Cerpen.
BENCANA
Oleh: soleh djayim
Ini bencana besar kedua yang aku alami. Jam dinding di tembok kamar rumah
kontrakanku yang sedang menunjuk pukul enam kurang empat menit tiba-tiba
bergoyang kemudian terpental jatuh. 27 Mei 2006 Bumi bergoyang. Gempa! Suara
gemuruh megiringi terdengar begitu panjang dan berat. Aku seret istriku keluar
rumah. Kami berlari terhuyung dan hampir terjerembab. Dua detik setelah kami
keluar lebih dari separoh genteng jatuh, dinding batu bata yang belum disemen
runtuh dan posisi rumah miring ke kanan. Meski barang-barang di dalam rumah
terancam terkubur reruntuhan gedung, kami tak berani masuk untuk
menyelamatkannya. Gempa bisa saja datang lagi atau tiba-tiba rumah runtuh
terjerembab ke tanah.
Bencana besar pertama yang kualami ketika gempa Nias. Dalam perjalanan
misi dakwah, ketika kami belum sampai ke tujuan semula ke pulau Sinabang karena
kapal penyeberangan yang akan kami tumpangi kehabisan bahan bakar. Sebuah
perjalanan terpanjang yang baru aku alami. Dari Jogja ke pelabuhan Merak
manghabiskan waktu semalam. Dilanjutkan perjalanan laut selama dua hari tiga
malam. Kami tiba di Pelabuhan Belawan
jam dua siang. Perjalanan dilanjutkan ke Singkil. Menjelang subuh kami sudah
sampai. Di sebuah Masjid berjarak limaratus meter dari laut, kami bermalam. Jam
sebelas malam di malam kedua, ketika kami sedang tidur lelap, terjadi guncangan
hebat. Gempa. Dan segala trauma Tsunami Aceh datang begitu cepat membangkitkan
segala potensi rasa takut. Gempa itulah yang membuat kami batal ke pulau Sinabang
dan tiket yang telah kami beli pun tak terpakai.
Kami segera berlari keluar masjid dan berusaha naik ke atas genteng. Tak
begitu menemui kesulitan karena di teras belakang ada tangga. Jika gempa
merobohkan Masjid tentu kami akan berada di antara reruntuhannya. Tapi, Alloh
berkehendak lain. Masjid tetap berdiri tegak. Di depan Masjid, sebuah rumah cukup
bagus ambruk terjerembab rata dengan tanah. Lampu padam. Suara rumah-rumah
roboh terdengar di sekelilingi kami. Tak lama berselang, Tsunami kecil datang.
Meski tak menimbulkan kerusakan yang berarti, datangnya air setinggi kurang
dari dua meter dari laut itu telah membuat begitu panik orang-orang yang takut
mati.
Pagi hari kami mendapat cerita dari santri Masjid yang kami tempati,
kalau rumah-rumah yang roboh sebagian besar adalah milik orang-orang yang jauh
dari Alloh, termasuk rumah di depan Masjid yang sering terdengar suara musik
keras kedebukan tak peduli siang malam atau waktu Sholat. Seorang anaknya yang
masih remaja tewas tertimpa reruntuhan tembok, dan yang lain luka-luka dan bisa
dibawa ke rumah sakit untuk di obati. Kami juga mendapat berita kalau di Pulau
Nias keadaannya lebih parah.
Sungguh, Alloh hanya memberi peringatan agar kita tidak lalai dan
melupakanNya. Jika Dia berkehendak, tentu kami tak lagi mendapat kesempatan
untuk bertaubat dan selalu memperbaiki hidup. Aku merasa semakin yakin dengan
Kekuasaan Alloh dan kesombongan manusia adalah nafsu yang menjijikan dan sangat
tak tahu diri sebagai makhluk Alloh.
Rombongan kami tak melanjutkan perjalanan ke Pulau Sinabang seperti
tujuan semula. Kami memutuskan untuk membantu segala kepayahan orang-orang di
sekitar Masjid tempat kami menginap. Semoga bencana dapat menyadarkan mereka
yang selama ini jauh dari Alloh. Keadaan bangunan tempat tinggal yang porak
poranda membuat kami berpikir, orang-orang yang terkena kesusahan akan mudah
terbuka hatinya untuk mengakui kekuasaan Alloh dan mendekatNya.
Sebulan kami bertujuh berdakwah islahiyah semampu kami. Aku sendiri masih
sangat dangkal pengetahuan tentang Islam. Aku sangat ingin memperbaiki diri
dengan menerapkan ajaran Islam dalam setiap nafasku, sepanjang hidup. Itulah
makanya aku berusaha terus untuk dekat dengan orang-orang yang shaleh. Kami
sangat bersyukur dengan perlakuan saudara seiman yang menerima kami dengan baik
tanpa prasangka dan curiga. Seminggu sebelum kami pulang, seseorang dari
rombongan lain yang baru seminggu datang memberi kami biaya untuk pulang dengan
naik pesawat. Rupanya Ia diberi kemudahan dalam mencari rejeki. Dan itulah pertama kali aku naik pesawat
terbang.
***
Hampir semua rumah yang berdinding tembok roboh atau retak-retak. Yang
tidak roboh pun penghuninya tak berani masuk karena keadaannya mengkhawatirkan.
Rumah-rumah kayu berdinding bilik bambu kebanyakan hanya gentengnya yang
menggelosor berjatuhan atau sedikit rusak tapi tidak separah rumah tembok. Mereka
yang baru sadar ada anggota keluarganya masih terjebak di reruntuhan rumah,
menangis histeris.
