Label

Sabtu, 29 September 2018

SMS dan PANGGILAN PENIPUAN.



Akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018, warga Indonesia yang menggunakan nomor telepon seluler diwajibkan oleh pemerintah untuk mendaftarkan nomornya sesuai dengan alamat yang ada di kartu keluarga ( KK ) atau KTP. Himbaun untuk segera mendaftar dan ancaman akan dilakukan pemblokiran jika tidak mendaftarkan nomornya pada batas waktu yang telah ditentukan, terus menerus dilakukan. Peregisteran nomor telepon seluler itu, katanya, agar jika ada nomor yang digunakan ilegal dan melawan hukum, bisa diketahui identitas penggunanya. Jumlah nomor pada satu operator seluler yang dapat diregister dengan identitas yang sama pun dibatasi.
Pemanfaatan telelpon seluler dalam komunikasi yang merongrong dan membahayakn negara, akan diketahui pelakunya, jika nomor telepon diregister sesuai identitas yang benar. Ini salah satu upaya pemerintah untuk membatasi ruang gerak para pemberontak dan para teroris yang selalu saja muncul dan memberi ketakutan pada warga negara Indonesia dan juga meneror pemerintah yang sedang berkuasa. Juga untuk bisa melacak siapa-siapa yang melakukan kegiatan ilegal dan melawan hukum seperti kegiatan perdaangan narkoba, human tarficking, korupsi, penipuan, dll.
Ada banyak orang yang meragukan niat pemerintah dan membantahnya, karena data itu katanya disimpan oleh pihak asing yang tidak berada di dalam negeri dan data tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain yang bisa membahayakan warga negara, bisa membahayakan kelompok tertentu atau bahkan bisa membahayakan negara, karena lalu lintas komunikasi bisa disadap yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang ingin memanfaatkan Indonesia.
Dari awal beli kartu seluler, saya sudah merigister nomor saya sesuai dengan identitas yang legal, karena saya tak berniat untuk digunakan pada hal-hal yang tidak baik. Dan saya setuju dengan mewajibkan register nomor telepon seluler. Ini karena saya sangat terganggu dengan sms atau panggilan telepon yang sering sekali muncul untuk mencoba menipu. Panggilan telepon yang mengabarkan saudara atau anak kita kecelakaan dengan memancing kita untuk kalut dan menstranfer uang pada rekeningnya, sering muncul dan sangat mengganggu. Meski saya tak terperangkap, faktanya ada saja yang terkena tipu dan menstrafer uang sampai puluhan juta. Maka kenyamanan mempunyai HP menjadi hal penting, tidak terusik bahkan terteror. Saya merasa dengan semua nomor kartu seluler telepon teregister, tak akan lagi ada sms penipuan dan panggilan pasang perangkap.
Sempat juga terpikir sepakat pada orang-orang yang tidak setuju peregisteran menyeluruh nomor telepon seluler yang menurut mereka ada maksud-maksud dari sekelompok orang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan data pemilik telepon seluler untuk keperluan yang bisa saja merugikan kita sebagai warga negara secara individu atau bisa juga merugikan negara dari kegiatan lanjutannya. Ada juga yang merasa tercampuri privasinya dengan peregisteran itu. Bahkan ada pula yang berpendapat ada kepentingan politik untuk memetakan populasi warga dalam perebutan kekuasaan. Ada banyak argumen pada setiap pendapat dan akan menjadi pendapat yang hampa jika tidak ada argmuen yang kuat untuk mendukungnya.
Jika memang meregister nomor telepon seluler bertujuan untuk meminimalisir kegiatan jahat dan ilegal melaui jaringan telepon, saya setuju dan mengharapkan tak ada lagi sms dan panggilan telepon penipuan.
Dan, ternyata sampai sekarang, 29 September 2018, tujuh bulan setelah batas akhir registarsi, tanggal 28 Februari 2018, sms dan panggilan penipuan masih saja muncul. Beberapa kali sms penipuan terkirim di HP saya dan cerita tentang panggilan telepon bertujuan menipu, masih seperti sebelum peregisteran nomor. Meski sudah banyak orang yang sadar tentang itu dan tak menanggapi saat ada sms atau panggilan penipuan, tetap saja para penipu itu melakukan upaya terus menerus. Adanya upaya terus menerus ini membuktikan masih ada orang-orang yang terperangkap dan kegiatan para penipu masih menghasilkan uang. Tidak mugkin sebuah kegiatan yang memerlukan biaya akan terus dilakukan jika tidak menghasilkan uang.
Dan, jika kegiatan para penipu masih terus meneror, apa fungsi dari peregisteran nomor? Apa mungkin benar pendapat orang-orang yang tidak setuju pergisteran nomor HP? Apakah para petugas yang bertanggungjawab terhadap cyber crime tak tahu kegiatan itu? Apakah para penipu itu punya cara agar kegiatannya tak terlacak? Atau hanya akan bergerak jika ada laporan dari korban? Padahal banyak korban yang enggan melaporkan karena merasa akan banyak urusan dan ribet.
Banyak pertanyaan ketika sebuah kegiatan ternyata tak sesuai dengan harapan di awal.
Sabtu, 29 Sept 2018


Sabtu, 22 September 2018

BENCANA


Cerpen.
BENCANA
Oleh: soleh djayim

Ini bencana besar kedua yang aku alami. Jam dinding di tembok kamar rumah kontrakanku yang sedang menunjuk pukul enam kurang empat menit tiba-tiba bergoyang kemudian terpental jatuh. 27 Mei 2006 Bumi bergoyang. Gempa! Suara gemuruh megiringi terdengar begitu panjang dan berat. Aku seret istriku keluar rumah. Kami berlari terhuyung dan hampir terjerembab. Dua detik setelah kami keluar lebih dari separoh genteng jatuh, dinding batu bata yang belum disemen runtuh dan posisi rumah miring ke kanan. Meski barang-barang di dalam rumah terancam terkubur reruntuhan gedung, kami tak berani masuk untuk menyelamatkannya. Gempa bisa saja datang lagi atau tiba-tiba rumah runtuh terjerembab ke tanah.
Bencana besar pertama yang kualami ketika gempa Nias. Dalam perjalanan misi dakwah, ketika kami belum sampai ke tujuan semula ke pulau Sinabang karena kapal penyeberangan yang akan kami tumpangi kehabisan bahan bakar. Sebuah perjalanan terpanjang yang baru aku alami. Dari Jogja ke pelabuhan Merak manghabiskan waktu semalam. Dilanjutkan perjalanan laut selama dua hari tiga malam. Kami tiba  di Pelabuhan Belawan jam dua siang. Perjalanan dilanjutkan ke Singkil. Menjelang subuh kami sudah sampai. Di sebuah Masjid berjarak limaratus meter dari laut, kami bermalam. Jam sebelas malam di malam kedua, ketika kami sedang tidur lelap, terjadi guncangan hebat. Gempa. Dan segala trauma Tsunami Aceh datang begitu cepat membangkitkan segala potensi rasa takut. Gempa itulah yang membuat kami batal ke pulau Sinabang dan tiket yang telah kami beli pun tak terpakai.
Kami segera berlari keluar masjid dan berusaha naik ke atas genteng. Tak begitu menemui kesulitan karena di teras belakang ada tangga. Jika gempa merobohkan Masjid tentu kami akan berada di antara reruntuhannya. Tapi, Alloh berkehendak lain. Masjid tetap berdiri tegak. Di depan Masjid, sebuah rumah cukup bagus ambruk terjerembab rata dengan tanah. Lampu padam. Suara rumah-rumah roboh terdengar di sekelilingi kami. Tak lama berselang, Tsunami kecil datang. Meski tak menimbulkan kerusakan yang berarti, datangnya air setinggi kurang dari dua meter dari laut itu telah membuat begitu panik orang-orang yang takut mati.
Pagi hari kami mendapat cerita dari santri Masjid yang kami tempati, kalau rumah-rumah yang roboh sebagian besar adalah milik orang-orang yang jauh dari Alloh, termasuk rumah di depan Masjid yang sering terdengar suara musik keras kedebukan tak peduli siang malam atau waktu Sholat. Seorang anaknya yang masih remaja tewas tertimpa reruntuhan tembok, dan yang lain luka-luka dan bisa dibawa ke rumah sakit untuk di obati. Kami juga mendapat berita kalau di Pulau Nias keadaannya lebih parah.
Sungguh, Alloh hanya memberi peringatan agar kita tidak lalai dan melupakanNya. Jika Dia berkehendak, tentu kami tak lagi mendapat kesempatan untuk bertaubat dan selalu memperbaiki hidup. Aku merasa semakin yakin dengan Kekuasaan Alloh dan kesombongan manusia adalah nafsu yang menjijikan dan sangat tak tahu diri sebagai makhluk Alloh.
Rombongan kami tak melanjutkan perjalanan ke Pulau Sinabang seperti tujuan semula. Kami memutuskan untuk membantu segala kepayahan orang-orang di sekitar Masjid tempat kami menginap. Semoga bencana dapat menyadarkan mereka yang selama ini jauh dari Alloh. Keadaan bangunan tempat tinggal yang porak poranda membuat kami berpikir, orang-orang yang terkena kesusahan akan mudah terbuka hatinya untuk mengakui kekuasaan Alloh dan mendekatNya.
Sebulan kami bertujuh berdakwah islahiyah semampu kami. Aku sendiri masih sangat dangkal pengetahuan tentang Islam. Aku sangat ingin memperbaiki diri dengan menerapkan ajaran Islam dalam setiap nafasku, sepanjang hidup. Itulah makanya aku berusaha terus untuk dekat dengan orang-orang yang shaleh. Kami sangat bersyukur dengan perlakuan saudara seiman yang menerima kami dengan baik tanpa prasangka dan curiga. Seminggu sebelum kami pulang, seseorang dari rombongan lain yang baru seminggu datang memberi kami biaya untuk pulang dengan naik pesawat. Rupanya Ia diberi kemudahan dalam mencari rejeki.  Dan itulah pertama kali aku naik pesawat terbang.
***
Hampir semua rumah yang berdinding tembok roboh atau retak-retak. Yang tidak roboh pun penghuninya tak berani masuk karena keadaannya mengkhawatirkan. Rumah-rumah kayu berdinding bilik bambu kebanyakan hanya gentengnya yang menggelosor berjatuhan atau sedikit rusak tapi tidak separah rumah tembok. Mereka yang baru sadar ada anggota keluarganya masih terjebak di reruntuhan rumah, menangis histeris.
Aku menoleh ke utara. Gunung merapi masih seperti biasa, tenang, membisu dan mengepulkan asap. Sepertinya tidak telah terjadi letusan yang dashyat yang menimbulkan gempa. Aku merasa begitu kecil, bahkan dari sebutir debu yang paling lembut pun, dengan kekuasaan Alloh yang aku lihat sekarang. Dengan sepenuh hati aku mengucap Allohuakbar. Sebuah rumah megah yang biasanya menghalangi pandangan mataku melihat Merapi tak tampak lagi dan telah terjerembab menimbun seluruh perabot dan harta berharga di dalamnya. Taman di halaman depan yang luas tak sedap lagi dipandang. Empat orang penghuninya mondar mandir dihalaman sambil terus berteriak memanggil dua nama yang tidak berada bersamanya.
Ditengah kesusahan kekacauan pikiran tentang sanak saudara yang belum kelihatan dan segala barang yang belum terselamatkan, dari arah selatan terdengar suara teriakan; Tsunami datang! Tsunami! Tsunami...... Kami berada tujuh belas kilometer dari pantai, tentu Tsunami akan melibas kami jika tetap di sini. Dengan segera aku beranikan diri masuk rumah dan mengeluarkan motor. Meski lemari sudah roboh, kontak motor yang kutaruh di atasnya dapat aku temukan tak begitu lama. Meski aku telah pasrah sepenuhnya terhadap kehendak Alloh, berusaha menyelamatkan diri adalah kewajiban yang harus aku jalani.
