Pertanyaan-pertanyaanku bodohkah?      
Ia mencari jawaban di buku-buku yang tak pernah bosan dan tak pernah berkomentar dalam menemaninya. Ribuan buku dan ribuan pengarangnya selalu berbeda bercerita dan bercara pandang dalam satu masalah dan bahasan yang sama. Semua merasa baik dan benar. Manakah yang baik dan benar untukku? Ia sering berkomentar pada kalimat-kalimat yang menarik pikirannya. Mencoretnya, menambahkan, menggarisbawahi, memberi tanda tanya besar, memberi tanda petik. Ada juga kalimat atau kata yang dicoret berulang-ulang sampai tak terbaca, bahkan ada yang sampai kertasnya robek. Ada kejengkelan yang meledak di sana. Kejengkelan yang Ia sendiri tak bisa menulisnya.
Di sebuah sore. Saat matahari biasanya nampak mulai tenggelam, gerimis membuat cucunya berada di teras rumah ikut membuka-buka buku. Si nenek selalu khawatir cucunya akan bertanya banyak hal yang sulit untuk menjelaskan satu hal yang tak perlu dimengerti oleh anak seusianya. Rimbunan pohon mangga dan rambutan yang daunnya menutupi sebagian pandangan di depan terasnya, sering bergerak saling bergesek menyenandungkan lagu-lagu yang berubah-berubah sesuai dengan keadaan hati si nenek. Pohon-pohon di depan rumahnya, cicak di dinding yang telah berpuluh kali regenarasi, angin malam seputaran rumah, burung pipit yang selalu bersarang di atas dahan tepat di atas pintu gerbang kecil, kelinci putih yang bersarang di lubang teras belakang di bawah ranjang kecil yang sudah tak lagi dipakai, telah menjadi akrab dan tahu betul apa yang sering dipikirkan dalam gumamannya. Tapi, gadis kecil cucunya, yang ceria dan selalu tertawa riang dan lepas itu, semakin tak mengerti apa yang selalu ada di benak neneknya dan semakin penasaran kenapa pertanyaannya yang sama sering tak dijawab atau dijawab dengan jawaban berbeda-beda.
Saat malam, saat larut malam yang dingin dengan angin yang sama sekali tak bergerak, saat kendaraan yang membawa orang yang berpulang atau pergi sudah jarang sekali lewat, nenek yang masih memegangi buku dan membacanya halaman per halaman dengan tak teratur, terkejut dengan pertanyaan cucunya.
“Apa kakek yang suka datang sembarang waktu itu kakekku, Nek?”
Ia tak langsung menjawab. Ada pertimbangan lain yang dipikirkan untuk menjawabnya. Ada sangkaan pertanyaan sambungan lagi yang akan terus bersambung dari mulut manis cucunya yang terus menumpuk rasa penasarannya. “Lho, kamu kok terbangun sayang. Ada apa? Kamu mimpi buruk ya? Ayo, tidur lagi. Nenek temani ya?”
“Aku kan belum tidur Nek. Sedari tadi sore aku kan belum tidur. Aku kasihan Nenek, jadi aku ingin selalu menemani Nenek di sini. Aku ingin mengajak Nenek masuk rumah, tapi Nenek tampak sekali asik membaca. Tapi, kenapa Nenek sering sekali membaca ulang halaman yang telah dibaca?”
Si nenek merasa pertanyaan kedua cucunya telah melupakan pertanyaan pertama tentang kakek yang sering datang, yang bukan hanya seorang, pada waktu yang tak pernah tentu dan sering pada saat orang lain tak lagi merasa pantas untuk bertamu.
“Ini karena Nenek sangat terkesan dengan bacaan ini. Nenek ingin menikmati setiap kata dan kalimat yang ada dalam halaman-halaman ini. Kau memperhatikan ini seluruhnya cucuku?”
“Iya. Tapi Nenek belum menjawab pertanyaan aku yang pertama, kenapa Nek? Apa lelaki yang kadang mengantar Mama pulang itu Bapakku Nek? Kenapa berganti-ganti? Bapakku banyak ya nek?”
Nenek terdiam. Tak mengerti apa yang harus dikatakan untuk menutup pertanyaan cucunya yang tak pernah berhenti. Malam selalu saja tak bisa mengajaknya tidur dan melupakan kenyataan untuk beralih ke ruang mimpi yang indah penuh bunga warna warni. Sampai kemudian Ia berharap tak ada lagi malam. Jika di siang hari terasa bising dan panas, Ia juga sering berharap tak ada lagi siang.
“Tak ada seorang anak dengan lebih dari satu ayah biologis cucuku. Jadi ayahmu hanya satu, bukan banyak. Ayah Mamamu juga hanya satu, bukan banyak. Kau mengerti cucuku yang manis?”