Aku menoleh ke utara. Gunung merapi masih seperti biasa, tenang, membisu
dan mengepulkan asap. Sepertinya tidak telah terjadi letusan yang dashyat yang
menimbulkan gempa. Aku merasa begitu kecil, bahkan dari sebutir debu yang
paling lembut pun, dengan kekuasaan Alloh yang aku lihat sekarang. Dengan
sepenuh hati aku mengucap Allohuakbar. Sebuah rumah megah yang biasanya
menghalangi pandangan mataku melihat Merapi tak tampak lagi dan telah
terjerembab menimbun seluruh perabot dan harta berharga di dalamnya. Taman di
halaman depan yang luas tak sedap lagi dipandang. Empat orang penghuninya
mondar mandir dihalaman sambil terus berteriak memanggil dua nama yang tidak
berada bersamanya.
Ditengah kesusahan kekacauan pikiran tentang sanak saudara yang belum
kelihatan dan segala barang yang belum terselamatkan, dari arah selatan terdengar
suara teriakan; Tsunami datang! Tsunami! Tsunami...... Kami berada tujuh belas
kilometer dari pantai, tentu Tsunami akan melibas kami jika tetap di sini.
Dengan segera aku beranikan diri masuk rumah dan mengeluarkan motor. Meski
lemari sudah roboh, kontak motor yang kutaruh di atasnya dapat aku temukan tak
begitu lama. Meski aku telah pasrah sepenuhnya terhadap kehendak Alloh,
berusaha menyelamatkan diri adalah kewajiban yang harus aku jalani.
Bersama istriku aku putuskan menuju sebuah pondok pesantren tempat kami
sering mengaji, berjarak kira-kira dua puluh kilometer dan berada di sebuah
bukit yang cukup tinggi. Di tengah jalan, dari arah utara terdengar lagi isu
Gunung Merapi meletus. Berbondong-bondong orang berlarian dari utara. Di
jalan-jalan terjadi kekacauan dan kesemrawutan kendaraan bermotor yang begitu
besar. Kepanikan tampak di setiap muka. Entah isu apa yang harus dipercayai.
Aku teringat tentang kiamat. Orang-orang kebingungan, panik dan tak lagi
teringat keselamatan sanak saudaranya.
Keselamatan diri sendiri menjadi hal penting. Aku menyebut Allohuakbar
dengan seluruh iman.
Seorang ibu yang tak kukenal menghentikan laju motorku dan menitipkan
anaknya pada kami. Kami yang sudah setahun menikah dan belum ada tanda-tanda
dikaruniai anak, segera menyambutnya. Istriku mendekapnya dan berusaha
menghentikan tangisnya. Dengan penuh hati-hati dan selalu berdzikir, aku
kendarai motor berseliweran dengan kendaraan lain dari dan ke berbagai arah.
Tak ada kerusakan jalan berat yang menghambat perjalanan kami.
Sampai di pondok gempa masih terasa. Kerusakan di sini tak begitu parah.
Ada beberapa retakan di dinding dan genteng yang jatuh. Di sini aku semakin
merasa dekat dengan Alloh. Aku lihat wajah-wajah bersinar dan tenang menghadapi
bencana. Berbeda sekali dengan wajah-wajah panik yang kutemui di jalan. Setelah
berwudlu, aku membaca Al-Qur’an di masjid sambil menunggu waktu dzuhur tiba. Istriku
ku sarankan untuk merawat anak titipan yang mengaku bernama Ifah.
Aku bermalam di pondok itu. Pengurus pondok yang telah kukenal dengan
baik mempersilahkan kami sebuah kamar untuk ditempati. Esoknya setelah
menyempatkan sholat Dhuha, aku, istriku dan Ifah kembali ke rumah kontrakan di
Bantul. Mungkin masih ada barang atau surat-surat penting yang masih bisa diselamatkan.
Gempa kecil kadang masih terasa, atau kadang kami merasa perasaan kami saja
karena trauma. Di sepanjang perjalanan itulah aku melihat begitu banyak
bangunan yang roboh atau rusak berat. Bangunan-bangunan yang telah menelan
biaya milyaran rupiah hancur dan tak terpakai hanya dalam beberapa menit.
Seperti aku dan istriku, sekarang begitu banyak orang yang menjadi tak punya
rumah. Aku menjadi semakin tersadar kalau harta duniawi hanya titipan Illahi.
Di jalan tempat kemarin dicegat untuk dititipi Ifah, kami dihadang oleh
seorang ibu yang langsung menubruk Ifah di pangkuan istriku. Rupanya Ia sejak
pagi atau mungkin sejak kemarin telah
menunggui kami lewat. Jika kami menginap sampai beberapa malam mungkin si Ibu
ini setiap saat akan terus menunggu.
“Akhir kamu kembali nak. Ibu sangat mengkhawatirkan kamu nak,” kata si
Ibu sambil terus mengusap air matanya yang mengalir deras dan mendekap erat
anaknya, “terimakasih Mas, Mba. Mari mampir dulu ke rumah saya dulu, eh, kami
sudah tak punya rumah, itu bekas rumah saya, yang pagar besinya warna pink. O
ya, Mas dan Mba namanya siapa? Nanti kalau ada sempat mampir ke sini.
Terimakasih Mas, Mba. Terimakasiiiiiiiiih sekali.”
Kami melanjutkan perjalanan. Semua memang akan pulang.
Aku baru sempat menulis ini sekarang.***
Juni
2006
CERPEN YANG LAIN
ular ular mematuk mata
Ibu menunggu di stasiun
Bulu bulu yang lepas diajak terbang
Masjid di pinggir kota
CERPEN YANG LAIN
ular ular mematuk mata
Ibu menunggu di stasiun
Bulu bulu yang lepas diajak terbang
Masjid di pinggir kota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar