Label

Rabu, 12 Juni 2013

harus maklum

Ini sudah terlanjur terjadi begitu. Sudah begitu lama, begitu membudaya. Dan maklum menjadi alat pereda emosi untuk tidak anarkis. Bisa saja melawan arus, me-tidakdengar-kan perkataan di tuduh sok suci. Nasi sudah menjadi bubur, memang tak bisa menjadi nasi lagi, tapi bisa saja menjadi masakan lain yang lebih enak. Dari generasi ke generasi, mental-mental korup dan culas beranak pinak. Menjadi hal biasa, menjadi termaklumi. Semua tentang uang, tak peduli proses mendapatkan. Tak heran jika banyak wartawan amplop, polisi mencari duit dengan culas, hakim yang siap di suap, pegawai pajak yang welcome menyulap tagihan pajak, jaksa yang bisa membiaskan tuntutan, hakim yang curang, pejabat korup. Pengacara yang main mata. Berhari-hari, bertahun-tahun, terus dan selalu begitu. Kemudian menjadi heran pada orang yang tak mau berbuat curang, mengatai sok suci, menganggap bodoh jika melepas kesempatan korup. Berhari-hari, bertahun-tahun, terus dan selalu begitu.
Kekuasaan itu pada uang. Uang dibikin menjadi sangat berkuasa. Ia bisa beli jabatan dan kekuasaan. Penguasa-penguasa tergiur, menetes air liur mengalir pada dasi dan jas pembungkus jasad wangi berhati busuk. Senyumnya yang berwibawa, membungkus tawa bahak-bahak menjijikan. Langkah kaki berbungkus sepatu kulit mengkilat, tak terbaca nada dan arahnya. Suara batuk saat tenggorokan tak gatal entah pertanda apa. Politikus meloncat melompat mencari sempat, hinggap berganti-ganti kendaraan, meloncat melompat mencari sempat. Bermain petak umpet di ruang-ruang kerja tempat menaruh tas berisi stempel. Mengintai mengintai arah aliran uang. Tidak semua, ada yang bersih. Tidak semua, ada yang ketahuan ada yang lolos. Tidak semua.
Oknum. Ia lahir sebagai pelepas srambah uyah dari kelompok-kelompok, dari instansi-instansi, untuk tak menuduh semua. Karena tak semua. Karena jika semua, berbeda bobot dan cara. Berbeda apes-nya, berbeda kesempatannya, berbea modusnya, berbeda jumlahnya. Berbeda-beda tetapi tetap satua juga.
Berdebat-debat mencari selamat, menjaga nama. Berlari-lari, seperti lari pagi mencari segar udara, mencuci nafas. Catatan-catatan retorika terjaga pada saku, selalu ada, selalu ter-update.
Harus maklum? Atau jika tak sanggup menghentikan, pastikan sanggup untuk tak ikut? 

Sabtu, 08 Juni 2013

rasa aman

Siapapun pasti ingin menikmati rasa aman dengan leluasa setiap saat tanpa harus berhitung waktu kapan rasa aman itu akan berubah menjadi tidak aman dan mempersiapkan diri untuk waspada. Kenyataannya, rasa aman itu telah hampir hilang dan setiap saat kita merasa akan ada bahaya yang siap menelan kita. Mungkin saja karena rasa tidak aman itu dihadirkan setiap hari oleh media pada mata dan telinga kita sehingga sebuah kejadian yang jauh dari tempat kita tinggal pun menjadi begitu dekat dengan kita dan menimbulkan paranoid. Bisa saja kita membuang rasa takut kalau para pembuat rasa tidak aman itu tidak berbuat onar, tidak berbuat kejahatan dan kerusuhan di tempat kita, atau setidaknya jauh. Jika kemudian tiba-tiba tindak kejahatan itu di sekitar kita, suasana hati dan pikiran menjadi berubah. Semua sudut seperti menjadi tempat yang harus selalu diwaspadai agar kita terhindar dan selamat dari tindak kejahatan itu.