“Jadi ayahku siapa Nek? Bapakku mana Nek? Dia sekarang di mana? Kenapa tak pernah mengajakku bermain, pergi ke pantai, ke Mall, ke Ancol, ke Bali, ke puncak Bogor, mengantarku bermian di kolam renang, membelikanku sepatu baru. Kenapa Nek? Kenapa ayahku tak pernah membelikanku boneka yang berbulu untuk menemaniku tidur yang selalu tanpa mama. Selalu sendiri. Kenapa Nek? Apa mamaku dulu juga seperti aku Nek?”
“Kau lebih bernasib baik cucuku yang manis.”
“Kenapa begitu Nek? Kenapa?”
“Karena kau ada Nenek yang menemanimu dan mau mendengarkan kamu.”
“Tapi, Nenek tak pernah menjawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Di mana ayahku? Di mana kakek, ayahnya mama? Teman-temanku sering bercerita tentang ayahnya, tentang kakeknya, tentang liburan di rumah kakek dari mama, kakek dari ayah. Aku jadi benci kalau mereka cerita tentang itu.”
Si nenek membawa cucunya pada dongeng yang segera Ia susun sendiri dari berbagai cerita yang disambungkan sekenanya. Ia bawa cucunya ke tempat tidur. Ia rebahkan cucunya di atas kasur awan berbantal bulu-bulu peri di bawah langit penuh bintang kerlap kerlip warna warni. Ia ceritakan tentang burung kecil di dalam sarang mungil dari serabut kembang ilalang di pucuk pohon beringin yang besar di tepi air terjun yang tak pernah kering, tanpa saudara dan teman. Induknya yang hanya datang jika mengantarkan makanan, selalu penuh kasih dan cinta. Sampai kemudian si induk selalu menemaninya, sampai si burung kecil itu bisa terbang dan terbang sesuka hati sendiri. Sampai ia berhak menentukan pohon yang mana yang akan disinggahi. Beranak pinak, bernyanyi bersama setiap saat. Mencipta bersama-sama nyanyian-nyanyian baru. Mencipta pohon cinta yang penuh dengan ranting-ranting kasih sayang, penuh dengan daun-daun kelembutan cinta.
Nenek itu tertidur, juga cucunya, terbuai oleh ceritanya sendiri. Dini hari, menjelang subuh, sebuah ketukan pintu membangunkan mimpinya. Ia hafal betul cara ketukan dan tempat mana ketukan itu. Ia segera bangun, “Kau pulang nak?”
“Iya bu,” ucapnya lirih. Ada nada kelelahan di suaranya.
Nenek itu segera membuka pintu, “kau kedinginan nak, ayo cepat masuk. Kamu sendirian? Naik apa tadi?”
“He-em. Naik taksi.”
“Ayo cuci muka dulu, baru tidur. Dan besok tak usah kau pergi lagi. Mama harap kau tak pergi lagi. Aku sangat berharap nak.”
“Sudah dulu ma, itu besok saja bicaranya.”
“Oke, sekarang kamu tidur, tidur nyenyak nak. Anakmu rindu pelukanmu. Tidurlah di sisinya. Ia sering mengigau memanggilmu. Peluk ia dengan kasihmu.”
“He-em ma. Aku bawakan mama banyak buku kesukaan mama. Aku juga bawa makanan kesukaan mama dan  kesukaan anakku. Aku tidur ma.”
“Tidurlah anakku. Bermimpi indahlah…”
Malam terus melaju seperti biasa. Tak terpengaruh oleh tiga manusia perempuan di dalam satu rumah yang sedang mengarungi hidup di ruangnya masing-masing. Di luar, gelap masih saja belum sepenuhnya terusir oleh lampu-lampu jalan dan lampu-lampu teras rumah. Embun mulai deras turun membungkus angin dan diam menggigil tak bergerak. Ada lengkingan kokok ayam jantan yang membelah malam merambat cepat menuju pucuk langit. Kemudian semua terdiam, membisu. Semua ikut mendukung untuk apa yang disebut dengan malam pekat. Pucuk-pucuk daun bersedekap erat menahan dingin sambil terus berharap pagi datang membawa hangat mentari dengan disambut nyanyian seluruh burung di bumi. Bintang di langit tak lagi secerah di awal malam. Bulan sabit sudah lama turun ke sarangnya. Sebersit angin lembut lewat mengipas tepi-tepi daun yang terbungkus dingin yang makin menggigit. Seekor tokek kurus di langit-langit teras di atas kursi goyang terjingkat kaget.
Pagi muncul seperti biasa sedari berpuluh-puluh abad lalu. Tapi, pintu rumah nenek itu tak terbuka juga meski bayang-bayang sudah tak lagi panjang. Di atas meja di teras rumah, masih berserakan banyak buku memenuhi seluruh permukaan. Saat semua tetangga memutuskan untuk mendobrak pintu, tiga orang perempuan, Ibu, anak dan cucu terlelap pulas dalam satu ranjang dengan seprei tak begitu kusut. Di meja, ada sisa makanan dan tiga gelas yang airnya tinggal setengah gelas. Ada sedikit busa di menggumpal di kedua tepi mulut mereka.