Bersama istriku aku putuskan menuju sebuah pondok pesantren tempat kami sering mengaji, berjarak kira-kira dua puluh kilometer dan berada di sebuah bukit yang cukup tinggi. Di tengah jalan, dari arah utara terdengar lagi isu Gunung Merapi meletus. Berbondong-bondong orang berlarian dari utara. Di jalan-jalan terjadi kekacauan dan kesemrawutan kendaraan bermotor yang begitu besar. Kepanikan tampak di setiap muka. Entah isu apa yang harus dipercayai. Aku teringat tentang kiamat. Orang-orang kebingungan, panik dan tak lagi teringat keselamatan sanak saudaranya.  Keselamatan diri sendiri menjadi hal penting. Aku menyebut Allohuakbar dengan seluruh iman.
Seorang ibu yang tak kukenal menghentikan laju motorku dan menitipkan anaknya pada kami. Kami yang sudah setahun menikah dan belum ada tanda-tanda dikaruniai anak, segera menyambutnya. Istriku mendekapnya dan berusaha menghentikan tangisnya. Dengan penuh hati-hati dan selalu berdzikir, aku kendarai motor berseliweran dengan kendaraan lain dari dan ke berbagai arah. Tak ada kerusakan jalan berat yang menghambat perjalanan kami.
Sampai di pondok gempa masih terasa. Kerusakan di sini tak begitu parah. Ada beberapa retakan di dinding dan genteng yang jatuh. Di sini aku semakin merasa dekat dengan Alloh. Aku lihat wajah-wajah bersinar dan tenang menghadapi bencana. Berbeda sekali dengan wajah-wajah panik yang kutemui di jalan. Setelah berwudlu, aku membaca Al-Qur’an di masjid sambil menunggu waktu dzuhur tiba. Istriku ku sarankan untuk merawat anak titipan yang mengaku bernama Ifah.
Aku bermalam di pondok itu. Pengurus pondok yang telah kukenal dengan baik mempersilahkan kami sebuah kamar untuk ditempati. Esoknya setelah menyempatkan sholat Dhuha, aku, istriku dan Ifah kembali ke rumah kontrakan di Bantul. Mungkin masih ada barang atau surat-surat penting yang masih bisa diselamatkan. Gempa kecil kadang masih terasa, atau kadang kami merasa perasaan kami saja karena trauma. Di sepanjang perjalanan itulah aku melihat begitu banyak bangunan yang roboh atau rusak berat. Bangunan-bangunan yang telah menelan biaya milyaran rupiah hancur dan tak terpakai hanya dalam beberapa menit. Seperti aku dan istriku, sekarang begitu banyak orang yang menjadi tak punya rumah. Aku menjadi semakin tersadar kalau harta duniawi hanya titipan Illahi.
Di jalan tempat kemarin dicegat untuk dititipi Ifah, kami dihadang oleh seorang ibu yang langsung menubruk Ifah di pangkuan istriku. Rupanya Ia sejak pagi  atau mungkin sejak kemarin telah menunggui kami lewat. Jika kami menginap sampai beberapa malam mungkin si Ibu ini setiap saat akan terus menunggu.
“Akhir kamu kembali nak. Ibu sangat mengkhawatirkan kamu nak,” kata si Ibu sambil terus mengusap air matanya yang mengalir deras dan mendekap erat anaknya, “terimakasih Mas, Mba. Mari mampir dulu ke rumah saya dulu, eh, kami sudah tak punya rumah, itu bekas rumah saya, yang pagar besinya warna pink. O ya, Mas dan Mba namanya siapa? Nanti kalau ada sempat mampir ke sini. Terimakasih Mas, Mba. Terimakasiiiiiiiiih sekali.”
Kami melanjutkan perjalanan. Semua memang akan pulang.
Aku baru sempat menulis ini sekarang.***
                                                                                                Juni 2006

CERPEN YANG LAIN
ular ular mematuk mata
Ibu menunggu di stasiun
Bulu bulu yang lepas diajak terbang
Masjid di pinggir kota


Rabu, 19 September 2018

ULAR-ULAR MEMATUK MATA


Cerpen.
Oleh: soleh djayim


Tak ada sedikit pun tempat yang aman baginya untuk menyembunyikan badannya dari segala ancaman yang selalu mengintai. Makanya Ia tak lagi merasa perlu berusaha untuk sembunyi. Menghadapi segala ancaman adalah satu-satunya keputusan. Ia selalu mecipta cita rasa seni di setiap bahaya yang siap menelannya.
Satu pertanyaan yang selalu menggantung di benaknya; aku harus bagaimana? Sedangkan jawaban begitu banyak tersedia yang selalu diikuti resiko. Ia tak pernah mengerti kenapa perjalanan hidupnya datang di tempat yang selalu ada ancaman. Ia merasa tak punya hak untuk menguasai ‘hidup’, tetapi Ia merasa tak menjalankan kewajiban jika pasrah dan menyerah kalah dari setiap ancaman yang bisa membuatnya mati. Bertahan hidup dan menjalaninya adalah ibadah dan ujud rasa tanggungjawab.
“Kau akan kalah, menderita dan tak akan merasakan nikmatnya perjuangan hidup. Kau akan meratapinya dan menyesal. Aku akan menyaksikan itu. Kau akan menyesal tidak seperti aku!”
“Tidak! Aku tak akan pernah hidup yang hanya sekali menjadi orang selemah kamu. Silau!”
“Ingat dan dengar Galaid, kau akan meratapi setiap langkah yang kau tinggalkan tanpa berbuat seperti aku.”
“Hidup dalam pengabdian busuk semacam kamu adalah telah menjadi bangkai busuk sebelum mati!”
* * *
Hanya ingin sekedar tahu awalnya, tak lebih dari itu, apalagi untuk mengambil keuntungan besar. Ia selalu punya rasa ingin mengetahui sesuatu yang disembunyikan. Semakin rapat sesuatu itu disembunyikan Ia akan makin tinggi rasa ingi tahunya. Jadilah Ia pengoleksi berita-berita besar. Semua berita; skandal perselingkuhan pejabat, korupsi, pemalsuan data, mark up proyek, perseteruan tak sehat para konglomerat, persetujuan gelap para kontraktor dan pejabat.
Semua berita itu Ia dapat dari koran dan majalah atau tabloit yang Ia jajakan setiap pagi dan sore dan juga berbagai sumber yang tak banyak orang tahu. Meski kadang hanya sekilas Ia akan mengulanginya dan lebih mencermati jika ada sedikit waktu luang. Lebih sering Ia hanya sebatas sekilas baca.
Naluri memahami berita besar yang disembunyikan para pelakunya semakin terasah tanpa disadari. Bahkan Galaid hanya cukup memandang sorot mata dari sang pelaku atau orang yang bersangkut paut. Ia sanggup membaca apa yang akan dan telah dilakukan orang-orang kotor berbaju rapi dan berpenampilan klimis. Orang-orang yang sering Ia lihat di lampu merah tempat Ia menjajakan koran.
Jika saja Ia seorang pengamat ekonomi atau politik, pasti Ia laris manis diwawancarai di semua industri berita. Ia pasti kerepotan melayani permintaan tulisan dari ribuan penerbit surat kabar. Sayang, Galaid tak pandai merangkai kata untuk dijadikan tulisan atau merangkai ucapan mengungkapkan semua yang diketahuinya. Ia hanya sekedar bisa bicara seperti bicaranya orang-orang di terminal menunggu bis datang atau di pos ronda mengisi waktu membuang kantuk mengomentari peristiwa politik dan ekonomi. Melompat-lompat, hinggap sana sini mengikuti arus kata yang meluncur tanpa pagar.