Kita sering sekali disuguhi berita tentang perampokan di siang hari di tengah keramaian, pemerkosaan,  perilaku geng motor yang kerap sengaja melukai korbannya tanpa alasan apapun, para pencopet dan penjambret yang terus menerus beraksi, preman yang dengan angkuhnya menguasai wilayah dan siap melahap siapapun yang dianggap tak sepaham dan tak setuju dengan keberadaannya. Berbagai ragam peristiwa itu seolah menjadikan dunia semakin sempit dari rasa aman dan nyaman. Saya yakin sekali lebih banyak orang yang ingin merasa aman hidup berdampingan dan dapat beraktivitas setiap saat dibandingkan dengan orang yang ingin membuat orang lain takut dan merasa bangga mampu membuat orang lain takut. Saya yakin sekali begitu banyak orang yang setuju jika para pembuat rusuh, para pembuat rasa tidak aman, para pembuat onar, para preman, para perampok, para pencuri, para pencopet, para penjambret, para koruptor dan semua para pembuat kejahatan di tembak mati. Kedengarannya memang sadis, tapi, mereka telah membuat kita merasa tidak aman setiap saat, bahkan saat kita tidur pun. Bagi mereka yang takut ditembak mati, ya jangan melakukan tindak kejahatan.

Sejarah mencatat, selalu saja terlahir manusia-manusia bernaluri jahat dan bernafsu untuk menguasai orang lain. Manusia yang bangga membuat orang lain ketakutan, merasa tidak bersalah jika mengambil secara paksa milik orang lain, merasa tidak berdosa jika melukai atau membunuh orang lain. Ini mungkin sudah menjadi hukum alam, atau kita (orang tua) yang tidak mampu mengarahkannya agar menjadi orang baik-baik dan tidak mampu menciptakan lingkungan sosial dan pergaulan yang baik agar tumbuh manusia-manusia yang menghargai hak-hak orang lain. Sikap-sikap kita pada sesama berpengaruh terhadap pertumbuhan mental dan pikiran orang di sekeliling kita, terlebih pada anak-anak yang mengerti benar tentang arah kehidupan. Naluri dan energi kejahatan yang ‘akan’ tumbuh bisa diarahkan kepada hal-hal kebaikan yang bisa membangun dunia yang damai berdampingan tanpa melukai orang lain, sehingga kejahatan bisa di minimalisir sekecil mungkin.

Melanggar HAM
Para pembela HAM juga harus bisa melindungi begitu banyak orang yang merasa tidak nyaman dan aman akibat para penjahat itu. Mereka, para penjahat, adalah pelanggar HAM setiap waktu, jadi mereka harus dibasmi agar regenerasi para penjahat hilang. Bikin efek jera yang dasyat kepada para calon potensial yang akan masuk ke dunia per-penjahatan. Bikin imij bahwa berbuat jahat, berbuat onar, berbuat merugikan orang lain itu sesuatu yang akibatnya menakutkan. Kita harus perhitungkan bagaimana mereka, para penjahat, (semua yang merugikan orang lain) adalah para pelanggar HAM setiap saat. Para pembela HAM seharusnya tidak perlu membela para penjahat, (para pelanggar HAM setiap saat), dan lebih mementingkan para korban yang rasa aman dan nyaman terancam setiap waktu. Manusia itu harus diartikan secara utuh yaitu orang yang berperilaku seperti layaknya manusia dan berbuat manusiawi. Jika ada orang yang tidak berperilaku seperti layaknya manusia dan tidak berperilaku manusiawi, ia hanya mempunyai wujud bentuk manusia dan tak layak disebut manusia. Jadi untuk apa di bela?

Hidup berdampingan dengan rasa aman dan nyaman tanpa berprasangka buruk terhadap sesama tentu akan sangat indah. Tanpa ego yang memaksa orang lain untuk memaklumi dan tanpa ada anggapan keyakinannya adalah hal yang paling benar.