Tak ada yang bisa membangunkan tiga perempuan itu. Hanya sedikit tangis dan keheranan mengerayap pada benak-benak yang tak juga mengerti. Mereka tak tahu sanak famili yang mana dan dimana harus dikabari. Mereka, bertiga, pergi bersama-sama tanpa pesan dan tanpa wasiat. Pada HP yang tergeletak di atas kasur, tertulis sms; mari kita tidur bersama ibu dan anakku.. entah untuk siapa. Gerimis tiba-tiba turun dari langit yang tiba-tiba meredup. 
okt 2010

Jumat, 15 September 2017

KARTU MERAH BODOH

PIALA AFF U-18 MYANMAR 2017 ( 15 September 2017 )

Saya menyebutnya demikian, kartu merah bodoh. Saya kira semua pemain sepak bola sudah dikasih tahu kalau bertindak menyikut dengan sengaja akan kena kartu. Ringannya kartu kuning, fatalnya kartu merah. Sebuah tindakan yang berakibat pelanggaran yang membuahkan kartu dari wasit, seharusnya dihindari. Meski ada pelanggaran yang dimaklumi yang dinamai pelanggaran profesional, profesional fault. Pelnggaran profesional itu biasanya dilakukan, jika dibiarkan pemain lawan menguasai bola, prosentase kemungkinan terjadinya gol, besar.

Nha, yang ini, yang dilakukan Saddil Ramdani? Pemian yang membuat gol indah ketika ikut timnas U-22 melawan timnas Philipina pada laga kedua Grup B SEA Games 2017 di Stadion Shah Alam, Selangor, Kamis (17/8/2017), melakukan kesalahan fatal di pinggir lapangan bagian tengah. Jauh dari membahayakan gawang. Masuk di menit terakhir babak pertama menggantikan  Feby Eka Putra, Ia menyikut pemain Thailand dan berbuah kartu merah. Memang dalam tayangan ulang, Saddil dihajar punggungnya pakai lutut dari belakang. Merasa tak terima diperlakukan seperti itu, Ia menyikut dan ketahuan, oleh wasit dan pembantu wasit. Pemain Thailand itu pun melakukan akting yang baik, sehingga wasit meng-kartu merah untuk Saddil. Kalau bukan dalam tujuan agar wasit mengeluarkan kartu, saya yakin pemain Thailand itu tak mendramatisir keadaan seolah-olah ia cedera berat. Akting yang menjijikan bagi kita dan manis bagi mereka.

Jika memang Saddil merasa dicurangi dari belakang, kenapa Ia tak melakukan seperti apa yang dilakukan pemain Thailand itu agar wasit tahu Ia dicurangi? ( Meski saya sangat tidak setuju dengan cara itu, pemain yang over acting dalam memprovokasi lawan dan mencuri perhatian wasit ). Menyikut dengan gerakan disengaja dengan tidak disengaja, tentu bisa kita amati dan bisa kita pilah. Apalagi kita bisa melihat tayangan ulang setiap gerakan yang dilakukan oleh pemain.

Timnas U-18 Piala AFF 2017, Myanmar 4 - 17 Maret


Di babak pertama, Timnas sudah bermain sangat baik di atas permainan tim Thailand dan menguasai jalannya pertandingan. Kantaphat Manpati, kiper Thailand menjadi pahlawan bagi timnya. Ia melakukan banyak penyelamatan dari serangan Timnas di babak pertama dan babak kedua yang meski hanya dengan 10 pemian. Ia menepis tiga tendangan saat adu penalti.

Berandai-andai, jika tidak ada kartu merah bodoh itu, dan Timnas tetap bermain dengan pemain full, sangat mungkin bisa memanangkan pertandingan. Bukan tanpa alasan, Timnas bermain baik di babak pertama, dan di babak kedua, serangan baliknya lebih sering mengancam gawang Thailand dibanding serangan Thailand ke Timnas. Tim Thailand tampak frustasi dalam mengurung gawang Timnas dan ketakutan akan serangan balik yang membahayakan.

Dalam sepak bola, bermain baik belum tentu menang. Sering, tim yang penguasaan bola-nya kalah, malah yang memenangkan pertandingan. Dan hal yang biasa mengenai kalah dan menang, karena harus ada yang kalah. Tetapi pemain yang melakukan tindakan bodoh yang sebenarnya tahu itu tindakan yang bisa berakibat fatal, tetapi tetap dilakukan, itu harus diperingatkan dengan keras. Coret saja dari tim, beri efek jera dan yang lebih utama memberi efek jera pada pemain lain agar tidak melakukan tindakan bodoh yang lain.

