harus maklum
Ini sudah terlanjur terjadi begitu. Sudah begitu lama, begitu membudaya.
Dan maklum menjadi alat pereda emosi untuk tidak anarkis. Bisa saja melawan
arus, me-tidakdengar-kan perkataan di tuduh sok suci. Nasi sudah menjadi bubur,
memang tak bisa menjadi nasi lagi, tapi bisa saja menjadi masakan lain yang
lebih enak. Dari generasi ke generasi, mental-mental korup dan culas beranak
pinak. Menjadi hal biasa, menjadi termaklumi. Semua tentang uang, tak peduli
proses mendapatkan. Tak heran jika banyak wartawan amplop, polisi mencari duit
dengan culas, hakim yang siap di suap, pegawai pajak yang welcome menyulap tagihan pajak, jaksa yang bisa membiaskan
tuntutan, hakim yang curang, pejabat korup. Pengacara yang main mata. Berhari-hari,
bertahun-tahun, terus dan selalu begitu. Kemudian menjadi heran pada orang yang
tak mau berbuat curang, mengatai sok suci, menganggap bodoh jika melepas
kesempatan korup. Berhari-hari, bertahun-tahun, terus dan selalu begitu.
Kekuasaan itu pada uang. Uang dibikin menjadi sangat berkuasa. Ia bisa beli
jabatan dan kekuasaan. Penguasa-penguasa tergiur, menetes air liur mengalir
pada dasi dan jas pembungkus jasad wangi berhati busuk. Senyumnya yang
berwibawa, membungkus tawa bahak-bahak menjijikan. Langkah kaki berbungkus
sepatu kulit mengkilat, tak terbaca nada dan arahnya. Suara batuk saat
tenggorokan tak gatal entah pertanda apa. Politikus meloncat melompat mencari
sempat, hinggap berganti-ganti kendaraan, meloncat melompat mencari sempat. Bermain
petak umpet di ruang-ruang kerja tempat menaruh tas berisi stempel. Mengintai
mengintai arah aliran uang. Tidak semua, ada yang bersih. Tidak semua, ada yang
ketahuan ada yang lolos. Tidak semua.
Oknum. Ia lahir sebagai pelepas srambah
uyah dari kelompok-kelompok, dari instansi-instansi, untuk tak menuduh
semua. Karena tak semua. Karena jika semua, berbeda bobot dan cara. Berbeda apes-nya, berbeda kesempatannya, berbea
modusnya, berbeda jumlahnya. Berbeda-beda tetapi tetap satua juga.
Berdebat-debat mencari selamat, menjaga nama. Berlari-lari, seperti lari
pagi mencari segar udara, mencuci nafas. Catatan-catatan retorika terjaga pada
saku, selalu ada, selalu ter-update.
Harus maklum? Atau jika tak sanggup menghentikan, pastikan sanggup untuk
tak ikut?
Komentar
Posting Komentar