Keunggulan Galaid pada pengungkapan yang sering mengejutkan pendengarnya. Pengungkapan yang tidak hanya sekedar menuturkan dari mulut ke mulut atau mengadopsi pendapat orang lain. Tak jarang komentar Galaid terabaikan karena dianggap sok tahu dan apriori. Apalagi tak ada tampang yang meyakinkan untuk meyakinkan kata-katanya. Seorang penjual koran paling hanya menuturkan apa yang dibacanya di koran sebelum dijajakan. Dan Galaid merasa tak perlu orang lain yakin kalau itu pendapat dan praduga yang orisinil dari dirinya.
* * *
Hidup Galaid terancam. Meski Ia yakin kematian tak bisa ditolak kedatangannya di manapun, Ia merasa bertanggung jawab terhadap perekonomian keluarganya untuk membantu kedua orang tuanya yang kuli pabrik yang kerepotan membiayai sekolah ketiga adiknya. Ia selalu melawan jika ada orang yang mengancam keselamatannya. Ia pernah pasrah dan menuruti segala apa yang diinginkan dari orang yang menyeretnya ke dalam mobil dan membawanya ke tempat yang asing baginya.
“Berapapun uang yang kau minta akan kami berikan asalkan kamu bisa menutup mulutmu,” tawar salah seorang berkaca mata hitam dari tiga orang kekar yang menculiknya.
“Maaf, saya memang orang susah. Tapi kami pantang memakai uang yang tak jelas asal-usulnya.”
“Asalnya dari kami!”
“Maaf, tak diberi uang pun saya akan diam seperti yang kalian kehendaki. Kalau saya terus diam bagaimana saya menjajakan koran Oom?”
“Goblok!! Bukan diam asal diam! Kau tutup mulut, diam tak berbicara segala sesuatu yang berhubungan politik, jabatan, ekonomi, semuanya!”
“Saya tak tahu apa-apa tentang semua itu Oom. Yang saya tahu, bagaimana saya harus menjual koran sampai habis.”
“Oke, sekarang semua koran kamu saya beli semuanya. Semuanya setiap hari. Asal kamu tutup mulut.”
“Memang saya sering berkata apa Oom? Yang Oom tak suka! Dan untuk apa Oom memborong semua koran saya? Apa itu cara Oom menutup mulut saya? Maaf Oom kalau untuk itu.”
“Atau kau memilih mati!?”
“Bunuhlah saya Oom. Maka apa yang Oom takutkan akan tersebar luas, cepat secepat sinar matahari pagi. Banyak, bahkan lebih banyak dari yang Oom duga."  
Kata-kata itulah yang selalu menyelamatkan jiwanya. Beratus kali dan selalu berganti orang, Ia diseret ke dalam mobil dibawa ke tempat asing di paksa untuk tutup mulut. Galaid sendiri tak mengerti apa yang harus ia tak bicara. Ia merasa hanya berkata-kata menjajakan koran dan tak ada yang lain jika di jalan atau terminal. “Apa aku sering berkata-kata yang aku tak menyadarinya?” pikir Galaid. Maka Galaid berkeputusan menutup mulutnya dengan lakban saat berjualan koran.
Cara itu tak juga membuatnya selamat dari orang-orang yang menyeretnya ke dalam mobil membawanya pergi dan membuang waktu kesempatan berjualan koran.
“Aku tak suka tangan kamu nunjuk-nunjuk muka ke Bos-ku jika beliau lewat.”