Juga, tak perlu memprotes wasit terlalu keras, karena jika wasit sudah terlanjur meniup peluitnya, tak mungkin lagi Ia menunda keputusan yang telah dikeluarkan lewat bunyi peluitnya. Toh wasit juga akan memberi kompensasi lain jika merasa keputusannya pada tim kurang pas.

Dan hal lain yang sangat perlu dihindari adalah berakting kram, berakting cedera yang perlu digotong, menunda-nunda waktu jika sudah menang di sisa waktu yang tinggal sedikit. Bagaimana seorang pemain yang hanya disenggol sedikit saja jatuh terguling-guling atau penjaga gawang yang berpura-pura sakit tersenggol pemain lawan saat timnya sudah menang diakhir waktu adalah sangat menjijikan. Bermain bagus, enak ditonton dengan sportifitas yang tinggi akan lebih menghibur dan mendapat simpati.

Dan, kartu merah bodoh itu, menjijikan dan jangan pakai pemain yang sperti itu. Coret dari tim. Masih banyak sekali talenta-talenta lain yang bisa dibina agar tidak menjadi pemain yang menjijikan.

15 Sept 2017

Kamis, 14 September 2017

POTO KAWINAN

djayim.com
cerpen
Batire Jawir mbojo maning, maksudé ana batir sing mbojo maning. poto-potone dé kirim maring grup WA (grup dablongan), grup FB, grup BBM, Instagram. Pokoké gambar pas nganggo klambi pengantén model jawa sing klambiné warnané ireng kebek pernak-pernik, krilab-krilob, nganggo tapih warna coklat motif kembang mayang, de aplod. Ana telung werna, warna lan model klambiné. Dingklik sing dé jagongi katon apik rétung, di tambah karo kembang plastik werna-werna warnané, gemantung ning saka lan papan ukir-ukiran sing degawe kaya umah kraton. Sing jenengané mbojo, mesti mbetaih. Gambar-gambaré kebek mésem sing sumringah mesti dé aplod ning ndi bae sing judulé media sosial.
Sing de gumuni, ngomongé Jawir ora seneng karo babagan narsis-narsisan, tapi Jawir esih ndelengi kabeh gambaré batire ora ana sing keliwat. Jéré ora seneng tapi tetep ngeklik gambar jempol. Jéré Jawir, batiré ketularan virus narsis para artis sing kabeh polahé dé siarna ning tivi. Wong tangi turu kencot baé di tulis ning FB supaya batir-batiré pada maca. Angger sing komén akéh, senengé ora etung.
Nha, angger crita maslah poto pengantén, inyong dadi kemutan wektu dadi fotografer dadakan, ponton. Wektu kue urung ana poto digital kaya jaman sekiye. Angger arep poto kwe kudu tuku klis disit. Jere arané negative film.
Kayané tahun rong-ewuanan. Pasé inyong klalen. Kisut kwe ya batiré Jawir sing angger ketemuan mesti ecom-ecoman crita ora nggenah sekang masalah Israel-Palestina tekan kali ning tengah-tengah desa sing wis ora ana iwaké merga sok de racun.
Sedina sedurungé  Kisut mbojo, ning dalan arep SD siji, inyong de omongi, “Yim, ngko angger inyong mbojo ko sing moto ya.!”
“Ya! Siap.. Kapan kwe.?”
“Ngesuk. Ngesuk esuk-esuk.”
“Sing bener. Mal mbojo dadakan. Ora nyadran kwe?”
“Ora. Sing penting sah.” Kisut njawab mantep, omongan ‘sah’ kayong mantep nganti nyembur idohé.
“Taih yoh, mbojo.”
“Ya iya mal. Mesti kwetah. Mesti.”
“Ya ora usah muncu..”
“Siklah.”
“Ngko bojo de gawa maring Jakarta apa ning kéné bae?”
“Gampang kwe mah. Sing penting hihuy hihuy disit.” Lambéné mésem njijihi. Mésem 18+.
Jané inyong ya ngerti, pacaré pada-pada ngodé ning Jakarta, sing dé gumuni, Kisut ya ora njawab; ‘mbok sekiyé gé pada-pada ning Jakarta’. Tapi ya mbuh, bisa baé bareng wis mbojo tah ora pada mranto kabéh.
Kisut kait gemiyen butul siki dadi perantau. Ngodéné ning Jakarta, ning pelabuhan, Jéré ngurusi babagan kirim barang maring pulau-pulau se Indonesia lan sing maring luar negeri. Sebutané EMKL, Ekspedisi Muatan Kapal Laut. Biasané wong angger kerja ning pelabuhan, kulit awaké ireng sebab ning pelabuhan hawané panas. Apamaning kerjané ning Tanjung Priuk sing jéré ora kur hawané thok sing panas, apa baéné ya jéré panas. Tapi, batirku kye kerjané wis pindah ning kantor, unggal dina ruangané nganggo AC, dadi sekiyé kulit awaké wis madan bersih. Mauné lagi ésih ning bagian lapangan, kulit awaké ireng, de sawang gé ngedapi.
Angger ora salah wis lewih sing rong puluh tahun Kisut ngodé ning pelabuhan, tapi kantoré siki wis ora perek karo laut, ora perek karo nggon parkir kapal-kapal gedé. Mula awalé, wektu kué aku ya esih ning Jakarta. Aku nggode ning pabrik ning daerah Kapuk, Kisut ning daerah Jembatan Lima melu batiré sing ngodé ning konveksi mabri nglamar-nglamar kerja. Ndilalah ana batir se desa sing nuduhi kon njajal nglamar kerjaan ning Tanjung Priuk lan ana wong sing asliné sekang Surabaya due bojo wong desané dewek sing kerjané ning kono, wis senior.
Gelising crita, Kisut de terima kerja dadi bagian markir ngatur posisi kontainer sing arep munggah kapal utawa sing mudun sekang kapal. Unggal dina panasan ning pelabuhan, ning pantai perek laut sing anginé nggawa hawa lembab rasa asin. Angger wayah wengi sing katon kur mripaté thok karo untuné angger ngguyu. Jéré tah goli kerja wis nganggo topi amba, kaos tangan, klambi lengen dawa, kaca-matanan ireng, sepatunan, sing katon ora ketutupan kur rainé thok. Tapi ya kue, dadi rainé sing katon iréng. Ujar-ujarétah kon aja kepanasen lan sing lewih penting aja ngasi balik maring desa, mudik, awaké ireng. Angger nganti ireng dadi isin karo prawan-prawan ning desa. Apamaning wektu kue lagi bujang demagang. Tapi Kisut wis due pacar. Ngakuné tah jéré wong setia, tapi ya embuh yong ning Jakarta inyong ora weruh déwék. Angger ndeleng tampangétah inyong kayong ragu angger Kisut kué setia. Angger crita babagan wadon, sok cengar-cengir nylimur gawé ora genah pok buntuté.
Inyong tau mburu ning kerjaané Kisut wektu kué. Aku Mélu kakangku sing pas ana kepentingan maring kantor dina Minggu. Kebeneran kantoré kakangku perek karo nggoné Kisut kerja, tek ukur karo sepedo meter, 150 meter. Inyong numpak vespa abang. Tekan sepréné angger kemutan vespa abang si Kisut karo inyong dadi ngglegés. Kisut karo batiré siji lagi lembur gawé garis-garis ning lapangan aspal nggo tanda nata kontainer. Tangané blepot, klopot deng cet putih. Sebab awaké nganggo klambi rapet jipet, tur nganggo kacamata ireng amba, inyong dadi pangling. Inyong ya nganggo kacamata ireng. Sewisé inyong ijin lan takon karo satpam inyong mburu Kisut.
Si Kisut sing lagi sibuk ngecét langsung mandeg, terus ngadeg gaya hansip , “Slamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”
Inyong bingung, kye bocah duméhé wis ning Jakarta terus unggal dina mangané roti apa priwé, mawi karo inyong bae nganggo basa Betawi.
Vespa tek standar, inyong mudun, helm tek uculi. Si Kisut madan sué esih linglung. Inyong langsung nyemprot, “gemagus temen ko, wis ora bisa basa ngapak apa?”
“Hah..! ko jebulé. Kaya entut dénéng ko yoh.. Ujarku juragan wedus sing arep ngirim maring Papua.” Kisut nyrocos mbari ngilangna isin, terus cengar cengir kaya wong ngintip konangan.
Jawir nggleges pas crita kué tek critakena. Ari mbayangna Kisut kaget karo kisinen kaya karikaturé GM Sudarta, nduwur sirahé kebek obeng, pir, tengkorak ndas kebo, gelas mabur, sendok nglayang, tanda tanya, tanda penthung, mripate merem, lambéne de kawétna, rambuté ngadeg nantang langit.