Galaid diam. Ia merasa tak pernah nunjuk muka sekali pun pada seseorang. Dan menjawabnya adalah mustahil akan dipercaya. “Apa saya harus menjajakan koran dengan tangan terikat Oom?”
Galaid pun menjual koran dengan mengikat kedua tangannya. Korannya Ia letakan diatas meja di pinggir terminal. Dengan cara itu pun tak membuat korannya tak terjual. Semua langganannya telah hafal dan tahu apa yang sedang dihadapi Galaid. Ia berharap tak ada lagi orang yang menyeretnya ke dalam mobil dan membawanya pergi jauh.
Dengan begitu pun Galaid masih terus diseret paksa.
“Saya tak suka mata kamu memandang. Membikin ganjalan di hati Bos-Bos kami. Dan kau tahu, semua mata yang memandang matamu, semua bisa membaca semua yang kau baca lewat sorot matamu. Layaknya membaca berita di lembaran-lembaran koran. Kau telanjangi Bos-Bos kami dengan sorot matamu!”
“Saya tak pernah punya niat untuk memberi tahu mereka. Saya juga tak pernah mengajari mereka untuk bisa membaca sorot mata saya. Saya malah baru tahu sekarang. Sungguh!”
“Alaaah… Banyak alasan kamu! Ikut aku. Cepat.”
Sebelum Galaid sempat berontak ketiga orang berbadan tegap itu menyeret tubuh Galaid yang mungil dibungkus kaos oblong bertuliskan kata-kata plesetan ala Jogja. 
Galaid dimasukan ke sebuah bis dengan fasilitas lengkap dan mewah. Belum pernah Galaid melihat Bis semewah ini. Semua serba ada, serba mengkilap, luas, serba otomatis dan penuh dengan pelayan yang selalu bertindak hormat. Sebuah istana mini yang berjalan di antara jejalan mobil dan motor yang berebut lewat.
Di dinding bis berderet orang-orang berdasi duduk di kursi putar yang empuk menghadapi meja penuh dengan sajian makanan dan aneka buah-buah segar.
Galaid diam tegap meredam getar yang begitu mengguncang hati. Seorang berdasi berpakaian jas rapi menjulurkan lidahnya mencipratkan ludah warna merah darah. Galaid mengusap mata tak percaya. Sekejap mata dibuka, semua orang di depannya menjulurkan lidahnya yang  terbelah dua, memperlihatkan taring dengan lubang bisa di ujungnya. Semua bersorot mata tajam, setajam ujung jarum. Galaid tak mampu menatapnya. Ia menutup matanya dengan dua telapak tangannya rapat-rapat. Badannya menggigil menahan ngeri.
Ketika telapak tangannya dibuka untuk meyakinkan penglihatannya, Galaid lebih kaget lagi; tak ada lagi orang-orang dengan mata tajam menjulurkan lidah-lidah yang terbelah dengan ujung-ujungnya yang lancip seperti lidah ular.
 Di dalam bis, di depan Galaid telah penuh dengan ular yang siap terbang menerjang Galaid. Galaid terbelalak. Tak mau kehilangan kesempatan keburu mata Galaid mengerejap, seratus ular terbang mematuk bola mata Galaid. Galaid terdorong ke belakang bersama kursi yang Ia duduki. Darah mengucur dari matanya. Tapi Galaid tak sampai mati. Ular-ular itu segera menolongnya dan merawat lukanya. Karena Galaid tak boleh mati, karena jika Ia mati, seluruh alam akan mengabarkan siapa yang membunuhnya. Dan seluruh tempat yang pernah disinggahi Galaid akan muncul tulisan semua yang Galaid tahu. ****         
                                                                                    Juni 2004.  