Angger Kisut telaten kerja ning Jakarta, Inyong ora. Inyong lewih milih kerja apa bae ning desa tinimbang kerja ning Jakarta sing wektu kue bae wis macet lan sering banjir. Angger balik maring desa Kisut mesti mentingna ketemuan karo batir-batir ning desa. Sue-sue katoné Kisut betah ning Jakarta. Apamaning bareng wis ora ning bagian lapangan sing unggal dina panasan. Dasar bocah calakan, deweké bisa nguasai jaringan komputer kantor. Inyong ya sering konsultasi masalah komputer karo Kisut. Wektu lagi esih sekolah ya senengé nguthak-athik radio, apa baé dé ruag, dé prethil-prethil dé pasang ning pager. Unggal dina sibuk masang bendrat nggo brik-brikan sing unggal dina ana sing pedhot sebab ketiban blukang utawa pangpung.
Lha, dasar inyong seneng moto, de jaluki tulung deng Kisut kon moto ora bakalan nolak, apamaning deng Kisut.
Temenan, esuké inyong maring umahé Kisut. Bocahé wis adus. Inyong ya gumun, ora tau-tauné adus gasik. Biasané angger mudik ora tau adus esuk. Ora nganggo jas-jasan, kur nganggo kathok ireng klambi putih, kaya Pak Jokowi. Inyong sekié dadi mikir, kayané Pak Jokowi niru kisut nganggo klambiné.
Inyong de wei kodak sing filmé wis dé isikna. Gari jeprat-jeprét. Inyong njagong santé, terus ngejog banyu teh anget, tek sruput mbari nyéndé ning dingklik.
“Ayuh koh, aja pya-pyé tah.”
“Ya mengko yah..”
“Yuh koh. Mbojo kyeh. Aja gemlawik.”
“Jen, mbojo yoh.”
Wedang tehé urung entong, inyong de séréd kudu bae mangkat. Kisut tek boncengna. Butul ning KUA calon bojoné urung teka. Pak Kayim teka méh bareng. Kisut mawar miwir kaya wong pengin nguyuh dé angken. Ora let sué, pacaré, calon bojoné Kisut teka. Kisut nyréngés, kupluké de dandani, krahé de pas-pasna, rambuté sing tipis dé usap karo tangan tengen. Pak Kayim mlebu maring ruang Pak Penghulu. Ora let sué Pak Kayim mréntah calon pengantén, wali, saksi, mlebu maring ruangan sing biasa dé enggo nggo nikahna. Pak Kayim karo Pak Penghulu mlebu mbari nggawa buku ning njero map. Ijig-ijig hawané dadi kayong romantis lan sakral. Inyong dadi melu kalém, nglebur karo hawaning Kisut sing arep mbojo. Sedetik seurungé acara de mulai, inyong mereki Kisut, krisikan, “mbojo yoh.” Kisut nyengir antarané nyréngés karo mésem.
Inyong siap-siap moto. Dingklik sing kira-kira ngangél-ngangéli ték singkirna. Klis filmé isi 36, wis dé pasang. pokoké gari cekrék-cekrék. Tanda nggo nengeri wis kanggo pira filmé, esih manual, ana angka karo garis setrip-setrip warna abang. Sisa film sing ésih bisa de enggo dé kira-kira antara angka karo garis setrip-setrip abang.
Merga ruangané ciut, inyong kudu mepet-mepet tembok, ana njengking, ana jinjit, ana miring. Pokoké gemludug ora nggenah. Jané inyong ya madan rikuh karo Pak Penghulu, tapi yong demi olih gambar sing sip, apa bae carané, tek lakoni.
Gelising crita, ijab qobul nikahané Kisut karo pacaraé rampung. Kisut wis mbojo. Pacaré wis dadi bojoné. Kisut kayong ora sranta pengin gagian balik. Inyong manut baé. Kisut tek boncéngna. Ning tengah dalan, mbari gathik kisut nyembur, “gagian tah ngebut, aja londhogan!”
Kira-kira telung wulan tes mbojo, Kisut balik, critané mudik. Ning pertelon lebak umah, inyong ketemuan. Mbok si betah ketemu inyong, Kisut malah langsung muncu-muncu, “Dénéng fotoné ora ana sing dadi sijia..!??”
“Foto sing endi? Foto apa?”
“Sing endi maning. Foto pas inyong mbojo.”
“Maksudé priwé?”
“Dé cetak ireng kabéh. Blabur iréng thok. Gambaré babar blas ora katon.”
“Lha, sing masang klis sapa gemiyén. Mbok ko déwék. Inyong gari moto cekrak-cekrék.”
“Jéré sapa. Ko sing masang mbok! Mbok ko ngomong, ‘ngénéh dé pasang deng inyong!’. Terus kos udet masang. Kemutan ora?”
Inyong meneng ngémut-ngémut, “apa iya yah?”
“Ya koh!”
“Dadi ko ora dué foto pengantén kwe yoh.”

“Siklah.” 

Sept -okt 2016

Senin, 11 September 2017

BERKAMPANYE-LAH APA SAJA DI JALAN

Di sepanjang jalan, banyak sekali orang berkepentingan, hampir semua berkepntingan. Dari kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kepentingan kelompok, kepentingan kerja, kepentingan perusahaan, kepentingan kekuasaan, kepentingan agama, kepentingan politik. Semua berbaur dan tak nampak jelas pada masing-masing individu yang berkepentingan. Ada yang tergesa-gesa, ada yang seperti biasa tapi tergesa, ada yang tergesa tapi biasa, ada yang biasa beneran, ada yang tak punya tujuan, ada yang punya tujuan tapi bingung mengawali. Ada yang berangkat pergi ada yang berangkat pulang. Semua bergerak memerlukan energi dan biaya.

Dunia usaha, sangat jeli memanfaatkan setiap ruas jalan untuk memperangkap orang masuk dalam target usahanya agar untung. Berbagai iklan dan ajakan berderet di kanan kiri jalan. Semakin ramai jalan, semakin menumpuk ajakan yang di tulis pada banner, billboard, pamflet, atau apa saja untuk memberi tahu kepada semua orang yang melewat. Posisi tempat dan view yang unik dimafaatkan betul dengan memberikan kejutan-kejutan pada pesan yang dikirim agar si pelihat terkesan dan menjadi tergiring untuk membeli produk yang ditawarkan. Kasarnya, bagaimana mengajak seorang agar lebih konsumtif dan menjadi konsumer yang rakus. Sehingga tak jarang sesuatu benda yang sebetulnya kurang diperlukan pun di beli juga, buah dari pintarnya para penjual membikin penasaran calon konsumen.

Tak hanya iklan penawaran sebuah produk, iklan tokoh yang siap menjadi kepala daerah pun, ikut berjejal memanfaatkan lahan di sekitar jalan. Partai politik dan tokohnya tak mau kalah memanfaatkan ruas kanan kiri jalan dan ruang di atas jalan untuk menawarkan program unggulan yang diklaim akan membela rakyat dan menyejahterakan seluruh rakyat. Tak ada iklan ( kampanye ) dalam dunia politik dalam merebut kekuasaan lokal maupun nasional yang tidak ingin menyejahterakan rakyat. Semua memasang pesan bahwa partainya-lah yang paling membela seluruh rakyat dan yang paling bisa menyejahterakan rakyat. Rakyat menjadi objek dalam memperebutkan dukungan dan suara dalam ajak pemilu, pilpres dan pilkada.

Seorang tokoh atau menokohkan diri yang memasang gambarnya di banyak tempat di pinggir-pinggir jalan ketika menjelang pilkada, setahun atau bahkan dua tahun sebelum pelaksanaan pilkada, tentu ada maksud untuk sedini mungkin mengenalkan diri pada calon pemungut suara agar jangan sampai kalah moment dengan calon kompetitornya. Jika dirasa masih jauh waktu hari H pilkada, pengenalan diri itu pun dikamuflase se-biasa-biasa mungkin agar tak tampak sebuah keinginan yang masih disembunyikan untuk menjadi kepala daerah di sebuah wilayah kabupaten/kotamadya atau propinsi. Seorang bupati dari wilayah bagian timur Jawa Tengah memasang foto dirinya di sebuah kota kecil di bagian tepi barat Jawa Tengah dengan tulisan di bawahnya; mari wisata ke-“kabupaten”ku, tentu mengandung maksud lain yang lebih penting secara individual (dibanding pesan yang ditulisnya), ‘bahwa saya orang yang perlu anda kenal’ dan nanti pada saatnya saya akan maju menjadi cagub atau cawagub.


Kita juga sering mendapati foto seseorang yang dilengkapi dengan titel dan jabatan yang sedang dan atau pernah dipegangnya, seolah mengisyaratkan; ‘ini lho saya yang pantas anda pilih pada pilkada nanti!’. Pada tahapan seperti ini, mereka belum memasang program unggulan. Penawaran program terlalu dini akan memberi kesan kalau Ia bertujuan maju dalam perebutan kekuasan. Jika terjadi muncul kesan ngotot ingin menjadi bupati/walikota atau gubernur, akan menjadi bumerang bagi dirinya. Kultur masyarakat kita masih tertarik pada orang yang bertampilan biasa-biasa, egaliter, mau berbaur dan tidak elitis. Kecenderungan memilih dan membela orang yang tertindas masih tinggi sehingga para calon berupaya agar seperti pada posisi di dan ter-aniaya supaya mendapat empati dari para pemilih. 

Menjadilah pada posisi tertindas dan teraniaya tetapi pintar mencari celah.


Secara harfiah, kondisi jalan juga meberitahukan kondisi pembangunan infrastrukutur, perekonomian, pendidikan dan kesehatan pada sebuah wilayah. Ruas-ruas jalan yang tampak bagus, rapi, terawat baik, seolah mengabarkan kalau perekonomian di wilayah tersebut baik dan maju. Lebih jauh, kondisi jalan yang bagus mengisyaratkan pembangunan yang baik yang merujuk juga pada pemerintahan yang baik. Ruas jalan menjadi etalase sebuah pembangunan. Kesan awal akan masuk dengan deras melalui kondisi jalan.
Dengan membangun dan merawat seluruh ruas jalan pada wilayah kekuasaannya, ini menjadi sebuah kampanye yang sangat mengena bagi individu kepala daerah maupun bagi partai politik pengusungnya.

Maka, berkampanyelah di jalan.