           



Jumat, 07 September 2018

JANGAN GAMPANG PERCAYA BERITA POLITIK DI MEDSOS

Koneksi internet yang semakin bagus dan penggunaan alat tekhnologi yang semakin luas serta pemakainnya yang semakin gampang, membuat begitu banyak orang tersambung dengan dunia maya. Dunia yang setiap detik bertambah jangkauannya dan bertambah kualitas koneksinya. Smartphone yang semakin murah dan biaya koneksi data yang semakin terjangkau membuat begitu banyak orang, dengan tak terbatasi oleh usia, tersambung satu sama lain dalam dunia penuh berjubel segala informasi dari berbagai sumber dengan berbagai tujuan dan latar belakang kepentingan.
Dengan segala fasilitas yang ada, maka seolah dunia ada dalam genggaman. Kita bisa mengakses semua informasi, bisa berdiskusi, sharing pendapat tanpa harus bertatap muka. Kemudahan itu mendorong orang untuk memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya.
Dunia politik memanfaatkan sebuah wahana yang tersedia dengan begitu luas dan terus berkembang. Begitu banyak propaganda yang setiap hari diunggah untuk mempengaruhi pembaca agar meyakini apa yang diunggahnya adalah sesuatu yang benar, wajar, obyektif, baik dan harus diikuti. Perebutan kekuasaan, pemanfaatan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan yang  dilakukan dengan memanfaat tekhnologi informasi, terus menerus dilakukan dengan mengunggah secara rutin informasi yang menunjukkan kebaikan kelompoknya dan megesampingkan kelompok lawan dengan membawa image bahwa lawan politiknya tidak baik, curang, melanggar aturan dan segala ketidakbaikan lainnya.
Seperti tak ada kata sepaham antar kubu yang berbeda. Setiap yang dianggap baik oleh kubu yang satu, kubu yang lain akan mengoreknya dan berusaha menelanjangi agar sisi jelek kubu lawan terungkap. Bahkan menyampaikan informasi yang sengaja tak sesuai dengan kejadian sesungguhnya pun, dilakukan. Tujuannya agar si pembaca mempercayai apa yang disampaikannya dan bersimpati pada dirinya. Saling serang selalu ada pada ruang yang berbeda. Dan, media sosial menjadi salah satu tempat untuk berdebat, tempat untuk mengunggah informasi, tempat untuk saling mencurahkan informasi yang menguntungkan pihaknya, menguntungkan kubunya, dan selalu ditambahi embel-embel yang tujuannya menyerang lawannya.
Mengunggulkan kubunya sendiri yang tergabung dalam satu koalisi, menjadi tema utama dan tujuan pertama mengunggah tulisan dalam media sosial. Lihatlah di twitter atau facebook, media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia. Jika ada yang mengunggah masalah politik dari salah satu kubu, kubu yang pro akan terus menyanjung dan kubu yang kontra akan terus berusaha menyangkal denga berbagai dalih pada komentar di bawahnya. Aroma nyinir dan kata-kata tidak sopan, seperti lepas begitu saja tanpa beban sosial. Banyak juga komentar yang sepertinya muncul dari ide yang sama yang dimungkinkan dari akun palsu yang sengaja meramaikan agar opini publik yang membaca percaya pada semua apa yang diunggah kubunya.
Ada banyak kasus yang sama, menjadi sangat berbeda beritanya ketika muncul di media. Bahkan berubah arah menjadi fitnah yang menjerumuskan pembaca. Seperti tak ada rasa risi menyebarkan berita ataupun pnedapat yang disimpangkan dan dimanipulasi. Hati dan pikirannya hanya terfokus untuk menyerang denga tujuan membuat lawan sakit dan kalah. Kata-kata nyinyir, kalimat-kalimat menyerang dan melecehkan begitu mudah keluar dari pikiran-pikiran orang Indonesia yang setahu saya punya etika sopan santun yang baik serta punya toleransi yang tinggi.
Jika kita membacanya dengan kecenderungan mendukung salah satu kubu ( misalnya dalam kontek capres cawapres 2019 ), dipastikan kita akan terbakar amarah dan tergoda untuk berkomentar dengan nada setidaknya membela untuk menyerang balik. Berusaha meluruskan, tapi yang “diluruskan” seperti mau meledek dan terus menyerang. Karena mereka memang ber-‘profesi’ untuk mengompori kubu lawan dan mencari simpati orang yang kurang tahu atau ada kemungkinan tergiur untuk percaya dan bergabung dengan kubunya. Hilang rasa hati dan etika bersosial.
Semua bertujuan untuk sebuah kekuasaan. Kekuasaan yang melenakan. Kekuasaan yang sangat erotis untuk diperebutkan, untuk dipertahankan dan untuk dimanfaatkan.
Maka, jangan gampang percaya berita politik yang bersumber dari kubu tertentu yang berkepentingan dan berhubungan dengan kekuasaan.

7 sept 2018