Selasa, 05 September 2017

GENOSIDA ROHINGNYA DI MYANMAR



Semua orang yang punya rasa perikemanusiaan pasti tidak akan tega berlama-lama melihat kejadian yang terjadi di Myanmar. Sebuah genosida. Pembantain, pembakaran tempat tinggal, pengucilan, pembunuhan warga sipil, pembunuhan pada anak-anak, ibu-ibu, kakek-kakek, nene-nenek, bapak-bapak. Semua nampak dilakoni oleh orang di sana dengan tanpa merasa perlu bersalah dan merasa untuk segera dihentikan. Di sebuah wilayah Rakhine itula kebanyakan penduduk bergama Islam tinggal. Sebuah wilayah yang sebenarnya mereka bisa hidup tenang menjalani hidup jika pemerintah Myanmar mau melindunginya dari serangan kaum yang merasa lebih superior.


Saya tidak percaya jika ada sebuah agama yang mengajarkan pembunuhan dan pembantaian terhadap sesama manusia. Bahkan kita ketahui, membunuh hewan untuk kita makan pun di ajaran semua agama ( saya kira ) ada adab dan tata aturan yang harus ditaati meskipun satu sama lain berbeda. Jika seorang Bhiksu Budha dengan sengaja membiarkan pembantaian dan pembunuhan apalagi juga ikut aktif, saya pikir ke-Bhiksu-annya telah gugur dan tak pantas lagi disebut Bhiksu, jabatan suci di agama Budha. Membiarkan sesama manusia mati perlahan, kelaparan, tak punya tempat tinggal karena rumah-rumahnya dibakar dengan sengaja, itu bukan perilaku manusia. Bahkan orang yang tak beragama pun, tak akan melakukan hal seperti itu. Tapi, ini dilakukan oleh umat Budha di Myanmar dan banyak Bhiksu yang ikut terlibat di dalam pembunuhan masal itu.


Begitu mengerikan melihat foto-foto dan video-video perilaku manusia yang merasa bangga memperlakukan sesama manusia dengan cara yang sangat sulit dipercaya. Sebuah cara yang saya yakin tidak diajarkan dalam kitab suci agama manapun. Agama harusnya menciptakan kedamaian sesama manusia dan hidup berdampingan dengan saling tolong menolong. Jika terjadi peristiwa tragedi kemanusiaan seperti di Myanmar itu terus berlanjut, apakah karena ada begitu banyak oknum pemeluk agama yang menyimpang dan berbuat sesuka hati keluar dari esensi ajaran agamanya dengan mengatas namakan agama yang dipeluknya.

Emosi seseorang sering membuat seseorang merasa lebih superior dan merasa harus menguasai orang kain, golongan lain, kaum lain dan menjadi penguasanya. Jika emosi itu terkumpul pada suatu kelompok yang punya tujuan yang sama, apalagi jika dilandasi agama atau kepercayaan, keyakinan untuk menguasai kelompok lain dan melemahkannya, akan semakin berlipat. Memusnahkannya seperti menjadi tujuan yang harus segera dilakukan.



Konflik sesama manusia yang dilandasi kepercayaan bathin ( agama )  akan rumit dan seperti tak ada akhirnya. Hati manusia jika sudah merasa membela kebenaran, dan mati ketika membela agamanya diyakini sebagai hal terbaik, menjadi sulit mencegahnya untuk tidak berbuat sesuatu yang akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Karena ketakutan akan sebuah kematian sudah hilang pada diri mereka.

Orang semacam Bhikku Ashin Wirathu (U Wirathu) beserta pengikutnya, yang di Myanmar sendiri dikenal sebagai Bhikku yang kontroversial, mestinya diredam oleh pemerintah Myanmar dan jangan dibiarkan terus menerus memprovokasi kaumnya untuk melenyapkan kaum Muslim. Karena pasti Bhikku U Wirathu telah melenceng dari ajaran agama Budha yang dikenal pengasih sesama.

Dan, Aung San Suu Kyi, menjadi sangat tidak pantas sebagai orang yang menerima penghargaan Nobel Perdamian. Seorang yang dulu disebut sebagai pejuang demokrasi di negaranya dan seolah diakui dunia, kini saat menjabat sebagai pemimpin, lupa akan kemanuisaan dan membiarkan genosida terjadi di depan ranjang tidurnya. Aung San Suu Kyi tak memperjuangkan nilai kemanusiaan. Apa yang dilakukan hanya untuk diri sendiri. Seorang munafik yang tak pantas untuk di catat pada buku peraih Nobel.


Sebagai seorang Muslim saya sangat sedih dan marah terhadap apa yang terjadi di Rakhine, Myanmar sana. Dan saya berdoa semoga segera terselesaikan dan tak lagi menambah korban jiwa, dan umat Islam di Indonesia tetap tidak terprovokasi sehingga umat Budha di sini tetap tenang dan aman. Beruntungnya umat Budha di Indonesia, kaum minoritas yang dilindungi hak-haknya dan di hormati keberadaanya. Sangat tidak beruntungya Umat Islam di Rakhine yang terus menerus di siksa dengan sangat tidak manusiawi.